Categories Berita

MK Tunda Gugatan MRP/MRPB Karena COVID-19

Ketua MRP Timotius Murib, Ketua MRPB, Maxsi Ahoren, Wakil Ketua I MRP, Yoel Luiz Mulait ditemui awak media saat mendaftarkan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ke Mahkaman Konstitusi, Kamis (17/6/2021). – Dok. Tim Kuasa Hukum MRP/MRPB

JAYAPURA, MRP – Dengan pertimbangan pandemi COVID-19, Mahkamah Konstitusi menunda sidang pendahuluan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diajukan Majelis Rakyat Papua bersama Majelis Rakyat Papua Barat terkait revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua oleh pemerintah. Di pihak lain, Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI masih membahas revisi itu, dan belum mengumumkan penundaan pembahasan karena pandemi COVID-19.

Tim Hukum dan Advokasi Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menyatakan MK menunda sidang itu sampai batas waktu yang belum ditentukan. “Penundaan sidang MK [seperti itu] mencederai rasa keadilan orang asli Papua,” kata Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB dalam keterangan pers secara daring pada Minggu (4/7/2021).

MRP/MRPB mengajukan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) ke Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta pada 17 Juni 2021. Permohonan itu diajukan karena pemerintah pusat secara sepihak mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).  

Permohonan SKLN itu didaftarkan dengan nomor pokok perkara 2085-0/PAN.MK/VI/2021, dengan Presiden Joko Widodo selaku termohon. Permohonan itu diajukan ketika Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI tengah membahas RUU Perubahan Kedua UU Otsus dari pemerintah.

Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB menyatakan pada 29 Juni 2021 Panitera MK telah mengirimkan relas panggilan kepada para pihak untuk mengikuti persidangan pada 5 Juli 2021. Dalam relas panggilan sidang itu, MK meminta para pihak mengikuti persidangan secara daring, tanpa datang ke MK.

“Akan tetapi, pada tanggal 3 Juli 2021, kami menerima surat MK nomor 2.1/SKLN/PAN.MK/PS/7/2021 perihal penundaan sidang sampai dengan waktu yang ditentukan kemudian. “Sidang ditunda karena adanya kebijakan MK terkait upaya pencegahan dan penanganan penyebaran virus COVID-19 di lingkungan kantor MK,” demikian Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB.

Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB mengatakan bisa memahami dan menyatakan prihatin atas situasi pandemi COVID-19 yang meluas. Tim itu juga memahami bahwa penundaan sidang MK itu menindaklanjuti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada 3 – 20 Juli 2021.

Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB menyayangkan penundaan sidang itu tanpa disertai kepastian kapan sidang akan dilanjutkan. Ketidakjelasan kapan sidang pendahuluan perkara SKLN itu akan dilanjutkan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi MRP/MRPB selaku pemohon yang memperjuangkan hak konsitusionalnya untuk mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Penundaan sidang dengan frasa “ditunda sampai dengan waktu yang ditentukan kemudian” dinilai bermakna persidangan menjadi tidak memiliki batasan waktu yang jelas. Padahal MRP/MRPB membutuhkan kepastian dan keadilan dalam perkara SKLN itu, mengingat Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI masih melanjutkan pembahasan revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

Pada 1 Juli 2021, Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI di Jakarta melanjutkan pembahasan RUU tentang Perubahan Kedua UU Otsus Papua. Hingga kini, Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI belum mengumumkan rencana menunda pembahasan itu karena penerapan PPKM Darurat mulai 3 Juli 2021.

Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB mengkritik Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI yang terus membahas RUU itu, padahal pandemi COVID-19 tengah melanda Jakarta. Sebaliknya, upaya MRP/MRPB menghentikan pembahasan RUU itu melalui permohonan SKLN di MK justru ditunda dengan pertimbangan pandemi COVID-19.

Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB menilai pembahasan RUU Perubahan Kedua UU Otsus Papua justru mempertontonkan ketidak-adilan dan diskriminasi bagi orang asli Papua untuk memperoleh hak konstitusional mereka melalui MK. Padahal MK merupakan bentuk terakhir bagi pencari keadilan.

“Kami ingin menegaskan, penundaan atas persidangan yang tidak diiringi dengan penundaan pembahasan revisi UU Otsus di Pansus DPR RI adalah pengkhianatan atas keadilan, dan mencederai semangat lembaga peradilan yang impartial dan independen bagi semua pihak,” demikian pernyataan Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB.

Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB mendesak Panitera MK segera mengumumkan jadwal pasti sidang pendahuluan sidang perkara itu. “Karena, menurut hemat kami, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat untuk wilayah Jawa dan Bali yang berlaku mulai tanggal 3 Juli 2021 sampai dengan 20 Juli 2021 bukanlah libur nasional,” demikian keterangan pers Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB.

Advokat Roy Rening selaku anggota Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB mengatakan permohonan MRP/MRPB itu merupakan upaya orang Papua terlibat dalam proses pembahasan revisi UU Otsus Papua. Akan tetapi, penundaan itu memberi kesan negara tidak punya itikad baik melaksanakan UU Otsus Papua.

Roy mengungkapkan sejumlah hal yang menunjukkan pemerintah tidak punya itikad baik itu. Para menteri hingga presiden tidak pernah bertemu MRP dan MRPB untuk mendengarkan aspirasi mereka. “Kalau mereka tidak terlibat, UU akan menimbulkan resistensi di akar rumput Papua. Negara yang rugi,” kata Rening. (*)

 

Sumber: Jubi

 

Read More
Categories Berita

Gugat di MK, Kuasa Hukum MRP-MRPB Minta Negara Beri Keadilan Bagi Rakyat Papua

Pimpinan MRP dan MRPB saat menyerahkan sengketa UU Otsus ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta hari ini – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Sejarah mencatat, Papua bergabung ke Indonesia sejak 1 Mei 1963, dengan nama Irian Barat. Namun sejak awal, rakyat Papua merasa ada ketidakadilan. Hal itu ternyata masih dirasakan hingga kini, setelah 58 tahun bergabung dengan Ibu Pertiwi.

Ketidakadilan yang kini begitu nyata dirasakan terkait revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Padahal, tadinya pemberian Otonomi Khusus dipandang sebagai solusi bijak dan konsensus politik antara Jakarta dengan Papua.

Merasa kecewa karena tidak diikutsertakan pada pembahasan revisi UU Otsus Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menggugat UU No. 21/2001. Mereka melakukan uji sengketa kewenangan di Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 77 UU 21/2001 yang menyatakan, “Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Sebab, faktanya pemerintah pusat telah mengambil alih kewenangan tersebut. MRP dan MRPB memberikan kuasa kepada Tim Hukum dan Advokasi Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Rumah Bersama Advokat (RBA) untuk melayangkan gugatan tersebut.

“Kami mempertanyakan, siapa sebenarnya yang berhak memberi usulan perubahan, rakyat Papua atau pemerintah pusat?” tanya Timotius Murib Ketua MRP dalam acara Rapat Konsultasi sekaligus penandatanganan surat kuasa hukum untuk sengketa kewenangan di MK, di Jakarta, Rabu (16/6/2021)

Maxsi Nelson Ahoren Ketua Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) pada kesempatan itu menegaskan, pihaknya tidak melawan negara, hanya saja mempertegas siapa sebenarnya yang berhak memberi usulan perubahan UU Otsus Papua. Selain itu, dipertanyakan pula soal sikap pemerintah pusat yang tidak melibatkan MRP dan MRPB dalam membahas kelanjutan Otsus yang habis masa berlakunya di tahun ini.

Menurut Murib, selama ini rakyat Papua bertanya-tanya, kenapa selama 20 tahun implementasi UU 21/2001 ini, dari 24 kekhususan yang diberikan, hanya 4 yang dilaksanakan. “Jelas ini tidak fair bagi rakyat Papua. Bahkan ada yang menduga itu hanya akal-akalan pemerintah pusat saja,” imbuh Murib.

Sementara itu, Dr. Roy Rening Anggota Tim Hukum dan Advokat MRP dan MRPB menegaskan, pihaknya ingin mempertegas soal kewenangan terkait usulan perubahan. “Kalau memang itu hak rakyat Papua, ya berikan saja. Jangan diambil alih oleh pemerintah pusat. Itu namanya sewenang-wenang. Jangan-jangan ini upaya pemerintah pusat untuk menarik kewenangan yang harusnya menjadi milik rakyat Papua,” ujarnya.

Karenanya, kata Roy, pihaknya akan fight untuk memperjuangkan keadilan bagi rakyat Papua. “Orang Papua juga warga Indonesia. Mereka memiliki hak yang sama untuk memenuhi kebutuhan dan mengembangkan daerahnya sendiri. Jangan hak itu diambil oleh pusat,” tegasnya.

Dirinya berharap MK bisa arif dan bijaksana dalam melihat persoalan ini. Paling tidak, ujar Roy, MK bisa menunda revisi ini dan meminta agar UU ini didiskusikan dengan rakyat Papua sesuai amanat UU No. 21/2001.

 

 

Read More
Categories Berita

Temui Mendagri, MRP dan MRPB Tegaskan UU Otsus Harus Diubah Menyeluruh

Pimpinan MRP dan MRPB saat Menemui Mendagri dan memberikan buku hasil RDP di Provinsi Papua – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, berkenan menerima pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Papua Barat, Rabu, (16/6) di Jakarta. Atas undangan tersebut, 6 orang perwakilan MRP Papua dan Papua Barat dipimpin langsung masing-masing Ketua MRP dan MRPB, Timotius Murib dan Max Ohuren.

Pertemuan yang berlangsung dalam suasana akrab dan kekeluargaan itu dimulai tepat pukul 11.50 menit WIB.
“Sebagai lembaga Negara yang ada di daerah, kami rindu untuk sampaikan pokok-pokok pikiran kami, karena selama 20 tahun Otsus berlangsung, hanya 4 bidang yang sudah jalan.

Hari ini masyarakat Papua menuntut Undang-Undang nomor 21 untuk adanya perubahan yang menyeluruh,” ungkap Ketua MRP Papua, Timotius Murib mengawali pertemuan itu.

Ada 24 kewenangan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Namun kata Murib hanya empat kewenangan saja yang jalan selama kurun waktu 20 tahun Otsus ada di Tanah Papua. Itu sebabnya evaluasi Otsus haruslah menyeluruh.

Ditambahkan Murib, di hadapan Mendagri yang didampingi Dirjend Otonomi Daerah (Otda) itu, di mana harapan Presiden Joko Widodo dalam arahan pada rapat terbatas Kabinet tanggal 11 Maret 2020 di Kantor Presiden, di mana Murib mencoba mengulang lagi arahan itu.

“Arahan Presiden yakni evaluasi secara menyeluruh tata kelola dan efektivitas pelaksanaan otonomi khusus Papua. Yang kedua harus ada sebuah cara baru, kerja baru. Kita harus bangun sebuah system dan cara kerja baru untuk sebuah lompatan. Perlu ada perubahan yang signifikan yang terjadi. Yang berikutnya adalah penekanan presiden bahwa pelaksanaan Otsus harus dikonsultasikan dengan seluruh elemen masyarakat di Papua dan Papua Barat,” ungkap Murib.

Pada kesempatan itu, Murib mengingatkan kembali Mendagri bahwa di Papua dan Papua Barat telah melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP), namun ketika itu terbentur dengan surat Bupati dan Walikota yang melarang pelaksanaan RDP di daerahnya.

“Ini kami rasa sebagai suatu pembukaman bagi lembaga MRP. Padahal kami sebenarnya tidak punya niat untuk melawan Negara,” ungkap Timotius Murib.

Dia menegaskan baik MRP dan MRPB belum pernah memberikan pokok-pokok pikiran terhadap perubahan kedua undang-undang Otsus kepada Pansus DPR RI Perubahan kedua Undang-Undang Otsus Papua.

Kesempatan yang sama Ketua MRP Papua Barat, Maxsi Nelson Ahoren, SE menegaskan pentingnya masa jabatan MRP harus disesuaikan dengan masa jabatan lembaga DPR dan kepala daerah di seluruh Indonesia. Hal ini karena pertimbangan MRP adalah lembaga Negara yang secara khusus karena amanat Undang-Undang Otsus, dengan tugas dan kewenangan yang sama dengan DPR.

Menginteraksi pertemuan itu, Mendagri Tito Karnavian menegaskan usulan-usulan yang disampaikan akan di tampung untuk diteruskan ke Pansus DPR RI perubahan kedua Undang-Undang Otsus.

“Tapi yang disampaikan ini menjadi masukan untuk diteruskan ke DPR RI,” kata mantan Kapolda Papua itu di hadapan anggota MRP dan MRP Papua Barat.

Tito Karnavian mengakui pihaknya mendapat kunjungan dan masukan dari Asosiasi Bupati/Walikota se Tanah Papua termasuk tokoh masyarakat untuk menkonsultasi pemekaran ke Kemendagri. Menurut Tito Karnavian secara pribadi dirinya inginkan Pilkada langsung ke DPR, akan tetapi usulan terhadap masalah pilkada langsung dan tidak langsung itu, kini sudah ada di Pansus DPR RI.

Dikatakan Tito Karnavian bahwa Pansus DPR RI perubahan kedua Undang-Undang Otsus menyampaikan keinginan sejumlah daerah-daerah yang menggunakan system noken dikembalikan ke DPR dalam hal ini Kabupaten dan Kota di Papua.

Sebelumnya Ketua Tim Kerja Perubahan kedua Undang-Undang Otsus MRP, Beny Sweny mengatakan tujuan MRP ke Jakarta dalam rangka menegakan kewenangan MRP sebagaimana perintah pasal 77 yang menyebutkan bahwa usul perubahan atas undang-undang ini dapat dilakukan oleh rakyat Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR dan Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.

“Pada kenyataannya tanpa melalui mekanisme beberapa kepala daerah langsung ke DPR RI yang akhirnya fokus pada dua pasal yakni pasal 34 dan pasal 76. Oleh karena itu kami inginkan kewenangan pada pasal 77 apakah masih berlaku,” tanya Beny Sweny, sembari menegaskan pasal 76 belum ada urgensinya. Menurut mantan Ketua KPU Papua itu, bahwa Undang-Undang Otsus harus dirubah menyeluruh, bukan parsial.

Sebagaimana anggota MRP Papua dipimpin langsung Timotius Murib, Yoel Mulait (Waket I), anggota masing-masing, Beny Sweny, Roberth Wanggai. MRP Papua Barat Maxsi Nelson Ahoren (Ketua) dan anggota Christiana Ayello (Ketua Pokja Perempuan).

(Notulen: Roberth Wanggai)

 

Read More
Categories Berita

MRP dan DPR Papua Hadiri Diskusi Panel Organisasi Cipayung di Jayapura

Timotius Murib ketua MRP dan Yunus Wonda wakil ketua I DPR Papua saat mengikuti diskusi panel yang di gelar oleh 6 cipayung yang ada di kota Jayapura – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – 6 Cipayung kota Jayapura HMI, PMKRI, GMKI, PMII, GEMINDO, dan GMNI yang tergabung dalam organisasi kepemudaan mahasiswa mengelar diskusi panel terkait kondisi Otonomi Khusus (Otsus) dan Pemekaran yang berkembang di antara pro-kontra pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kegiatan diskusi panel yang dihadiri Perwakilan DPR Papua Yunus Wonda Wakil ketua I dan Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua tersebut berlangsung di salah satu hotel di Kotaraja Luar, Rabu (21/4/2021), dihadiri kurang lebih 200 peserta baik mahasiswa dan anggota aktif OKP Cipayung di Jayapura.

Yunus Wonda Wakil ketua I DPR Papua usai diskusi panel mengatakan kegiatan yang dilakukan oleh Cipayung sangat tepat untuk bahas kajian ilmiah seperti ini di forum resmi agar apa yang di diskusikan dapat dipertanggungjawabkan kelak.

“Ini satu ruang di mana semua pihak bicara tentang kondisi dinamika yang terjadi di tanah Papua, sehingga siapa pun dia tidak boleh melarang kegiatan ini,” katanya.

Lanjutnya, apa yang dibahas dalam diskusi panel ini dapat melahirkan catatan-catatan untuk disampaikan ke pemerintah pusat terkait apa yang sedang dihadapi rakyat Papua dan apa yang sebenarnya diinginkan orang asli Papua.

“Terkait Otsus dan Pemekaran DOB semua keputusan ada di MRP karena lembaga ini merupakan kulture masyarakat Papua, dan apa yang diputuskan atau disampaikan MRP merupakan aspirasi dari masyarakat Papua,” katanya.

Wonda menegaskan persoalan Papua hanya bisa diselesaikan oleh orang Papua sendiri melalui diskusi dan kajian ilmiah seperti ini, mencari akar masalah dan menyelesaikannya bukan di putuskan oleh negara (Jakarta) lalu di paksakan di Papua, otomatis persoalan Papua tidak akan pernah selesai meskipun Otsus dan Pemekaran DOB di lakukan di tanah Papua.

Timotius Murib, ketua Majelis Rakyat Papua juga menegaskan persoalan Papua tidak pernah diselesaikan baik dari orde lama, orde baru, era reformasi hingga era Otsus tahun 2001 karena negara tidak pernah memberikan kewenangan sepenuhnya kepada orang Papua.

“Wajar saja banyak persoalan Papua tidak pernah diselesaikan negara, Banyak kewenangan yang di amputasi (dihilangkan) dalam UU Otonomi Daerah dan Otsus sehingga tidak ada satu kewenangan yang mengatur dan mengakomodir hak-hak orang asli Papua,” tegasnya.

Lanjutnya, Pemerintah harusnya menyadari bahwa belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, kesejahteraan rakyat, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia orang asli Papua.

“Pemerintah berpikir dengan uang yang banyak dan DOB dapat menyelesaikan persoalan Papua. Dasarnya apa? Uang banyak, Kekerasan masih terjadi di berbagai aspek,” kata Murib.

MRP berharap negara dapat membuka ruang bagi orang asli Papua menyampaikan pendapat di muka umum melalui MRP sesuai amanat pasal 77 nomor 21 UU Otsus tahun 2001. (*)

Read More

Categories Berita

MRP Sebut Bunuh Guru Sama Seperti Bunuh Generasi

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) akhirnya angkat suara terkait kasus penembakan di Beoga Kabupaten Puncak hingga mengakibatkan dua orang guru meninggal dunia.

Ini dianggap tidak manusiawi dan sangat mengganggu, mengingat korban yang tewas adalah pekerja kemanusiaan. Ini sama seperti membunuh seorang tokoh agama maupun misionaris.

Ketua MRP, Timotius Murib menaruh harap konflik kekerasan yang berujung hilangnya nyawa orang lain di Papua perlu segera dihentikan. Pasalnya selama konflik ini berkepanjangan maka yang dirugikan adalah anak – anak dan perempuan yang juga orang asli Papua.

Timotius meminta kekerasan bersenjata tidak lagi menyentuh masyarakat sipil. “Kami  sangat prihatin dengan situasi konflik yang berkepanjangan di Papua khususnya di daerah konflik seperti di Intan Jaya dan Nduga. Kami sedih sebab banyak anak – anak maupun perempuan yang tak mendapatkan hak – hak dasarnya,” kata Timotius melalui ponselnya, Senin (12/4).

Ia berpendapat bahwa konflik yang terjadi dan berkepanjangan justru yang mendapatkan kerugian adalah mereka yang merupakan orang asli Papua sehingga harapannya konflik ini diakhiri.

MRP juga menyikapi penembakan masyarakat sipil terutama yang terbaru, dua orang guru. “Saya sampaikan bahwa setiap orang yang menghilangkan nyawa orang lain maka itu perbuatan terkutuk. Apapun alasannya apalagi menghilangkan nyawa seorang guru. Itu seperti membunuh beberapa generasi terutama generasi kami orang Papua,” katanya.

Ia mengecam perbuatan  melukai apalagi sampai menghilangkan nyawa  para pekerja kemanusiaan. Harusnya pelaku atau pekerja kemanusiaan ini tak boleh terluka karena kepentingan atau sengketa yang terjadi antara OPM maupun TNI Polri. “Ketika seorang guru dibunuh maka putra-putri kita tidak lagi mendapatkan ilmu. Karena tidak ada yang ajar sehingga di situlah maksud membunuh beberapa generasi. Membunuh guru sama artinya membunuh beberapa generasi dan itu salah sekali,” imbuhnya.

Sebagai lembaga representasi kultural ia berpesan untuk memberikan pemahaman kepada para pihak yang tengah berkonflik. Keduanya, baik OPM maupun TNI-Polri perlu segera mengakhiri sebab yang dirugikan adalah masyarakat kecil.

“Saya pikir kita pahami bersama ketika konflik terjadi maka yang muncul adalah ketakutan dan tak bisa berbuat apa – apa. Masyarakat sipil tak bisa mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan dan menjalankan roda ekonomi seperti biasa dan itu yang saya bilang tadi, perempuan dan anak – anak yang paling merasakan dampaknya,” imbuhnya. (*)

Read More
Categories Berita

Sosialisasi P4GN dalam Sidang Reses I Majalis Rakyat Papua Tahun 2021

Bertempat di Halaman Rumah Ondoafi Skouw Yambe telah dilaksanakan Sosialisasi Bahaya dan Dampak Penyalahgunaan Narkoba dalam Sidang Reses I Majalis Rakyat Papua Tahun 2021 – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Bertempat di Halaman Rumah Ondoafi Skouw Yambe telah dilaksanakan Sosialisasi Bahaya dan Dampak Penyalagunaan Narkoba dalam Sidang Reses I Majalis Rakyat Papua Tahun 2021.

Kegiatan Reses tersebut dihadiri oleh Anggota merangkap Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan Nerlince Wamuar Rollo, SE., M.Pd, Kepala BNN Provinsi Papua, Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura, Kapolresta Jayapura yang diwakili Staf Res Narkoba Polresta, Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Perempuan, dan Masyarakat.

Sosialisasi P4GN dalam Sidang Reses I Majalis Rakyat Papua Tahun 2021

Kegiatan dibuka oleh Ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua Nerlince Wamuar Rollo, SE., M.Pd. dalam sambutannya Ketua Pokja menyampaikan maksud diadakannya Sidang Reses ini adalah untuk menjaring aspirasi dari Masyarakat untuk menjadi Bahan MRP dalam memberikan rekomendasi kebijakan kepada Eksekutif dan Legislatif.

Melihat kondisi saat ini di mana anak-anak kita putra-putri asli Papua telah banyak menjadi korban penyalahgunaan Narkoba bahkan telah banyak juga yang sampai meninggal dunia. Melihat kenyataan ini, sebagai seorang mama dirinya merasa terpukul dan bersedih hati. Oleh karenanya melalui Sidang Reses ini dengan melibatkan Instansi terkait diharapkan akan ada kebijakan yang lebih baik untuk penyelamatan putra-putri asli Papua.

Sosialisasi P4GN dalam Sidang Reses I Majalis Rakyat Papua Tahun 2021

Kepala BNN Provinsi Papua Brigadir Jenderal Polisi Robinson D. P. Siregar, S.H., S.I.K dalam paparannya menyampaikan bahwa kejahatan Narkotika di Papua saat ini sangat menghawatirkan sebab berdasarkan data BNN Provinsi Papua korban penyalahgunaan Narkoba yang telah menjalani Rehabilitasi di BNN Provinsi Papua didominasi oleh Putera-puteri Asli Papua. Oleh karenanya perlu adanya komitmen dan sinergitas bersama baik Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) Kepolisian, TNI, bahkan masyarakat itu sendiri untuk bersama mewujudkan Indonesia, khususnya Papua yang Bersih dari Narkoba Bersinar.

Ditambahkan oleh Ka BNNP Papua, pada Tahun 2021 pihaknya telah membuat dan akan mendeklarasikan 5 Kampung/Desa Bersinar, 3 diantaranya berada di Kota Jayapura yaitu Kelurahan Hamadi, Kelurahan Imbi dan Distrik Muaratami dimana didalamnya ada Kampung Skow Yambe, Skow Mabo dan Skow Sae.

Mohon bantuan dan dukungan masyarakat untuk dapat kita wujudkan itu semua menjadi Kampung/Desa yang Bersih dari Narkoba Bersinar harap Jenderal Bintang satu di BNN Papua.(*)

 

Read More
Categories Berita

Revisi UU Otsus Papua Ditolak MRP & DPRP: Proyek Sepihak Pusat

Ilustrasi HL Indepth Tak Memenuhi Syarat Pemekaran Provinsi. tirto.id/Lugas

JAKARTA, MRP – Presiden Joko Widodo telah mengirimkan Surat Presiden ke DPR agar mereka membahas revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus) pada 4 Desember 2020. Surat tersebut diproses sesuai mekanisme yang berlaku, serta dibahas pada masa sidang III tahun 2020-2021 yang dimulai 10 Januari.

Inti dari revisi adalah agar program Otsus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat dapat dilanjutkan. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, Rabu (22/1/2020), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan karena Otsus berakhir pada tahun ini, revisi harus rampung tahun ini juga. Sementara pada tahun lalu dia bilang berencana memperpanjang status Otsus hingga 20 tahun ke depan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan perpanjangan anggaran dana Otsus untuk dua dekade mendatang mencapai Rp234 triliun—dua kali lipat dari dana Otsus yang digelontorkan sejak 2002 hingga sekarang, yaitu Rp101,2 triliun. Menurut dia, itu menunjukkan bahwa pemerintah pusat terus berkomitmen membangun dan memperpendek jurang kesenjangan di wilayah Papua.

Setelah menerima surat dari Jokowi, DPR lantas membentuk panitia khusus (pansus) yang ditugaskan untuk membahas revisi UU Otsus yang terdiri dari 30 anggota. Mereka semua merupakan perwakilan dari sembilan fraksi di parlemen. Sembilan di antaranya berasal dari daerah pemilihan (dapil) di Papua dan Papua Barat.

Anggota pansus Ahmad Junaidi Auly mengatakan kepada reporter Tirto, Rabu (17/2/2021), belum pernah ada pertemuan setelah badan dibentuk saat rapat paripurna lalu. Meski demikian ia memastikan pansus akan berusaha memperjuangkan yang terbaik bagi rakyat Papua.

Ditolak Orang Papua

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), sebuah organisasi legal yang dimaksudkan sebagai representasi kultural orang asli Papua, mengatakan apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan DPR terhadap UU Otsus adalah pekerjaan sepihak yang jelas tidak dapat didukung. “Tidak melalui mekanisme legal, [harusnya] sesuai dengan Pasal 77 UU Otsus,” ujar dia kepada reporter Tirto, Rabu.

Pasal 77 yang dimaksud berbunyi: “Usul perubahan atas Undang-Undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Murib mengatakan selama ini pusat memang “belum pernah melibatkan rakyat Papua” dalam membahas Otsus dan parahnya itu kebiasaan yang bukan rahasia lagi.

Jika pemerintah ngotot mengesahkan revisi UU Otsus tanpa mau mendengar aspirasi orang Papua, MRP berencana bertindak. “Secara resmi kami akan tinjau ulang di mahkamah. Kami akan gugat [meski] kami tahu akan dikalahkan. Tapi itu tanggung jawab moral kami demi kepentingan Papua,” tutur Murib.

Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Nioluen Kotouki juga setuju dengan Murib. Ia bilang pasal 77 jelas mengamanatkan rakyat Papua untuk mengevaluasi hasil dari program Otsus yang telah berjalan 20 tahun ini. Masalahnya bahkan untuk menjaring aspirasi yang jelas-jelas legal pun tak berjalan mulus.

Contohnya terjadi pada 17 November 2020. Rapat Dengar Pendapat Wilayah, program kerja MRP yang tujuannya mendengarkan aspirasi orang asli Papua, malah direpresi polisi. Orang-orang yang ikut serta ditangkap karena dituduh merencanakan makar. Salah satu yang ditangkap adalah tenaga ahli MRP Wensislaus Fatubun.

“Negara sendiri gagal menjalankan amanat pasal 77. Mau salahkan siapa lagi? Karena lingkaran negara, baik itu kepolisian atau militer, tidak menjaga [rakyat Papua],” ucap Nioluen kepada reporter Tirto, Rabu.

Wakil Ketua DPRP Yunus Wonda, ketika dihubungi Tirto, Rabu, berharap Pansus Otsus bekerja benar yaitu mendengar sebanyak-banyaknya aspirasi. “Harus buka ruang, tak bisa hanya dengar satu-dua orang lalu klaim ‘sudah dengar’,” ucap Yunus. “Pro dan kontra itu biasa, tapi harus ada ruang untuk duduk bersama supaya lahirnya Otsus jilid kedua, ketiga, keempat, benar lahir dari aspirasi rakyat Papua.”

Otsus Papua ditolak banyak masyarakat. Ratusan organisasi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) mengklaim sudah sekitar 18 persen dari penduduk terbuka menyatakan menolak Otsus.

Filep Karma, mantan tahanan politik Papua, sempat mengatakan “Otsus dijanjikan bukan berjilid-jilid, hanya satu kali.” Sejak jilid pertama saja Otsus “tidak bawa perubahan dan justru menambah penderitaan.” Oleh karena itu ia bilang alih-alih Otsus, yang dibutuhkan rakyat Papua adalah referendum. Dengan referendum nasib orang Papua ada di tangan mereka sendiri.

Sumber: Tirto.id

Read More

Categories Berita

MRP pertanyakan indikator untuk melanjutkan kucuran Dana Otsus Papua

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua mempertanyakan indikator yang digunakan pemerintah pusat di Jakarta untuk mengusulkan perpanjangan masa kucuran Dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat hingga 2041. Ketua MRP, Timotius Murib menegaskan kelanjutan Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat harusnya diputuskan melalui evaluasi bersama terhadap 20 tahun pelaksanaan otonomi khusus itu.

Hal itu disampaikan Murib menanggapi rencana pemerintah pusat memperpanjang kucuran Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan Papua Barat. Sebelumnya, rencana itu disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Bersama Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di Jakarta, Selasa (26/1/2021). CNN Indonesia melansir bahwa dalam rapat itu Sri Mulyani mengusulkan penyaluran Dana Otsus Papua dan Papua Barat diperpanjang hingga 20 tahun ke depan.

Besaran Dana Otsus Papua dan Papua Barat juga diusulkan naik dari 2 persen menjadi 2,25 persen nilai Dana Alokasi Umum (DAU) nasional. Sri Mulyani memperkirakan total nilai kucuran Dana Otsus Papua dan Papua Barat selama 20 tahun mendatang akan mencapai Rp234 triliun.

“Indikatornya apa? Dana bertambah lalu mau perubahan? Murib bertanya.

Murib menegaskan berlanjut tidaknya Otsus Papua dan Papua Barat seharusnya diputuskan setelah ada evaluasi bersama terhadap 20 tahun pelaksanaan Otsus Papua dan Papua Barat. Evaluasi bersama itulah yang seharusnya menyepakati apa indikator yang akan digunakan untuk memutuskan model pembangunan Papua di masa mendatang.

Kucuran “penerimaan khusus” atau Dana Otsus Papua setara 2 persen plafon DAU nasional sebagaimana diatur Pasal 34 ayat (3) huruf e Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) akan berakhir pada 2021. Pasal 77 UU Otsus Papua menyatakan setiap perubahan aturan UU Otsus Papua hanya dapat dilakukan atas usulan rakyat Papua melalui MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Papua. Namun kini Menteri Keuangan mengusulkan kepada Komite I DPD RI untuk memperpanjang kucuran Dana Otsus Papua dan Papua Barat hingga 2041.

Murib menekankan pemerintah pusat tidak bisa secara sepihak memutuskan untuk memperpanjang masa kuncuran Dana Otsus Papua. Murib juga menegaskan pemerintah tidak bisa secara sepihak memutuskan besaran Dana Otsus Papua dan Papua Barat hingga setara 2,5 plafon DAU nasional, karena ia menilai kucuran Dana Otsus Papua tidak berdampak positif bagi rakyat Papua.

Menurut Murib, pemerintah pusat semestinya belajar dari pelaksanaan Otsus Papua dan Papua Barat selama 20 tahun terakhir. Dana Otsus Papua dan dana tambahan infrastruktur (DTI) untuk Papua dan Papua Barat selama 2002-2021 mencapai Rp138,65 trliun, namun dinilai Murib tidak membawa perubahan bagi situasi orang asli Papua.

“[Persoalan kecukupan] infrastruktur dasar, [dan] terutama [persoalan] regulasi [yang] masih timpang-tindih [dengan ketentuan UU Otsus Papua]. Pembangunan empat bidang prioritas dalam UU Otsus Papua sangat bermasalah,” kata Murib.

Murib menyatakan pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan masih berpusat di kota dan wilayah berpenduduk migran. “Wilayah orang asli Papua masih terbaikan. Kucuran Dana Otsus tidak mengubah layanan kesehatan dan pendidikan bagi orang asli Papua,” ungkapnya.

Di sisi pembangunan ekonomi kerakyatan, orang Papua terus tertinggal. Tidak ada satu pemerintah daerah di Papua yang berhasil mendidik rakyat untuk mengolah tanah mereka dengan berbasis potensi masing-masing daerah. “Contoh Puncak Jaya. Orang masih kirim ikan dan ayam dari Jayapura. Pemerintah belum fasilitasi rakyat kembangkan ternak Babi,” kata Murib mencontohkan.

Murib menyebut Kota Jayapura telah menjadi bukti terlanjang bahwa pemerintah tidak membantu orang asli Papua mengembangkan perekonomian mereka. “Berapa yang punya kios? Berapa yang punya toko? Semua hanya jual pinang, sayur di emperan toko dan ruko,” kata Murib.

Proteksi sektor perekonomian bagi orang asli Papua juga tidak pernah diterapkan. Jumlah orang Papua yang menjual pinang dari kebunnya sendiri bahkan bisa dihitung, karena kebanyakan dari mereka menjual pinang dari tangan kedua. “Orang kedua itu orang migran. Mereka membeli pinang di wilayah Keerom, dan jual kembali ke orang asli Papua. Lalu orang Papua jual lagi,” kata Murib.

Realitas itu menunjukkan kucuran Dana Otsus Papua tidak membawa manfaat berarti bagi kehidupan orang asli Papua. “Justru koruptor tumbuh subur di Papua. Rakyat menderita, sakit,” ungkapnya.(*)

Sumber: Jubi

Read More

Categories Berita

Koalisi BEM USTJ dan Uncen Serahkan Hasil Kajian Otsus ke MRP

Bertemu MRP, Koalisi BEM USTJ dan Uncen Serahkan hasil kajian ilmiah tentang Otsus di Papua – (Agus Pabika – SP)

JAYAPURA, MRP – Koalisi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) dan Universitas Cenderawasih bertemu Majelis Rakyat Papua (MRP) guna menyerahkan hasil kajian ilmiah mahasiswa Papua terkait efektifitas Otsus selama 20 tahun di tanah Papua.

Pertemuan tersebut berlangsung di ruang rapat kantor MRP, Senin (14/12/2020), di terima oleh Yoel Mulait ketua pokja Agama mewakili pimpinan lembaga MRP dan Andy Goo staf ahli MRP .

Yops Itlay ketua BEM Uncen saat menyerahkan hasil kajian ilmiah tentang Otsus mengatakan berdasarkan dengan kajian mahasiswa dengan judul pengaruh Otsus terhadap kesejahteraan orang asli Papua.

“Dari hasil kajian ilmiah ini kami sudah mengunakan beberapa metode untuk bagaimana melihat aspirasi atau keinginan rakyat terkait Otsus ini seperti apa,” kata Yops.

Dirinya juga menyimpulkan dari semua akumilasi dari para pihak-pihak baik mahasiswa maupun para dosen mengatakan bahwa Otonomi Khusus (Otsus) itu sudah gagal di tanah Papua.

“Kami mahasiswa juga mengambil kesimpulan bahwa Otsus ini tidak perlu dilanjutkan lagi, kembalikan kepada rakyat apa yang rakyat inginkan lanjut atau tidaknya Otsus ini,” katanya.

Yoel Mulait ketua Pokja Agama MRP mengatakan hasil kajian ilmiah yang di berikan mahasiswa melalui BEM USTJ dan Uncen ini akan ditindaklanjuti oleh MRP sesuai dengan mekanisme yang ada di lembaga ini.

“Terima kasih kepada mahasiswa yang sudah hadir dan menyerahkan hasil kajian ilmiah secara intelektual kepada lembaga MRP untuk bisa menjadi bahan masukan dalam proses evaluasi Otsus di Papua,” katanya. (*)

Sumber: Suara Papua 

Read More