Categories BeritaPokja Agama MRP

Pokja Agama Katolik MRP Lakukan Jaring Aspirasi di Dekanat Keerom

KEEROM, MRP – Jaring Aspirasi Majelis Rakyat Papua (MRP) Pokja Agama Katolik, Olyfa Begindo di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Dekanat Keerom menjadi kunjungan tahap pertama—tiga bulan sekali.

Kegiatan berlangsung pada, Jumat, (3/05-2024) yang bertemakan, Umat Katolik Dekanat Keerom Keuskupan Jayapura-Provinsi Papua.

Diskusi dimoderatori oleh Pastor Hilarius Pekey, Pr. Dan di hadiri beberapa pastor paroki dan umat Katolik.

“Saya memilih Keerom. Sebab basis Katolik terbanyak dari segi jumlah umat. Dasar itu yang membuat saya memulai dari sini. Untuk mendengar pemikiran beberapa pastor dan umat yang hadir,” menurut Olyfa.

Selain itu, menurut Olyfa, orang muda Katolik yang juga memberikan sejumlah aspirasi terhadap Pokja Agama tentunya diharapkan anak-anak muda ini yang akan melakukan perubahan di berbagai sektor pembangunan dan komunitas basis gereja di masadepan.

“Dan selanjutnya masukan-masukan ini akan menjadi bahan dalam kerja-kerja di lembaga MRP.

Olyfa menjelaskan, dari diskusi ini, beberapa hal yang berkaitan dengan kerja-kerja Pokja Agama. Bukan hanya kali ini saja pihaknya berkunjung. Namun, di waktu lain, Olyfa mengaku, secara lembaga atau pribadi pihaknya akan menindaklanjuti dalam bentuk lain. Disesuaikan dengan waktu yang tepat.

Dengan demikian Olyfa berharap agar kerja-kerja nyata di tengah umat ke depannya,

“Kena konteks. Bukan kena kosong,” mengulang kata almarhum Pastor Neles Tebay, Pr.

Kepada media ini disinggung soal kunjungan di beberapa daerah lainnya di Provinsi Papua. Pastinya dari Tabi ke Sairesi dan lainnya.

Usai kegiatan Olyfa mengakui, kalaupun hari ini belum banyak umat yang terlibat. Harapannya, pada pertemuan berikut partisipasi umat lebih.

“Supaya, saya bisa mengetahui beragam pemikiran kritis dari umat.  Yang nantinya dibahas dalam internal MRP. Dan kemudian berpotensi jadi program MRP yang kena konteks,” kesan Olyfa.

Jaring Aspirasi Majelis Rakyat Papua (MRP) Pokja Agama Katolik, Olyfa Begindo di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua bersama para pastor dan umat katolik - Alfonsa/dok MRP
Jaring Aspirasi Majelis Rakyat Papua (MRP) Pokja Agama Katolik, Olyfa Begindo di Kabupaten Keerom, Provinsi Papua bersama para pastor dan umat katolik – Alfonsa/dok MRP 

Di tengah sesi diskusi penjaringan aspirasi mendapat tanggapan dari Pastor Kris Bidi, SVD yang menurutnya jaring aspirasi hari ini kita bicara lebih dalam apa yang menjadi pergumulan kita.

“Saya amati kuota untuk di MRP. Terutama Katolik disamakan dengan denominasi. Kita (Katolik) bukan denominasi. Kita ini lembaga agama. Perlu ketegasan dari Keuskupan,” tegas Pastor Kris.

Kata Pastor Kris, terkait MRP yang menurutnya, membicarakan soal praktis yang kelihatan tertulis saja. Memang harus tertulis dibuat. Tetapi, hasilnya juga mesti bisa dilihat oleh masyarakat orang asli Papua.

Untuk itu, kata Pastor Kris, Pokja Agama tugas kedepan yang ada hubungannya dengan petugas gereja dan agama. Katolik di Keerom sebagai basisi, masyoritas. Tapi kenyataan hari ini, kita menjadi minoritas.

Sementara itu, Agustinus Kochu, ketua II Dewan Pengurus Paroki (DPP) Santo Williibroudus, Arso, mengatakan terkait pengusulan MRP belum lama ini, sempat terjadi kisruh. Ada beberapa porsi Katolik tidak sebanding dengan agama lain. Yang hari ini di Provinsi Papua, hanya satu kursi saja.

“Saya berharap ini menjadi catatan penting, Supaya, besok saat perekrutan MRP Pokja Agama Katolik. Juga bisa mendapatkan ruang yang baik. Di Keroom, Katolik setidaknya, dua atau tiga,” ujarnya.

Berkaca pada umat Katolik di Pegunungan Tengah dan Papua Selatan. Mereka menolak 1-2 kursi. Dan mesti sesuai jumlah umat.  Kenapa? Karena mereka mayoritas Katolik. Kepada Pokja Agama, Pokja Adat dan Pokja Perempuan perlu ada kerjasama untuk melihat ini kedepanya. (*)

Read More
Categories BeritaPokja Agama MRP

Anggota Pokja Agama MRP Jaring Aspirasi, Umat Soroti Hak Politik Dan Kondisi OAP

JAYAPURA, MRP – Anggota Pokja Agama Majelis Rakyat Papua atau MRP Provinsi Papua menggelar diskusi menampung aspirasi Orang Asli Papua dengan melibatkan salah satu organisasi gereja di Tanah Papua. Jaring aspirasi dilakukan untuk memberikan ruang kepada masyarakat menyampaikan isi hati dan keinginan yang menjadi hak dasarnya sebagai OAP.

“Kami pemuda menolak segala bentuk penghargaan adat kepada non Orang Asli Papua yang diangkat sebagai ‘anak adat’. Karena itu pelecehan budaya dan mengkhianati tatanan adat yang sakral,” ujar salah seorang pemuda peserta jaring aspirasi yang dilaksanakan di Aula Garetuan Parmenas Kogoya, Kantor Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua, Kota Jayapura, Papua pada Selasa (30/4/2024).

Nada suaranya meninggi saat menyampaikan pendapatnya itu di hadapan gembala dan pendeta, jemaat, tokoh pemuda, perempuan, yang hadir mewakili 10 gereja anggota wilayah Baptis Tabi. Dia juga meminta agar OAP tidak menjual tanahnya. “Jika boleh pakai sistem kontrol, jangan lepas tanah, ingat anak cucu mau hidup di mana kalau kita jual semua? Kita harus jadi tuan atas tanah kita sendiri,” tegasnya.

Isu selanjutnya yang disoroti adalah keprihatinan terhadap maraknya generasi muda yang mengonsumsi minuman beralkohol, narkoba dan ganja. MRP diminta mendorong pemerintah agar menutup toko yang menjual minuman beralkohol.

Sekretaris Jenderal BPP-PGBWP, Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua, Nilas Kogoya mengatakan aspirasi kepada MRP itu khususnya agar MRP melindungi dan mengutamakan hak-hak OAP di berbagai aspek, seperti politik, agama, pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial budaya, lingkungan alam, tanah, hutan dan sebagainya.

Sekjend BPP-PGWP mengimbau agar pada pilkada mendatang bupati dan wakil bupati, wakil walikota harus OAP. “Kita tidak mungkin menduduki jabatan seperti itu di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Manado dan kita bisa menjadi pemimpin hanya di Tanah Papua,” kata dia.

Dia berharap semua aspirasi yang sudah disampaikan ini dapat diteruskan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat supaya OAP yang ada di tanah Tabi-Saireri mendapat kesempatan perlindungan haknya sebagai OAP. “Mereka yang pemilik tanah dan negeri ini supaya menjadi tuan di atas tanah dan negeri ini. Aspirasi ini benar-benar harus diperjuangkan MRP, itu harapan kami,” kata Sekjen BPP-PGBWP.

Wakil Ketua Pokja Agama MRP Provinsi Papua Daud L Wenda mengatakan semua masukan dan aspirasi tersebut akan dibawa dan didiskusikan dengan pihak terkait.

Wenda meminta agar hak politik OAP ini dapat segera dikawal melalui MRP karena ancaman migrasi dari luar Papua sudah di depan mata. “Banyak non OAP yang datang ke Papua lalu menjadi ketua RT, RW, bupati, camat, DPR dan lain-lain. Secepat itu kah? Padahal sebentar naik kapal tiba di Papua [tak lama] sudah punya KTP, dapat jabatan. [Itu kan] perampasan hak-hak OAP. Karena kita mau jadi RT, RW, bupati di Jawa, Makassar, Sumatera itu tidak mungkin dapat,” kata Daud L Wenda.

Menurut anggota MRP provinsi itu pihaknya akan terus berjuang untuk hak-hak politik. Sehingga pada tahun 2029 itu harapannya adalah 100 persen OAP bisa jadi DPR, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota. Pihaknya akan berjuang mendorong peraturan daerah dan regulasi yang mengatur keberpihakan OAP untuk memberikan kesejahteraan.

Dari kegiatan jaring aspirasi itu telah banyak aspirasi dan masukan yang disampaikan. Ia berharap aspirasi yang ditampung itu dapat menjadi rujukan bagi MRP maupun pemerintah daerah bahkan pemerintah pusat. (*)

Read More
Categories BeritaPokja Agama MRP

Jaring Aspirasi di Kepulauan Yapen, MRP Ingatkan Masyarakat Dukung Celeg OAP di Pilgub dan Pilbup

SERUI, MRP –  Rabu 1 Mei 2024 bertempat di Gedung Gereja GKPMI Elsadai Serui Kota, Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Pokja Agama jaring aspirasi tentang penguatan peran kelembagaan Adat, Perempuan, Agama dalam rekrutmen kursi pengangkatan DPRP maupun DPRK tahun 2024 -2029 dan Pilkada serentak 2024.

Giat ini melibatkan konstituen Sinode GKPMI tapi juga tokoh agama, tokoh perempuan, tokoh pemuda maupun beberapa masyarakat adat.

Anggota MRP Provinsi Papua pokja Agama Izak R. Hikoyabi dalam giat dimaksud menuturkan kehadiran nya di kabupaten Kepulauan Yapen dalam rangka jaring aspirasi secara langsung dari masyarakat tentang penguatan peran kelembagaan adat, perempuan dan agama tapi juga terkait perekrutan DPRP dan DPRK, maupun pilkada serentak 2024.

“Kegiatan hari ini kita mau dengar aspirasi masyarakat termasuk apa yang sudah terjadi di Yapen tentang pemilu kemarin, bagaimana peran adat, tokoh perempuan, termasuk DPRK bagaimana serta beberapa hal penting lainnya termasuk hak politik orang asli Papua,” tandas Izak Hikoyabi wakil ketua pokja Agama MRP Provinsi Papua.

Dipilihnya kabupaten kepulauan Yapen sebagai tempat jaring aspirasi bukan tanpa alasan, karena dirinya utusan agama dari GKPMI (Gereja Kalvari Pentakosta Missi Di Indonesia) Provinsi Papua yang kini di percayakan duduk di lembaga Majelis Rakyat Papua.

“Berkaitan dengan kunjungan atau jaring aspirasi ini,karna memang nomen klatur baru yang harus di lakukan dan merupakan salah satu bagian tugas dari mrp guna memproteksi hak-hak dasar orang asli papua termasuk hak politik.,selain saya tapi juga rekan-rekan anggota MRP lainnya yang juga lakukan hal yang sama pada masing masing pokja dan saya memilih untuk ke Yapen bertemu dengan konstituen saya di sini,” kata Izak Hikoyabi.

Lewat Jaring aspirasi yang di laksanakan Majelis Rakyat Papua pokja agama di Yapen mendapat berbagai aspirasi masukan yang di sampaikan dari berbagai kalangan diantaranya mengenai keagamaan, seleksi DPRK dan DPRP maupun, pilkada serentak 2024 yang memprioritaskan bupati dan wakil bupati harus orang asli Papua, serta beberapa masukan penting lainnya yang nantinya di tindak lanjuti Majelis Rakyat Papua. (*)

Read More
Categories BeritaPokja Agama MRP

MRP Menolak Menteri Sosial Tri Rismaharini Diberi Marga Numberi

JAYAaPURA, MRP  – Sesuai keputusan kulutural Majelis Rakyat Papua (MRP) secara kelembagaan, MRP menolak pemberian nama, marga ataupun gelar adat kepada orang lain. Penolakan MRP juga berkaitan dengan dikukuhkannya Menteri Sosial Tri Rismaharini menggunakan nama marga Numberi.

Hal tersebut ditegaskan Markus Kajoi, sekretaris Pokja Agama MRP kepada suarapapua.com, beberapa waktu lalu.

Markus menegaskan, dalam konteks Papua, ada mekanisme pemberian nama gelar bagi setiap orang dan itu ada mekanisme adat yang harus ditempuh sehingga seseorang itu dapat mengunakan nama marga.

“Dalam konteks kejadian yang kemarin, pembersihan nama kepada salah satu Menteri dan juga ada yang lain (saya kurang tahu). Kalau dikaitkan dengan keputusan kulture Majelis Rakyat Papua jelas kami menolak semua pemberian nama gelar atau marga karena dilihat dari pemberian nama marga itu harus jelas, untuk apa sebenarnya? Karena didalam konteks adat itu ada tujuannya,” ujar Kajoi.

Ia menambahkan pemberian nama marga kepada seseorang paling tidak yang bersangkutan sudah memasuki prosesi-prosesi adat yang diwajibkan.

“Pemberian marga kemarin sudah melewati tahapan ini atau tidak? Karena di beberapa masyarakat Papua itu ada mekanisme seperti itu, karena menurut saya orang yang memikul nama marga itu memiliki kewajiban-kewajiban yang terikat dalam sistim masyarakat adat di Papua,” tegasnya.

Lanjutnya untuk membangun tali persaudaraan kemudian ada hal-hal yang sangat spesifik biasanya masyarakat adat itu berikan, dan pemberian tersebut tidak semudah itu.

“Jadi menurut saya kalau dikaitkan dengan keputusan kulture Majelis Rakyat Papua, tentunya ini bertolak belakang dan MRP secara kelembagaan sesuai keputusan tidak bisa menerima proses-proses seperti itu,” tegasnya.

Kajoi juga menyarankan akan baiknya masyarakat adat yang melakukan prosesi tersebut harusnya berembuk dulu dengan Pokja Adat Majelis Rakyat Papua.

“Pemberian marga inisiatif perorangan tidak bisa dibenarkan karena itu berkaitan dengan hak-hak adat secara komunal,” tegasnya.

Sebelumnya Majelis Rakyat Papua (MRP) mengelar rapat pleno pengesahan 12 penetapan keputusan MRP untuk melindungi masyarakat Papua di provinsi Papua, pada Selasa (12/72022), bertempat di ruang sidang.

Penetapan keputusan sidang plono tersebut disetujui oleh pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua untuk ditindaklanjuti oleh anggota MRP untuk disosialisasikan ke 5 wilayah adat masing- masing di provinsi Papua.

Salah satu keputusan MRP ialah No.2/MRP/2022 Larangan Pemberian Nama Atau Gelar Adat Kepada Orang Lain Di Luar Suku Pemangku Adat. (*)

Read More
Categories BeritaPokja Agama MRP

Partisipasi Perempuan Asli Papua Dalam Pemilu 2024 Harus Diperioritaskan

JAYAPURA, MRP – Pemenuhan hak politik perempuan asli Papua dalam pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2024 di tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) harus diberi ruang dan kesempatan untuk perempuan asli Papua juga bisa tampil mengisi kursi legislatif.

Hal tersebut disampaikan Helena Hubi, ketua Pokja Agama Majelis Rakyat Papua. Minggu, (5/1/2023).

Kata Helena, pemberian ruang kepada perempuan asli Papua dalam politik sudah diatur dalam 12 keputusan Majelis Rakyat Papua, dimana salah satu pointnya merujuk pada keputusan MRP nomor.7/MRP/2022 tentang pemenuhan hak politik perempuan asli Papua dalam pelaksanaan pemilihan umum legislatif.

“Perempuan Papua hari ini harus di perioritaskan terutama di daerah DOB, memberikan ruang yang sama untuk mereka (perempuan) maju karena perempuan juga ingin membangun daerahnya,” ujar mama Helena.

Majelis Rakyat Papua juga berharap kursi legislatif 30 persen untuk Perempuan harus diberikan sepenuhnya kepada perempuan asli Papua yang akan maju di daerah mereka masing-masing.

“Jangan sampai hak politik perempuan semua direbut oleh laki-laki, harus juga berikan ruang dan kesempatan ke perempuan, kita tidak tinggal di jaman dulu lagi,” ujarnya.

MRP juga berharap Pj Gubernur dari 4 Provinsi harus memikirkan perempuan Papua karena Partai politik baru dapat mengikuti Pemilu jika telah menerapkan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusannya di tingkat pusat. Penegasan tersebut diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.

“Representasi perempuan di legislatif akan memberikan keseimbangan dalam mewarnai perumusan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, penganggaran, dan pengawasan yang akan lebih berpihak pada kepentingan kesejahteraan perempuan dan anak,” ujarnya.(*)

 

Read More
Categories BeritaPokja Agama MRP

Masa Reses, MRP Sosialisasi 12 Surat Keputusan Kultural kepada FKUB

JAYAPURA, MRP – Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Masa Reses Triwulan IV Tahun 2022, Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Kelompok Kerja (Pokja) Agama, Dr. H. Toni V. M. Wanggai, SAg, MA, menggelar sosialisasi 12 Surat Keputusan Kultural tahun 2021 dan tahun 2022 kepada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua, FKUB Kota dan Jayapura dan juga para pemimpin lembaga agama di Kota Jayapura.

Kegiatan ini berlangsung  di Aula Kantor Kementerian Agama Kota Jayapura, Senin (14/11/2022).

Toni menyampaikan sosialisasi 12 Surat Keputusan Kultural, yakni.

  1. Keputusan Nomor 2/MRP/2022 Tentang Larangan Pemberian Nama atau Gelar Adat kepada Orang Lain di Luar Suku Pemangku Adat.
  2. Keputusan Nomor 3/MRP/2022 Tentang Larangan Jual Beli Tanah di Papua. 3
  3. Keputusan Nomor 4/MRP/2022 Tentang Moratorium Izin Pengelolaan Sumber Daya Alam di Papua.
  4. Keputusan Nomor 5/MRP/2022 Tentang Penghentian Kekerasan dan Diskriminasi oleh Aparat Penegak Hukum terhadap Orang Asli Papua.
  5. Keputusan Nomor 6/MRP/2022 Tentang Perlindungan Cagar Alam di Tanah Papua.
  6. Keputusan Nomor 7/MRP/2022 Tentang Pemenuhan Hak Politik Perempuan Asli Papua dalam Melaksanakan Pemilihan Umum Legislatif.
  7. Keputusan Nomor 8/MRP/2022 Tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pelestarian Areal Tanah Sakral Orang Asli Papua.
  8. Keputusan Nomor 9/MRP/2022 Tentang Perlindungan dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Rumah Adat Orang Asli Papua.
  9. Keputusan Nomor 10/MRP/2022 Tentang Pentingnya Pemantapan dan Penataan Kembali Kedudukan MRP di Provinsi Papua.
  10. Keputusan Nomor 11/MRP/2022 Tentang Perlindungan dan Pelestarian Fungsi Ekosistem Hutan Manggrove di Provinsi Papua.
  11. Keputusan Nomor 4/MRP/2021 Tentang Pengetatan Pengawasan terhadap Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol serta Obat obatan Terlarang Lainnya.
  12. Keputusan Nomor 5/MRP/2021 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Asli Papua di Wilayah Konflik, Khususnya di Kabupaten Intan Jaya, Nduga dan Puncak di Provinsi Papua.

Toni menjelaskan, 12 Surat Keputusan Kultural ini  sangat penting untuk disampaikan ke para pemimpin lembaga agama atau tokoh agama  FKUB, karena mereka ini yang mempunyai basis umat langsung.

“Jadi 12 surat keputusan kultural MRP ini adalah himbauan atau penguatan moral, agar orang asli Papua bisa lebih menjaga dan melestarikan budaya dalam penyelamatan tanah dan manusia Papua,” ujarnya.

Perdasus

Toni menuturkan, pihaknya berharap dengan adanya 12 Surat Keputusan Kultural  MRP ini bisa ditindaklanjuti di dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), sehingga mempunyai kekuatan hukum.

Pasalnya, menurut Toni, 12 Surat Keputusan Kultural MRP ini hanya berupa himbauan moral, agar orang asli Papua dapat menjaga atau menyelamatkan manusia dan tanah Papua, sehingga orang asli Papua bisa diproteksi atau dilindungi, affirmative action  atau keberpihakan terhadap orang asli Papua sebagai pemilik negeri ini.

Kepunahan

Toni menjelaskan, FKUB Provinsi Papua, FKUB Kota Jayapura dan juga para pemimpin lembaga agama di Kota Jayapura sangat mengapresiasi bahwa budaya di Papua ini harus dilestarikan.

Dengan adanya 12 Surat Keputusan Kultural MRP ini menegaskan bahwa budaya di Papua, yang terdiri dari pelbagai macam ragam suku ini harus dijaga dari kepunahan.

“Contohnya bahasa ada beberapa bahasa yang sudah punah di Papua. Hal ini kalau tak ada 12 Surat Keputusan Kultural  MRP ini, maka  perlahan budaya di Papua ini akan punah,” katanya.

Sementara budaya ini sebagai pengikat orang asli Papua, termasuk agama. Antara agama dan budaya ini tak bisa dipisahkan, karena manusia lahir dari budaya dan didalam budaya itu ada nilai-nilai kebaikan yang harus dijaga dan dilestarikan.

“Karena ada pesan pesan moral disana, pesan pesan kultural, pesan pesan toleransi, saling menghormati, menjaga, melindungi, melestarikan alam. Itu pesan pesan budaya itu harus terus kita jaga,” ucapnya.

“Jadi kalau tak ada budaya, maka masyarakat itu akan kering dari budaya, sehingga kita akan mengalami kekosongan kekosongan budaya, maka kita akan merasa terasing dengan kita sebagai orang asli Papua,” terangnya.

Toni berharap agar MRP kedepan termasuk salah satunya tugas dan fungsi kewenangan MRP ini harus diperkuat, khususnya  mempunyai hak legislasi didalam Perubahan Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2004 tentang Tugas dan Kewenangan MRP.

“Ini harus diperkuat, sehingga MRP bisa mempunyai hak legislasi untuk mengawasi jalannya Otsus secara baik di 4 bidang, yakni pendidikan kesehatan infrastruktur dasar dan ekonomi kerakyatan,” tukasnya.

Selain itu, ungkapnya, MRP juga mempunyai hak inisiasi untuk membuat Perdasus, karena MRP adalah lembaga kuktural yang lebih memahami kondisi dan aspirasi orang asli Papua.(*)

 

Read More