Categories BeritaPokja Agama MRP

MRP Menolak Menteri Sosial Tri Rismaharini Diberi Marga Numberi

JAYAaPURA, MRP  – Sesuai keputusan kulutural Majelis Rakyat Papua (MRP) secara kelembagaan, MRP menolak pemberian nama, marga ataupun gelar adat kepada orang lain. Penolakan MRP juga berkaitan dengan dikukuhkannya Menteri Sosial Tri Rismaharini menggunakan nama marga Numberi.

Hal tersebut ditegaskan Markus Kajoi, sekretaris Pokja Agama MRP kepada suarapapua.com, beberapa waktu lalu.

Markus menegaskan, dalam konteks Papua, ada mekanisme pemberian nama gelar bagi setiap orang dan itu ada mekanisme adat yang harus ditempuh sehingga seseorang itu dapat mengunakan nama marga.

“Dalam konteks kejadian yang kemarin, pembersihan nama kepada salah satu Menteri dan juga ada yang lain (saya kurang tahu). Kalau dikaitkan dengan keputusan kulture Majelis Rakyat Papua jelas kami menolak semua pemberian nama gelar atau marga karena dilihat dari pemberian nama marga itu harus jelas, untuk apa sebenarnya? Karena didalam konteks adat itu ada tujuannya,” ujar Kajoi.

Ia menambahkan pemberian nama marga kepada seseorang paling tidak yang bersangkutan sudah memasuki prosesi-prosesi adat yang diwajibkan.

“Pemberian marga kemarin sudah melewati tahapan ini atau tidak? Karena di beberapa masyarakat Papua itu ada mekanisme seperti itu, karena menurut saya orang yang memikul nama marga itu memiliki kewajiban-kewajiban yang terikat dalam sistim masyarakat adat di Papua,” tegasnya.

Lanjutnya untuk membangun tali persaudaraan kemudian ada hal-hal yang sangat spesifik biasanya masyarakat adat itu berikan, dan pemberian tersebut tidak semudah itu.

“Jadi menurut saya kalau dikaitkan dengan keputusan kulture Majelis Rakyat Papua, tentunya ini bertolak belakang dan MRP secara kelembagaan sesuai keputusan tidak bisa menerima proses-proses seperti itu,” tegasnya.

Kajoi juga menyarankan akan baiknya masyarakat adat yang melakukan prosesi tersebut harusnya berembuk dulu dengan Pokja Adat Majelis Rakyat Papua.

“Pemberian marga inisiatif perorangan tidak bisa dibenarkan karena itu berkaitan dengan hak-hak adat secara komunal,” tegasnya.

Sebelumnya Majelis Rakyat Papua (MRP) mengelar rapat pleno pengesahan 12 penetapan keputusan MRP untuk melindungi masyarakat Papua di provinsi Papua, pada Selasa (12/72022), bertempat di ruang sidang.

Penetapan keputusan sidang plono tersebut disetujui oleh pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua untuk ditindaklanjuti oleh anggota MRP untuk disosialisasikan ke 5 wilayah adat masing- masing di provinsi Papua.

Salah satu keputusan MRP ialah No.2/MRP/2022 Larangan Pemberian Nama Atau Gelar Adat Kepada Orang Lain Di Luar Suku Pemangku Adat. (*)

Read More
Categories BeritaPokja Agama MRP

Partisipasi Perempuan Asli Papua Dalam Pemilu 2024 Harus Diperioritaskan

JAYAPURA, MRP – Pemenuhan hak politik perempuan asli Papua dalam pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2024 di tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) harus diberi ruang dan kesempatan untuk perempuan asli Papua juga bisa tampil mengisi kursi legislatif.

Hal tersebut disampaikan Helena Hubi, ketua Pokja Agama Majelis Rakyat Papua. Minggu, (5/1/2023).

Kata Helena, pemberian ruang kepada perempuan asli Papua dalam politik sudah diatur dalam 12 keputusan Majelis Rakyat Papua, dimana salah satu pointnya merujuk pada keputusan MRP nomor.7/MRP/2022 tentang pemenuhan hak politik perempuan asli Papua dalam pelaksanaan pemilihan umum legislatif.

“Perempuan Papua hari ini harus di perioritaskan terutama di daerah DOB, memberikan ruang yang sama untuk mereka (perempuan) maju karena perempuan juga ingin membangun daerahnya,” ujar mama Helena.

Majelis Rakyat Papua juga berharap kursi legislatif 30 persen untuk Perempuan harus diberikan sepenuhnya kepada perempuan asli Papua yang akan maju di daerah mereka masing-masing.

“Jangan sampai hak politik perempuan semua direbut oleh laki-laki, harus juga berikan ruang dan kesempatan ke perempuan, kita tidak tinggal di jaman dulu lagi,” ujarnya.

MRP juga berharap Pj Gubernur dari 4 Provinsi harus memikirkan perempuan Papua karena Partai politik baru dapat mengikuti Pemilu jika telah menerapkan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusannya di tingkat pusat. Penegasan tersebut diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.

“Representasi perempuan di legislatif akan memberikan keseimbangan dalam mewarnai perumusan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, penganggaran, dan pengawasan yang akan lebih berpihak pada kepentingan kesejahteraan perempuan dan anak,” ujarnya.(*)

 

Read More
Categories BeritaPokja Agama MRP

Masa Reses, MRP Sosialisasi 12 Surat Keputusan Kultural kepada FKUB

JAYAPURA, MRP – Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Masa Reses Triwulan IV Tahun 2022, Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Kelompok Kerja (Pokja) Agama, Dr. H. Toni V. M. Wanggai, SAg, MA, menggelar sosialisasi 12 Surat Keputusan Kultural tahun 2021 dan tahun 2022 kepada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Papua, FKUB Kota dan Jayapura dan juga para pemimpin lembaga agama di Kota Jayapura.

Kegiatan ini berlangsung  di Aula Kantor Kementerian Agama Kota Jayapura, Senin (14/11/2022).

Toni menyampaikan sosialisasi 12 Surat Keputusan Kultural, yakni.

  1. Keputusan Nomor 2/MRP/2022 Tentang Larangan Pemberian Nama atau Gelar Adat kepada Orang Lain di Luar Suku Pemangku Adat.
  2. Keputusan Nomor 3/MRP/2022 Tentang Larangan Jual Beli Tanah di Papua. 3
  3. Keputusan Nomor 4/MRP/2022 Tentang Moratorium Izin Pengelolaan Sumber Daya Alam di Papua.
  4. Keputusan Nomor 5/MRP/2022 Tentang Penghentian Kekerasan dan Diskriminasi oleh Aparat Penegak Hukum terhadap Orang Asli Papua.
  5. Keputusan Nomor 6/MRP/2022 Tentang Perlindungan Cagar Alam di Tanah Papua.
  6. Keputusan Nomor 7/MRP/2022 Tentang Pemenuhan Hak Politik Perempuan Asli Papua dalam Melaksanakan Pemilihan Umum Legislatif.
  7. Keputusan Nomor 8/MRP/2022 Tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pelestarian Areal Tanah Sakral Orang Asli Papua.
  8. Keputusan Nomor 9/MRP/2022 Tentang Perlindungan dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Rumah Adat Orang Asli Papua.
  9. Keputusan Nomor 10/MRP/2022 Tentang Pentingnya Pemantapan dan Penataan Kembali Kedudukan MRP di Provinsi Papua.
  10. Keputusan Nomor 11/MRP/2022 Tentang Perlindungan dan Pelestarian Fungsi Ekosistem Hutan Manggrove di Provinsi Papua.
  11. Keputusan Nomor 4/MRP/2021 Tentang Pengetatan Pengawasan terhadap Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol serta Obat obatan Terlarang Lainnya.
  12. Keputusan Nomor 5/MRP/2021 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Asli Papua di Wilayah Konflik, Khususnya di Kabupaten Intan Jaya, Nduga dan Puncak di Provinsi Papua.

Toni menjelaskan, 12 Surat Keputusan Kultural ini  sangat penting untuk disampaikan ke para pemimpin lembaga agama atau tokoh agama  FKUB, karena mereka ini yang mempunyai basis umat langsung.

“Jadi 12 surat keputusan kultural MRP ini adalah himbauan atau penguatan moral, agar orang asli Papua bisa lebih menjaga dan melestarikan budaya dalam penyelamatan tanah dan manusia Papua,” ujarnya.

Perdasus

Toni menuturkan, pihaknya berharap dengan adanya 12 Surat Keputusan Kultural  MRP ini bisa ditindaklanjuti di dalam Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), sehingga mempunyai kekuatan hukum.

Pasalnya, menurut Toni, 12 Surat Keputusan Kultural MRP ini hanya berupa himbauan moral, agar orang asli Papua dapat menjaga atau menyelamatkan manusia dan tanah Papua, sehingga orang asli Papua bisa diproteksi atau dilindungi, affirmative action  atau keberpihakan terhadap orang asli Papua sebagai pemilik negeri ini.

Kepunahan

Toni menjelaskan, FKUB Provinsi Papua, FKUB Kota Jayapura dan juga para pemimpin lembaga agama di Kota Jayapura sangat mengapresiasi bahwa budaya di Papua ini harus dilestarikan.

Dengan adanya 12 Surat Keputusan Kultural MRP ini menegaskan bahwa budaya di Papua, yang terdiri dari pelbagai macam ragam suku ini harus dijaga dari kepunahan.

“Contohnya bahasa ada beberapa bahasa yang sudah punah di Papua. Hal ini kalau tak ada 12 Surat Keputusan Kultural  MRP ini, maka  perlahan budaya di Papua ini akan punah,” katanya.

Sementara budaya ini sebagai pengikat orang asli Papua, termasuk agama. Antara agama dan budaya ini tak bisa dipisahkan, karena manusia lahir dari budaya dan didalam budaya itu ada nilai-nilai kebaikan yang harus dijaga dan dilestarikan.

“Karena ada pesan pesan moral disana, pesan pesan kultural, pesan pesan toleransi, saling menghormati, menjaga, melindungi, melestarikan alam. Itu pesan pesan budaya itu harus terus kita jaga,” ucapnya.

“Jadi kalau tak ada budaya, maka masyarakat itu akan kering dari budaya, sehingga kita akan mengalami kekosongan kekosongan budaya, maka kita akan merasa terasing dengan kita sebagai orang asli Papua,” terangnya.

Toni berharap agar MRP kedepan termasuk salah satunya tugas dan fungsi kewenangan MRP ini harus diperkuat, khususnya  mempunyai hak legislasi didalam Perubahan Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2004 tentang Tugas dan Kewenangan MRP.

“Ini harus diperkuat, sehingga MRP bisa mempunyai hak legislasi untuk mengawasi jalannya Otsus secara baik di 4 bidang, yakni pendidikan kesehatan infrastruktur dasar dan ekonomi kerakyatan,” tukasnya.

Selain itu, ungkapnya, MRP juga mempunyai hak inisiasi untuk membuat Perdasus, karena MRP adalah lembaga kuktural yang lebih memahami kondisi dan aspirasi orang asli Papua.(*)

 

Read More