Otsus Papua: Pemerintah akan tingkatkan dana khusus dan tambah provinsi, pengamat: ‘Untuk apa ada Otsus kalau ada kekerasan?’
JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua dan Papua Barat merasa “dibungkam” karena tidak dilibatkan dalam proses revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
“MRP menganggap tidak ada niat baik dari pemerintah pusat membangun Papua sebagai satu kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Ketua MRP Timotius Murib kepada wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, Rabu (31/03).
MRP meminta dilakukan evaluasi secara menyeluruh dari Pasal 1 hingga Pasal 79 dalam UU Otsus Papua karena dalam 20 tahun pelaksanaannya UU itu “tidak bernyawa” dan tidak memberikan manfaat kepada orang asli Papua.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengusulkan dua perubahan pasal yaitu di Pasal 34 tentang dana penerimaan khusus dan Pasal 76 tentang pemekaran, saat menjadi pembicara Workshop Pendapat BPK terkait dengan Pengelolaan Dana Otsus Provinsi Papua dan Papua Barat, Selasa (30/03).
Namun, menurut peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, UU Otsus Papua tidak hanya sekedar pembagian uang. Namun kenyataannya, usai 20 tahun pelaksanaan, evaluasi atas UU itu hanya terkait dengan dana dan pemekaran.
“Jadi untuk apa ada Otsus kalau ada kekerasan? Ini kan kegagalan Otsus di dalam menciptakan perdamaian di tanah Papua,” katanya.
Cahyo menambahkan, UU Otsus Papua dibentuk sebagai jalan tengah antara tuntutan orang Papua yang ingin merdeka dengan pemerintah yang ingin Papua bertahan dalam NKRI.
Sejak 2002 hingga 2020, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah menerima dana Otsus hingga Rp126,99 triliun yang meningkat dari Rp1,38 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp13,05 trilun pada 2020 kemarin.Dana Otsus itu, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, akan diperpanjang hingga 20 tahun ke depan dengan estimasi total Rp234,6 triliun atau hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan sebelumnya.
MRP: ‘Kami dibungkam’
Majelis Rakyat Papua merasa “dibungkam” oleh pemerintah pusat karena tidak dilibatkan dalam rencana revisi UU Otsus Papua yang kini sudah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian dilakukan pembahasan.
“Itu adalah langkah sepihak Jakarta, tanpa persetujuan dan tidak sesuai dengan aspirasi rakyat Papua. Kami mengalami pembungkaman demokrasi hak orang asli Papua. MRP menganggap tidak ada niat baik dari Pemerintah Pusat membangun Papua sebagai satu kesatuan dalam NKRI,” kata Ketua MRP Timotius Murib.
Timotius menjelaskan, usai 20 tahun pelaksanaan UU Otsus Papua, pemerintah pusat dan masyarakat Papua harus duduk bersama “menyisir” satu demi satu pasal untuk melihat kelemahan dan kelebihan pelaksanaan UU ini, bukan hanya tentang dana dan pemekaran.
“Contoh, implemetasi UU Otsus Papua tidak bisa dilaksanakan karena dibenturkan dengan UU yang sektoral, seperti UU Otonomi Daerah sehingga menjadi tidak bernyawa dan tidak memberikan manfaat kepada orang asli Papua,” katanya.
Akibatnya, empat bidang prioritas dalam UU Otsus Papua yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur tidak bisa dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat Papua.
Sementara itu, dalam revisinya, pemerintah hanya mengusulkan perubahan dua pasal dalam UU Otsus Papua ke DPR, yaitu Pasal 34 dengan menaikan plafon alokasi dana otonomi khusus dari 2% menjadi 2,25%.
Kedua, pemerintah merevisi Pasal 76 tentang pemekaran yang mana sebelumnya pemekaran dilakukan atas persetujuan MRP dan DPR provinsi menjadi kini pemerintah dapat melakukan pemekaran secara sepihak.
ULMWP dan OPM tolak revisi Otsus Papua
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Markus Haluk, menolak seluruh tawaran dan program pemerintah pusat terkait UU Otsus Papua.
“Dana Otsus dan pemekaran itu tidak pernah berdampak ke masyarakat. Itu hanya upaya untuk semakin hadir di tanah Papua, militer diperbanyak, polisi diperbanyak, migrasi semuanya ke Papua tanpa mengetahui akar masalahnnya,” katanya.
Senada dengan itu, juru bicara TPNPB- OPM Sebby Sambom mencurigai upaya pemerintah sebagai upaya untuk mendatangkan semakin banyak orang dari luar Papua untuk mengambil hak-hak tanah dan kekayaan orang asli Papua.
“Kami tolak itu semua, pemekaran, dana dan lainnya omong kosong semua,” katanya.
‘Meng-Indonesia-kan orang Papua’
Peneliti dari LIPI, Cahyo Pamungkas, mengatakan tujuan utama dari dibentuknya UU Otsus Papua adalah untuk memanusiakan, meng-Indonesia-kan orang Papua, dan memperlakukan mereka lebih baik dibandingkan masa lalu yang dipenuhi kekerasan.
“Tapi prinsip dibentuknya Otsus itu untuk meng-Indonesia-kan orang Papua, memperlakukan orang Papua lebih baik dari masa lalu yang dipenuhi masalah kekerasan. Di situ ada masalah HAM, kesejahteraan, perlindungan adat dan ekologi,” kata profesor riset yang banyak meneliti isu tentang Papua tersebut.
“Otsus itu tujuannya agar orang Papua bisa menikmati pembangunan, rekonsiliasi masa lalu, seperti kekerasan politik, dan pelanggaran HAM, memanusiakan mereka sehingga menyatu dengan Indonesia. Tapi ini semua tidak dibahas, yang muncul hanya masalah uang saja,” kata Cahyo.
Cahyo menjelaskan, UU Otsus disahkan pada tahun 2001 setelah sebelumnya pada pasca-reformasi 1998 terjadi pergejolakan politik dan konflik berdarah di mana masyarakat Papua menuntut kemerdekaan.
Karena tidak mungkin memenuhi tuntutan itu, pemerintah memberikan otonomi khusus sebagai jalan tengah.
Namun kenyataannya, usai 20 tahun pelaksanaan, evaluasi atas UU itu hanya terkait dengan dana dan pemekaran.
“Padahal terdapat empat persoalan utama. Pertama, perspektif Otsus yang pelaksanannya tumpang tindih dengan UU sektoral. Kedua, tata kelola yang tidak sesuai. Ketiga, kekerasan masih berlanjut, bahkan semakin meningkat saat Otsus diberlakukan, seperti di Intan Jaya, Nduga. Jadi untuk apa ada Otsus kalau ada kekerasan? Ini kan kegagalan Otsus di dalam menciptakan perdamaian di tanah Papua,” katanya.
Terakhir, adalah indeks pembangunan manusia orang asli Papua yang lebih rendah dibandingkan pendatang.
Sehingga, menurut Cahyo, seberapa pun dana Otsus dinaikkan, bahkan hingga 10 kali lipat, tidak akan membawa manfaat dan perubahan bagi orang asli Papua.
“Jika pembangunan tidak mendengarkan, melibatkan aspirasi, dan memperkuat identitas masyarakat Papua, serta menjaga kelestarian ekologi,” ujarnya.
“Ini adalah momen tepat untuk melakukan evaluasi total UU Otsus yang melibatkan komponen masyarakat adat, MRP, DPRP, gereja dan perempuan. Sehingga revisi UU ini memiliki legitimasi yang kuat dari bawah,” tutupnya.
Dana Otsus Papua diperpanjang, pengawasan diperketat
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, menyatakan pemerintah akan memperpanjang kebijakan dana Otsus Papua. Untuk itu diperlukan revisi beberapa pasal dalam UU Otsus Papua yang drafnya telah diserahkan ke DPR.
“Kita akan merevisi pasal 76 yaitu untuk memekarkan daerah provinsi mungkin akan tambah tiga provinsi sehingga menjadi lima, melalui revisi undang-undang bukan perpanjangan UU. Revisi 2 pasal, yaitu Pasal 34 tentang dana dan Pasal 76 tentang pemekaran,” ujar Mahfud.
Pemerintah juga mengeluarkan Kepres No. 20 Tahun 2020 tentang Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, serta membentuk tim hukum untuk melaksanakan penelitian penggunaan dana Otsus.
Mahfud menyebut, pembangunan di Papua masih belum efektif yang disebabkan di antaranya situasi keamanan yang tidak kondusif, tingginya kasus korupsi dan belum terintegrasinya sejumlah program pemerintah.
Untuk itu Mahfud MD meminta agar pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara harus lebih ditingkatkan.
Mahfud juga menegaskan bahwa hubungan Papua dan NKRI sudah final, “tidak bisa diganggu gugat, dan akan dipertahankan dengan segala biaya yang diperlukan. Sosial, ekonomi, politik dan keuangan sekalipun, akan kita pertahankan,” tegas Menko Polhukam.
DPR: Kami perlu dengar suara masyarakat Papua
Ketua Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Otsus Papua, Komarudin Watubun, mengatakan DPR perlu mendengar aspirasi dari masyarakat dan melihat situasi yang terjadi di Papua.
Salah satu aspirasinya, kata politisi PDI Perjuangan tersebut, adalah masyarakat Papua tidak hanya ingin dana dan pemekaran, tapi juga perbaikan perlindungan HAM.
“Ada soal pelanggaran HAM. Namun itu aspirasi, dalam negara demokrasi boleh-boleh saja namun semua nanti melalui pembahasan di pansus dan sikap serta fraksi akan melihat urgensinya,” kata Komarudin seperti dikutip Antara, Selasa, (30/03).
“Jadi ada dua pasal yang diajukan pemerintah dalam revisi UU Otsus Papua. Kita tidak bisa menutup mata bahwa Otsus Papua ada kekurangannya jadi mari diperbaiki,” katanya.
Revisi UU Otsus Papua telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021. DPR meyakini, revisi UU tersebut akan selesai pada tahun ini.
Sumber: BBC