Categories Berita

Tugas dan wewenang MRP yang masih saja dikebiri (1/2)

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib – Jubi/Agus Pabika.

 

Jayapura, Jubi – Sepanjang 2019, sejumlah peristiwa besar telah terjadi di Tanah Papua maupun di luar Tanah Papua, beberapa di antaranya akan selamanya mengubah perjalanan sejarah Papua pada masa mendatang. Ada begitu banyak kerja Majelis Rakyat Papua menyikapi berbagai peristiwa itu, khususnya dalam menjalankan tugas serta wewenangnya untuk memberikan perlindungan hak-hak orang asli Papua. Catatan ini menjadi bagian pertama dari dua tulisan berjudul “Tugas dan wewenang MRP yang masih saja dikebiri”. 

Menyelamatkan manusia Papua, menyelamatkan Tanah Papua

Tidak terasa, Majelis Rakyat Papua atau MRP telah menutup program kerja tahun 2019. Sebagai jurnalis Jubi, saya meliput aktivitas MRP sejak pertengahan 2019, dalam rangka kerja sama pemberitaan antara MRP dan Jubi.

Sejak itu, saya telah menjumpai 50 dari 51 anggota MRP. Ada yang saya jumpai dalam persapaan yang berlanjut dengan diskusi. Ada lagi yang saya jumpai hanya dengan berpapasan dan berlalu. Ada juga yang hanya saya lihat saat duduk di ruang sidang atau pertemuan internal.

Dari diskusi dengan sejumlah anggota MRP, saya mendengar dan melihat bahwa MRP tidak tinggal diam. Anggota yang terdiri dari perwakilan adat, agama dan perempuan begitu beragam pembawaannya. Ada yang berbicara lembut, normal, namun ada pula yang berbicara keras dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) mengamanahkan MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua. UU Otsus Papua memberikan wewenang bagi MRP untuk memberikan perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

Pasal 19 hingga Pasal 25 UU Otsus Papua mengatur lebih lanjut keberadaan MRP. Pasal 20 Ayat (1) mengatur enam dalam rangka melindungi hak-hak hidup dan hak milik orang asli Papua.

Pertama, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon dan wakil gubernur yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR Papua). Kedua, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia utusan daerah provinsi Papua yang diusulkan DPR Papua.

Ketiga, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah khusus (Perdasus) yang diajukan DPR Papua bersama Gubernur. Keempat, memberikan saran, pertimbangan, dan persetujuan terhadap rancangan perjanjian kerja sama yang dibuat oleh pemerintah maupun Pemerintah Provinsi Papua dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Kelima, memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pegaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan, dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. Keenam, memberikan pertimbangan kepada DPR Papua, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/kota, serta bupati/walikota mengenai hal yang terkait perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Pasal 21 dan 22 UU Otsus Papua mengatur tentang hak-hak MRP dan anggota MRP. Pasal 23 mengatur tentang kewajiban MRP. Sedangkan Pasal 24 dan 25 mengatur tentang pemilihan dan penetapan anggota MRP terpilih.

MRP berusaha melaksanakan tugas dan kewenangan itu melalui tiga kelompok kerja (pokja), yaitu Pokja Adat, Agama, dan Perempuan. MRP juga dapat membentuk panitia khusus (Pansus) yang bersifat temporer sesuai dengan pokok masalah. Sepanjang pengalaman saya meliput, saya mengetahui  MRP memiliki Pansus Pokok-pokok Pikiran, Pansus Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Pansus Kependudukan, Pansus Afirmasi. Ada kemungkinan MRP memiliki pansus lain yang tidak saya ketahui.

Dalam peliputan dan kerja jurnalistik saya, saya banyak berdiskusi dengan Ketua MRP Timotius Murib, Ketua Pokja Adat Demas Tokoro, Ketua Pansus Afirmasi Edison Tanati, Ketua Pansus Kependudukan Markus Kajoi, Ketua Pansus Hukum dan HAM Aman Jikwa. Saya berdiskusi tentang apa yang menjadi perhatian MRP secara kelembagaan.

Ketua MRP Timotius Murib menyatakan MRP periode ketiga itu memilih tema kerja “penyelamatan manusia dan tanah Papua”. Murib menyebut perlindungan tanah menjadi penting karena itu kehidupan orang Papua sangat bertumpu kepada tanah ulayatnya.

Segala macam yang ada di dalam tanah dan tumbuh di atas tanah menjadi sumber penghidupan dan kesejahteraan orang asli Papua. “Karena itu kami serukan [kepada] orang asli Papua [untuk] tidak menjual tanah,” kata Murib.

Pokja Adat menjadi salah satu pemeran kunci dalam menjalankan program kerja turunan tema “penyelamatan manusia dan tanah Papua”. Ketua Pokja Adat, Ondofolo Demas Tokoro mengatakan Pokja Adat adakan secara rutin menggelar rapat dengar pendapat dengan masyarakat adat, sesuai dengan pengaduan yang diterima MRP. “Ada banyak pengaduan masyarakat tentang tanah dan hutan,” kata Tokoro yang juga Ketua Dewan Adat Suku Sentani itu.

Menurut Tokoro, MRP berupaya memfasilitasi pertemuan dengan para pemangku kepentingan dalam masalah yang diadukan masyarakat adat kepada MRP, dan membangun proses penyelesaian. Sepanjang 2019, MRP berhasil memfasilitasi proses penyelesaian tiga sengketa tanah yang diadukan masyarakat adat.

Pada pertengahan November 2019, MRP menetapkan keputusan lembaga itu atas hasil penelusuran kepemilikan tiga persil tanah yang disengketakan oleh masyarakat adat di Papua. Para pihak yang saat ini menggunakan ketiga persis tanah itu harus membayar ganti rugi kepada masing-masing pemilik hak ulayat ketiga persil tanah itu. Hal itu disampaikan Tokoro pada 19 November 2019 lalu. “MRP sudah menetapkan keputusan [tentang hasil penelusuran kepemilikan] tiga bidang tanah,”kata Tokoro.

Ketiga persil tanah yang diadukan masyarakat adat kepada MRP itu berada di lokasi yang berbeda-beda. Ketiga persil tanah itu adalah sebidang tanah di Kabupaten Yapen yang saat ini digunakan PT Pertamina Persero (seluas 5 hektar), sebidang tanah di Padang Bulan, Kota Jayapura yang saat ini digunakan Balai Kesehatan Provinsi Papua (seluas 12 hektar), dan sebidang tanah seluas 13 hektar di Kampwolker, Kota Jayapura yang dibeli oleh PT Skylane Kurnia.

Tokoro menyatakan sebidang tanah di Kabupaten Yapen diperkarakan keluarga Tanawani di MRP, karena selama 40 tahun dipakai PT Pertamina Persero. eluarga Tanawani menyatakan belum pernah melepaskan hak ulayatnya atas bidang tanah itu, dan tidak tidak pernah menerima ganti rugi.

Hal yang sama juga terjadi terhadap bidang tanah di Padang Bulan, yang selama 18 tahun digunakan Balai Kesehatan Provinsi Papua. Hal penelusuran MRP menyimpulkan tanah itu merupakan tanah ulayat yang secara kolektif dimiliki masyarakat adat Kampung Ayapo. Masyarakat adat Kampung Ayapo belum perah melepaskan hak ulayat mereka, dan tidak pernah menerima ganti rugi atas tanah seluas 12 hektar itu.

Tokoro menyebut, dalam kasus sengketa tanah seluas 13 hektar di Kampwolker, MRP menemukan adanya pelepasan tanah adat yang tidak sah saat tanah itu dibeli PT Skylane Kurnia. MRP menyimpulkan pelepasan tanah bukan dibuat oleh pemilik tanah itu, meskipun orang itu berasal dari marga yang sama dengan marga pemilik tanah.

Dengan keputusan MRP itu, Tokoro menyebut para pihak yang saat ini menggunakan tiga persil tanah itu harus membayar ganti rugi kepada para pemilik hak ulayat tanah tersebut. “Konsekuensi keputusan itu, suka tidak suka, perusahaan bayar kepada masyarakat adat. Kalau tidak [membayar, berarti] tanah [harus] kembali kepada masyarakat adat,” tegas Tokoro soal keputusan MRP yang menembus kebuntuan sengketa tanah ulayat di Papua itu. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *