Categories Berita

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan, Pokja Perempuan MRP Kunker di Nabire

elompok Kerja (Pokja) Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP) melaksanakan kunjungan kerja (Kunker) di Kabupaten Nabire. Pertemuan berlangsung di Hotel Anggrek, Jalan Pepera pada Senin (13/12/2021). – Dok

NABIRE, MRP – Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP) melaksanakan kunjungan kerja (Kunker) di Kabupaten Nabire. Pertemuan berlangsung di Hotel Anggrek, Jalan Pepera pada Senin (13/12/2021).

Ketua Pokja Perempuan MPR, Ciska Abugau A.Ma, Pd. mengatakan, Kunker dilaksanakan dalam rangka kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Nabire.

“Kunker kami dalam rangka kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan,” ujar Ketua Pokja MRP, Ciska Abugau usai pertemuan itu.

Menurutnya, Kunker MRP tentang kampanye kekerasan 16 hari terhadap ibu dan anak di Tanah Papua, dilaksanakan dalam rangka peringatan Hari HAM sedunia 10 Desember 2021. Seharusnya dilakukan pada tanggal itu, namun anggota MPR ada kesibukan lain sehingga baru terlaksana.

Maka sesuai dengan program MPR dari 17 anggota perempuan, bagi delapan kelompok ke semua kabupaten. Ada kelompok di Kabupaten Jayapura, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Nabire, Kabupaten Wamena, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Merauke, Kabupaten Biak. Masing-masing Kabupaten di utus dua anggota.

Dan di Nabire adalah Ketua tim, Petronela E. Th. Bunapa, SE dan Ketua Pokja Perempuan MPR, Ciska Abugau A.Ma, Pd. Yang kehadiran untuk menyampaikan dan mengkampanyekan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Karena kami melihat dalam ajang ini adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak itu berlapis. Ada kekerasan dalam rumah tangga, ada kekerasan dalam adat, kekerasan dari gereja, kekerasan di tempat kerja, kekerasan di tengah masyarakat termasuk kekerasan terbesar dari Negara terhadap masyarakatnya,” tutur Ciska Abugau.

Kata dia, kehadiran pokja perempuan MRP untuk menyampaikan dan menyuarakan kekerasan-kekerasan yang dilakukan dari yang berbagai pihak. Dengan mengumpulkan perempuan-perempuan di Nabire dari berbagai elemen-elemen, baik dari gereja-gereja Kristen dan Katolik, perempuan aktivis dan lainnya.

Para perempuan dan dua anggota MRP ini bertukar pikiran tentang apa saja yang pernah dialaminya, karena belum bisa mendatangi satu per satu. Namun diskusi tersebut belum berdampak terhadap perempuan dan belum tentu juga terobati dengan masalah yang pernah dialaminya. Namun dengan pengalaman dan unek-unek yang dilontarkan diharapkan dapat meringankan beban yang dialami.

“Pada prinsipnya, kami mari kita saling duduk mendengar dan mengungkapkan, walaupun memang setelah diungkapkan tidak ada tindak lanjut,” katanya.

Beberapa Unek-Unek dari Hasil Diskusi

Ciska Abugau mengaku, dari hasil diskusi tersebut mendapatkan beberapa unek-unek dari para perempuan. Ada yang sekedar curhat tentang suka duka di dalam rumah tangganya. ada yang sudah cerai lantaran sudah tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangganya akibat perbuatan suami.

Ada juga hingga batal cerai lantaran perlu memikirkan tentang keluarga dan anak-anaknya, padahal sudah berurusan dengan penegak hukum (kepolisian) karena sudah melaporkan tindakan sang suami, baik perselingkuhan maupun kekerasan atau penganiayaan. Namun laporannya tidak dilanjutkan dan hanya diselesaikan secara kekeluargaan.

Ada ibu yang mengaku sudah melaporkan tindakan suaminya kepada polisi tapi masalah tidak dilanjutkan, alasannya kalau suami masuk penjara lalu siapa yang akan melihat anak-anaknya. Ada ibu yang meninggalkan suami atau cerai juga tidak mungkin karena sudah nikah gereja dan pencatatan sipil, disini mereka harus berpikir lagi. Ada juga yang pilih hidup sendiri dengan anak-anaknya tanpa suami.

“Disitulah perasaan seorang perempuan akan muncul. Walaupun laki-laki sudah melukai dan melakukan kekerasan atau selingkuh tapi masih ada kata maaf. Maka istri akan mempertahankan suaminya walaupun disakiti hanya demi anak-anak,” ucapnya.

Akan tetapi, tidak semua suami atau laki-laki melakukan kekerasan dan perselingkuhan di dalam rumah tangganya. Sebab ada juga suami atau laki-laki yang baik. Karena mereka yang suka melakukan kekerasan dalam rumah tangga adalah yang sering melakukan perselingkungan. Akibatnya ekonomi keluarga hancur, anak jalan sendiri, sesuai kemauannya dan sebagainya.

Apalagi jika ada yang sudah cerai maka ada ibu yang baik dan siap menghidupi anaknya karena punya usaha atau pekerjaan. Ibu seperti ini akan mengatakan bahwa anak adalah anakku dan pastinya dia bertanggungjawab.

“Jadi Diskusi seperti ini memang haru sering dilakukan agar beban dari para ibu bisa merasa ringan,” ujarnya. (*)

 

Sumber: https://papuaposnabire.com/

Read More
Categories Berita

Ketua Pokja Perempuan MRP Kutuk Pelaku yang Tembak Ibu dan Anak di Intan Jaya

Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua atau Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau – For Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP), Ciska Abugau mengutuk keras pelaku yang menembak dua anak pada 26 Oktober 2021 dan mama Agustina Ondou (24) pada 9 November lalu di Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua.

Abugau mengaku sangat prihatin dengan konflik bersenjata yang terus mengorban masyarakat sipil, terutama ibu-ibu dan anak-anak di Kabupaten Intan Jaya. Dia jugaa mengaku kecewa karena tidak ada niat yang baik dari negara untuk menyelesaikan persoalan konflik bersenjata di Papua.

“Saya sangat dengan kondisi yang dialami masyarakat intan jaya dari 2019 – 2021. Saya mengutuk pelaku yang tembak dua anak dan seoarang mama di Sugapa. Mereka yang tembak itu sungguh terkutuk sampai ke 7 keturunannya,” tegasnya kepada suarapapua.com, Jumat (12/11/2021) kemarin kepada suarapapua.com.

Abugau mengatakan, konflik bersenjata di Intan Jaya terjadi sejak akhir tahun 2019 lalu. Namun hingga saat ini ekskalasi konfliknya tidak selesai tetapi justru terus parah.

“Sampai saat ini tidak ada perubahan. Semua orang dan pihak bicara tentang Intan Jaya. Tetapi sampai saat ini tidak ada titik terang dan tidak menemukan satu solusi untuk menyelesaikan masalah itu,” katanya.

Sebagai anggota MRP dari utusan kabupaten Intan jaya, lanjut Abugau, dirinya telah menempuh banyak cara untuk menyuarakan kondisi yang terjadi di daerahnya, namun tetap saja tidak ada hasil. Menurutnya, yang paling memungkinkan adalah semua pihak bersatu dari bicara sama-sama untuk mencari solusinya.

“Sebagai anggota MRP dari utusan kabupaten Intan Jaya saya, sangat prihatin dengan kondisi yang kami lihat. Saya juga capek bicara. Saya sudah menempuh berbagai cara dengan ketemu pih-pihak terkait untuk membicarakan ini, tetapi tidak ada solusi. Saya pikiri kita semua harus bersatu dan duduk untuk membicarakannya supaya ada solusi,” ujarnya.

Abugau mempertanyakan tujuan kehadiran negara di Papua. Dia juga mempertanyakan slogan TNI dan Polri yang selalu mendengungkan pelindung rakyat dan pengayom masyarakat.

“Negara datang dan ada di Papua itu untuk melindungi atau mengorbankan masyarakat. Kalau untuk melindungi masyarakat kenapa warga sipil yang selalu menjadi korban dari TNI/Polri maupun TPN-OPM. Kemarin anak kami ditembak, sekarang mamanya laigi yang ditembak. TPN-OPM dan TNI-Polri harus mengaku salah. Karena ulah merekalah masyarakat jadi korban,” tegas Abugau.

Dia menyarankan agar TNI/Polri dan TPN-OPM mencari tempat untuk perang supaya tidak korbankan masyarakat sipil.

“Entah kau TNI/Polri atau kau TPN-OPM, yang menembak anak kami dan seorang mama itu terkutuk. Kalau mau perang dua pihak ini harus cari tempat peang. Jangan perkampungan masyarakat dan di kota tempat masyarakat beraktifitas. Kalau mau uji kekuatan silahkan saja, tapi jangan perempuan, anak, anak dan warga sipil yang terus menerus menjadi korban di Intan Jaya,” pungkasnya.

Selain itu, Gustaf Kawer, Advokat dan praktisi Hukum dari PAHAM Papua kepada suarapapua.com mengatakan, menurut pengamatannya, sebagian besar konflik bersenjata yang terjadi di Tanah Papua, yang selalu menyebabkan pengusian terjadi dan ketentraman hidup masyarakat terganggu adalah karena masalah Sumber Daya Alam (SDA).

“Ini masalah terjadi karena ada sumber daya alam di tanah mereka. Ini yang menjadi penyebab terjadinya pengungsi dan konflik bersenjata. Ini bukan rahasia lagi. Di semua tempat konflik bersenjata itu ada potensi SDAnya yang sangat besar,” bebernya.

Dikatakan, langkah utama agar masyarakat merasa aman di tempat mereka adalah tidak hanya penarikan militer tetap dan harus dilakukan. Tidak hanya non organik tetapi non organik yang dianggap mengganggu juga harus ditarit. Harus membuat satu skema pengamanan yang lebih berempati kepada masyarakat.

“Dalam konteks berempati ke masyarakat, tidak harus dengan pengamanan yang bikin takut masyarakat. Dalam mewujudkan ini harusnya bukan aparat penegak hukum yang hadir tetapi negara yang hadir. Dalam hal ini pemda provinsi dan pusat harus tegas dalam keluarkan izin blok B Wabu sebaiknya dicabut dan pembahasan ini dihentikan,” katanya.

Kalau dihentikan, lanjut dia, jelas militer tidak akan datang. Sebab militer datang itu karena ada tambang itu. Setelah itu, pemerintaha yang bertugas melindungi, pemprov dan pemkab haru hadir untuk memulihkan daerahnya.

“Dalam konteks konflik bersenjata di Intan Jaya, Izin blok wabu harus dicabut, dihentikan dan tarik pasukan. Karena dengan begitu masyarakat akan merasa aman untuk hidup di rumah mereka dan tanah mereka tanpa rasa teror dan takut. Karena masyarakat tidak akan makan emas atau tambang. Masyakarat tinggal, hidup dan makan dari hasil kebun dan hasil hutan mereka,” pungkas Kawer. (*)

Sumber: SUARA PAPUA

Read More
Categories Berita

Abugau: Negara Harus Jujur Atas Konflik Berkepanjangan di Intan Jaya

Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua atau Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau – For Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua atau Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau menyatakan pihaknya sangat berduka dengan kasus penembakan dua anak di Kabupaten Intan Jaya.

Abugau menyatakan kasus penembakan itu menjadi insiden terbaru dari kasus kekerasan yang terus berlanjut di Papua, dan berbagai pemangku kepentingan di Papua, termasuk MRP, tidak bisa berbuat apa-apa.

Abugau menyatakan para Mama di Papua selaku menjadi pihak yang paling menderita dari konflik di Papua. Mereka kehilangan anak, suami, dan kerabat yang meninggal karena konflik dan kekerasan yang terus terjadi di Papua. Sebagai anggota MRP, Ciska Abugau merasa dirinya tak berdaya, karena semua upaya dan kerja MRP seperti sia-sia.

“Kemarin anak saya dibunuh itu karena persoalan orang besar, [persoalan orang dewasa], tapi yang korban anak yang tidak berdosa. Begitu mamanya berteriak kepada saya, saya tidak punya daya lagi untuk berbicara. Hanya kepada Tuhan saja kami serahkan persoalan ini. Satu [anak] sudah meninggal, dan satu [anak] masih dalam perawatan medis di Timika. Perintah seperti apa yang Kepala Kepolisian Daerah Papua sampikan kepada anggotanya di Intan Jaya? Kepala Kepolisian Resor [Intan Jaya], Kepala Kepolisian Sektor di sana, seperti apa?” Abugau bertanya.

Ia menilai aparat TNI dan Polri di Intan Jaya seakan-akan melepas tanggung jawab atas penembakan terhadap kedua dua anak kecil itu.

“[Jarak Markas] Koramil ke pemukiman masyarakat itu tidak jauh, sangat dekat. Setelah [kedua anak itu] kena tembak, [kerabat] mereka mau membawa [kedua korban] ke puskesmas, tapi trauma karena kejadian sebelumnya ada yang disiksa dan dibunuh di puskesmas. [Kalau] mau bawa ke puskesmas itu harus lewat [Markas] Koramil. Kalau seperti itu terus, kepada siapa kami harus mengadu kalau bukan ke Bapak Kapolda,” ujar Abugau.

Mewakili perempuan Papua di setiap daerah konflik, Abugau menyatakan sangat bersedih, namun merasa tak berberdaya karena hanya bisa mengeluarkan air mata setelah sanak saudaranya ditembak, disiksa, dan di bunuh.

Abugau menyatakan jika konflik bersenjata di Intan Jaya memang disebabkan kepentingan Indonesia menambang emas di Blok Wabu, maka seharusnya rencana penambangan itu dibicarakan bersama semua pihak.

“Harus jelas itu masalahnya apa. Kalau soal Blok Wabu, mari duduk bersama rakyat dan bicara tentang Blok Wabu. Karena [konflik] itu, masyakat [di Intan Jaya] menjadi korban. Hari ini, tidak ada pelayanan pendidikan dan kesehatan di Intan Jaya, semua [warga sipil] lari ke hutan. Terima kasih Bapak Kapolda yang sudah menangani masalah di Intan Jaya, [namun] bukan berarti dengan menangani itu sudah mengurangi [masalah], malah bertambah. Nanti masyakat Intan Jaya yang tersisa bisa habis. Kapolda dan Pangdam pasti sudah tahu persoalannya,” kata Abugau.

Ia menyatakan pimpinan MRP dan ketiga Kelompok Kerja MRP sudah membicarakan konflik dan kekerasan yang terjadi di Intan Jaya, Nduga, Puncak, Pegunungan Bintang, Yahukimo, maupun Yalimo.

“Untuk Yahukimo dan Yalimo, [konflik itu dilatarbelakangi] persolan politik [lokal]. Tetapi, untuk Nduga, Intan Jaya, Puncak, itu masalahnya tidak bisa di selesaikan kah? Selain Bapak Kapolda, tidak ada lagi pejabat di Provinisi Papua ini [yang bisa selesaikan masalah itu?]” tanya Abugau.

Dalam Rapat Kerja bersama MRP di Kota Jayapura pada Kamis (28/10/2021), Kepala Kepolisian Dearah Papua, Irjen Mathius D Fakhiri menyampaikan permohona maaf atas kontak tembak antara TNI/Polri dan pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Intan Jaya. Kontak tembak itu berujung dengan tertembaknya dua anak pada 26 Oktober 2021, dan seorang diantaranya meninggal dunia.

“Saya minta maaf atas kesalahan dari prajurit kami. Itu benar, sampai tiga hari ini kami diganggu terus, itu dampak dari perbuatan kami. Kami evaluasi, kita mau pengelolaan pengamanan di Papua harus mendengar masukan dari semua pihak,” ujar Fakhiri.

Fakhiri menjelaskan pihaknya telah meminta para bupati sebagai kepala daerah dapat menagani persoalan dan dampak konflik di daerahnya masing-masing. Ia meminta para kepala daerah tidak menghabiskan anggaran publik untuk bepergian ke luar daerah.

“Saya sampaikan kemarin kepada Bupati Intan Jaya, Puncak, Nduga, Yahukimo, [mereka harus] balik dan urus daerah masing-masing, urus masyarakat di kampung. Jangan gunakan uang rakyat [untuk bepergian] ke Jayapura, Jakarta, dan Makassar. Jika kedapatan [bepergian tanpa urusan yang jelas], ujung-ujungnya akan dijerat hukum,” kata Fakhiri.

Fakhiri menegaskan peran para bupati untuk menangani konflik di daerahnya masing-masing sangat dibutuhkan.

“Persoalan di daerah masing-masing itu diselesaikan di honai masing-masing. Tidak semua masalah bisa menyalahkan anggota TNI/Polri. Kami sudah berusaha untuk membatasi perbuatan anggota kami. Tapi kalau mereka datang ke pos-pos kami dan menembak, pasti kami kejar. Itu yang terjadi di beberapa tahun ini, saya mengakui masih ada kekurangan,” ujar Fakhiri. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

Pokja Perempuan MRP Ingin PON Papua Bisa Mendatangkan Manfaat Bagi OAP

Reses anggota Pokja Perempuan MRP Lenora Wonatorei, S. Pd, saat menjaring aspirasi bersama masyarakat asli Papua di Kotaraja Luar – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua Pokja Perempuan melakukan Reses masa sidang triwulan III tahun 2021 menjaring aspirasi masyarakat asli Papua dengan tujuan menyuarakan kepada orang asli Papua untuk menjaga perdamaian, melestarikan budaya tata kelola pariwisata, ekonomi masyarakat, produk daerah menjadi sumber kesejahteraan.

Lenora Wonatorei, S. Pd, anggota MRP Pokja Perempuan dalam kegiatan Resesnya mengatakan melalui reses, MRP Pokja Perempuan ingin menyuarakan kepada orang asli Papua untuk menjaga perdamaian lebih khusus untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat Papua dalam menghadapi PON XX tahun 2021 di Papua.

“MRP mengajak semua masyarakat orang asli Papua untuk menjaga Kamtibmas keamanan selama PON berlangsung di tanah Papua,” ujarnya.

Ia juga mengatakan dari kegiatan Reses, masyarakat Papua ingin ketika PON berakhir ada manfaat yang bisa di dapat dan di rasakan oleh masyarakat orang asli Papua.

“Terutama manfaat dari destinasi wisata, MRP mengajak semua pihak orang asli 5 untuk terus melestarikan budaya dengan melestarikan tempat-tempat wisata, mengelola tempat-tempat wisata agar bisa datangkan pemasukan serta melestarikan cerita sejarah di angkat kembali untuk generasi sekarang dan yang akan datang,” ujarnya.

Lanjutnya, selain destinasi wisata di Papua, MRP juga berharap PON ini dapat memberikan manfaat di bidang ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan terlebih usai PON Papua berakhir.

“Pasar tradisional di perjuangkan sebagai pasar berbasis produk-produk unggulan, agar produk Papua secara resmi bisa masuk dan bersaing di pasar nasional maupun internasional sehingga ekonomi Papua bisa punya daya saing tinggi,” ujarnya. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Jaring Aspirasi di Kabupaten Jayapura, MRP Diminta Fasilitasi Stand Khusus Untuk Mama Papua di PON

 

Jaring Aspirasi Masyarakat Asli Papua, Anggota MRP Pokja Perempuan Orpa Nari, melakukan reses bersama seluruh pimpinan organisasi perempuan asli Papua dan perempuan Nusantara di kabupaten Jayapura yang tergabung dalam Gabungan Organisasi Wanita kabupaten Jayapura, pada Sabtu, (25/9/2021) – Humas MRP

SENTANI, MRP – Jaring Aspirasi Masyarakat Asli Papua, Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Pokja Perempuan Orpa Nari, S. I. Kom, melakukan reses bersama seluruh pimpinan organisasi perempuan asli Papua dan perempuan Nusantara di kabupaten Jayapura yang tergabung dalam Gabungan Organisasi Wanita (GOW) kabupaten Jayapura, pada Sabtu, (25/9/2021), kemarin.

Dalam menjaring aspirasi masyarakat asli Papua khususnya perempuan asli Papua dalam keterlibatan mereka di ivent PON, pengurus dan anggota organisasi perempuan yang ada di kabupaten Jayapura mengeluh karena 100 UKM tidak dilibatkan dalam ivent PON oleh Panitia BP PON XX Papua.

Hal tersebut disampaikan Orpa Nari, S. I. Kom, anggota Pokja Perempuan MRP usai melakukan Reses bersama Gabungan Organisasi Wanita (GOW) kabupaten Jayapura, kemarin.

“Kami mendengarkan langsung dari kelompok-kelompok perempuan bawah banyak hal yang di siapkan dalam rangka persiapan PON, ada 100 UKM yang tergantung dalam kelompok kerajinan dan sovenir yang sudah mengikuti tahapan persyaratan oleh BP PON provinsi dan kabupaten untuk terlibat memasarkan hasil kerajinan tangan mereka namun sampai saat ini kenyataan yang kami lihat UMK-UKM ini tidak dilibatkan dan di tempatkan pada stand-stand yang di sediakan di setiap venue yang ada di kabupaten Jayapura,” tutur Orpa.

Sehingga, kata Orpa, UKM milik organisasi perempuan ini tidak memiliki tempat untuk mereka pasarkan hasil produksi kerajinan tangan mereka serta sovenir dan cemilan khas Papua khususnya di sekitaran kabupaten Jayapura. Sehingga UKM milik organisasi perempuan dan individu mama-mama asli Papua ini menyarankan kepada lembaga MRP untuk mengakomodir mereka semua dalam satu tempat sentral agar mereka bisa pasarkan.

“Kabupaten-kabupaten lain juga terus berdatangan membawa kerajinan tangan mereka untuk di jual dalam ivent PON namun mereka ini belum mendapat tempat sehingga dalam Reses ini kami meminta kepada pemerintah provinsi Papua dan kabupaten Jayapura serta Panitia PON agar bisa menyiapkan tempat yang baik supaya mama-mama ini bisa ambil bagian untuk mendapat pemasukan dari ivent PON ini,” kata Orpa.

Mama-mama UKM dan pengerajin juga menyarankan kepada Lembaga Majelis Rakyat Papua untuk menyiapkan tempat yang khusus untuk mama-mama ini diakomodir supaya bisa mendapat bagian dalam ivent PON ini.

“Dalam reses ini juga dapat kami sampaikan bahwa dalam rangka upaya memproteksi hak-hak dasar orang asli Papua terutama mama-mama Papua, yang sudah menyiapkan sovenir, kerajinan tangan dan cerminan khas Papua dalam di akomodir dalam satu tempat agar mereka juga bisa dapat uang dan kesempatan dalam ivent PON ini khususnya sukses ekonomi, karena hampir 95 persen dalam kehidupan keluarga di Papua pencari nafkah adalah nama-nama sehingga aspirasi yang di sampaikan ini dapat diperhatikan oleh BP PON agar mereka semua di akomodir dalam tiap klaster masing-masing di kabupaten/kota Jayapura,” tegasnya.

Sementara itu, Elies Yantewo, mewakili tokoh perempuan kabupaten Jayapura wilayah Lembah Grime dalam reses tersebut meminta Majelis Rakyat Papua untuk memfasilitasi mama-mama Papua dari 5 wilayah adat yang tidak terakomodir di stand yang siapkan oleh BP PON.

“Hampir sebagian besar UMKM milik perempuan dan hasil kerajinan tangan dari mama-mama yang datang dari daerah belum mendapat tempat untuk mereka pasarkan hasil kerajinan tangan mereka, semoga mereka ini dapat di akomodir di satu tempat yang layak untuk mereka jualan,” tuturnya. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Wonatorei: PON Papua Diharapkan Buka Peluang Bidang Ekonomi Orang Asli Papua

Foto Bersama usai Kunker Pokja Perempuan MRP di Kloofcamp distrik Jayapura Utara – Humas MRP

JAYAPURA, MRP  – Majelis Rakyat Papua (MRP) Pokja Perempuan melakukan kunjungan kerja ke Kloofkamp Distrik Jayapura Utara dalam rangka memproteksi hak-hak dasar intelektual generasi muda di bidang olahraga dan ekonomi orang asli Papua menjelang penyelenggaraan PON XX Papua Tahun 2021 di provinsi Papua.

Lenora Wonatorei, S. Pd, anggota Pokja Perempuan MRP dalam Kunker usai tatap muka dengan masyarakat mengatakan penyelenggaraan PON di Papua memberikan keuntungan sekaligus membuka peluang usaha bagi orang asli Papua di bidang perekonomian sehingga patut kita manfaatkan momentum ini.

“Generasi muda Papua saat ini MRP berharap ada yang bisa fokus di bidang ekonomi orang asli Papua karena punya peluang bisnis yang besar kedepan, tidak hanya momentum ivent PON namun ivent-ivent lain yang akan di lakukan di Papua,” katanya.

Ia juga menegaskan agar anak muda sekarang tidak pasif namun aktif mencari peluang-peluang usaha yang ada baik di Disperindagkop Papua maupun kota untuk dibantu dalam permodalan.

“Kami juga berharap kelompok-kelompok UKM yang ada dapat dilibatkan dalam pelaksanaan PON agar usaha orang asli Papua juga ikut memberikan kontribusi sukseskan PON,” harapnya.

Rosinda Tabuni, SE anggota Pokja Perempuan MRP juga mengajak semua masyarakat untuk mendukung jalannya pelaksanaan PON XX di Papua.

“Mari kita juga dukung atlet-atlet kita anak-anak Papua yang akan bertanding pada PON Oktober mendatang semoga bisa mendapatkan hasil yang maksimal untuk mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua,” katanya. (*)

 

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Pokja Perempuan MRP: OAP Adalah Ayah Dan Ibunya Harus Asli Papua

Ciska Abugau ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Kelompok Kerja atau Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP), Ciska Abugau berpendapat definisi orang asli Papua (OAP) adalah mereka yang memiliki ayah dan ibu asli Papua.

Pernyataan itu dikatakan Ciska Abugau menyikapi rencana Panitia Khusus Otonomi Khusus atau Pansus Otsus DPR Papua, menyerahkan hasil kajiannya terkait Otsus Papua kepada pemerintah dan DPR RI.

Kajian dilakukan Pansus Otsus DPR Papua, berkaitan dengan rencana pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Otsus Papua.

Dalam hasil kajiannya, Pansus Otsus mengusulkan perubahan Pasal 1 huruf (t) UU Otsus mengenai definisi orang asli Papua yang berbunyi “Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.”

Usulan perubahan yang akan diajukan Pansus Otsus, yakni poin (a) menyebutkan OAP adalah “orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua, yang ayah dan ibunya, atau ayahnya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua.”

Poin (b) berbunyi orang asli Papua adalah “Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua yang ibunya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua.”

Dibagian penjelasan, disebutkan alasan menghilangkan frasa “orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua” agar dapat memberi perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua, terutama berkaitan dengan hak hak dasar penduduk asli Papua sebagai upaya mewujudkan harkat, martabat, dan jati diri orang asli Papua.

Menurut Ciska, sebuah pihak terkait mesti duduk bersama membicarakan dan menyepakati definisi orang asli Papua.

“Saya sangat mengerti sekali. Namun sejak periode kedua saya di MRP, kami Pokja Perempuan ketika itu mempertahankan [argumen] yang namanya OAP itu adalah mereka yang ayah dan ibu asli Papua, itu saja,” kata Ciska Abugau kepada Jubi, Kamis (17/6/2021).

Ia berpendapat mereka yang ayah atau ibunya non-Papua mestinya tidak dapat dikategorikan asli Papua, meski di Papua mengakui keaslian lewat garis keturunan ayah atau patrilinear.

Akan tetapi lanjut Abugau, jika garis keturunan ayah dianggap asli Papua, bagaimana dengan garis keturunan ibu.
Mestinya mereka yang lahir dari ibu Papua, juga dianggap asli Papua. Sebab, perempuan yang mengandung anak anak.

Katanya, definisi orang Papua ini menjadi polemik ketika dalam pembahasan MRP periode kedua kala itu.

“Kalau seperti itu, biar adil yang namanya asli Papua, kedua orang tuanya mesti orang asli Papua. Garis keturunan bapak juga tidak perlu. Siapa suruh ko kawin perempuan lain. Ada perempuan Papua to,” ujarnya.

Ciska Abugau mengatakan, ia berpendapat seperti itu bukan untuk mendiskriminasi mereka yang lahir dari ayah atau ibu bukan asli Papua.

Akan tetapi, ini sebagai menjaga jati diri orang asli Papua, dengan ciri khas berambut keriting dan berkulit hitam.

Katanya, orang asli Papua mesti menghilangkan semua pikiran negatif. Namun bagaimana berupaya mempertahankan jati diri, mesti duduk membuat komitmen bersama.

Para pihak dipandang perlu mendiskusikan mengenai keaslian ini, agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat adat.

Ia berharap, para pihak harus lebih memperhitungkan keberadaan orang asli Papua pada masa mendatang dan menyadari, kini jumlah orang asli Papua makin berkurang.

“Daripada kita terus berdebat mempertahankan keaslian dari garis keturunan bapak atau mama, sebaiknya yang dianggap asli adalah mereka yang kedua orangtuanya asli Papua. Kalau tidak, dalam beberapa tahun ke depan jati diri orang yang benar benar asli Papua, tak akan ada lagi,” kata Ciska Abugau.

Sementara itu, Ketua Pansus Otsus DPR Papua, Thomas Sondegau mengatakan semua masukan yang disampaikan kepada pihaknya itu sangat baik.

Akan tetapi, mesti mempertimbangkan waktu, sebab kini tahapan revisi UU Otsus Papua di DPR RI terus berlangsung.

“Jika saja, pemerintah dan DPR RI dapat memberi waktu kepada kami, tidak masalah,” kata Thomas Sondegau.

Ia mengaku, revisi Pasal 1 huruf (t) UU Otsus yang diusulkan pihaknya itu, berdasarkan aspirasi masyarakat yang disampaikan ke Pansus DPR Papua.

“Ya, itu berdasarkan aspirasi masyarakat saat kami turun lapangan. Tidak mungkin kami berani mengajukan seperti itu kalau tidak berdasarkan aspirasi yang kami terima,” ucapnya.

Sehari sebelumnya, Sekretaris II Dewan Adat Papua, John NR Gobai juga mengingatkan agar usulan perubahan Pasal 1 huruf (t) UU Otsus Papua, yang akan diajukan Pansus Otsus DPR Papua, sebaiknya dikaji kembali.

Ia khawatir, usulan perubahan itu nantinya dapat menimbulkan polemik di masyarakat adat. Sebab, masyarakat adat Papua menganut paham patrilinear.

“Kita hargai upaya Pansus Otsus untuk memproteksi hak hak dasar orang asli Papua. Namun, kami khawatir itu akan menimbulkan polemik di masyarakat,” ujar John Gobai.

Menurutnya, definisi orang asli Papua mesti disepakati bersama masyarakat adat di lima wilayah adat. Dengan begitu, usulan perubahan yang nantinya didorong Pansus Otsus DPR Papua mendapat legitimasi dari masyarakat adat.

“Memang itu harus diperjelas. Tapi tidak mesti dengan regulasi nasional. Cukup dengan regulasi daerah, misalnya perdasus. Perdasus itu kita lahirkan setelah rapat dengar pendapat umum dengan masyarakat adat,” ujarnya.

Katanya, dalam dengan menggelar rapat dengar pendapat umum, dapat diketahui apakah masyarakat adat menerima revisi pasal yang mau didorong, ataukah masyarakat adat tetap pada kebiasaan mengikuti garis keturunan ayah, bukan ibu.

Ia mengakui, dalam kasus kasus tertentu di masyarakat adat Papua, tidak bisa dipungkiri anak-anak mengikuti marga ibunya.

Namun, dalam perumusan sebuah regulasi yang sifatnya mengikat nantinya, mesti benar benar mendapat legitimasi dari berbagai pihak, terutama masyarakat adat Papua.

“Jangan sampai masyarakat menilai kami di DPR Papua ini hanya mendorong kepentingan kelompok tertentu,” kata Gobai.(*)

Sumber: JUBI

Read More

Categories Berita

MRP Gelar Rakor Bahas Pemenuhan Hak-Hak Dasar Perempuan

MRP Gelar Rakor Bahas Pemenuhan Hak-Hak Dasar Perempuan – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP), dalam hal ini Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan lakukan rapat koordinasi dengan pihak-pihak terkait, bahas pemenuhan dan penegakan hak-hak dasar perempuan dan anak asli Papua.

“Rapat koordinasi tersebut berlangsung di Pasar Rakyat Perempuan Port Numbay Holtekam, serta turut hadir Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Jayapura, Ketua DPRD Kota Jayapura, Kepala Bappeda Kota Jayapura, Kementrian PUPR Balai Wilayah Sungai (BWS) Papua, Ondoafi dan Perwakilan Perempuan dari 10 Kampung Adat yang ada di Wilayah Kota Jayapura”, Senin (01/03/2021).

Ketua tim Pokja Perempuan MRP Nerlince Wamuar Rollo,SE, usai rapat kepada sejumlah awak media mengatakan dalam rapat tadi, selain bahas tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, topik yang paling penting yaitu tentang pembangunan venue dayung yang ada diteluk youtefa.

Dimana, venue dayung yang dibangun di teluk youtefa adalah tempat mencari nafkah dari perempuan-prempuan Port Numbay yang mendiami sekitar teluk tersebut, tetapi teluk ini sudah ditimbun guna membangun venue dayung untuk PON XX, jelas Nerlince Rollo.

Dijelaskannya, kami tidak menghambat pembangunan tersebut, justru kami mendukung penuh untuk suksesnya PON XX di tanah Papua. Namun kami ingin pemerintah melihat hak-hak dasar perempuan Port Numbay yang ada diteluk ini, karena tempat ini sudah merupakan menjadi piring makan bagi perempuan-perempuan Port Numbay ditempat tersebut.

Namun tadi, kebetulan hadir pihak PUPR dalam hal ini Balai Wilayah Sungai, yang mengerjakan pekerjaan tersebut, sudah memberikan penjelasan mereka hanya membangun, selanjutnya tangung jawabnya ada di pemerintah provinsi (pemprov) Papua, dan pemerintah Kota (pemkot) Jayapura.

Oleh karena itu, akhir dari kegiatan ini kami akan membuat notulen dan sampaikan ke pemprov Papua, kementrian PUPR, DPRP, DPRD Kota Jayapura dan pemkot Jayapura, terkait isu yang diangkat dalam rapat hari ini, ujarnya.

Dirinya berharap, selesai kegiatan ini ada tindak lanjut, selain itu pihaknya juga mohon kedepan apabila ada undangan dari MRP kepada pemerintah, harus diseriusi, sehingga bisa membahas tindak lanjut pada rapat hari ini, pungkasnya. (*)

Read More

Categories Berita

Pokja Perempuan MRP mengevaluasi Otsus Papua

Wakil Ketua II Majelis Rakyat Papua,Debora Mote saat diwawacarai wartawan. – Jubi/Engel Wally

SENTANI, MRP – Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua menggelar Rapat Koordinasi di Sentani, Kabupaten Jayapura, membahas pemenuhan dan penegakan hak dasar perempuan dan anak di Papua. Rapat koordinasi itu mengumpulkan masukan dan harapan kaum perempuan Papua atas 20 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus Papua.

Rapat koordinasi itu antara lain dihadiri Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) Kabupaten Jayapura dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura. Sejumlah 77 organisasi wanita di Kabupaten Jayapura juga mengikuti rapat tersebut.

Wakil Ketua II Majelis Rakyat Papua (MRP),Debora Mote mengatakan rapat koordinasi itu merupakan bagian dari program kegiatan Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan MRP pada tahun 2021. Mote menyatakan pihaknya mengumpulkan masukan dan harapan kaum perempuan atas 20 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

“Tahun ini akan ada evaluasi Otsus Papua selama 20 tahun, secara khusus [dalam hal] pemberdayaan dan keberpihakan [terhadap] perempuan dan anak asli Papua. Rapat koordinasi itu sangat penting untuk menyerap aspirasi masyarakat dari tingkat bawah,” ujar Mote.

Kepala DP3A Kabupaten Jayapura, Mariam Soumelena mengatakan pihaknya telah melakukan pendampingan dan pemberdayaan bagi ibu-ibu dan anak di seluruh kampung yang tersebar di 19 distrik Kabupaten Jayapura. Menurut Soumelena, pendampingan itu diterapkan langsung oleh para ibu di masing-masing kampung.

“Dari Dana Otsus, ada pendampingan langsung kepada ibu-ibu di kampung untuk mengembangkan potensi mereka. Baik itu [di bidang] pendidikan, kesehatan, keterampilan tangan, hingga usaha mikro,” jelasnya.

Sekretaris Pokja Perempuan MRP, Orpa Nari mengatakan pelaksanaan Otsus Papua selama 20 tahun harus dievaluasi, khususnya terkait kebijakan pemerintah daerah untuk memproteksi perempuan asli Papua. Nari menjelaskan rapat koordinasi serupa juga digelar Pokja Perempuan MRP di Wilayah Adat Tabi.

“Dari aspirasi yang disampaikan kaum perempuan di Kabupaten Jayapura melalui 77 organisasi perempuan itu akan kami tindak lanjuti sebagai satu rekomendasi kepada pemerintah daerah,” pungkasnya. (*)

Sumber : Jubi

Read More

Categories Berita

Pokja Perempuan MRP Gelar Hearing Dampak Covid Pada Perekonomian Mama-Mama Papua

Ciska Abugau, Ketua Pokja Perempuan MRP ketika membuka hearing di aula ret-ret Kotaraja, Kamis (13/8/2020). (Yanuarius Weya – SP)

JAYAPURA, MRP — Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP) gelar hearing dampak Covid-19 terhadap pendidikan, ekonomi dan infrastruktur bersama perempuan asli Papua di aula reat-reat Kotaraja, Jayapura, Kamis (13/8/2020).

Ciska Abugau, Ketua Pokja Perempuan MRP mengungkapkan bahwa biasanya kegiatan seperti ini dilakukan ke setiap daerah utusan, namun karena situasi Covid-19 maka pihaknya memusatkan kegiatan di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom.

“Intinya hearing ini dilakukan untuk mendengarkan tangapan atas dampak langsung dari mereka yang merupakan pelaku usaha dari ekonomi, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur karena Covid,” katanya.

Ia mengakui, apa yang dilakukan pihaknya merupakan bentuk dari keprihatinannya dengan kondisi pendidikan dan ekonomi masyarakat Papua akibat covid-19.

“Satu tahun ini anak-anak Papua tidak belajar baik karena Covid itu kami sangat sedih melihat kondisi ini, karena generasi penerus bangsa Indonesia, bangsa Papua ini tidak menerima ilmu dengan baik. Guru batasi murid belajar tatap muka, maka sekolah terapkan belajar online. Kalau online siswa diwajibkan memiliki hp Android, harus isi pulsa, lalu bagaimana dengan mereka yang orangtuanya petani. Ini masalah besar. Terus kalau belajar manual perlu ada bimbingan khusus dari orangtua namun orangtuanya itu petani yang  buta huruf, bagaimana? Kalau sudah begini disayangkan nasib anak-anak ini kedepan,” kata Abugau.

Selain itu katanya soal ekonomi, terutama bagi mama-mama Papua yang berkebun, tetapi hasilnya itu hanya dalam jangka pendek. Ketika ke pasar, pembeli terbatas, sementara dagangan yang sama dijual oleh pedagang sayur lain yang berjualan dari rumah ke rumah.

Dengan demikian, katanya, hasil jualannya di pasar tidak laku, sehingga harus di bawa pulang ke rumah.

“Sehingga masalah-masalah ini perlu disikapi dari bersanghkutan di Provinsi Papua, kota/kabupaten,” harapnya.

Yuliana Wambrauw, Anggota MRP yang adalah Koordinator hearing Pokja Perempuan MRP mengakui dalam hearing tersebut, pihaknya juga mendatangi pemilik Hypermarket, mall dan hotel agar pihaknya bisa memberikan ruang perdayakan ekonomi masyarakat Papua.

Hal ini dilakukan kata Wambrauw agar kedepan masyarakat yang punya hasil bumi ataupun hasil kerajinan tangan bisa dipasarkan di Hypermat, mall-mall atau di setiap hotel yang ada di Jayapura,” jelasnya.

Selain itu, Fien Jarangga kordinator Tiki jaringan Hak Asasi Manusia (HAM) Perempuan Papua yang juga pemateri dalam hearing tersebut mengatakan bahwa peserta yang hadir juga mempertanyakan angka pasien Covid-19 yang semakin meningkat signifikan di Papua.

“Mahasiswi, pemudi dan mama-mama yang hadir sempat tanya terkait Covid-19 yang wujudnya tidak jelas. Mereka juga sampaikan kalau Covid ini bukan penyakit, tapi sebuah proyek besar yang buat semua aktifitas mati. Sudah begitu, orang diminta beli handphone untuk belajar online, walaupun fasilitas sangat minim,” ujarnya.

Ia berharap agar kedepannya bisa ada ruang seperti ini untuk mendapatkan jawaban-jawaban dari setiap masalah yang ada di tanah Papua.

Sumber: Suara Papua

Read More