Categories Berita

Majelis Rakyat Papua: Sejumlah Catatan Otonomi Khusus Papua

Diskusi daring Ngobrol @Tempo yang mengangkat tema “20 Tahun Otonomi Khusus Papua di Tanah Papua: Sudah Efektifkah?” Jumat, 13 November 2020

JAYAPURA, MRP – Dua dekade Otonomi Khusus (Otsus) Papua berjalan sejak pemberlakuan Undang-undang Otsus Nomor 21 Tahun 2001 oleh Presiden ke-4 RI Megawati Soekarnoputri. Beleid ini memberikan kewenangan lebih besar untuk Papua dibanding daerah lain.

Setelah 20 tahun muncul pertanyaan: Apakah otonomi khusus memberikan efek positif untuk kesejahteraan masyarakat Papua? Atau sebaliknya hanya bentuk campur tangan pemerintah pusat dalam mengelola provinsi yang kaya sumber daya alam ini.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, mengatakan evaluasi otonomi khusus dikembalikan ke rakyat Papua. Menurut dia, hanya rakyat di Bumi Cendrawasih yang berhak menilai keberhasilan otonomi khusus.

“Masalahnya bukan pada dana otsusnya, namun bagaimana masyarakat adat diberikan wewenang untuk diikutsertakan sebagai subyek utama sasaran otsus, tidak hanya dianggap sebagai obyek saja,“ ujarnya dalam diskusi daring Ngobrol @Tempo yang  mengangkat tema “20 Tahun Otonomi Khusus Papua di Tanah Papua: Sudah Efektifkah?” Jumat, 13 November 2020.

Kepala Sub-Direktorat Provinsi Papua dan Papua Barat Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Budi Arwan, mengatakan MRP memiliki kewenangan istimewa yakni memilih Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) jalur pengangkatan Otonomi Khusus. Saat ini terdapat 14 Anggota DPRD Otsus Papua dan 11 Anggota DPRD Otsus Papua Barat. “Dana Otsus hanya salah satu instrumen saja,” kata dia.

Kementerian Dalam Negeri mengakui kesulitan mengukur indikator capaian otonomi khusus. Sebab selama ini belum ada grand design yang menjadi rujukan mengukur kinerja otonomi khusus. Hal ini menjadi perhatian dalam perubahan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang disiapkan Bappenas. Rencananya perubahan undang-undang akan diintegrasikan dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Payung hukum otonomi khusus adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2008. Dalam beleid tersebut, disebutkan, dana otonomi khusus Papua dan dihitung sebesar 2 persen dari plafon dana alokasi umum (DAU) yang berlaku selama 20 tahun.

Dana khusus yang dikucurkan untuk Papua dan Papua Barat periode 2002-2020 mencapai Rp 126,99 triliun. Dalam undang-undang disebutkan otonomi khusus dua provinsi ini akan berakhir pada 2021. Dana otonomi selama ini dianggarkan untuk mendanai empat aspek yaitu pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendanaan pendidikan, dan kesehatan.

Timotius Murib memaparkan, evaluasi terhadap empat aspek itu semestinya melibatkan para ahli dan harus mengikutsertakan orang asli Papua. Untuk perpanjangan otonomi khusus untuk 20 tahun berikutnya, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan orang asli Papua (OAP) harus duduk bersama satu meja. “Ini untuk mensinergikan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan Otsus, sehingga ke depannya jauh lebih baik dari sekarang,“ ujarnya.

Profesor Riset Bidang Sosiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga Anggota Tim Kajian Papua, Cahyo Pamungkas, memberikan sejumlah catatan terkait hak asasi manusia selama berlangsungnya otonomi khusus. Sepanjang Januari 2010-Februari 2018, kata dia, ada 69 kasus pembunuhan atau dalam istilah hukum internasional disebut unlawful killing.

Menurut Cahyo, semua kasus tersebut minim pertanggungjawaban hukum dan para pelaku tak pernah dijerat hukum. Ini menggambarkan impunitas alias kejahatan tanpa hukuman tumbuh subur di Papua. “Ketika otsus berakhir, orang Papua meminta solusi politik yang damai dan demokratis, tidak dengan pengiriman militer besar-besaran,” ujarnya. Dia menambahkan, “Otsus tidak berhasil menjawab konflik politik orang Papua dengan Jakarta, sehingga perlu ada solusi,” kata Cahyo.

Adapun akademisi dan pemerhati Papua, Saor Siagian, mengatakan pemerintah membangun Papua dengan hati melalui otonomi khusus. “Sehingga proses integrasi NKRI berjalan dengan baik sebagai bentuk persaudaraan yang tulus,” tuturnya.(*)

Sumber: Tempo.co

Read More

Categories Berita

Soal pencalonan, partai politik dan KPU diminta hargai semangat Otsus Papua

Perwakilan pemuda dan mahasiswa Merauke berfoto bersama Ketua MRP, Timotius Murib. – Jubi/Mawel

JAYAPURA, MRP –  Majelis Rakyat Papua atau MRP mendesak pimpinan partai politik, Komisi Pemilihan Umum atau KPU Provinsi Papua dan 11 KPU kabupaten yang akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020 memprioritaskan masyarakat asli Papua dalam melakukan perekrutan politik di Papua. MRP memandang kebijakan afirmasi itu sebagai hak konstitusional orang asli Papua.

Hal itu disampaikan Ketua MRP, Timotius Murib di Kota Jayapura, Senin (25/8/2020). Murib menyampaikan hal itu usai menerima perwakilan pemuda dan mahasiswa Papua yang menyampaikan aspirasi mereka menolak orang non Papua dicalonkan menjadi bupati atau wakil bupati dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Merauke.

Murib menyatakan salah satu mandat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) adalah memprioritaskan orang asli Papua dalam rekrutmen politik di Papua. Hal itu telah diatur dengan jelas dalam Pasal 28 ayat (3) UU Otsus Papua.

Semangat UU Otsus Papua [tentang] hak politik orang asli Papua [yang diatur] Pasal 28 harus dihargai oleh KPU. Bila perlu, lebih dari pimpinan partai politik. Kami berharap dalam Pilkada di Aceh, DIY atau Papua harus ada pertimbangan khusus,” kata Murib saat berbicara didepan para anggota MRP dan perwakilan pemuda serta mahasiswa dari Merauke.

Murib menyatakan pihaknya telah bertemu sejumlah pimpinan partai politik di tingkat pusat maupun daerah. MRP juga telah membicarakan masalah itu dengan KPU RI dan KPU Provinsi Papua, agar hak orang asli Papua untuk diprioritaskan dalam rekrutmen politik terpenuhi.

“Sayangnya, [ketika] sampai proses pencalonan [kepala daerah, pencalonan dilakukan] bukan dengan semangat itu. [Yang ada justru] teman-teman luar Papua yang mencalonkan diri, sehingga menuai protes. Protes terjadi di media massa, media sosial, juga demonstrasi menolak pencalonan orang non Papua. MRP mengikuti [perkembangan] itu, dan akan meyerahkan, mempubikasikan keputusan bersama MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) terkait hak konstitusional orang asli Papua,” kata Murib.

Murib menegaskan keputusan bersama Rapat Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB pada 28 Februari 2020 telah menyatakan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Tanah Papua haruslah orang asli Papua. Murib menegaskan keputusan bersama MRP dan MRPB itu sejalan dengan semangat Pasal 28 ayat (3) UU Otsus Papua.

“Pimpinan partai politik harus menaati UU Otsus Papua itu. Kalau [tidak], jangan tinggal di Papua, harus keluar. Kalau [ingin] pakai UU [lain yang berlaku secara nasional], tidak boleh memimpin partai politik di wilayah khusus. Kalau mau tinggal [dan] menjadi pengurus atau pimpinan partai [politik] di Papua, harus melaksanakan UU Otsus Papua,” kata Murib.

Para perwakilan pemuda dan mahasiswa Merauke yang menyampaikan aspirasinya di Kantor MRP pada Senin adalah bagian dari para pemuda dan mahasiswa yang pada 13 Agustus 2020 lalu berunjuk rasa di Tugu Lingkaran Brawijaya, Merauke. Dalam unjuk rasa itu, mereka menyatakan menolak orang non Papua dicalonkan menjadi bupati atau wakil bupati dalam Pilkada Merauke 2020.

Dalam demonstrasi pada 13 Agustus 2020 lalu, salah satu pengunjukrasa, Rofinus menyatakan ia menyesalkan sikap pimpinan partai politik di Merauke yang mengabaikan aspirasi masyarakat asli Merauke. “Kami menyesalkan [sikap] partai politik. Mereka menciptakan konflik dengan memunculkan calon bupati [dari kalangan] non Papua,” kata Rofinus dalam orasinya.

Pengunjukrasa yang lain, Emanuel menyatakan hasil Pemilihan Umum 2019 lalu mengecewakan masyarakat asli Merauke, karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Merauke justru didominasi orang non Papua. Emanuel meminta hak kesulungan orang Marind sebagai masyarakat adat di Merauke dihormati.

“Orang Marind telah menerima [warga] non Papua tinggal dan beraktivitas, [menetap dan hidup bersama] di sini [Merauke]. Karena itu, jangan merampas hak kesulungan [Suku Marind]. Biarkan [sesama] orang Marind bersaing dalam pilkada,” kata Emanuel dalam unjuk rasa itu.(*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

MRP: Keberlangsungan Masyarakat Adat Papua Terancam

Masyarakat adat Hubula di Wamena – Ist

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP menilai keberlangsungan masyarakat adat Papua kini terancam. Alasannya, menurut Ketua Pokja Adat MRP, Demas Tokoro, ada beberapa hal yang menyebabkan itu terjadi.

Antara lain perkembangan pembangunan, investasi dan sikap masyarakat adat Papua sendiri yang menjual hak ulayat atau tanah adatnya kepada pihak-pihak tertentu.

Demas menjelaskan, satu satuan warga dapat disebut masyarakat adat jika memenuhi tiga syarat, yakni memiliki wilayah adat atau tanah ulayat, memiliki budaya dan bahasa.

“Kalau tanah tidak ada kehidupan, eksistensi kita orang asli Papua di atas tanah ini akan mengalami pergeseran. Misalnya kalau tanah kita habis persekutuan-persekutuan masyarakat di daerah-daerah seperti kampung, suku akan bubar. Ketika tanah ini hilang, maka keberadaan orang Papua juga akan menjadi pertanyaan,” kata Demas Tokoro kepada KBR, Rabu (15/7/2020).

Menurutnya, keberlangsungan hak orang asli Papua atas tanah adat merupakan masalah serius yang tidak bisa hanya diselesaikan oleh lembaga-lembaga kultur, seperti MRP.

Mesti ada dukungan dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten-kota, DPR Papua, DPRD kabupaten-kota di Papua, juga masyarakat adat sendiri.

Pada tahun lalu MRP telah mengeluarkan maklumat agar masyarakat adat Papua tidak lagi menjual tanah ulayatnya. Namun maklumat itu dianggap belum efektif. Mesti diatur dalam peraturan daerah.

Sejak beberapa tahun lalu, MRP mengaku telah mendorong pemerintah provinsi dan DPR Papua membuat regulasi yang mengatur sistem pamanfaatan tanah adat di Papua. Akan tetapi hingga kini regulasi itu belum juga terwujud.

Ketua Pokja Adat MRP, Demas Tokoro mengatakan, sejak dua tahun terakhir DPR Papua telah merumuskan rancangan peraturan daerah khusus atau Raperdasus pemanfaatan tanah adat, dengan sistem sewa pakai. Namun, hingga kini pembahasannya belum rampung.

Saat ini, yang bisa dilakukan MRP untuk menjaga keberlangsungan hak masyarakat adat Papua atas tanahnya, adalah terus mengimbau masyarakat agar tidak menjual hak ulayatnya.

Selain menjaga eksistensi masyarakat adat Papua, hal itu juga demi keberlangsungan identitas diri generasi Papua di masa mendatang.

Sumber: https://kbr.id/

 

Read More
Categories Berita

Serahkan Rekomendasi, MRP Tegaskan 42 Calon 14 Kursi DPR Papua Semua OAP

Wakil Ketua I MRP, Jimmy Mabel menyerahkan rekomendasi hasil verifikasi keaslian Orang Asli Papua kepada Ketua Pansel 14 Kursi DPR Papua, DR Septinus Naa, Rabu, 8 Juli 2020 – Dok MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) secara resmi menyerahkan rekomendasi dari hasil verifikasi keaslian Orang Asli Papua (OAP) terhadap 42 calon anggota DPR Papua dari jalur pengangkatan atau dikenal 14 kursi DPR Papua kepada Panitia Seleksi (Pansel) 14 Kursi DPR Papua, Rabu, 8 Juli 2020.

Wakil Ketua I MRP, Jimmy Mabel menegaskan bahwa dari 42 calon anggota DPR Papua dari jalur pengangkatan itu, semua murni Orang Asli Papua atau OAP.

“Kami sudah melaksanakan verifikasi sesuai tufoksi MRP dan sudah disahkan bahwa dari 42 calon anggota DPR Papua itu, semua adalah Orang Asli Papua,” kata Jimmy Mabel ketika menyerahkan rekomendasi kepada Ketua Pansel 14 Kursi DPR Papua.

Jimmy Mabel menegaskan bahwa tugas MRP hanya melakukan verifikasi keaslian orang Papua dalam rekrutmen 14 kursi DPR Papua tersebut dan telah disahkan bahwa 42 orang calon anggota DPR Papua itu, semua orang asli Papua.

Untuk itu, MRP mengembalikan kepada Pansel 14 Kursi DPR Papua untuk melakukan tahapan selanjutnya. “Kami sudah memberikan rekomendasi, yang pertama adalah bahwa semuanya orang asli Papua,” ujarnya.

Rekomendasi MRP kedua,  lanjut Jimmy Mabel, dan MRP memohon kepada tim seleksi untuk mempertimbangkan keterwakilan 30 persen perempuan dari wilayah Tabi. Ketiga, untuk ke depan, Pansel 14 Kursi bisa memperhatikan setiap suku yang belum pernah diwakili atau menjabat pada posisi jabatan publik, baik di DPR Papua, MRP maupun jabatan birokrasi lainnya.

“Nah, itu rekomendasi kami supaya ada pemerataan untuk membangun Papua yang bangkit, mandiri dan sejahtera yang berkeadilan itu sangat menentukan apabila semua keterwakilan wilayah-wilayah adat, suku – suku diakomodir, maka semua akan dibangun berdasarkan keinginan orang asli Papua,” ujarnya.

Sebab, Jimmy Mabel menilai dari 42 calon anggota DPR Papua ini, ada dari partai politik maupun mantan pejabat publik.

“Banyak. Tapi semua kewenangan ada dikembalikan kepada Pansel untuk verifikasi atau melihat perkembangan dari saran dan masukan dari MRP. Karena MRP tidak punya kewenangan untuk menetapkan orang atau mencoret orang dalam rekrutmen 14 kursi ini, kami hanya mempertimbangkan keaslian orang asli Papua saja,” imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Pansel 14 Kursi DPR Papua, DR Septinus Saa mengatakan, pihaknya akan melanjutkan proses seleksi 14 kursi DPR Papua dengan akan segera berkoordinasi dengan Gubernur Papua.

“Ya, kami targetkan dalam dua minggu, mudah-mudahan sudah ada hasil 14 kursi DPR Papua,” kata Septinus Saa.

Soal masih adanya mantan anggota DPR Papua atau politisi yang masuk dalam seleksi 14 kursi ini, Septinus Naa mengatakan, ke depan tentu harus diperjuangkan untuk merevisi perdasus, sehingga tidak boleh lagi politisi atau dari partai atau mantan pejabat masuk 14 kursi DPR Papua jalur pengangkatan itu.

Sebab, lanjut Septinus Naa, dalam perdasus rekrutmen anggota DPR Papua jalur pengangkatan itu, mestinya memberikan prioritas bagi suku-suku yang belum pernah memiliki perwakilan di DPR Papua, MRP maupun jabatan birokrasi.

“Ini problem SDM. Orang jadi anggota DPR Papua itu, bukan sembarang orang yang kita pilih. Ya, minimal harus siap SDM termasuk pendidikan. Tidak mungkin misalnya cari orang dari suku ini, namun tidak sekolah untuk masuk jadi anggota DPR Papua jalur pengangkatan,” tandasnya.

Septinus Naa menambahkan, jika memang SDM berdampak terhadap rekrutmen atau seleksi 14 kursi DPR Papua ini, memang ada beberapa suku minoritas.

“Untuk itu, ke depan ya perlu merubah atau merevisi perdasus rekrutmen anggota DPR Papua jalur pengangkatan ini,” pungkasnya. (*)

Sumber: Papuaterkini.com

Read More

Categories Berita

Dukung upaya memutus rantai penularan korona di Papua, MRP susun rencana aksi

MRP menggelar rapat pleno masa sidang TW II MRP, 15-17 April 2020 di halaman kantor MRP. Untuk mencegah penularan virus korona, rapat itu mengikuti anjuran duduk berjarak 1 meter dan menggunakan masker pelindung wajah. – Jubi

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua akan menyelenggarakan sejumlah kegiatan yang bertujuan untuk memerangi penyebaran virus korona  di lima wilayah adat di Provinsi Papua. Kelima wilayah adat tersebut adalah Mamta, Lapago, Meepago, Animha dan Saireri.

Sejumlah rencana kegiatan telah dituangkan dalam rencana aksi lembaga kultural orang asli Papua (OAP) itu. Rencana aksi itu diharapkan akan menjawab sejumlah masalah yang dikemukakan dalam sejumlah Rapat Gabungan Kelompok Kerja dan alat kelengkapan Majelis Rakyat Papua (MRP) pada Kamis (16/4/2020).

Pleno masa sidang II itu dilakukan di halaman Kantor MRP beratapkan tenda. Masa sidang II itu dibuka pada Rabu (15/4/2020), dan akan berakhir pada Jumat (17/4/2020).

Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan pemahaman masyarakat OAP tentang pencegahan penularan virus korona maupun pengobatan Covid-19 masih minim. Untuk itulah MRP merumuskan sejumlah rencana aksi seperti sosialisasi melalui berbagai media cetak dan elektronik, untuk meningkatkan upaya memutus rantai penularan virus korona.

Sebelum sosialisasi itu dilakukan, pekan depan, MRP akan mengundang Tim Satuan Tugas Covid-19 Papua. “Kami ingin mendengar saran dari mereka untuk rencana aksi yang akan MRP lakukan, bagaimana yang aman, apa yang perlu kami persiapkan, dan hal lainnya. Rencananya hari Senin minggu depan,” kata Timotius Murib kepada Jubi, usai sidang Kamis.

Usulan rencana aksi MRP lainnya adalah melakukan kegiatan yang bertujuan meningkatkan imunitas iman OAP dalam menghadapi ancaman Covid-19. MRP akan melaksanakan “tour melawan Corona” dengan mobil pengeras suara di pemukiman penduduk.

“Selain ‘tour melawan Corona’, MRP juga akan mengundang tokoh agama untuk berdoa, Kebaktian Kebangunan Rohani tetapi [dengan] jumlah [peserta] yang terbatas. Tentu kami [akan] terapkan anjuran [Organisasi Kesehatan Dunia atau] WHO, seperti menjaga jarak 1-2 meter per orang,” jelas Murib.

Dengan itu, para tokoh agama diharapkan kembali ke basis wilayah kerjanya masing-masing, dan bisa melakukan sosialisasi pencegahan virus korona.

Murib juga menuturkan MRP akan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) dari virus korona, seperti masker, sarung tangan, cairan desinfektan. MRP juga ingin menyediakan “jaring pengaman sosial” bagi OAP yang kegiatan ekonominya terdampak pandemi Covid-19. “Barang-barang ini akan didistribusikan anggota MRP kepada konstituennya,” ujarnya.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

DPRP-MRP didesak minta Jokowi bentuk Pengadilan HAM di Papua

Rakyat Papua terus menagih janji pemerintah pusat selesaikan pelanggaran HAM besar di Paniai 2014 silam – Doc

Jayapura, MRP – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy memberi apresiasi dan penghormatan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah menetapkan peristiwa Lapangan Karel Gobay, Enarotali-Kabupaten Paniai, Provinsi Papua 7-8 Desember 2014 sebagai Pelanggaran HAM yang Berat.

Hal ini sesuai amanat Pasal 7 huruf b dab Pasal 9 UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Meskipun harus menunggu sekitar 5 tahun.

Akan tetapi paling tidak rasa keadilan dan kesempatan bagi keluarga korban untuk memperoleh kepastian hukum sedikit terbuka di Negara Hukum ini.

“Oleh sebab itu, sesuai amanat Pasal 45 UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, saya mendesak DPR Papua dan MRP Papua serta DPT Papua Barat dan MRP Papua Barat untuk mengajukan permintaan resmi kepada Presiden Republik Indonesia agar segera mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan HAM di Jayapura-Provinsi Papua,” ujarnya lewat rilis kepada Jubi, 17 Februari 2020.

Menurutnya, berdirinya Pengadilan HAM di Jayapura-Papua nantinya diharapkan dapat segera mendesak dibawanya perkara-perkara berkategori Pelanggaran HAM Berat lainnya. Misalkan kasus Wasior 2001, Wamena 2003 dan Enarotali-Paniai 2014 guna diadili sesuai mekanisme hukum yang berlaku.

Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menetapkan kasus Paniai pada 7-8 Desember 2014 sebagai pelanggaran HAM berat. Militer dan kepolisian diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab.

“Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7 – 8 desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggran berat HAM,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulis, Sabtu, 15 Februari 2020, sebagaimana dikutip Tempo.co.

Peristiwa Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014. Kala itu terjadi peristiwa kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal akibat luka tembak dan luka tusuk sedangkan 21 orang lain mengalami luka penganiayaan. Peristiwa ini tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut.

Keputusan paripurna khusus tersebut berdasarkan hasil penyelidikan oleh TIM Ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai yang bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tim bekerja selama lima tahun, dari Tahun 2015 hingga 2020.

“Peristiwa Paniai tanggal 7-8 Desember 2014 memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan, dengan element of crimes adanya tindakan pembunuhan dan tindakan penganiayaan. Sistematis atau meluas dan ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama terpenuhi,” kata Ketua Tim ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai M. Choirul Anam.

Atas peristiwa tersebut, Komnas HAM menyebut Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab. Tim Penyelidik juga menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Kepolisian, namun bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat.

“Oleh karenanya, direkomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait perbantuan TNI-Polri,” kata Choirul.

Tim yang dipimpin Choirul telah melakukan kerja penyelidikan dengan melakukan pemeriksaan para saksi sebanyak 26 orang, meninjau dan memeriksa TKP di Enarotali Kabupaten Paniai, pemeriksaan berbagai dokumen, diskusi ahli dan berbagai informasi yang menunjang pengungkapan peristiwa pada tanggal 7-8 Desember 2014 tersebut. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP terus kawal proses persidangan para terdakwa unjukrasa anti rasisme

Advokat Sugeng Teguh Santoso dari Tim Advokat untuk Orang Asli Papua berfoto bersama 17 kliennya yang dikeluarkan dari tahanan Kepolisian Daerah Papua di Jayapura pada Selasa (28/1/2020), karena masa penahanan mereka telah habis. – Dok. MRP

Jayapura, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP mengelar rapat pimpinan MRP, kelompok kerja, dan alat kelengkapan MRP untuk memantau perkembangan proses advokasi yang dijalankan Tim Advokat untuk Orang Asli Papua terhadap para terdakwa perkara yang terkait dengan unjukrasa anti rasisme di Papua. Rapat itu digelar di Jayapura, Papua, Selasa (28/1/2020).

Tim Advokat untuk Orang Asli Papua (OAP) terbentuk dari perjanjian kerjasama MRP dan Dewan  Pimpinan Nasional Persatuan Advokat Indonesia atau Peradi yang diketuai Luhut MP Panggaribuan untuk melakukan pembelaan terhadap OAP yang dijadikan terdakwa dalam unjukrasa maupun amuk massa terkait kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019. Perjanjian kerjasama itu ditandatangani kedua pihak pada 16 Oktober 2019.

Rapat MRP pada Selasa membahas perkembangan pembelaan yang dijalankan Tim Advokat untuk OAP itu. “Agenda hari ini, MRP bahas kerja sama dengan Peradi yang dampingi proses hukum terhadap para terdakwa [perkara yang terkait unjukrasa] anti rasisme,” kata Ketua I MRP, Jimmy Mabel di Jayapura, Selasa.

Mabel menyatakan pendampingan hukum dari Tim Advokat untuk OAP membuat pihaknya optimis dengan proses hukum yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Jayapura. Apalagi, pada Selasa Tim Advokat untuk OAP telah mengeluarkan 17 terdakwa dari tahanan, karena masa penahanan mereka telah habis.

Mabel melanjutkan, MRP tidak hanya berjuang untuk 17 terdakwa yang telah keluar dari tahanan karena masa penahanan mereka telah habis. MRP juga berjuang untuk memastikan para terdakwa/tahanan yang tengah ditahan atau diadili di Jayapura, Wamena, Nabire, Timika, Kalimantan dan Jakarta mendapatkan pembelaan hukum yang layak.

Meski 17 terdakwa itu tidak ditahan lagi, Ketua Tim Advokat untuk OAP Sugeng Teguh Santoso mengingatkan proses hukum terhadap 17 terdakwa itu belum selesai. “Adik-adik keluar dari sini tetapi ingat masih ada  proses hukum di pengadilan,” kata Sugeng saat menjemput 17 kliennya yang dikeluarkan dari tahanan pada Selasa.

Sugeng meminta 17 kliennya untuk tetap mengikuti proses hukum yang masih berjalan, untuk memastikan tidak akan ada masalah baru. “Setekah keluar dari sini, besok harus hadir [sidang],” kata Sugeng kepada kliennya.

Anggota Kelompok Kerja Agama MRP, Nikolaus Degey mengatakan kepulangan 17 terdakwa yang sebelumnya ditahan itu menunjukkan pengadilan telah menggunakan kapasitasnya sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan. “Pengadilan itu penegak kebenaran,” kata Degey.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Tugas dan wewenang MRP yang masih saja dikebiri (1/2)

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib – Jubi/Agus Pabika.

 

Jayapura, Jubi – Sepanjang 2019, sejumlah peristiwa besar telah terjadi di Tanah Papua maupun di luar Tanah Papua, beberapa di antaranya akan selamanya mengubah perjalanan sejarah Papua pada masa mendatang. Ada begitu banyak kerja Majelis Rakyat Papua menyikapi berbagai peristiwa itu, khususnya dalam menjalankan tugas serta wewenangnya untuk memberikan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Catatan ini menjadi bagian pertama dari dua tulisan berjudul “Tugas dan wewenang MRP yang masih saja dikebiri”. 

Menyelamatkan manusia Papua, menyelamatkan Tanah Papua

Tidak terasa, Majelis Rakyat Papua atau MRP telah menutup program kerja tahun 2019. Sebagai jurnalis Jubi, saya meliput aktivitas MRP sejak pertengahan 2019, dalam rangka kerja sama pemberitaan antara MRP dan Jubi.

Sejak itu, saya telah menjumpai 50 dari 51 anggota MRP. Ada yang saya jumpai dalam persapaan yang berlanjut dengan diskusi. Ada lagi yang saya jumpai hanya dengan berpapasan dan berlalu. Ada juga yang hanya saya lihat saat duduk di ruang sidang atau pertemuan internal.

Dari diskusi dengan sejumlah anggota MRP, saya mendengar dan melihat bahwa MRP tidak tinggal diam. Anggota yang terdiri dari perwakilan adat, agama dan perempuan begitu beragam pembawaannya. Ada yang berbicara lembut, normal, namun ada pula yang berbicara keras dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) mengamanahkan MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua. UU Otsus Papua memberikan wewenang bagi MRP untuk memberikan perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

Pasal 19 hingga Pasal 25 UU Otsus Papua mengatur lebih lanjut keberadaan MRP. Pasal 20 Ayat (1) mengatur enam dalam rangka melindungi hak-hak hidup dan hak milik orang asli Papua.

Pertama, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon dan wakil gubernur yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR Papua). Kedua, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah provinsi Papua yang diusulkan DPR Papua.

Ketiga, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah khusus (Perdasus) yang diajukan DPR Papua bersama Gubernur. Keempat, memberikan saran, pertimbangan, dan persetujuan terhadap rancangan perjanjian kerja sama yang dibuat oleh pemerintah maupun Pemerintah Provinsi Papua dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Kelima, memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pegaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan, dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. Keenam, memberikan pertimbangan kepada DPR Papua, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/kota, serta bupati/walikota mengenai hal yang terkait perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Pasal 21 dan 22 UU Otsus Papua mengatur tentang hak-hak MRP dan anggota MRP. Pasal 23 mengatur tentang kewajiban MRP. Sedangkan Pasal 24 dan 25 mengatur tentang pemilihan dan penetapan anggota MRP terpilih.

MRP berusaha melaksanakan tugas dan kewenangan itu melalui tiga kelompok kerja (pokja), yaitu Pokja Adat, Agama, dan Perempuan. MRP juga dapat membentuk panitia khusus (Pansus) yang bersifat temporer sesuai dengan pokok masalah. Sepanjang pengalaman saya meliput, saya mengetahui  MRP memiliki Pansus Pokok-pokok Pikiran, Pansus Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Pansus Kependudukan, Pansus Afirmasi. Ada kemungkinan MRP memiliki pansus lain yang tidak saya ketahui.

Dalam peliputan dan kerja jurnalistik saya, saya banyak berdiskusi dengan Ketua MRP Timotius Murib, Ketua Pokja Adat Demas Tokoro, Ketua Pansus Afirmasi Edison Tanati, Ketua Pansus Kependudukan Markus Kajoi, Ketua Pansus Hukum dan HAM Aman Jikwa. Saya berdiskusi tentang apa yang menjadi perhatian MRP secara kelembagaan.

Ketua MRP Timotius Murib menyatakan MRP periode ketiga itu memilih tema kerja “penyelamatan manusia dan tanah Papua”. Murib menyebut perlindungan tanah menjadi penting karena itu kehidupan orang Papua sangat bertumpu kepada tanah ulayatnya.

Segala macam yang ada di dalam tanah dan tumbuh di atas tanah menjadi sumber penghidupan dan kesejahteraan orang asli Papua. “Karena itu kami serukan [kepada] orang asli Papua [untuk] tidak menjual tanah,” kata Murib.

Pokja Adat menjadi salah satu pemeran kunci dalam menjalankan program kerja turunan tema “penyelamatan manusia dan tanah Papua”. Ketua Pokja Adat, Ondofolo Demas Tokoro mengatakan Pokja Adat adakan secara rutin menggelar rapat dengar pendapat dengan masyarakat adat, sesuai dengan pengaduan yang diterima MRP. “Ada banyak pengaduan masyarakat tentang tanah dan hutan,” kata Tokoro yang juga Ketua Dewan Adat Suku Sentani itu.

Menurut Tokoro, MRP berupaya memfasilitasi pertemuan dengan para pemangku kepentingan dalam masalah yang diadukan masyarakat adat kepada MRP, dan membangun proses penyelesaian. Sepanjang 2019, MRP berhasil memfasilitasi proses penyelesaian tiga sengketa tanah yang diadukan masyarakat adat.

Pada pertengahan November 2019, MRP menetapkan keputusan lembaga itu atas hasil penelusuran kepemilikan tiga persil tanah yang disengketakan oleh masyarakat adat di Papua. Para pihak yang saat ini menggunakan ketiga persis tanah itu harus membayar ganti rugi kepada masing-masing pemilik hak ulayat ketiga persil tanah itu. Hal itu disampaikan Tokoro pada 19 November 2019 lalu. “MRP sudah menetapkan keputusan [tentang hasil penelusuran kepemilikan] tiga bidang tanah,”kata Tokoro.

Ketiga persil tanah yang diadukan masyarakat adat kepada MRP itu berada di lokasi yang berbeda-beda. Ketiga persil tanah itu adalah sebidang tanah di Kabupaten Yapen yang saat ini digunakan PT Pertamina Persero (seluas 5 hektar), sebidang tanah di Padang Bulan, Kota Jayapura yang saat ini digunakan Balai Kesehatan Provinsi Papua (seluas 12 hektar), dan sebidang tanah seluas 13 hektar di Kampwolker, Kota Jayapura yang dibeli oleh PT Skylane Kurnia.

Tokoro menyatakan sebidang tanah di Kabupaten Yapen diperkarakan keluarga Tanawani di MRP, karena selama 40 tahun dipakai PT Pertamina Persero. eluarga Tanawani menyatakan belum pernah melepaskan hak ulayatnya atas bidang tanah itu, dan tidak tidak pernah menerima ganti rugi.

Hal yang sama juga terjadi terhadap bidang tanah di Padang Bulan, yang selama 18 tahun digunakan Balai Kesehatan Provinsi Papua. Hal penelusuran MRP menyimpulkan tanah itu merupakan tanah ulayat yang secara kolektif dimiliki masyarakat adat Kampung Ayapo. Masyarakat adat Kampung Ayapo belum perah melepaskan hak ulayat mereka, dan tidak pernah menerima ganti rugi atas tanah seluas 12 hektar itu.

Tokoro menyebut, dalam kasus sengketa tanah seluas 13 hektar di Kampwolker, MRP menemukan adanya pelepasan tanah adat yang tidak sah saat tanah itu dibeli PT Skylane Kurnia. MRP menyimpulkan pelepasan tanah bukan dibuat oleh pemilik tanah itu, meskipun orang itu berasal dari marga yang sama dengan marga pemilik tanah.

Dengan keputusan MRP itu, Tokoro menyebut para pihak yang saat ini menggunakan tiga persil tanah itu harus membayar ganti rugi kepada para pemilik hak ulayat tanah tersebut. “Konsekuensi keputusan itu, suka tidak suka, perusahaan bayar kepada masyarakat adat. Kalau tidak [membayar, berarti] tanah [harus] kembali kepada masyarakat adat,” tegas Tokoro soal keputusan MRP yang menembus kebuntuan sengketa tanah ulayat di Papua itu. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Majelis Rakyat Papua: Pendatang Melebihi Jumlah Penduduk Asli

Penumpang kapal Pelni di pelabuhan Jayapura – Jubi

Tempo.co – Ketua Pokja Adat Majelis Rakyat Papua Demas Tokoro mengatakan banyaknya pendatang saat ini sudah melebihi jumlah penduduk asli Papua. Akibatnya, peluang kerja bagi masyarakat asli Papua pun berkurang karena tidak diharapkan. Dalam pertemuan dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Demas bersama para anggota MRP menyampaikan sejumlah aspirasi. Di antaranya, menekankan pentingnya kebijakan pembangunan dengan pendekatan budaya dan kemanusiaan di tanah Papua.

“Kami mengusulkan kebijakan yang memperluas secara pasti kewenangan khusus untuk melindungi dan memberdayakan orang asli Papua,” kata Demas seusai bertemu Ma’ruf di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Kamis, 28 November 2019.

MRP menyampaikan usul agar ada pengendalian jumlah pendatang ke wilayah Papua karena orang asli Papua semakin minoritas. “Oleh karena itu kalau boleh ada pengendalian penduduk pendatang di Papua,” kata Demas.

MRP juga meminta adanya peningkatan derajat dan kualitas hidup orang asli Papua melalui pembangunan sektor ekonomi, sosial, dan budaya. Usulan berikutnya, pembentukan daerah otonom baru atau pemekaran wilayah lewat persetujuan MRP, Majelis Rakyat Papua Barat, DPR Papua, dan DPR Papua Barat.

Mengenai ketenagakerjaan, Demas meminta kebijakan afirmasi yang memberikan ruang memadai bagi orang asli Papua dalam mendapatkan pekerjaan, baik di sektor publik maupun sektor swasta, dan termasuk rekrutmen TNI-Polri.

Di sektor strategis, Majelis Rakyat Papua menilai perlu kebijakan afirmasi yang konsisten bagi orang asli Papua dalam sektor pendidikan, kesehatan dan gizi, ekonomi, serta infrastruktur dasar. Sedangkan mengenai hak asasi manusia, Demas mendorong adanya pembentukan lembaga HAM, seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, pengadilan HAM, dan Perwakilan Komisi HAM di Papua.

Demas juga meminta orang asli Papua dan masyarakat adat sebagai pemangku hak diperhatikan untuk memperoleh manfaat atas kekayaan sumber daya alam di tanah Papua. (*)

 

Sumber : tempo.co

 

Read More