Categories Berita

DPRP-MRP didesak minta Jokowi bentuk Pengadilan HAM di Papua

Rakyat Papua terus menagih janji pemerintah pusat selesaikan pelanggaran HAM besar di Paniai 2014 silam – Doc

Jayapura, MRP – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy memberi apresiasi dan penghormatan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah menetapkan peristiwa Lapangan Karel Gobay, Enarotali-Kabupaten Paniai, Provinsi Papua 7-8 Desember 2014 sebagai Pelanggaran HAM yang Berat.

Hal ini sesuai amanat Pasal 7 huruf b dab Pasal 9 UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Meskipun harus menunggu sekitar 5 tahun.

Akan tetapi paling tidak rasa keadilan dan kesempatan bagi keluarga korban untuk memperoleh kepastian hukum sedikit terbuka di Negara Hukum ini.

“Oleh sebab itu, sesuai amanat Pasal 45 UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, saya mendesak DPR Papua dan MRP Papua serta DPT Papua Barat dan MRP Papua Barat untuk mengajukan permintaan resmi kepada Presiden Republik Indonesia agar segera mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan HAM di Jayapura-Provinsi Papua,” ujarnya lewat rilis kepada Jubi, 17 Februari 2020.

Menurutnya, berdirinya Pengadilan HAM di Jayapura-Papua nantinya diharapkan dapat segera mendesak dibawanya perkara-perkara berkategori Pelanggaran HAM Berat lainnya. Misalkan kasus Wasior 2001, Wamena 2003 dan Enarotali-Paniai 2014 guna diadili sesuai mekanisme hukum yang berlaku.

Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menetapkan kasus Paniai pada 7-8 Desember 2014 sebagai pelanggaran HAM berat. Militer dan kepolisian diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab.

“Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7 – 8 desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggran berat HAM,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulis, Sabtu, 15 Februari 2020, sebagaimana dikutip Tempo.co.

Peristiwa Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014. Kala itu terjadi peristiwa kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal akibat luka tembak dan luka tusuk sedangkan 21 orang lain mengalami luka penganiayaan. Peristiwa ini tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut.

Keputusan paripurna khusus tersebut berdasarkan hasil penyelidikan oleh TIM Ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai yang bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tim bekerja selama lima tahun, dari Tahun 2015 hingga 2020.

“Peristiwa Paniai tanggal 7-8 Desember 2014 memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan, dengan element of crimes adanya tindakan pembunuhan dan tindakan penganiayaan. Sistematis atau meluas dan ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama terpenuhi,” kata Ketua Tim ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai M. Choirul Anam.

Atas peristiwa tersebut, Komnas HAM menyebut Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab. Tim Penyelidik juga menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Kepolisian, namun bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat.

“Oleh karenanya, direkomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait perbantuan TNI-Polri,” kata Choirul.

Tim yang dipimpin Choirul telah melakukan kerja penyelidikan dengan melakukan pemeriksaan para saksi sebanyak 26 orang, meninjau dan memeriksa TKP di Enarotali Kabupaten Paniai, pemeriksaan berbagai dokumen, diskusi ahli dan berbagai informasi yang menunjang pengungkapan peristiwa pada tanggal 7-8 Desember 2014 tersebut. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id