Categories Siaran Pers

MRP Resmi Serahkan Berkas Kesimpulan Uji Materill UU Otsus ke MK

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) akhirnya resmi menyerahkan berkas berisi kesimpulan dari langkah uji materi atas UU Otsus Jilid I ke Mahkamah Konstitusi pada Rabu, 25 Mei 2022. Bersama tim kuasa hukum DPN Peradi, Ketua MRP Timotius Murib beserta Wakil Ketua I Yoel Luiz Mulait, dan sejumlah anggota MRP menyerahkan langsung berkas tersebut di Gedung MK dan diterima tepat pada pukul 11.07 WIB.

“Sekarang harapan terakhir keadilan terletak di pundak para hakim konstitusi. Kami telah berusaha melakukan yang terbaik agar tidak ada perubahan kebijakan yang merugikan hak-hak konstitusional orang asli Papua,” kata Timotius.

Timotius menjelaskan bahwa langkah uji materi tersebut merupakan upaya untuk menyalurkan aspirasi rakyat Papua melalui jalur yang terhormat dan bermartabat.

“Kami ingin menyalurkan ekspresi protes dan aspirasi rakyat Papua tersebut melalui jalan yang terhormat dan bermartabat. Kami tidak ingin ekspresi-ekspresi protes rakyat Papua hanya dilihat sebagai ekspresi jalanan yang kerap disikapi secara berlebihan. Kami tidak ingin ada lagi korban. MK adalah tempat yang tepat untuk menyampaikan keberatan kami atas UU tersebut,” katanya.

Kepada pers, perwakilan kuasa hukum dari DPN Peradi Roy Rening menyampaikan terima kasih kepada Mahkamah Konstitusi yang sedari awal mendengarkan apa yang menjadi permasalahan dari revisi kedua UU Otonomi Khusus. “Kami juga amat berterima kasih kepada semua pihak yang membantu, termasuk media massa. Para saksi, ahli, dan jajaran pemerintah provinsi Papua serta lembaga negara seperti Komnas HAM yang turut memberikan pendapat dalam perkara ini,” kata Roy.

Sejak tahun lalu, MRP mengajukan keberatan atas sejumlah pasal dalam UU No. 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua Terhadap UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Di antaranya, MRP mempersoalkan dihapusnya ketentuan Pasal 28 tentang pendirian partai politik lokal oleh orang asli Papua hingga perubahan atas ketentuan Pasal 76 yang akhirnya membuat kewenangan untuk melakukan pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi tidak lagi membutuhkan persetujuan MRP.

Dalam kesempatan yang sama, Yoel menambahkan bahwa MRP telah menemui pimpinan partai politik nasional, sejumlah menteri dan juga Presiden.

“Banyak dari mereka sangat memberi perhatian terhadap situasi Papua. Mereka semua memberikan penghormatan kepada MK untuk mengambil keputusan atas perkara ini. Mereka setuju jika keputusan apa pun, termasuk daerah otonomi baru, agar ditunda setelah putusan MK. Kami juga lega ketika Presiden mengatakan akan patuh pada putusan MK,” kata Yoel.

Pada pertengahan April lalu MRP melakukan kunjungan keliling menemui pimpinan partai-partai politik nasional. Di antaranya MRP bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Monoarfa, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Ahmad Syaikhu.

Pada 26 April pimpinan MRP bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Presiden didampingi oleh Menkopolhukam Mahfud MD dan Mendagri Tito Karnavian. Dalam pertemuan tersebut, Presiden mengatakan akan patuh pada putusan MK. Presiden juga mempersilahkan MRP untuk membicarakan keberatan atas kebijakan pemerintah pusat melalui menteri terkait. Ketika diminta untuk berkunjung ke Kantor MRP, Jokowi langsung menyanggupi.

“Saya sudah 14 kali datang ke Papua. Mengenai undangan hadir ke Kantor MRP, saya siap memenuhinya,” kata Jokowi ketika itu. (*)

Read More
Categories Berita

UU Otsus Papua ‘Cacat Prosedur’, Ini Sebabnya

Pimpinan MRP dan MRPB saat menyerakan sengketa UU Otsus ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta hari ini – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Tim Hukum Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) akhirnya menarik permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). Penarikan ini dilakukan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dan telah dibacakan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (21/07/2021).

Pasalnya, setelah sebelumnya MK menunda persidangan SKLN dengan dalih Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.

Namun, di sisi lain DPR RI akhirnya mengesahkan RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21/2001 tentang Otsus Papua, dalam Rapat Paripurna, pada Kamis (15/7/2021).

“Saat ini Tim Hukum fokus dalam penarikan permohonan SKLN. Terkait langkah berikutnya yang akan ditempuh, MRP dan MRPB selaku principal akan mengkaji langkah yang ditempuh. Dan mereka tidak akan berhenti sampai di sini,” kata koordinator Tim Hukum, MRP/MRPB, Saor Siagian, dalam acara jumpa pers melalui aplikasi Zoom, di Jakarta, Rabu (21/7/2021).

Abuse of Power
Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, Tim Hukum MRP dan MRPB mengungkapkan alasan penarikan gugatan yang dilakukan pihaknya:

  • Bahwa Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB memperhatikan relevansi serta kepentingan konstitusional atas permohonan SKLN dengan pengesahan dan pengundangan UU Nomor 2/2021 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 19 Juli 2021.
  • Usulan Perubahan Kedua UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua didasarkan pada Surat Presiden (Surpres) Nomor : R-47/Pres/12/2000 tertanggal 4 Desember 2020 yang ditujukan kepada Ketua DPR RI sama sekali tidak memperhatikan aspirasi Orang Asli Papua melalui MRP dan MRPB.
  • Pada saat pembahasan RUU ini di DPR RI tentang Perubahan kedua UU Otsus Papua, rakyat Papua  sama sekali tidak dilibatkan/didengarkan aspirasinya dalam proses pembahasan perubahan kedua UU Otsus. Padahal, MRP dan MRPB sebagai lembaga negara (Desentralisasi Asimetris) diatur secara konstitusional Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
  • Sesuai ketentuan Pasal 77 UU Nomor 21/2001 menyatakan bahwa Usulan Perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  • Secara prosedural, semestinya Majelis Rakyat Papua dan DPRP yang memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan hak usul perubahan dari rakyat Papua tersebut kepada DPR sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang sebagaimana pasal 20 ayat (1) UUD 45 atau Pemerintah dalam hal ini Presiden yang berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) UUD 1945

“Dengan demikian, kami berpendapat, bahwa hal-hal yang berkaitan dengan pengusulan perubahan UU, pembahasan dan pengesahan Perubahan Kedua UU Otsus Provinsi Papua tanpa memperhatikan aspirasi/partisipasi rakyat Papua melalui MRP dan MRPB dapat dikualifikasi sebagai perbuatan abuse of power oleh penguasa dalam hal ini pembentuk UU,” kata Tim Hukum.

Cacat Prosedur
Tim Hukum juga menegaskan, secara yuridis-konstitusional pengusulan perubahan materi RUU, Pembahasan dan Pengesahan Perubahan Kedua RUU Otsus Bagi Provinsi Papua tidak memenuhi syarat formil alias ‘Cacat prosedur’.

“Dan material RUU Perubahan Kedua Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (material RUU bukan aspirasi Rakyat Papua) bertentangan dengan UU Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua jo. Pasal 18A ayat (1) jo. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 atau Inkonstitusional,” tutupnya.

Praktik Diskriminasi
Dalam jumpa pers dua pekan lalu, Tim Hukum MRP dan MRPB melayangkan gugatan Sengketa Kewenangan Kelembagaan Negara (SKLN) menyusul penundaan persidangan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasalnya, MRP dan MRPB telah mendaftarkan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara soal perubahan kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus atau UU Otsus Papua ke Mahkamah Konstitusi (MK) pertengahan Juni lalu.

Permohonan sengketa ini ditujukan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan DPR sebagai termohon karena termohon melakukan pembahasan revisi UU Otonomi Khisus tanpa melibatkan orang asli Papua.

“Penundaan persidangan dengan tanpa adanya kepastian waktu sidang dalam permohonan SKLN menciptakan ketidak pastian hukum bagi principal (MRP/MRPB) dalam memperjuangkan hak-hak konsitusionalnya,” kata Ecoline Situmorang dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Minggu (4/7/2021) lalu.

Di lain pihak, Pansus DPR RI RUU Perubahan Kedua UU Otonomi Khusus Papua tetap berjalan di tengah pandemi Covid-19.

“Dengan begitu, dapat dikatakan bangsa kita sedang mempertontonkan ketidak-adilan dan diskriminasi bagi Orang Asli Papua dalam memperoleh hak-hak konstitusionalnya melalui lembaga MK sebagai penjaga konstitusi dan merupakan benteng terakhir keadilan bagi pencari keadilan (the last fortress),” beber Ecoline

Sahkan RUU Otsus Papua
Sementara itu, DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (RUU Otsus Papua) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-23 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021.

“Selanjutnya kami akan menanyakan kepada seluruh fraksi apakah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dapat di setujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?” tanya Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang kemudian diikuti ketukan palu pengesahan di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (15/7/2021).

Ketua Pansus Otsus Papua Komarudin Watubun dalam laporannya mengatakan, terdapat 20 pasal yang mengalami perubahan dalam RUU ini. Sebanyak 20 pasal tersebut terdiri dari 3 pasal usulan Pemerintah yang memuat materi menganai dana Otsus Papua, sebanyak 15 pasal di luar substansi yang diajukan, ditambah 2 pasal substansi materi di luar undang-undang.

Dalam perubahan tersebut, lanjut Komarudin, RUU Otsus Papua ini mengakomodir perlunya pengaturan kekhususan bagi Orang Asli Papua (OAP) dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan perekonomian serta memberikan dukungan bagi pembinaan masyarakat adat.

“Dalam bidang politik, hal ini dapat dilihat dengan diberikannya perluasan peran politik bagi Orang Asli Papua dalam keanggotaan di DPRK, sebuah nomenklatur baru pengganti DPRD yang diinisiasi dalam RUU,” paparnya di hadapan Rapat Paripurna DPR RI.

Kewajiban Pemerintah
Di bidang pendidikan dan kesehatan, RUU Otsus Papua mengatur mengenai kewajiban Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengalokasikan anggaran pendidikan dan kesehatan untuk OAP. Dalam bidang ketenagakerjaan dan perekonomian, pada pasal 38 telah menegaskan bahwa dalam melakukan usaha-usaha perekonomian di Papua, wajib mengutamakan OAP.

“Dalam bidang pemberdayaan, Pasal 36 ayat (2) huruf (d) menegaskan bahwa sebesar 10 persen dari dana bagi hasil dialokasikan untuk belanja bantuan pemberdayaan masyarakat adat,” tambah Komarudin.

Terkait dengan lembaga MRP dan DPRP, RUU ini memberikan kepastian hukum bahwa MRP dan DPRP berkedudukan masing-masing di ibu kota provinsi serta memberikan penegasan bahwa anggota MRP tidak boleh berasal dari partai politik.

Komarudin menambahkan, mengenai pembahasan partai politik lokal, RUU Otsus Papua mengadopsi putusan MK Nomor. 41/PUU-XVII/2019 dengan menghapus ketentuan pada ayat (1) dan (2) pasal 28. UU ini juga memberikan kepastian hukum terkait dengan pengisian jabatan wakil gubernur yang berhalangan tetap.

Selain itu, dalam RUU ini diatur pula mengenai dana Otsus yang disepakati mengalami peningkatan dari 2 persen Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, menjadi 2,25 persen. Melalui perubahan tata kelola dana otsus tersebut, diharapkan berbagai persoalan pembangunan selama ini dapat teratasi.

Kemudian, RUU ini juga mengatur tentang hadirnya sebuah Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BK-P3), pemekaran provinsi di tanah Papua, serta peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini yang mengatur bahwa penyusunan Peraturan Pemerintah harus dikonsiltasikan dengan DPR, DPD dan Pemerintah Daerah di Papua dan Papua Barat.

“Mari kita berkomitmen untuk melaksanakan seluruh revisi Undang-Undang sesuai dengan tugas dan wewenang kita masing-masing, terutama bagi Parpol yang akan menentukan rekrutmen kepemimpinan daerah yang akan memikul tanggung jawab penuh untuk memastikan undang-undang ini dapat dilaksanakan atau tidak,” tutup legislator dapil Papua tersebut.

Sebagai informasi, Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB, terdiri dari; Saor Siagian, S.H., M.H., Imam Hidayat, S.H., M.H., Ir. Esterina D. Ruru, S.H., Dr. S. Roy Rening, S.H., M.H., Rita Serena Kolibonso, S.H., LL.M, Lamria Siagian, S.H., M.H., Ecoline Situmorang, S.H., M.H., Alvon Kurnia Palma, S.H., M.H., dan Haris Azhar, S.H., M.A.

 

Sumber: https://pontas.id

Read More
Categories Berita

MK Tunda Gugatan MRP/MRPB Karena COVID-19

Ketua MRP Timotius Murib, Ketua MRPB, Maxsi Ahoren, Wakil Ketua I MRP, Yoel Luiz Mulait ditemui awak media saat mendaftarkan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ke Mahkaman Konstitusi, Kamis (17/6/2021). – Dok. Tim Kuasa Hukum MRP/MRPB

JAYAPURA, MRP – Dengan pertimbangan pandemi COVID-19, Mahkamah Konstitusi menunda sidang pendahuluan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diajukan Majelis Rakyat Papua bersama Majelis Rakyat Papua Barat terkait revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua oleh pemerintah. Di pihak lain, Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI masih membahas revisi itu, dan belum mengumumkan penundaan pembahasan karena pandemi COVID-19.

Tim Hukum dan Advokasi Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menyatakan MK menunda sidang itu sampai batas waktu yang belum ditentukan. “Penundaan sidang MK [seperti itu] mencederai rasa keadilan orang asli Papua,” kata Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB dalam keterangan pers secara daring pada Minggu (4/7/2021).

MRP/MRPB mengajukan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) ke Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta pada 17 Juni 2021. Permohonan itu diajukan karena pemerintah pusat secara sepihak mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).  

Permohonan SKLN itu didaftarkan dengan nomor pokok perkara 2085-0/PAN.MK/VI/2021, dengan Presiden Joko Widodo selaku termohon. Permohonan itu diajukan ketika Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI tengah membahas RUU Perubahan Kedua UU Otsus dari pemerintah.

Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB menyatakan pada 29 Juni 2021 Panitera MK telah mengirimkan relas panggilan kepada para pihak untuk mengikuti persidangan pada 5 Juli 2021. Dalam relas panggilan sidang itu, MK meminta para pihak mengikuti persidangan secara daring, tanpa datang ke MK.

“Akan tetapi, pada tanggal 3 Juli 2021, kami menerima surat MK nomor 2.1/SKLN/PAN.MK/PS/7/2021 perihal penundaan sidang sampai dengan waktu yang ditentukan kemudian. “Sidang ditunda karena adanya kebijakan MK terkait upaya pencegahan dan penanganan penyebaran virus COVID-19 di lingkungan kantor MK,” demikian Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB.

Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB mengatakan bisa memahami dan menyatakan prihatin atas situasi pandemi COVID-19 yang meluas. Tim itu juga memahami bahwa penundaan sidang MK itu menindaklanjuti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada 3 – 20 Juli 2021.

Tim Hukum dan Advokasi MRP dan MRPB menyayangkan penundaan sidang itu tanpa disertai kepastian kapan sidang akan dilanjutkan. Ketidakjelasan kapan sidang pendahuluan perkara SKLN itu akan dilanjutkan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi MRP/MRPB selaku pemohon yang memperjuangkan hak konsitusionalnya untuk mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Penundaan sidang dengan frasa “ditunda sampai dengan waktu yang ditentukan kemudian” dinilai bermakna persidangan menjadi tidak memiliki batasan waktu yang jelas. Padahal MRP/MRPB membutuhkan kepastian dan keadilan dalam perkara SKLN itu, mengingat Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI masih melanjutkan pembahasan revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

Pada 1 Juli 2021, Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI di Jakarta melanjutkan pembahasan RUU tentang Perubahan Kedua UU Otsus Papua. Hingga kini, Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI belum mengumumkan rencana menunda pembahasan itu karena penerapan PPKM Darurat mulai 3 Juli 2021.

Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB mengkritik Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua DPR RI yang terus membahas RUU itu, padahal pandemi COVID-19 tengah melanda Jakarta. Sebaliknya, upaya MRP/MRPB menghentikan pembahasan RUU itu melalui permohonan SKLN di MK justru ditunda dengan pertimbangan pandemi COVID-19.

Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB menilai pembahasan RUU Perubahan Kedua UU Otsus Papua justru mempertontonkan ketidak-adilan dan diskriminasi bagi orang asli Papua untuk memperoleh hak konstitusional mereka melalui MK. Padahal MK merupakan bentuk terakhir bagi pencari keadilan.

“Kami ingin menegaskan, penundaan atas persidangan yang tidak diiringi dengan penundaan pembahasan revisi UU Otsus di Pansus DPR RI adalah pengkhianatan atas keadilan, dan mencederai semangat lembaga peradilan yang impartial dan independen bagi semua pihak,” demikian pernyataan Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB.

Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB mendesak Panitera MK segera mengumumkan jadwal pasti sidang pendahuluan sidang perkara itu. “Karena, menurut hemat kami, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat untuk wilayah Jawa dan Bali yang berlaku mulai tanggal 3 Juli 2021 sampai dengan 20 Juli 2021 bukanlah libur nasional,” demikian keterangan pers Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB.

Advokat Roy Rening selaku anggota Tim Hukum dan Advokasi MRP/MRPB mengatakan permohonan MRP/MRPB itu merupakan upaya orang Papua terlibat dalam proses pembahasan revisi UU Otsus Papua. Akan tetapi, penundaan itu memberi kesan negara tidak punya itikad baik melaksanakan UU Otsus Papua.

Roy mengungkapkan sejumlah hal yang menunjukkan pemerintah tidak punya itikad baik itu. Para menteri hingga presiden tidak pernah bertemu MRP dan MRPB untuk mendengarkan aspirasi mereka. “Kalau mereka tidak terlibat, UU akan menimbulkan resistensi di akar rumput Papua. Negara yang rugi,” kata Rening. (*)

 

Sumber: Jubi

 

Read More
Categories Berita

Gugat di MK, Kuasa Hukum MRP-MRPB Minta Negara Beri Keadilan Bagi Rakyat Papua

Pimpinan MRP dan MRPB saat menyerahkan sengketa UU Otsus ke Mahkamah Konstitusi di Jakarta hari ini – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Sejarah mencatat, Papua bergabung ke Indonesia sejak 1 Mei 1963, dengan nama Irian Barat. Namun sejak awal, rakyat Papua merasa ada ketidakadilan. Hal itu ternyata masih dirasakan hingga kini, setelah 58 tahun bergabung dengan Ibu Pertiwi.

Ketidakadilan yang kini begitu nyata dirasakan terkait revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Padahal, tadinya pemberian Otonomi Khusus dipandang sebagai solusi bijak dan konsensus politik antara Jakarta dengan Papua.

Merasa kecewa karena tidak diikutsertakan pada pembahasan revisi UU Otsus Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menggugat UU No. 21/2001. Mereka melakukan uji sengketa kewenangan di Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 77 UU 21/2001 yang menyatakan, “Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Sebab, faktanya pemerintah pusat telah mengambil alih kewenangan tersebut. MRP dan MRPB memberikan kuasa kepada Tim Hukum dan Advokasi Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Rumah Bersama Advokat (RBA) untuk melayangkan gugatan tersebut.

“Kami mempertanyakan, siapa sebenarnya yang berhak memberi usulan perubahan, rakyat Papua atau pemerintah pusat?” tanya Timotius Murib Ketua MRP dalam acara Rapat Konsultasi sekaligus penandatanganan surat kuasa hukum untuk sengketa kewenangan di MK, di Jakarta, Rabu (16/6/2021)

Maxsi Nelson Ahoren Ketua Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) pada kesempatan itu menegaskan, pihaknya tidak melawan negara, hanya saja mempertegas siapa sebenarnya yang berhak memberi usulan perubahan UU Otsus Papua. Selain itu, dipertanyakan pula soal sikap pemerintah pusat yang tidak melibatkan MRP dan MRPB dalam membahas kelanjutan Otsus yang habis masa berlakunya di tahun ini.

Menurut Murib, selama ini rakyat Papua bertanya-tanya, kenapa selama 20 tahun implementasi UU 21/2001 ini, dari 24 kekhususan yang diberikan, hanya 4 yang dilaksanakan. “Jelas ini tidak fair bagi rakyat Papua. Bahkan ada yang menduga itu hanya akal-akalan pemerintah pusat saja,” imbuh Murib.

Sementara itu, Dr. Roy Rening Anggota Tim Hukum dan Advokat MRP dan MRPB menegaskan, pihaknya ingin mempertegas soal kewenangan terkait usulan perubahan. “Kalau memang itu hak rakyat Papua, ya berikan saja. Jangan diambil alih oleh pemerintah pusat. Itu namanya sewenang-wenang. Jangan-jangan ini upaya pemerintah pusat untuk menarik kewenangan yang harusnya menjadi milik rakyat Papua,” ujarnya.

Karenanya, kata Roy, pihaknya akan fight untuk memperjuangkan keadilan bagi rakyat Papua. “Orang Papua juga warga Indonesia. Mereka memiliki hak yang sama untuk memenuhi kebutuhan dan mengembangkan daerahnya sendiri. Jangan hak itu diambil oleh pusat,” tegasnya.

Dirinya berharap MK bisa arif dan bijaksana dalam melihat persoalan ini. Paling tidak, ujar Roy, MK bisa menunda revisi ini dan meminta agar UU ini didiskusikan dengan rakyat Papua sesuai amanat UU No. 21/2001.

 

 

Read More
Categories Berita

DPN Peradi Jadi Kuasa Hukum MRP Papua Bawah Masalah UU Otsus ke Mahkamah Konstitusi

Pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) saat foto bersama dengan DPN Peradi usai melakukan penandatanganan Mou – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) mengelar rapat konsultasi dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) berkaitan dengan pembahasan perubahan kedua undang-undang Otsus Papua.

Luhut Pangaribuan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) mengatakan pertemuan rapat konsultasi tersebut dengan inti tujuan MRP meminta pendapat hukum ke Peradi tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan perubahan kedua UU Otsus baik prosedurnya maupun subtansi.

“Prosedur yang pokok adalah bahwa perubahan sekarang yang dibicarakan di DPR RI tidak sesuai dengan mekanisme perubahan yang seharusnya diikuti yang di atur dalam UU Otsus itu,” katanya.

Di mana Dalam UU Otsus itu, kata Luhut, secara politik sebenarnya itu UU merupakan kesempatan dalam rangka menyelesaikan satu permasalahan.

“Jadi, boleh saya katakan bahwa dia (UU) lebih tinggi kurang pas tadi kira-kira begitulah maksudnya, tidak boleh di simpangi sebagaimana UU yang lain. Oleh karena itu, harus diperhatikan,” katanya.

Kalau ini pendekatannya secara demikian maka masalah di Papua tidak akan pernah selesai, dari mulai OPM sekarang Terorisme, Diskriminasi dan seterusnya.

“Jadi perlu secara lebih bijak untuk melihat persoalan perubahan kedua UU Otsus ini karena itu dengan bantuan tim yang akan dibentuk oleh Peradi untuk meresponnya akan coba mempelajari dan manakala ada hal yang bisa dilakukan secara hukum akan dilakukan misalnya dengan minta intepretasi atau pengujian dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sesuai dengan mekanisme yang ada di negara hukum di republik Indonesia,” tegasnya.

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua juga menambahkan rapat konsultasi tim kerja MRP tentang pokok-pokok pikiran rancangan perubahan kedua UU Otsus dengan DPN Peradi membicarakan subtansinya terkait dengan proses dan mekanisme yang dilakukan pemerintah pusat, eksekutif dan DPR RI untuk perubahan kedua atas UU Otsus Papua nomor 21 Tahun 2001.

“MRP mendapat respon yang luar biasa dari Peradi untuk melakukan komunikasi dengan MRP, dan Rakyat Papua dalam rangka membantu dimana satu polemik pro dan kontra yang terjadi di tengah masyarakat terkait dengan proses perubahan kedua UU Otsus Papua, sehingga dengan komunikasi MRP hari ini dengan Peradi bisa membuka satu wawasan dimana proses yang dilakukan pemerintah pusat sesuai konstitusi pasal 77 ini bisa kita sinkronkan,” katanya.

Perubahan kedua UU nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua pada prinsipnya MRP Papua berkeinginan untuk dikembalikan kepada proses hukum yaitu pasal 77 tetapi kemudian pemerintah pusat oleh DPR RI terus melakukan proses mekanisme perubahan secara sepihak ini.

“Inilah yang MRP datang menyampaikan subtansi terkait proses mekanisme ini untuk kita kaji pasal 77 dan surat presiden kepada DPRI RI pasal 5 UUD 1945 di mana presiden berhak mengusulkan UU bukan perubahan sehingga konteks hukum ini yang perlu MRP sampaikan kepada Peradi agar di ketahui oleh kalangan umum lebih khusus masyarakat orang asli Papua,” katanya.

Dalam kesempatan itu MRP melakukan penandatanganan MoU antara Majelis Rakyat Papua dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia, berlangsung di salah satu hotel di Jakarta, (9/6/2021). (*)

Read More