Categories Berita

Majelis Rakyat Papua: Sejumlah Catatan Otonomi Khusus Papua

Diskusi daring Ngobrol @Tempo yang mengangkat tema “20 Tahun Otonomi Khusus Papua di Tanah Papua: Sudah Efektifkah?” Jumat, 13 November 2020

JAYAPURA, MRP – Dua dekade Otonomi Khusus (Otsus) Papua berjalan sejak pemberlakuan Undang-undang Otsus Nomor 21 Tahun 2001 oleh Presiden ke-4 RI Megawati Soekarnoputri. Beleid ini memberikan kewenangan lebih besar untuk Papua dibanding daerah lain.

Setelah 20 tahun muncul pertanyaan: Apakah otonomi khusus memberikan efek positif untuk kesejahteraan masyarakat Papua? Atau sebaliknya hanya bentuk campur tangan pemerintah pusat dalam mengelola provinsi yang kaya sumber daya alam ini.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, mengatakan evaluasi otonomi khusus dikembalikan ke rakyat Papua. Menurut dia, hanya rakyat di Bumi Cendrawasih yang berhak menilai keberhasilan otonomi khusus.

“Masalahnya bukan pada dana otsusnya, namun bagaimana masyarakat adat diberikan wewenang untuk diikutsertakan sebagai subyek utama sasaran otsus, tidak hanya dianggap sebagai obyek saja,“ ujarnya dalam diskusi daring Ngobrol @Tempo yang  mengangkat tema “20 Tahun Otonomi Khusus Papua di Tanah Papua: Sudah Efektifkah?” Jumat, 13 November 2020.

Kepala Sub-Direktorat Provinsi Papua dan Papua Barat Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Budi Arwan, mengatakan MRP memiliki kewenangan istimewa yakni memilih Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) jalur pengangkatan Otonomi Khusus. Saat ini terdapat 14 Anggota DPRD Otsus Papua dan 11 Anggota DPRD Otsus Papua Barat. “Dana Otsus hanya salah satu instrumen saja,” kata dia.

Kementerian Dalam Negeri mengakui kesulitan mengukur indikator capaian otonomi khusus. Sebab selama ini belum ada grand design yang menjadi rujukan mengukur kinerja otonomi khusus. Hal ini menjadi perhatian dalam perubahan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang disiapkan Bappenas. Rencananya perubahan undang-undang akan diintegrasikan dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Payung hukum otonomi khusus adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2008. Dalam beleid tersebut, disebutkan, dana otonomi khusus Papua dan dihitung sebesar 2 persen dari plafon dana alokasi umum (DAU) yang berlaku selama 20 tahun.

Dana khusus yang dikucurkan untuk Papua dan Papua Barat periode 2002-2020 mencapai Rp 126,99 triliun. Dalam undang-undang disebutkan otonomi khusus dua provinsi ini akan berakhir pada 2021. Dana otonomi selama ini dianggarkan untuk mendanai empat aspek yaitu pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendanaan pendidikan, dan kesehatan.

Timotius Murib memaparkan, evaluasi terhadap empat aspek itu semestinya melibatkan para ahli dan harus mengikutsertakan orang asli Papua. Untuk perpanjangan otonomi khusus untuk 20 tahun berikutnya, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan orang asli Papua (OAP) harus duduk bersama satu meja. “Ini untuk mensinergikan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan Otsus, sehingga ke depannya jauh lebih baik dari sekarang,“ ujarnya.

Profesor Riset Bidang Sosiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga Anggota Tim Kajian Papua, Cahyo Pamungkas, memberikan sejumlah catatan terkait hak asasi manusia selama berlangsungnya otonomi khusus. Sepanjang Januari 2010-Februari 2018, kata dia, ada 69 kasus pembunuhan atau dalam istilah hukum internasional disebut unlawful killing.

Menurut Cahyo, semua kasus tersebut minim pertanggungjawaban hukum dan para pelaku tak pernah dijerat hukum. Ini menggambarkan impunitas alias kejahatan tanpa hukuman tumbuh subur di Papua. “Ketika otsus berakhir, orang Papua meminta solusi politik yang damai dan demokratis, tidak dengan pengiriman militer besar-besaran,” ujarnya. Dia menambahkan, “Otsus tidak berhasil menjawab konflik politik orang Papua dengan Jakarta, sehingga perlu ada solusi,” kata Cahyo.

Adapun akademisi dan pemerhati Papua, Saor Siagian, mengatakan pemerintah membangun Papua dengan hati melalui otonomi khusus. “Sehingga proses integrasi NKRI berjalan dengan baik sebagai bentuk persaudaraan yang tulus,” tuturnya.(*)

Sumber: Tempo.co

Read More

Categories Berita

Masa sidang dibuka, MRP akan segera gelar RDP Otsus di 5 wilayah adat

Majelis Rakyat Papua (MRP) siang tadi melakukan rapat pleno pembukaan masa sidang VI tahun 2020. Timotius Murib Ketua MRP bersama Debora Mote Wakil Ketua II MRP memimpin langsung rapat pleno ini. (16/10/2020) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP mengelar rapat pleno pembukaan Masa Sidang Triwulan IV tahun 2020 di Hotel Horizon, Kotaraja, Kota Jayapura, Papua, pada Jumat (16/10/2020). Selama masa sidang itu, MRP akan menggelar Rapat Dengar Pendapat terkait pelaksanaan Otonomi Khusus Papua.

Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan Masa Sidang Triwulan IV tahun 2020 akan menjadi masa sidang khusus bagi MRP. Selama masa sidang itu, MRP akan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) di lima wilayah adat, untuk mendengarkan masukan dan pendapat rakyat Papua menilai pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

Murib berharap para anggota MRP dapat mempersiapkan diri dengan baik. “Karena itu, kami [sampaikan] arahan khusus [bagi] para anggota, [silahkan] mempersiapkan diri dengan baik supaya bisa melaksanakan RDP,” kata Murib usai memimpin rapat pleno Jumat.

Murib menyatakan RDP itu akan diselenggarakan di lima wilayah adat yang ada di Provinsi Papua. Setelah itu, MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) akan menggelar rapat pleno gabungan. “Rapat [pleno gabungan berupa] Rapat Dengar  Pendapat Umum akan digelar di Biak,” kata Murib.

Sebelumnya, Dewan Adat Papua (DAP) versi Kongres Luar Biasa dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia menyatakan penilaian mereka bahwa Otsus Papua telah gagal. Akan tetapi, mereka mendukung upaya MRP untuk memfasilitasi penyampaian pendapat orang asli Papua atas Otonomi Khusus Papua. Kedua organisasi itu berharap, apapun hasil aspirasi yang terkumpul akan diteruskan kepada pemerintah pusat.

Ketua Dewan Adat Papua (DAP) versi Kongres Luar Biasa, Dominikus Surabut menyatakan sejak lama DAP sudah menolak Otonomi Khusus Papua sejak tas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) diberlakukan pada 2001. “Tahun 2001 Dewan Adat Papua tolak otonomi khusus. Tahun 2007 dan 2010, Dewan Adat Papua mengatakan pelaksanaan Otsus gagal dan [kami] tolak. [Sejak] tahun 2001 hingga 2020, Dewan Adat Papua punya sikap sama,” kata Surabut pada Selasa (13/10/2020).

Kini, DAP versi Kongres Luar Biasa memilih diam, tidak memberikan pendapat, saran, maupun usul lagi. Bagi Surabut, posisi DAP sudah jelas, karena sejak jauh hari telah menyatakan Otsus Papua gagal, dan menolak keberlanjutan Otsus Papua. “[Perlindungan] hak asasi manusia, pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur, [semua] tidak berimplikasi positif kepada penguatan masyarakat Papua untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri,” kata Surabut.

Surabut mengingatkan, Otsus Papua diberlakukan sebagai jawaban pemerintah pusat atas tuntutan orang asli Papua yang meminta merdeka. Akan tetapi, selama pemberlakuan Otsus Papua, aspirasi Papua merdeka justru semakin berkembang dan menjadi isu internasional. “Dewan Adat Papua di bawah pimpinan saya posisinya jelas, kami mendukung aspirasi masyarakat adat,” kata Surabut.

Surabut menyatakan pihaknya akan mengikuti langkah-langkah penyampaian aspirasi rakyat melalui Majelis Rakyat Papua (MRP). Ia berharap aspirasi rakyat yang difasilitasi MRP itu akan membuat pemerintah Indonesia dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mau duduk bersama dan berdialog untuk menyelesaikan masalah Papua.

“Kami ada bersama dengan MRP, memfasilitasi rakyat berpendapat. Apapun hasilnya, kami bersama rakyat akan kawal [penyampaian aspirasi] itu, [agar] pemerintah Indonesia dan ULMWP duduk bicara, apa endingnya,” kata Surabut.

Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI), Hendrikus Maday mengatakan pihaknya juga telah memutuskan untuk menolak Otsus Papua. “Kami secara organisasi mengatakan tolak, karena pelaksanaan Otsus [Papua] itu seharusnya melibatkan rakyat. [Yang] terjadi, [Otsus Papua dilaksanakan] secara sepihak, baik itu Otsus [Papua] periode pertama, maupun rencana [Otsus Papua Jilid II],” kata Maday.

Maday menyatakan AMPTPI juga mendukung MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) memfasilitasi penyampaian pendapat rakyat Papua atas keberadaan Otsus Papua. “Kami memberikan dukungan kepada MRP [untuk] mengambil aspirasi dari rakyat,  entah itu mau terima atau tolak [Otsus Papua], untuk disampaikan kepada pemerintah,” kata Maday.(*)

Sumber: Jubi

Read More

Categories Berita

MRP: calon bupati dan calon wakil bupati harus orang asli Papua

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib saat memimpin rapat koordinasi antar pimpinan MRP, Kelompok Kerja MRP, dan Sekretariat MRP. – Dok. MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP menyatakan partai politik harus mencalonkan orang asli Papua sebagai bupati dan wakil bupati dalam 11 Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020 di Papua. Hal itu dinyatakan Ketua MRP Timotius Murib di Kota Jayapura, Kamis (23/7/2020).

“[Partai politik] harus kembalikan hak konstitusional orang asli Papua. Pimpinan partai yang tidak melakukan itu melakukan pelanggaran [terhadap ketentuan Otonomi Khusus Papua],” kata Murib.

Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) mengatur kewajiban partai politik di Papua untuk memprioritaskan masyarakat asli Papua dalam proses rekrutmen politik. Akan tetapi, demikian menurut Murib, dalam praktiknya ketentuan itu kerap diabaikan partai politik di Papua.

Murib menegaskan pimpinan partai politik tidak punya alasan untuk tidak mengusung calon bupati dan calon wakil bupati orang asli Papua. Ia menyatakan MRP akan menempuh upaya hukum untuk menegaskan kewajiban partai politik mencalonkan orang asli Papua dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020.

Kewajiban partai politik mencalonkan orang asli Papua sebagai bupati dan wakil bupati itu dinilai Murib sebagai pemenuhan hak konstitusional orang asli Papua yang telah diatur dalam UU Otsus Papua. “MRP akan [menempuh upaya hukum] di Mahkamah Agung, ketika perjuangan MRP terkait pasal itu tidak dianggap,” kata Murib.

Murib menyatakan MRP sudah menyosialisasikan kewajiban partai politik itu kepada masyarakat di Papua, agar masyarakat mengetahui hak-hak terkait kekhususan Otsus Papua. Murib menyebut, MRP juga sudah bertemu dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi ManusiaKomisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

MRP juga telah menemui 16 pimpinan partai politik di Jakarta pada awal 2020 lalu, membahas kewajiban partai politik mencalonkan orang asli Papua sebagai bupati dan wakil bupati. “Kita sampai ke tingkat lembaga, bertemu 16 pimpinan partai politik di Jakarta,”ungkapnya.

Menurut Murib, usai pertemuan itu MRP telah menerima semacam rekomendasi untuk dijalankan di Papua. Dalam rekomendasi itu, diharapkan ada peraturan KPU untuk yang menegaskan kewajiban partai politik mencalonkan orang asli Papua sebagai bupati dan wakil bupati, sesuai dengan kekhususan Otsus Papua. “Pimpinan partai harus memahami Papua itu daerah khusus, sama seperti Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta,” kata Murib.

Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Agama MRP, Pdt Nikolaus Degey menambahkan, pemerintah Indonesia tidak tulus memberikan otonomi khusus kepada Provinsi Papua. “Otsus Papua sudah berlaku hampir 20 tahun, Pasal 28 itu tidak pernah terealisasi secara penuh,” kata Degey.

Degey mengingatkan, jika ketentuan untuk memprioritaskan orang asli Papua dalam rekrutmen politik itu tidak terlaksana dalam Pilkada 2020 di Papua, masyarakat di Papua akan mempertanyakan untuk apa ada Otsus Papua. Degey menyebut, kemauan partai politik untuk mencalonkan orang asli Papua sebagai bupati dan wakil bupati dalam Pilkada 2020 bisa menjadi indikator apakah Otsus Papua berhasil atau gagal.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP Minta 14 Kursi Jangan di isi oleh Mantan Penjabat Publik

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP  — Hasil seleksi 14 Kursi DPR Papua jalur Otonomi Khusus (Otsus) di Provinsi Papua pada tahapan Akhir, dimana dari 150 Calon yang di Saring oleh Panitia seleksi (Timsel) hingga mengerucut menjadi 42 nama dan akan di tentukan menjadi 14 orang yang akan menduduki Kursi legislatif.

Dalam Rapat ini menghasilkan beberapa Poin penting yang akan di bawa kepada Gubernur Papua untuk menjadi Pertimbangan Beliau,”Ungkap Ketua MRP Timotius Murib kepada awak media Usai menutup Rapat pleno.

Di mana menurutnya, Ketersediaan 14 Kursi DPR Papua jalur Otonomi Khusus (Otsus) Papua harus Murni di peruntukan untuk Orang Asli Papua, yang benar-benar di Rekomendasi oleh Lembaga adat di 5 Wilayah adat Papua.

Selanjutnya dalam pengamatan Lembaga kultur dan Representatif Orang Asli Papua (MRP), Bahwa dari ke 42 nama yang telah di keluarkan Timsel 14 Kursi terdapat sebagian mantan Penjabat Publik Seperti anggota legislatif yang gagal dalam pencalonan pileg kemarin dari Partai Poltik dan Mantan Penjabat Pemerintahan.

Untuk itu berdasarkan pengamatan, Rekomendasi di dalam Rapat Pleno Pemberian Pertimbangan dan Persetujuan Majelis Rakyat Papua ini, anggota MRP merekomendasikan agar gubernur tidak di Akomodir mantan-mantan Penjabat Publik dimaksud, tetapi berilah Kesempatan Kepada Tokoh adat yang memang di Utus oleh masyarakat adat

dan sangat Paham Terhadap nilai nilai tatanaan adat pada 5 wilayah di Provinsi Papua yang tidak Pernah terkontaminasi oleh Politik Praktis.

Timo Murib Juga menambahkan, bahwa salah satu Poin yang tak Kala penting di rekomendasikan dari hasil rapat pleno MRP Terkait Pemberian Pertimbangan dan Persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) Terhadap Keaslian Orang Asli Papua Calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang ditetapkan Melalui Mekanisme Pengangkatan Periode 2019-2024.

Kemudian MRP juga minta supaya harus ada keterwakilan Perempuan Papua di Kelima wilayah adat dari 14 Kursi yang akan di duduki, Khusus untuk wilayah adat Tabi yang saat ini dalam 42 nama tidak terakomodir Keterwakilan Perempuan MRP akan berkordinasi dengan Gubernur untuk meminta Pertimbangan agar dapat di Akomidir semua Rekomendasi yang di Putuskan melalui Rapat Pleno MRP Terkait 14 Kursi Otsus DPR Papua, tutup Murib. (*)

 

Sumber: BeritaPapua.co

 

Read More
Categories Berita

Empat bidang ini menjadi prioritas evaluasi Otsus MRP

Ketua MRP, Timotius Murib [kanan] saat menyerahkan berkas 42 calon anggota DPR Papua jalur pengangkatan kepada pimpinan terpilih dari Pokja Adat, Perempuan, dan Agama, akhir pekan lalu. – Jubi/Yulan

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua memprioritaskan evaluasi otonomi khusus 2001-2019 pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur. Prioritas evaluasi  itu ditegaskan kepada seluruh pimpinan baru di tiga kelompok kerja (pokja) serta alat kelengkapan MRP untuk periode dua setengah tahun terakhir, 2020-2022.

“Kami menyarankan supaya di dua tahun terakhir ini  evaluasi dilakukan terutama di empat bidang yang diprioritaskan dibiayai dengan dana otonomi khusus. Yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur,” kata Ketua MRP, Timotius Murib, Selasa (7/7/2020).

Murib mengatakan, sebagai lembaga kultur yang mengawal pelaksanaan otonomi khusus di Papua, MRP berkewajiban untuk memastikan apakah penerapannya telah sampai atau tidak kepada penerima manfaat, yakni orang asli Papua.

Hal itu merujuk pada pasal 77 UU No 21 tahun 2001 sebagaimana diubah dengan UU No 35 tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat.

Dalam menindaklanjuti rencana evaluasi tersebut, MRP melalui pokja adat, perempuan, dan agama, akan melakukan dengar-pendapat [hearing] dengan organiasi pemerintah daerah (OPD) yang menggunakan dana otonomi khusus dalam melakukan program-program kerja untuk orang asli Papua.

“Kewajiban kami melihat kembali apa saja yang telah dihasilkan oleh pemerintah kepada orang asli Papua. Jadi, selalu harus melakukan hearing dialog dengan dinas, instansi terkait dimana instansi yang mengelola dana otonomi khusus ini,” ujar Murib menambahkan.

Tercatat pada akhir pekan lalu seluruh pokja meliputi  Adat, Perempuan, dan Agama serta alat kelengkapan MRP mulai Dewan Kehormatan, Panitia Musyawarah, dan Panitia Urusan Rumah Tangga melakukan pemilihan ulang tiga unsur pimpinannya. Hasilnya susunan pimpinan masing-masing pokja dan alat kelengkapan MRP periode 2020-2022.

Pokja Adat diketuai Demas Tokoro, sedangkan wakilnya  Amatus Ndatipits, serta sekretaris  Minggus Madai. Pokja Perempuan dipimpin Ciska Abugau, ebagai ketua. Sedangkan Pipina Wonda sebagai wakil, dan Orpa Nari menjadi sekretaris. Pokja Agama diketuai Yoel Luiz Mulait, sedangkan wakil  Helena Hubi menjadi wakil, dan Roberth D. Wanggai menjadi sekretaris.

Selain itu alat kelengkapan MRP menjadikan Nehemi Yebikon sebagai ketua Dewan Kehormatan, Yuliten Anouw, wakil ketua dan Albertus Moyuend, menjadi sekretaris. Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) diketuai Adolof Kogoya, wakil ketua Yakonias Wabrar dan Julliana E. Wambrauw  sekretaris.

Panitia Musyawarah (Panmus) diketuai Benny Sweny, dengan wakil ketua Maria Rofek dan Aman Yikwa sebagai sekretaris. (*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

Akan fokus evaluasi Otsus, Pokja Adat MRP tidak terima pengaduan baru

Logo Majelis Rakyat Papua (MRP) – Foto/Doc MRP

JAYAPURA, MRP – Sekretaris Kelompok Kerja Adat Majelis Rakyat Papua atau Pokja Adat MRP, Minggus Madai menyatakan Pokja Adat MRP akan fokus mempersiapkan evaluasi dampak pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Selama masa evaluasi itu, Pokja Adat MRP tidak akan menerima pengaduan baru masyarakat adat terkait sengketa tanah atau hutan ulayat.

Hal itu disampaikan Minggus Madai kepada Jubi pada Minggu (5/7/2020). “Aspirasi sengketa tanah maupun pengaduan sudah tidak kami terima. Kami [akan] lebih fokus mengevaluasi [dampak Otsus Papua] kepada masyarakat adat,” kata Madai.

Pada pekan lalu, MRP telah menggelar evaluasi kinerja alat kelengkapan lembaganya, bertepatan dengan 2,5 tahun masa bakti anggota MRP periode 2017 – 2022. Usai evaluasi itu, Pokja Adat MRP kembali memilih Demas Tokoro sebagai Ketua Pokja Adat, didampingi Amatus Dantipist sebagai Wakil Ketua dan Minggus Madai selaku Sekretaris.

Pokja Adat MRP juga menetapkan agenda kerja pada sisa masa baktinya, yang berfokus kepada evaluasi dampak positif maupun negatif Otsus Papua terhadap masyarakat adat dari lima wilayah adat. Menurut Madai, Pokja Adat MRP akan menjalankan evaluasi itu di 29 kabupaten/kota, untuk menentukan apakah Otsus Papua berdampak positif atau negatif bagi masyarakat adat.

Madai menjelaskan evaluasi itu akan meliputi dampak Otsus terhadap empat bidang pembangunan, yaitu infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan. “Dari empat bidang itu, apa saja manfaat yang dirasakan masyarakat adat selama pembelakuan Otsus? Mau otonomi khusus lanjut kah, tidak kah, kembalikan ke masyarakat adat. Karena, Otsus ada karena karena masyarakat adat,” kata Madai.

Sebelumnya, Ketua MRP Timotius Murib mengatakan evaluasi dan pemilihan pimpinan alat kelengkapan MRP dilakukan setelah para pimpinan bekerja selama 2,5 tahun. “[Kami bersama-sama mengevaluasi] apa saja telah dikontribusikan untuk lembaga ini demi kepentingan orang asli Papua atau OAP, evaluasi dan laporan apa yang mereka kerjakan, hasil yang mereka capai dan sedang kerjakan,” kata Murib kepada Jubi.

Murib meminta para pimpinan alat kelangkapan MRP, baik yang baru terpilih ataupun yang melanjutkan jabatannya, segera menyusun program untuk memperbaiki kinerja lembaga dalam melindungi dan memperjuangkan hak OAP. “MRP [ingin] meningkatkan kinerja untuk menolong OAP selama Otsus,”ungkapnya.

Meskipun masa bakti para anggota MRP periode ini tinggal 2,5 tahun, Murib mengingatkan para anggota MRP akan bekerja pada akhir masa berlakunya aturan kucuran Dana Otsus Papua setara 2 persen DAU Nasional. Ia berpesan anggota dan unsur pimpinan alat kelengkapan MRP bekerja dalam rangka evaluasi Otsus.

“Anggota dipercayakan [dan] harus berkontribusi untuk lembaga, melakukan dengar pendapat, dialog dengan lembaga yang mengunakan Dana Otsus Papua. Kita melakukan program kerja dalam rangka evaluasi Otsus,” ungkapnya.(*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

Aturan pelaksanaan Otsus belum lindungi kepentingan perempuan Papua

Ketua Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau bersama Sekretaris Pokja Perempuan MRP, Orpa Nari saat memberikan keterangan pers kepada jurnalis di Jayapura. – Jubi/Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ciska Abugau yang pekan lalu terpilih menjadi Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua menyatakan aturan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua belum berpihak kepada kepentingan perempuan Papua. Abugau menyatakan pihaknya akan memperjuangkan aturan penggunaan dan pembagian Dana Otonomi Khusus Papua untuk kelompok perempuan Papua.

Hal itu dinyatakan Ciska Abugau kepada Jubi pada Minggu (5/7/2020). “Kami sudah turun, melihat dan ada beberapa masalah-masalah. Kami sudah tahu masalahnya adalah regulasi yang tidak berpihak kepada perempuan. Salah satunya, [tidak ada] regulasi perlindungan perempuan dari  kekerasan [yang dilakukan aparatur] Negara, pemerintah daerah, [ataupun kekerasan dalam] rumah tangga,” kata Abugau.

Menurut Abugau, suara perempuan Papua di pesisir pantai, danau, pegunungan, lembah, dan rawa-rawa banyak yang tidak terdengar. Perempuan Papua mengalami banyak masalah, baik sebagai perempuan, anak perempuan, ataupun mama. Abugau menyatakan perempuan Papua kerap menjadi korban dari sistem pemerintahan, sistem masyarakat, ataupun kehidupan rumah tangga yang tidak melindungi kepentingan perempuan.

Abugau menyatakan Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dipimpinnya akan memperjuangkan regulasi atau aturan pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang melindungi kepentingan perempuan Papua. Menurutnya, perlindungan perempuan Papua membutuhkan regulasi khusus, termasuk pengaturan yang jelas mengenai pembagian dan pengunaan Dana Otsus untuk perempuan Papua.

“Saya bersyukur, saya merasa, menjadi Ketua [Pokja Perempuan MRP] itu kepercayaan untuk saya bersama 16 perempuan [anggota Pokja Perempuan MRP untuk] menyuarakan suara-suara perempuan yang tidak bersuara [Kami akan memperjuangkan] regulasi pembagian Dana Otsus, khusus untuk perempuan. Kami sudah organisir,” kata Abugau.

Abugau menilai MRP memasuki masa yang berat, karena banyak pihak menyoroti akan berakhirnya aturan besaran Dana Otsus Papua setara 2 persen Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional pada tahun 2021. Berakhirnya jangka waktu kucuran dana setara 2 persen DAU Nasional itu telah memunculkan wacana evaluasi dan revisi UU Otsus Papua.

Abugau menyatakan pihaknya harus kerja keras untuk memastikan hal yang terkait upaya perlindungan perempuan Papua menjadi bagian dari evaluasi UU Otsus Papua. “Kami akan melakukan [dengar pendapat atau] hearing, [dan] dialog dengan instansi, lembaga terutama Dinas Pemberdayaan Perempuan,” kata Abugau.

Selain akan bertemu pihak pengunaan Dana Otsus, pihaknya akan memfasilitasi penerima manfaat. Abugau menyatkaan Pokja Perempuan MRP akan melakukan rapat dengar pendapat dalam skala besar, untuk melihat manfaat Dana Otsus bagi perempuan Papua. “Kami akan gelar rapat dengar pendapat [untuk] melihat apakah Dana Otsus sudah memberdayakan perempuan atau tidak,” katanya.

Ia mengajak semua pihak, khususnya 50 anggota MRP untuk bekerjasama, karena keberhasilan Pokja Perempuan MRP akan menjadi keberhasilan MRP memperjuangkan perlindungan bagi orang asli Papua (OAP). “Kita kerja sama, bergandengan tangan menyuarakan suara-suara perempuan Papua yang tidak bersuara. Kita bangun komitmen bersama untuk memberdayakan perempuan Papua,” kata Abugau.

Ketua MRP Timotius Murib mengatakan evaluasi dan pemilihan pimpinan alat kelengkapan MRP dilakukan setelah para pimpinan bekerja selama 2,5 tahun. “[Kami bersama-sama mengevaluasi] apa saja telah dikontribusikan untuk lembaga ini demi kepentingan OAP, evaluasi dan laporan apa yang mereka kerjakan, hasil yang mereka capai dan sedang kerjakan,” kata Murib kepada Jubi.

Murib meminta para pimpinan alat kelangkapan MRP, baik yang baru terpilih ataupun yang melanjutkan jabatannya, segera menyusun program untuk memperbaiki kinerja lembaga dalam melindungi dan memperjuangkan hak OAP. “MRP [ingin] meningkatkan kinerja untuk menolong OAP selama Otsus,”ungkapnya.

Meskipun masa bakti para anggota MRP periode ini tinggal 2,5 tahun, Murib mengingatkan para anggota MRP akan bekerja pada akhir masa berlakunya aturan kucuran Dana Otsus Papua setara 2 persen DAU Nasional. Ia berpesan anggota dan unsur pimpinan alat kelengkapan MRP bekerja dalam rangka evaluasi Otsus.

“Anggota dipercayakan [dan] harus berkontribusi untuk lembaga, melakukan dengar pendapat, dialog dengan lembaga yang mengunakan Dana Otsus Papua. Kita melakukan program kerja dalam rangka evaluasi Otsus,” ungkapnya.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Ciska Abugau pimpin Pokja Perempuan MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP melakukan pemilihan pimpinan dan anggota enam alat kelengkapan lembaga di Kota Jayapura, Papua, Jumat (3/7/2020). Anggota MRP Ciska Abugau terpilih menjadi Ketua Kelompok Kerja Perempuan MRP, sementara Adolof Kogoya terpilih menjadi Ketua Panitia Urusan Rumah Tangga MRP.

Pemilihan pimpinan dan anggota enam alat kelengkapan MRP itu dilakukan melalui proses evaluasi kinerja para pimpinan dan anggota. Dari proses pemilihan itu, hanya dua alat kelengkapan MRP yang mengalami pergantian pimpinan.

Anggota MRP Ciska Abuga terpilih menjadi Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan MRP, mengantikan Nelince Wamuar. Selain itu, Adolof Kogoya terpilih menjadi Ketua Panitia Urusan Rumah Tangga MRP, mengantikan Dolince Mehue.

Pimpinan dari empat kelengkapan MRP lainnya tidak mengalami pergantian. Yoel Luiz Mulait tetap menjadi Ketua Pokja Agama, sementara Demas Tokoro melanjutkan jabatannya sebagai Ketua Pokja Adat. Nehemi Yebikon akan melanjutkan tugasnya selaku Ketua Dewan Kehormatan, dan Benny Sweny tetap menjadi Ketua Panitia Musyawarah.

Usai terpilih, Ciska Abugau mengatakan ia berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepadanya untuk memimpin Pokja Perempuan. Ia menyatakan akan menjalankan evaluasi Otonomi Khusus (Otsus) bagi perempuan Papua. “[Kami] akan melakukan rapat dengar pendapat besar-besaran, untuk menyaring aspirasi sejauh mana Dana Otsus memberdayakan perempuan Papua,” kata Abugau.

Ia mengatakan pekerjaan itu akan sangat berat, dan ia mengajak, 17 anggota Pokja Perempuan bekerja sama menyuarakan suara-suara perempuan Papua yang tidak bersuara dan tidak terdengar, yang ada di gunung, lembah, rawa, dan pesisir pantai. “Kita harus bersatu, satu komitmen untuk memberdayakan perempuan,” kata Abugau.

Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan evaluasi dan pemilihan pimpinan alat kelengkapan MRP dilakukan setelah para pimpinan bekerja selama 2,5 tahun. “[Kami bersama-sama mengevaluasi] apa saja telah dikontribusikan untuk lembaga ini demi kepentingan orang asli Papua atau OAP, evaluasi dan laporan apa yang mereka kerjakan, hasil yang mereka capai dan sedang kerjakan,” kata Murib kepada Jubi.

Murib meminta para pimpinan alat kelangkapan MRP, baik yang baru terpilih ataupun yang melanjutkan jabatannya, segera menyusun program untuk memperbaiki kinerja lembaga dalam melindungi dan memperjuangkan hak OAP. “MRP [ingin] meningkatkan kinerja untuk menolong OAP selama Otonomi Khusus,”ungkapnya.

Meskipun masa bakti para anggota MRP periode ini tinggal 2,5 tahun, Murib mengingatkan para anggota MRP akan bekerja pada akhir masa berlakunya aturan kucuran Dana Otsus Papua setara 2 persen Dana Alokasi Umum Nasional. Ia berpesan anggota dan unsur pimpinan alat kelengkapan MRP bekerja dalam rangka evaluasi Otsus.

“Anggota dipercayakan [dan] harus berkontribusi untuk lembaga, melakukan dengar pendapat, dialog dengan lembaga yang mengunakan Dana Otsus Papua. Kita melakukan program kerja dalam rangka evaluasi Otsus,” ungkapnya.(*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

MRP: Kapan RI bangun Papua sesuai falsafah negara?

Ilustrasi demo Otsus – Jubi. Dok

JAYAPURA, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP, Yohanes Wob menilai pemerintah Indonesia belum membangun Papua sesuai falsafah negara. Penyelenggara negara masih menyampingkan cita-cita pendiri negara yang tersurat dalam Pancasila, dan belum memanusiakan dan memberikan keadilan bagi rakyat Papua.

Pernyataan itu disampaikan Yohanes Wob kepada Jubi saat dihubungi melalui panggilan telepon selularnya pada Senin (22/6/2020). “Kapan Kementerian-kementerian RI menyusun program pembangunan berdasarkan sila-sila falsafah negara Pancasila?” tanya Wob.

Wob menegaskan pemerintah semestinya menyusun dan membangun Papua sesuai sila kedua dan sila kelima Pancasila. Menurutnya, pembangunan di Papua belum mewujudkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab serta prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Wob menilai pembangunan di Papua masih jauh dari manusiawi, karena menempatkan manusia Papua masih menjadi obyek pembangunan. Pembangunan di Papua akhirnya tidak membawa perubahan nyata bagi kehidupan orang asli Papua.

Ia menegaskan, Jakarta selalu menyebut Papua tertinggal, membuat banyak proyek pembangunan dan memberlakukan Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Namun setelah Otsus Papua diberlakukan selama hampir 20 tahun, proyek pembangunan dan otonomi khusus itu gagal memanusiakan orang asli Papua. “Perihal peradaban dan keadilan bagi manusia Papua masih nol!” tegas Wob.

Ia mengingatkan keadilan bagi rakyat Papua tidak bisa diukur dengan berbagai perubahan yang dialami dan diterima para elit Papua, termasuk jabatan dan fasilitas jabatan bagi mereka. Keadilan tidak bisa diukur dengan fasilitas layanan umum yang dibangun di kota-kota, yang mayoritas penduduknya kaum migran. “Keadilan harus [ada] bagi orang asli Papua yang ada di kampung-kampung,” ujarnya.

Wob mengkritik pemerintah pusat yang telah gagal menjalankan Otsus Papua, namun tetap memaksakan keberlanjutan otonomi khusus itu. Ia menilai pilihan untuk melanjutkan Otsus Papua lebih didasari kepentingan ekonomi dan politik ketimbang didasari rasa kemanusiaan terhadap orang Papua.

“Keberlanjutan Otsus di Papua akan dipaksakan oleh Jakarta, karena Otsus adalah penghubung Jakarta dan Papua. Tanpa Otsus, Jakarta tak punya pilihan [dan alasan] untuk tetap jadikan Papua sebagai bagian dari Indonesia,” ujar Wob.

Wob menilai Otsus Papua adalah hasil kesepakatan elit Papua dengan Jakarta. Kedua belah pihak saling memanfaatkan, dengan mengatasnamakan rakyat Papua. “Otsus itu kontrak politik Pemerintah Indonesia dengan elit Papua tentang status politik manusia dan bumi Papua,” kata Wob.

Wob menyatakan kontrak politik semacam itu seharusnya dilakukan dengan rakyat Papua. “Sekarang penentunya ada di rakyat Papua, mau Otsus atau mau pilihan politik lainnya?” tanyanya.

Pemerintah pusat sendiri telah berencana merevisi peraturan perundang-undangan yang terkait Osus Papua. Dikutip dari pemberitaan Tirto.id berjudul “Mendagri: RUU Otsus Papua Mendesak Dibahas Karena Berakhir 2021“, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengatakan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Otonomi Khusus Papua harus dilaksanakan DPR pada tahun ini. Ia menganggap RUU itu sangat mendesak mengingat pada tahun 2021 kucuran Dana Otsus Papua akan berakhir.

“Ada dua skenario alternatif, untuk RUU [Otsus Papua]. Yang pertama adalah hanya melakukan keberlanjutan dana otsus dua persen dari dana alokasi umum. Kedua melanjutkan hasil pembahasan tahun 2014 RUU tentang Otsus Pemprov Papua, singkatnya yang dilanjutkan dananya, otsusnya terus dilakukan,” kata Tito, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI, Rabu (22/1/2020).

Pada 11 Maret 2020 Presiden Joko Widodo memimpin Rapat Terbatas di Jakarta, membahas evaluasi Dana Otsus Papua. Presiden Jokowi mengharapkan kucuran Dana Otsus Papua dievaluasi secara menyeluruh, dengan melibatkan masyarakat di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Menurut Jokowi, nilai kucuran Dana Otsus Papua sejak 2002 hingga 2020 telah mencapai Rp94,24 triliun. “Angka yang sangat besar. [Harus ada evaluasi sejauh mana dampaknya yang dirasakan oleh masyarakat. Perlu dikonsultasikan dengan seluruh komponen rakyat Papua dan Papua Barat,” kata Jokowi, sebagaimana dikutip dari dokumentasi video yang diunggah akun Youtube Sekretariat Presiden.

Rapat terbatas itu ditanggapi Ketua MRP Timotius Murib pada 17 Maret 2020, yang menyatakan setiap rencana perubahan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang UU Otsus Papua harus mengacu Pasal 77 UU Otsus Papua. Ia mengingatkan hanya rakyat Papua yang memiliki hak untuk mengevaluasi Otsus Papua, karena Otsus itu diberlakukan sebagai jawaban atas tuntutan rakyat Papua untuk merdeka dari Indonesia.

“MRP tahu pemerintah punya kepentingan pembangunan di Papua. Akan tetapi, kami mau [evaluasi Otsus Papua] sesuai dengan Pasal 77 UU Otsus Papua. Kalau mau melakukan perbaikan, [hal itu] benar-benar terinspirasi dari aspirasi rakyat Papua,” kata Murib kepada Jubi, Selasa (17/3/2020).(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Jakarta rapat Otsus, MRP ingin evaluasi UU Otsus patuhi Pasal 77

Presiden Joko Widodo saat memimpin Rapat Terbatas yang membahas evaluasi Dana Otonomi Khusus Papua di Jakarta pada 11 Maret 2020. – Screencap Youtube Sekretariat Presiden

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP menyatakan setiap rencana perubahan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua atau UU Otsus Papua harus mengacu Pasal 77 UU Otsus Papua. Pernyataan itu disampaikan sebagai tanggapan MRP atas Rapat Terbatas Dana Otonomi Khusus Papua yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada 11 Maret 2020 lalu.

Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan Rapat Terbatas Presiden Joko Widodo yang membahas Dana Otsus Papua itu sah dan sesuai mekanisme negara. Ia mengatakan pemerintah di Jakarta boleh merencanakan evauasi dengan caranya sendiri.

Akan tetapi, Murib meminta setiap evaluasi pelaksanaan UU Otsus Papua harus didasarkan kepada ketentuan Pasal 77 UU Otsus Papua. Ia mengingatkan hanya rakyat Papua yang memiliki hak untuk mengevaluasi Otsus Papua, karena Otsus itu diberlakukan sebagai jawaban atas tuntutan rakyat Papua untuk merdeka dari Indonesia.

“MRP tahu pemerintah punya kepentingan pembangunan di Papua. Akan tetapi, kami mau [evaluasi Otsus Papua] sesuai dengan Pasal 77 UU Otsus Papua. Kalau mau melakukan perbaikan, [hal itu] benar-benar terinspirasi dari aspirasi rakyat Papua,” kata Murib kepada Jubi, Selasa (17/03/2020).

Pasal 77 UU Otsus Papua mengatur tata cara untuk melakukan perubahan atas UU itu. Pasal itu menyatakan “Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Wakil Ketua I MRP, Jimmy Mabel mengatakan MRP utusan rakyat Papua. Mereka tidak otomatis bicara atau berjuang atas nama rakyat asli Papua, tetapi hanya mediator bagi rakyat Papua.

Mabel menegaskan rakyat Papua yang punya suara untuk menilai pelaksanaan Otsus Papua.  “Kalau bicara aspirasi, rakyat sudah lama mengatakan Otsus [Papua] itu sudah gagal. [Otsus Papua] tidak berhasil, menjadi peti mayat,” kata Mabel merujuk kepada aspirasa rakyat Papua yang menolak Otsus Papua pada 2012 silam.

Meskipun demikian, Mabel menyatakan pemerintah masih punya kepentingan sepihak demi pembangunan Papua. Karena itu, dia berharap Jakarta kembali kepada mekanisme perubahan UU Otsus Papua yang diatur sendiri oleh UU itu, agar Jakarta tidak terkesan memaksakan kehendaknya kepada rakyat Papua.

“Pemerintah mau perpajang itu harus sesuai UU Otsus Papua. Kembalikan [dulu evaluasi Otsus Papua] kepada rakyat. Apa maunya masyarakat? Kami mengikuti keinginan orang asli Papua,” kata Mabel.

Mabel menyatakan nantinya MRP akan meneruskan apapun pendapat rakyat kepada pemerintah pusat. Karena, anggota MRP hanyalah perwakilan masyarakat asli, dan dipiih untuk untuk meneruskan aspirasi masyarakat asli Papua.

Sebelumnya, pada 11 Maret 2020 Presiden Joko Widodo memimpin Rapat Terbatas di Jakarta, membahas evaluasi Dana Otsus Papua. Presiden Jokowi mengharapkan kucuran Dana Otsus Papua dievaluasi secara menyeluruh, dengan melibatkan masyarakat di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Menurut Jokowi, pemerintah sudah menjalurkan Dana Otsus Papua yang sangat besar. Nilai kucuran Dana Otsus Papua sejak 2002 hingga 2020 telah mencapai Rp94,24 triliun. “Angka yang sangat besar,” kata Jokowi, sebagaimana dikutip dari dokumentasi video yang diunggah akun Youtube Sekretariat Presiden.

Jokowi menyatakan pemanfaat Dana Otsus Papua itu harus dievaluasi. “Sejauh mana dampaknya yang dirasakan oleh masyarakat. Perlu dikonsultasikan dengan seluruh komponen rakyat Papua dan Papua Barat,” kata Jokowi.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

Read More