Categories Berita

MRP dan MRPB gelar RDP membahas rekrutmen orang asli Papua dalam parpol

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib dan Ketua Majelis Rakyat Papua Barat, Maxsi N Ahoren bersama-sama memukul tifa untuk membuka Rapat Dengar Pendapat yang membahas kebijakan afirmasi dalam rekrutmen politik orang asli Papua. – Jubi/Benny Mawel

Sentani, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP bersama Majelis Rakyat Papua Barat atau MRPB menggelar Rapat Dengar Pendapat Gabungan bersama pimpinan partai politik dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua di Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, Papua, Kamis (27/2/2020). Rapat itu membahas kebijakan afirmasi dalam perekrutan partai politik di Papua untuk memprioritaskan orang asli Papua.

Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Gabungan MRP dan MRPB itu menindaklanjuti jawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI atas usulan penambahan persyaratan calon Gubernur dan Wakil Gubernur kedua provinsi. Selama ini, persyaratan itu dirinci dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Ketentuan Khusus Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota di Wilayah Aceh, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua dan Papua Barat.

Sebelumnya, MRP telah meminta PKPU Nomor 10 Tahun 2017 itu direvisi dengan menambahkan persyaratan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua dengan rekomendasi dari MRP. Timotius Murib menyatakan usulan itu didasarkan isi Pasal 28 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

“Ayat (3) [Pasal 28 UU Otsus Papua menyatakan] rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Ayat (4) [Pasal itu menyatakan] partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing,” ujar Murib dalam RDP Gabungan itu.

Atas dasar itu, MRP mengusulkan klausul persyaratan tambahan untuk ditempatkan sebagai Pasal 22 ayat (1) huruf Y yang berbunyi “mengenal daerah dan dikenal oleh masyarakat daerahnya yang dibuktikan dengan rekomendasi dari MRP.” Klausul tambahan itu diharapkan akan masuk dalam revisi PKPU Nomor 10 Tahun 2017.

Atas usulan itu, KPU menyatakan memahami konteks usulan MRP. “MRP dapat membuat suatu kesepakatan dengan dengan penggurus partai di tingkat pusat mengenai mekanisme pemberian pertimbangan /rekomendasi terhadap pasangan calon kepala daerah yang diusulkan,” tulis KPU RI dalam surat jawabannya kepada MRP.

Murib menyatakan MRP telah melakukan pertemuan dengan para pimpinan partai politik di pusat. Pada prinsipnya, ada partai politik yang mendukung perjuangan MRP untuk menegaskan kebijakan afirmatif dalam rekrutmen politik oleh partai politik di Papua. MRP akhirnya menindaklanjuti hal itu dengan RDP Gabungan MRP dan MRPB bersama para pimpinan partai politik di Papua pada Kamis.

Dari 16 parpol yang diundang, hanya sembilan partai politik yang menghadiri RDP Gabungan itu. Sejumlah empat pengurus partai politik di Papua memberikan masukan dan pendapat mereka atas usulan MRP itu.

Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Berkarya Papua, Benny Kogoya menyepakati adanya kekhususan proses rekrutmen politik di Papua. “Apa yang khusus di Papua? Kalau khusus berarti Gubernur, Wakil gubernur, [juga] Bupati dan Wakil Bupati khusus orang asli Papua,” kata Kogoya.

Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Amanat Nasional Papua, Yahya Dimara juga menyatakan pihaknya menyepakati perjuangan MRP. Dimara menyatakan partai politik di Papua harus memenuhi hak konstitusional orang asli Papua. “Sebagai partai reformasi, kami sangat setuju dengan apa yang telah disampaikan tadi,” kata Dimara.

Ketua MRPB, Maxsi N Ahoren mengatakan RDP Gabungan itu pertemuan luar biasa yang membicarakan nasib orang asli Papua di negerinya sendiri.  “Pertemuan luas biasa, ada keputusan yang akan diambil. Kami harus menjadi tuan di negeri sendiri,” kata Ahoren seusai rapat itu.

Ahoren menyatakan tidak ada kata terlambat untuk menjalankan kebijakan afirmasi dalam rekrutmen politik di Papua maupun Papua Barat. “Masih ada waktu untuk mengambil langkah ke depan,”ungkapnya.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP kecewa ada eks karyawan Kodeko yang meninggal sebelum terima pesangon

Pertemuan MRP dengan eks karyawan PT Kodeko Papua di Serui, Kabupaten Yapen, Senin (24/2/2020). – Jubi/Humas MRP

Jayapura, MRP – Ketua Kelompok Kerja Adat Majelis Rakyat Papua atau Pokja Adat MRP, Demas Tokoro mengatakan pihaknya sangat kecewa mendengar ada eks karyawan PT Kodeko Papua yang sudah meninggal sebelum mendapat uang pesangon. Mereka adalah bagian dari 1.435 karyawan PT Kodeko Papua yang dipecat saat perusahaan kayu lapis di Serui, Kabupaten Yapen, Papua, itu berstatus pailit.

“Ada banyak yang meninggal tanpa mendapatkanya haknya. Itu [pihak yang belum membayar pesangon] berdosa,” kata Demas Tokoro, sebagaimana dikutip dari dokumentasi rekaman Humas MRP yang diterima Jubi pada Selasa (25/2/2020).

Pokja Adat MRP sedang menelusuri kasus pemecatan 1.435 karyawan PT Kodeko Papua pada 2004.Tokoro menyatakan selama 14 tahun 1.435 eks karyawan PT Kodeko Papua masih menunggu pembayaran gaji dan pesangon mereka. “Eks karyawan Kodeko Papua menceritakan perjuangan panjang mereka menuntut haknya sebagai eks karyawan,” kata Tokoro.

Salah satu eks karyawan PT Kodeko Papua, Martaha Helaha menyatakan beberapa rekannya telah meninggal selama 14 tahun perjuangan para karyawan PT Kodeko Papua menuntut hak mereka. “Ada banyak yang [sudah] meninggal,” kata Helaha saat menuturkan kondisi para eks karyawan PT Kodeko Papua dalam pertemuan dengan Pokja Adat MRP di Serui pada Senin (24/2/2020) lalu.

Koordinator eks karyawan PT Kodeko Papua, Cosmas Pondayar membenarkan keterangan Helaha itu, namun menyatakan belum mendata berapa jumlah eks karyawan PT Kodeko Papua yang telah meninggal. “Memang jelas ada yang meninggal, [setidaknya ada] dua [eks karyawan yang] meninggal pada 2019,” kata Pondayar saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon di Serui pada Selasa (25/2/2020).

Costan Pondayar mengatakan PT Kodeko Papua merupakan perusahaan kayu lapis yang dirikan pada 1995, dan mulai berproduksinya sejak 1997. “Pada 2002 kondisi tidak normal dan pada 2004 [perusahaan dinyatakan] pailit. Karyawan [diberhentikan] tanpa pembayaran pesangon, sehingga  aset-aset [perusahaan] menjadi jaminan [untuk membayar hutang pesangon kepada] para karyawan,” kata Pondayar.

Pada tahun 2006, para karyawan menggugat manajemen PT Kodeko Papua di Pengadilan Negeri Tangerang, menuntut perusahaan segera membayar gaji dan uang pesangon 1.435 karyawan yang dipecat pada 2004 itu. “Pada 2006, pengadilan memenangkan gugatan kami,” ujar Pondayar.

Ia menyatakan putusan itu mewajibkan pihak manapun yang mengambil alih aset PT Kodeko Papua wajib membayar semua hak para eks karyawan PT Kodeko Papua. Dalam perkembangannya, PT Sinar Wijaya melanjutkan produksi pabrik kayu lapis PT Kodeko Papua. Akan tetapi, PT Sinar Wijaya tak kunjung melunasi seluruh tunggakan pesangon 1.435 eks karyawan PT Kodeko Papua.

Menurut Pondayar, PT Sinar Wijaya telah membayar sejumlah uang kepada para eks karyawan PT Kodeko Papua. Akan tetapi, nilai uang yang dibayarkan PT Sinar Wijaya lebih kecil dari besaran hak gaji dan pesangon masing-masing karyawan PT Kodeko Papua. Para eks karyawan PT Kodeko Papua akhirnya mengadukan kasus itu kepada MRP.

Demas Tokoro mengatakan MRP akan memperjuangkan pembayaran kekurangan uang gaji dan pesangon para eks karyawan PT Kodeko Papua. “Kami akan berjuang. Saya minta masyarakat tetap memberikan dukungan dan doa dalam bentuk apa saja,”ungkapnya.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP telusuri kronologi pemecatan 1.435 karyawan PT Kodeko Papua

Pertemuan MRP dengan eks karyawan PT Kodeko Papua di Serui, Kabupaten Yapen, Senin (24/2/2020). – Jubi/Humas MRP

 

Jayapura, MRP – Kelompok Kerja Adat Majelis Rakyat Papua atau Pokja Adat MRP bertemu dengan perwakilan 1.435 eks karyawan PT Kodeko Papua di Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, Senin (24/2/2020). Dalam pertemuan itu, Pokja Adat MRP mendengarkan kronologi pemecatan 1.435 karyawan PT Kodeko Papua yang terjadi pada 2004.

Ketua Pokja Adat MRP, Demas Tokoro melalui Humas MRP menyatakan pertemuan pada Senin merupakan pertemuan kedua pihaknya dengan perwakilan 1.435 karyawan PT Kodeka Papua. “Hari ini pertemuan kedua dengan eks karyawan PT Kodeko, setelah pertemuan pertama pada 13 Februari  lalu,” kata Tokoro.

Menurutnya, dalam pertemuan pertama perwakilan eks karyawan PT Kodeko Papua mengadukan kasus terkatung-katungnya pembayaran pesangon bagi 1.435 karyawan PT Kodeko Papua yang dipecat pada 2004. Pada pertemuan Senin, Pokja Adat MRP mendengarkan paparan kronologi pemecatan itu.

Tokoro menyatakan selama 14 tahun 1.435 eks karyawan PT Kodeko Papua masih menunggu pembayaran gaji dan pesangon mereka. “Eks karyawan Kodeko Papua menceritakan perjuangan panjang mereka menuntut haknya sebagai eks karyawan,” kata Tokoro.

Salah satu karyawan yang dipecat pada 2004, Costan Pondayar mengatakan PT Kodeko Papua merupakan perusahaan kayu lapis yang dirikan pada 1995, dan mulai berproduksinya sejak 1997.

“Pada 2002 kondisi tidak normal dan 2004 [perusahaan dinyatakan] pailit. Karyawan [diberhentikan] tanpa pembayaran pesangon, sehingga  aset-aset [perusahaan] menjadi jaminan [untuk membayar hutang pesangon kepada] para karyawan,” kata Pondayar, sebagaimana dikutip dari dokumentasi Humas MRP.

Pada tahun 2006, para karyawan menggugat manajemen PT Kodeko Papua di Pengadilan Negeri Tangerang, menuntut perusahaan segera membayar gaji dan uang pesangon 1.435 karyawan yang dipecat pada 2004 itu. “Pada 2006, pengadilan memenangkan gugatan kami,” ujar Pondayar.

Ia menyatakan putusan itu mewajibkan pihak manapun yang mengambil alih aset PT Kodeko Papua wajib membayar semua hak para eks karyawan PT Kodeko Papua. Dalam perkembangannya, PT Sinar Wijaya melanjutkan produksi pabrik kayu lapis PT Kodeko Papua, namun tak kunjung membayar pesangon 1.435 eks karyawan PT Kodeko Papua.

“Kami mantan karyawan itu tidak tahu dari pintu mana PT Sinar Wijaya bisa masuk beroperasi. Karena tidak pernah [ada] sosialisasi kepada kami,” kata Pondayar.

PT Sinar Wijaya telah membayar sejumlah uang kepada para eks karyawan PT Kodeko Papua. Akan tetapi, Pondayar menyatakan nilai uang yang dibayarkan PT Sinar Wijaya lebih kecil dari besaran nilai pesangon masing-masing karyawan.

“Kami difasilitasi pemerintah kampung, bertemu [manajemen PT Sinar Wijaya] di Kantor Kampung Awunawai. [PT Sinar Wijaya membayarkan sejumlah uang, namun] kami tidak diberi kesempatan untuk baca surat pembayaran [yang harus kami tandatangani. Kami disuruh] langsung tanda tangan saja, alasannya ‘antrian karyawan banyak’,” ujar Pondayar.

Belakangan, para karyawan baru menyadari bahwa uang yang dibayarkan PT Sinar Wijaya lebih kecil dari pada nilai hak pesangon masing-masing karyawan. “Putusannya, saya harus terima Rp31 juta, [namun] saya hanya 15 juta,” aku Pondayar.

Demas Tokoro mengatakan pihaknya akan menjalankan mekanisme lembaga MRP untuk mempertemukan para perwakilan eks karyawan PT Kodeko Papua dengan pemerintah daerah dan manajemen PT Sinar Wijaya. Pertemuan itu akan dihadiri pula oleh Pokja Perempuan dan Pokja Agama MRP.

“Kami akan melakukan kunjungan gabungan MRP, Pokja Adat, Agama dan Perempuan. Kami akan berjuang, karena MRP ada untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat. Kami harap masyarakat mendukung kami,” kata Tokoro.(*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

Maret 2020, MRPB dan MRP Akan Gelar Pertemuan Luar Biasa

Ketua MRPB, Maxsi Nelson Ahoren – MRPB

MANOKWARI, MRP  – Menyikapi rencana perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang direncanakan oleh Pemerintah dan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati tahun 2020 di Tanah Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua dan Papua Barat akan segera menggelar pertemuan.

Demikian hal ini diungkapkan Ketua MRPB, Maxsi Nelson Ahoren yang ditemui papuabaratonline, diruang kerjanya, Rabu (12/02/2020).

Dikatakannya, pertemuan yang direncanakan akan berlangsung pada Maret 2020 mendatang di Jayapura, Provinsi Papua itu, akan membahas tentang rencana perubahan UU 21 tahun 2001 oleh pemerintah dan pemilihan Bupati dan Wabup di Tanah Papua.

Dimana, dalam pertemuan itu akan melahirkan sebuah kesepakatan terkait perubahan yang dimaksudkan oleh Pemerintah atau tidak.

“Apakah kita akan tetap sepakat dengan rencana perubahan UU 21 tahun 2001 yang dilakukan pemerintah atau kita MRP bersepakat dengan UU Otsus Plus yang sudah dibuat berapa tahun lalu,”kata Ahoren.

Setelah ditetapkan dua agenda tersebut melalui pelno luar biasa MRP dan MRPB, sebutAhoren, hasilnya akan langsung dibawa ke Jakarta untuk dibacarkan.(*)

 

Sumber: Papuabaratonline.com

Read More