Categories Berita

Pemkot Jayapura diminta hentikan seluruh perdagangan minuman beralkohol

Rapat Dengan Pendapat Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua atau Pokja Agama MRP bersama Pemerintah Kota Jayapura dan Pemerintah Kabupaten Keerom di Aula Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, pada Kamis (20/2/2020) membahas peredaran minuman beralkohol dan narkoba. – Jubi/Benny Mawel

Jayapura, MRP – Pemerintah Kota Jayapura diminta menghentikan perdagangan minuman beralkohol di seluruh wilayahnya, dan ikut mencegah peredaran narkotika. Permintaan itu disampaikan para peserta Rapat Dengan Pendapat Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua atau Pokja Agama MRP bersama Pemerintah Kota Jayapura dan Pemerintah Kabupaten Keerom pada Kamis (20/2/2020).

Ketua Pokja Agama MRP, Yoel Mulait menyatakan para tokoh agama, tokoh perempuan, warga, pemuda, maupun mahasiswa yang mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) itu meminta Pemeritah Kota Jayapura menghentikan seluruh perdagangan minuman beralkohol di wilayahnya. “Masyarakat menghendaki [perdagangan] minuman keras ditutup saja,” ujar Mulait sesuai RDP itu.

Menurutnya, RDP itu juga meminta Pemerintah Kota Jayapura aktif mencegah peredaran narkotika di Jayapura. Mulait menyatakan pihaknya akan menyampaikan aspirasi masyarakat itu kepada Wali Kota Jayapura, Benhur Tomi Mano, agar Pemerintah Kota Jayapura bisa merumuskan solusinya. “Minuman keras dan narkoba ini masalah kronis, kita tidak bisa membiarkannya [beredar],” kata Mulait.

Menurutnya, RDP itu juga menerima informasi keberadaan ladang ganja di Kabupaten Keerom. Mulait menyatakan keberadaan ladang ganja di Keerom itu menunjukkan situasi peredaran narkotika di Papua berbahaya.

Salah satu tokoh perempuan yang menghadiri RDP itu, Agustina Apaseray menyatakan perempuan kerap menjadi korban dalam berbagai kasus kekerasan yang dipicu konsumsi minuman beralkohol. Ia menyatakan lelaki yang kecanduan minuman beralkohol kerap melakukan kekerasan terhadap perempuan, bahkan juga melakukan kekerasan terhadap perempuan hamil.

Apaseray menyatakan setiap kepala daerah di Papua seharusnya dampak konsumsi minuman beralkohol itu, dan menghentikan seluruh perdagangan minuman beralkohol di Papua. Ia meminta pemerintah daerah di Papua berhenti menggunakan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai alasan untuk melanjutkan perdagangan minuman beralkohol.

“[Lelaki yang mabuk karena minuman beralkohol] pukul tidak pakai aturan.  Siapapun perempuan Papua merasakan itu. Kalau bisa ditiadakan mengapa tidak. Kalau [soal] Pendapat Asli Daerah, bisa ada dari sumber lain. Sumber yang bunuh manusia itu, [seperti perdagangan minuman beralkohol], ditiadakan saja, karena menjadi sumber penderitaan bagi perempuan,”ujarnya.

Tokoh muslim Papua, Ismail Asso menyatakan perdagangan minuman beralkohol tidak membawa keuntungan bagi siapapun di Papua. Ia meminta Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2014 dijalankan dengan konsisten. “Minuman keras ini pembunuh terbesar anak Papua.Gubernur sudah buat aturannya, sekarang, penegakannya bagaimana?” ujar Asso mempertanyakan.

Asso juga mendesak pemerintah daerah berhenti menggunakan alasan potensi PAD untuk melegalkan perdagangan minuman beralkohol. “Yang mendapat untung itu hanya beberapa orang, tidak semua orang,”ungkapnya.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP apresiasi komitmen Pemkab Jayapura atasi Miras

MRP melalui Pokja Agama, Pemkab Jayapura, tokoh agama, Mahasiswa, pelajar dan pemangku kepentingan saat mengikuti rapat dengar pendapat tentang pencegahan dan pengawasan peredaran Narkoba dan Miras di kabupaten Jayapura -Humas MRP

Jayapura, MRP – Majelis Rakyat Papua mengapresiasi pemerintah Kabupaten Jayapura yang mulai menunjukkan komitmen mengkampanyekan bahaya minuman beralkohol dan pemberantasannya.

Pertanyaan itu disampaikan Yoel Mulait, ketua Pokja Agama MRP dalam sambutan pembukaan rapat dengar pendapat dengan pemerintah kabupaten Jayapura, tokoh agama, adat, masyarakat dan gereja pada, Jumat (21/02/2020) pagi di Hotel Suni Grand Lake di Sentani, kabupaten Jayapura, Papua.

“Setuju atau tidak, Miras itu pembunuh terbesar orang Papua. Karena itu, kita apresiasi untuk pemerintah kabupaten Jayapura,”ujar Yoel Mulait, ketua Pokja Agama mengajak peserta RDP di kabupaten Jayapura.

Kata dia, pihaknya sangat berharap pemerintah kabupaten Jayapura terus melanjutkan komitmen yang baik itu. Karena Komitmen itu yang bisa menyelamatkan manusia Papua.

“Kita lanjutkan pesan saja, sampai minuman keras dan narkoba stop,”ungkap Mulait di sambutan pembukaan rapat dengar pendapat.

Kata dia, komitmen itu tidak akan hanya menyelamatkan masyarakat kabupaten Jayapura juga tetapi juga sejumlah kabupaten di pedalaman Papua.

“Pintu masuk Miras dan Narkoba ke kabupaten di gunung itu ada di Jayapura, di Sentani,”ungkapnya.

Rusman Kadir, kepala Kesatuan Bangsa dan Politik, Kabupaten Jayapura menyatakakan Pemkab setempat berkomitmen memberantas narkoba dan minuman beralkohol.”Pemerintah Jayapura mencanangkan sejumlah komitmen menjelang PON, salah satu pemberantasan Narkoba dan Miras,”ungkapnya.

Kata dia, pemerintah berharap komitmen itu tidak hanya demi kepentingan sukseskan PON . Tetapi juga berlaku setelah itu.”Karena miras itu mesin merusak orang melakukan hal-hal yang baik demi masa depan,”ungkapnya. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

DPRP-MRP didesak minta Jokowi bentuk Pengadilan HAM di Papua

Rakyat Papua terus menagih janji pemerintah pusat selesaikan pelanggaran HAM besar di Paniai 2014 silam – Doc

Jayapura, MRP – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy memberi apresiasi dan penghormatan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah menetapkan peristiwa Lapangan Karel Gobay, Enarotali-Kabupaten Paniai, Provinsi Papua 7-8 Desember 2014 sebagai Pelanggaran HAM yang Berat.

Hal ini sesuai amanat Pasal 7 huruf b dab Pasal 9 UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Meskipun harus menunggu sekitar 5 tahun.

Akan tetapi paling tidak rasa keadilan dan kesempatan bagi keluarga korban untuk memperoleh kepastian hukum sedikit terbuka di Negara Hukum ini.

“Oleh sebab itu, sesuai amanat Pasal 45 UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, saya mendesak DPR Papua dan MRP Papua serta DPT Papua Barat dan MRP Papua Barat untuk mengajukan permintaan resmi kepada Presiden Republik Indonesia agar segera mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan HAM di Jayapura-Provinsi Papua,” ujarnya lewat rilis kepada Jubi, 17 Februari 2020.

Menurutnya, berdirinya Pengadilan HAM di Jayapura-Papua nantinya diharapkan dapat segera mendesak dibawanya perkara-perkara berkategori Pelanggaran HAM Berat lainnya. Misalkan kasus Wasior 2001, Wamena 2003 dan Enarotali-Paniai 2014 guna diadili sesuai mekanisme hukum yang berlaku.

Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menetapkan kasus Paniai pada 7-8 Desember 2014 sebagai pelanggaran HAM berat. Militer dan kepolisian diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab.

“Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7 – 8 desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggran berat HAM,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulis, Sabtu, 15 Februari 2020, sebagaimana dikutip Tempo.co.

Peristiwa Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014. Kala itu terjadi peristiwa kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal akibat luka tembak dan luka tusuk sedangkan 21 orang lain mengalami luka penganiayaan. Peristiwa ini tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut.

Keputusan paripurna khusus tersebut berdasarkan hasil penyelidikan oleh TIM Ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai yang bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tim bekerja selama lima tahun, dari Tahun 2015 hingga 2020.

“Peristiwa Paniai tanggal 7-8 Desember 2014 memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan, dengan element of crimes adanya tindakan pembunuhan dan tindakan penganiayaan. Sistematis atau meluas dan ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama terpenuhi,” kata Ketua Tim ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai M. Choirul Anam.

Atas peristiwa tersebut, Komnas HAM menyebut Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab. Tim Penyelidik juga menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Kepolisian, namun bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat.

“Oleh karenanya, direkomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait perbantuan TNI-Polri,” kata Choirul.

Tim yang dipimpin Choirul telah melakukan kerja penyelidikan dengan melakukan pemeriksaan para saksi sebanyak 26 orang, meninjau dan memeriksa TKP di Enarotali Kabupaten Paniai, pemeriksaan berbagai dokumen, diskusi ahli dan berbagai informasi yang menunjang pengungkapan peristiwa pada tanggal 7-8 Desember 2014 tersebut. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More