Categories BeritaPokja Perempuan MRP

Kasus Mutilasi di Timika Telah Merendahkan Martabat Orang Papua

JAYAPURA, MRP – Kasus Mutilasi di Timika terhadap 4 warga sipil orang asli Papua yang di lakukan oleh aparat TNI sebagai bentuk merendahkan martabat orang asli Papua.

Hal tersebut ditegaskan Ciska Abugau, ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua ketika melakukan rapat koordinasi dengan DPR Papua beberapa waktu lalu, Selasa (13/9/2022).

Ciska menjelaskan, kasus mutilasi di Papua ini kali pertama terjadi dan dilakukan oleh aparat kepada warga sipil orang asli Papua, pembunuhan dengan senjata dan lainnya sering terjadi namun untuk kasus mutilasi ini sejarah baru di tanah Papua.

“Dengan kasus mutilasi ini, sudah merendahkan martabat orang asli Papua,” tegas Ciska.

Sementara itu, Yanni, SH anggota DPR Papua dari partai Gerindra menegaskan agar DRP Papua dan MRP harus surati Presiden RI Joko Widodo untuk menghukum pelaku mutilasi 4 warga sipil orang asli Papua dengan hukuman mati.

“Desakan ini harus disampaikan secara terbuka, karena banyak perhatian ke Papua oleh Jokowi namum dicederai dengan kasus mutilasi 4 warga sipil OAP,” tegas Yanni.

Yanni juga meminta lembaga DPR Papua dan MRP harus bersuara keras terhadap oknum institusi yang sering melakukan penjualan senjata di Papua, seakan mereka sedang memelihara konflik di Papua.

“Bila ini tidak diatasi, masalah konflik di Papua akan terus muncul dan tidak akan selesai,” kata Yanni. John Banua Rouw ketua DPR Papua juga meminta institusi aparat penegak hukum di Papua untuk tidak melakukan transaksi jual senjata dengan warga sipil di Papua.

“Ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang lakukan penjualan senjata api di Papua di harus di tertibkan oleh negara melalui institusi Presiden Jokowi,” pesannya.(*)

Sumber: Suara Papua

Read More
Categories Berita

MRP Ajak Semua Pihak Duduk Bersama Mencari Solusi untuk Konflik Bersenjata di Intan Jaya

Foto Warga Intan Jaya mengungsi ke Gereja Katolik Bilogai, Baitapa dan Agapa – Ist

JAYAPURA, MRP — Semua pihak diajak duduk bersama dan mencari solusi untuk penyelesaian konflik bersenjata yang terjadi di beberapa daerah di Tanah Papua. Secara khusus di daerah Kabupaten Intan Jaya, Papua.

Ajakan ini disampaikan Ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP), Ciska Abugau saat diwawancarai suarapapua.com pada Jumat (12/11/2021) kemarin.

Dia menjelaskan, konflik bersenjata yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya dimulai sejak Desember 2019 antara TNI-Polri dengan Tentara Pembebasan Nasinal Papua Barat (TPNPB). Hingga 2021 menurut hemat dia, tidak ada solusi yang dihasilkan dan konflik terus terjadi. Untuk itu dia mengajak semua pihak untuk duduk bersama dan mencari solusi atas masalah tersebut.

“Kalau konflik bersenjata terjadi terus begini, tidak ada cara lain selain semua pihak duduk sama-sama dan bicara,” katanya.

Menurutnya, bupati dan DPRD Intan Jaya, Tokoh masyarakat, adat, perempuan, gereja, agama, mahasiswa dan intelektual harus bersatu untuk bicara dengan pemerintah provinsi, DPR Papua dan MRP.

“Mari kita semua duduk sama-sama baru bicara. Kami harus desak gubernur cabut surat rekomendasi untuk Blok Wabu. Kedua, saya minta gar jangan tambah pasukan. Biarkan masyarakat dengan pasukan organik saja,” ajak Abugau.

Dia bilang, sampai saat ini belum ada upaya penyatuan pemahaman bersama. Untuk itu upaya ini harus didorong supaya bisa ada solusi.

“Kita semua jadi satu untuk bicarakan barang ini. Sampai saat ini dari berbagai upaya yang sudah dilakukan ini belum ada hasil. Kalau tidak ayo, kita ketemu presiden dan DPR RI lalu bicarakan dengan mereka,” ajaknya berharap.

Dia juga meminta agar negara juga harus terbuka dan jujur sampaikan. Pakah penambahan pasukan non oragnik di Intan Jaya berkaitan dengan Blok B Wabu atau tidak.

“Negara juga harus jujur kalau pendropan pasukan dan kontak senjata itu karena blok wabu atau tidak. Harus sampaikan secara terbuka dan bicaralah dengan masyarakat Intan Jaya. Intan jaya itu hanya 4 suku. Kalau betul karena tambang, datang dan duduk lalu bicara. Ko mau apa dan kami mau apa. jangan bunuh-bunuh kami. Mau ambil kami punya hasil kekayaan baru kamu datang bunuh kami dulu, usir kami dulu itu logikanya bagaimana. Ini bukan tindakan negara lagi,” tegasnya.

Terkait dengan penembakan terhadap seorang mama dan dua orang anak di Intan Jaya pada 26 Oktober dan 9 November lalu, dia meminta agar TNI/Polri dan TPN-OPM harus akui kesalah secara gentle.

“Kami juga tahu perang. Dalam tradisi kami perempuan dan anak tidak boleh dipanah saat perang. Ini negara model apa yang datang bunuh-bunuh kami punya anak dan perempuan. Supaya tidak terjadi lagi, sekali lagi saya ajak semua pihak bersatu dan bicara.”

“Negara juga jangan usir kami dulu baru masuk ambil hasil kekayaan. Itu namanya pencuri. Kalau mau ambil kekayaan yang ada di intan jaya, mari duduk dan bicara sama-sama. Karena konflik ini tidak akan berkesudahan,” tambahnya.

Dia menambahkan, dirinya sangat menghargai kerja keras dari pemerintah daerah kabupaten Intan Jaya untuk mengupayakan akan konflik berakhir. Dalama hal ini, dia meminta agar pemerintah provinsi dan pusat harus dengar pemerintah daerah juga.

Sebab, kata dia, konflik yang terjadi di Intan Jaya bukan konflik sosial di masyarakat, tetapi karena perbedaan ideologi. Maka penanganan dan penyelesaiannya tidak bisa hanya seoarang bupati dan jajarannya saja.

“Bupati juga manusia. Bupati itu bagian dari negara, kalau ada laporan dari bupati, negara harus dengar. Dia yang tahu kondisi daerahnya. Jangan bikin gerakan sendiri,” pungkasnya. (*)

 

Sumber: SUARA PAPUA

Read More
Categories Berita

Ketua Pokja Perempuan MRP Kutuk Pelaku yang Tembak Ibu dan Anak di Intan Jaya

Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua atau Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau – For Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP), Ciska Abugau mengutuk keras pelaku yang menembak dua anak pada 26 Oktober 2021 dan mama Agustina Ondou (24) pada 9 November lalu di Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua.

Abugau mengaku sangat prihatin dengan konflik bersenjata yang terus mengorban masyarakat sipil, terutama ibu-ibu dan anak-anak di Kabupaten Intan Jaya. Dia jugaa mengaku kecewa karena tidak ada niat yang baik dari negara untuk menyelesaikan persoalan konflik bersenjata di Papua.

“Saya sangat dengan kondisi yang dialami masyarakat intan jaya dari 2019 – 2021. Saya mengutuk pelaku yang tembak dua anak dan seoarang mama di Sugapa. Mereka yang tembak itu sungguh terkutuk sampai ke 7 keturunannya,” tegasnya kepada suarapapua.com, Jumat (12/11/2021) kemarin kepada suarapapua.com.

Abugau mengatakan, konflik bersenjata di Intan Jaya terjadi sejak akhir tahun 2019 lalu. Namun hingga saat ini ekskalasi konfliknya tidak selesai tetapi justru terus parah.

“Sampai saat ini tidak ada perubahan. Semua orang dan pihak bicara tentang Intan Jaya. Tetapi sampai saat ini tidak ada titik terang dan tidak menemukan satu solusi untuk menyelesaikan masalah itu,” katanya.

Sebagai anggota MRP dari utusan kabupaten Intan jaya, lanjut Abugau, dirinya telah menempuh banyak cara untuk menyuarakan kondisi yang terjadi di daerahnya, namun tetap saja tidak ada hasil. Menurutnya, yang paling memungkinkan adalah semua pihak bersatu dari bicara sama-sama untuk mencari solusinya.

“Sebagai anggota MRP dari utusan kabupaten Intan Jaya saya, sangat prihatin dengan kondisi yang kami lihat. Saya juga capek bicara. Saya sudah menempuh berbagai cara dengan ketemu pih-pihak terkait untuk membicarakan ini, tetapi tidak ada solusi. Saya pikiri kita semua harus bersatu dan duduk untuk membicarakannya supaya ada solusi,” ujarnya.

Abugau mempertanyakan tujuan kehadiran negara di Papua. Dia juga mempertanyakan slogan TNI dan Polri yang selalu mendengungkan pelindung rakyat dan pengayom masyarakat.

“Negara datang dan ada di Papua itu untuk melindungi atau mengorbankan masyarakat. Kalau untuk melindungi masyarakat kenapa warga sipil yang selalu menjadi korban dari TNI/Polri maupun TPN-OPM. Kemarin anak kami ditembak, sekarang mamanya laigi yang ditembak. TPN-OPM dan TNI-Polri harus mengaku salah. Karena ulah merekalah masyarakat jadi korban,” tegas Abugau.

Dia menyarankan agar TNI/Polri dan TPN-OPM mencari tempat untuk perang supaya tidak korbankan masyarakat sipil.

“Entah kau TNI/Polri atau kau TPN-OPM, yang menembak anak kami dan seorang mama itu terkutuk. Kalau mau perang dua pihak ini harus cari tempat peang. Jangan perkampungan masyarakat dan di kota tempat masyarakat beraktifitas. Kalau mau uji kekuatan silahkan saja, tapi jangan perempuan, anak, anak dan warga sipil yang terus menerus menjadi korban di Intan Jaya,” pungkasnya.

Selain itu, Gustaf Kawer, Advokat dan praktisi Hukum dari PAHAM Papua kepada suarapapua.com mengatakan, menurut pengamatannya, sebagian besar konflik bersenjata yang terjadi di Tanah Papua, yang selalu menyebabkan pengusian terjadi dan ketentraman hidup masyarakat terganggu adalah karena masalah Sumber Daya Alam (SDA).

“Ini masalah terjadi karena ada sumber daya alam di tanah mereka. Ini yang menjadi penyebab terjadinya pengungsi dan konflik bersenjata. Ini bukan rahasia lagi. Di semua tempat konflik bersenjata itu ada potensi SDAnya yang sangat besar,” bebernya.

Dikatakan, langkah utama agar masyarakat merasa aman di tempat mereka adalah tidak hanya penarikan militer tetap dan harus dilakukan. Tidak hanya non organik tetapi non organik yang dianggap mengganggu juga harus ditarit. Harus membuat satu skema pengamanan yang lebih berempati kepada masyarakat.

“Dalam konteks berempati ke masyarakat, tidak harus dengan pengamanan yang bikin takut masyarakat. Dalam mewujudkan ini harusnya bukan aparat penegak hukum yang hadir tetapi negara yang hadir. Dalam hal ini pemda provinsi dan pusat harus tegas dalam keluarkan izin blok B Wabu sebaiknya dicabut dan pembahasan ini dihentikan,” katanya.

Kalau dihentikan, lanjut dia, jelas militer tidak akan datang. Sebab militer datang itu karena ada tambang itu. Setelah itu, pemerintaha yang bertugas melindungi, pemprov dan pemkab haru hadir untuk memulihkan daerahnya.

“Dalam konteks konflik bersenjata di Intan Jaya, Izin blok wabu harus dicabut, dihentikan dan tarik pasukan. Karena dengan begitu masyarakat akan merasa aman untuk hidup di rumah mereka dan tanah mereka tanpa rasa teror dan takut. Karena masyarakat tidak akan makan emas atau tambang. Masyakarat tinggal, hidup dan makan dari hasil kebun dan hasil hutan mereka,” pungkas Kawer. (*)

Sumber: SUARA PAPUA

Read More
Categories Berita

Abugau: Negara Harus Jujur Atas Konflik Berkepanjangan di Intan Jaya

Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua atau Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau – For Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua atau Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau menyatakan pihaknya sangat berduka dengan kasus penembakan dua anak di Kabupaten Intan Jaya.

Abugau menyatakan kasus penembakan itu menjadi insiden terbaru dari kasus kekerasan yang terus berlanjut di Papua, dan berbagai pemangku kepentingan di Papua, termasuk MRP, tidak bisa berbuat apa-apa.

Abugau menyatakan para Mama di Papua selaku menjadi pihak yang paling menderita dari konflik di Papua. Mereka kehilangan anak, suami, dan kerabat yang meninggal karena konflik dan kekerasan yang terus terjadi di Papua. Sebagai anggota MRP, Ciska Abugau merasa dirinya tak berdaya, karena semua upaya dan kerja MRP seperti sia-sia.

“Kemarin anak saya dibunuh itu karena persoalan orang besar, [persoalan orang dewasa], tapi yang korban anak yang tidak berdosa. Begitu mamanya berteriak kepada saya, saya tidak punya daya lagi untuk berbicara. Hanya kepada Tuhan saja kami serahkan persoalan ini. Satu [anak] sudah meninggal, dan satu [anak] masih dalam perawatan medis di Timika. Perintah seperti apa yang Kepala Kepolisian Daerah Papua sampikan kepada anggotanya di Intan Jaya? Kepala Kepolisian Resor [Intan Jaya], Kepala Kepolisian Sektor di sana, seperti apa?” Abugau bertanya.

Ia menilai aparat TNI dan Polri di Intan Jaya seakan-akan melepas tanggung jawab atas penembakan terhadap kedua dua anak kecil itu.

“[Jarak Markas] Koramil ke pemukiman masyarakat itu tidak jauh, sangat dekat. Setelah [kedua anak itu] kena tembak, [kerabat] mereka mau membawa [kedua korban] ke puskesmas, tapi trauma karena kejadian sebelumnya ada yang disiksa dan dibunuh di puskesmas. [Kalau] mau bawa ke puskesmas itu harus lewat [Markas] Koramil. Kalau seperti itu terus, kepada siapa kami harus mengadu kalau bukan ke Bapak Kapolda,” ujar Abugau.

Mewakili perempuan Papua di setiap daerah konflik, Abugau menyatakan sangat bersedih, namun merasa tak berberdaya karena hanya bisa mengeluarkan air mata setelah sanak saudaranya ditembak, disiksa, dan di bunuh.

Abugau menyatakan jika konflik bersenjata di Intan Jaya memang disebabkan kepentingan Indonesia menambang emas di Blok Wabu, maka seharusnya rencana penambangan itu dibicarakan bersama semua pihak.

“Harus jelas itu masalahnya apa. Kalau soal Blok Wabu, mari duduk bersama rakyat dan bicara tentang Blok Wabu. Karena [konflik] itu, masyakat [di Intan Jaya] menjadi korban. Hari ini, tidak ada pelayanan pendidikan dan kesehatan di Intan Jaya, semua [warga sipil] lari ke hutan. Terima kasih Bapak Kapolda yang sudah menangani masalah di Intan Jaya, [namun] bukan berarti dengan menangani itu sudah mengurangi [masalah], malah bertambah. Nanti masyakat Intan Jaya yang tersisa bisa habis. Kapolda dan Pangdam pasti sudah tahu persoalannya,” kata Abugau.

Ia menyatakan pimpinan MRP dan ketiga Kelompok Kerja MRP sudah membicarakan konflik dan kekerasan yang terjadi di Intan Jaya, Nduga, Puncak, Pegunungan Bintang, Yahukimo, maupun Yalimo.

“Untuk Yahukimo dan Yalimo, [konflik itu dilatarbelakangi] persolan politik [lokal]. Tetapi, untuk Nduga, Intan Jaya, Puncak, itu masalahnya tidak bisa di selesaikan kah? Selain Bapak Kapolda, tidak ada lagi pejabat di Provinisi Papua ini [yang bisa selesaikan masalah itu?]” tanya Abugau.

Dalam Rapat Kerja bersama MRP di Kota Jayapura pada Kamis (28/10/2021), Kepala Kepolisian Dearah Papua, Irjen Mathius D Fakhiri menyampaikan permohona maaf atas kontak tembak antara TNI/Polri dan pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Intan Jaya. Kontak tembak itu berujung dengan tertembaknya dua anak pada 26 Oktober 2021, dan seorang diantaranya meninggal dunia.

“Saya minta maaf atas kesalahan dari prajurit kami. Itu benar, sampai tiga hari ini kami diganggu terus, itu dampak dari perbuatan kami. Kami evaluasi, kita mau pengelolaan pengamanan di Papua harus mendengar masukan dari semua pihak,” ujar Fakhiri.

Fakhiri menjelaskan pihaknya telah meminta para bupati sebagai kepala daerah dapat menagani persoalan dan dampak konflik di daerahnya masing-masing. Ia meminta para kepala daerah tidak menghabiskan anggaran publik untuk bepergian ke luar daerah.

“Saya sampaikan kemarin kepada Bupati Intan Jaya, Puncak, Nduga, Yahukimo, [mereka harus] balik dan urus daerah masing-masing, urus masyarakat di kampung. Jangan gunakan uang rakyat [untuk bepergian] ke Jayapura, Jakarta, dan Makassar. Jika kedapatan [bepergian tanpa urusan yang jelas], ujung-ujungnya akan dijerat hukum,” kata Fakhiri.

Fakhiri menegaskan peran para bupati untuk menangani konflik di daerahnya masing-masing sangat dibutuhkan.

“Persoalan di daerah masing-masing itu diselesaikan di honai masing-masing. Tidak semua masalah bisa menyalahkan anggota TNI/Polri. Kami sudah berusaha untuk membatasi perbuatan anggota kami. Tapi kalau mereka datang ke pos-pos kami dan menembak, pasti kami kejar. Itu yang terjadi di beberapa tahun ini, saya mengakui masih ada kekurangan,” ujar Fakhiri. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

Pokja Perempuan MRP: OAP Adalah Ayah Dan Ibunya Harus Asli Papua

Ciska Abugau ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Kelompok Kerja atau Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP), Ciska Abugau berpendapat definisi orang asli Papua (OAP) adalah mereka yang memiliki ayah dan ibu asli Papua.

Pernyataan itu dikatakan Ciska Abugau menyikapi rencana Panitia Khusus Otonomi Khusus atau Pansus Otsus DPR Papua, menyerahkan hasil kajiannya terkait Otsus Papua kepada pemerintah dan DPR RI.

Kajian dilakukan Pansus Otsus DPR Papua, berkaitan dengan rencana pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Otsus Papua.

Dalam hasil kajiannya, Pansus Otsus mengusulkan perubahan Pasal 1 huruf (t) UU Otsus mengenai definisi orang asli Papua yang berbunyi “Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.”

Usulan perubahan yang akan diajukan Pansus Otsus, yakni poin (a) menyebutkan OAP adalah “orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua, yang ayah dan ibunya, atau ayahnya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua.”

Poin (b) berbunyi orang asli Papua adalah “Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua yang ibunya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua.”

Dibagian penjelasan, disebutkan alasan menghilangkan frasa “orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua” agar dapat memberi perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua, terutama berkaitan dengan hak hak dasar penduduk asli Papua sebagai upaya mewujudkan harkat, martabat, dan jati diri orang asli Papua.

Menurut Ciska, sebuah pihak terkait mesti duduk bersama membicarakan dan menyepakati definisi orang asli Papua.

“Saya sangat mengerti sekali. Namun sejak periode kedua saya di MRP, kami Pokja Perempuan ketika itu mempertahankan [argumen] yang namanya OAP itu adalah mereka yang ayah dan ibu asli Papua, itu saja,” kata Ciska Abugau kepada Jubi, Kamis (17/6/2021).

Ia berpendapat mereka yang ayah atau ibunya non-Papua mestinya tidak dapat dikategorikan asli Papua, meski di Papua mengakui keaslian lewat garis keturunan ayah atau patrilinear.

Akan tetapi lanjut Abugau, jika garis keturunan ayah dianggap asli Papua, bagaimana dengan garis keturunan ibu.
Mestinya mereka yang lahir dari ibu Papua, juga dianggap asli Papua. Sebab, perempuan yang mengandung anak anak.

Katanya, definisi orang Papua ini menjadi polemik ketika dalam pembahasan MRP periode kedua kala itu.

“Kalau seperti itu, biar adil yang namanya asli Papua, kedua orang tuanya mesti orang asli Papua. Garis keturunan bapak juga tidak perlu. Siapa suruh ko kawin perempuan lain. Ada perempuan Papua to,” ujarnya.

Ciska Abugau mengatakan, ia berpendapat seperti itu bukan untuk mendiskriminasi mereka yang lahir dari ayah atau ibu bukan asli Papua.

Akan tetapi, ini sebagai menjaga jati diri orang asli Papua, dengan ciri khas berambut keriting dan berkulit hitam.

Katanya, orang asli Papua mesti menghilangkan semua pikiran negatif. Namun bagaimana berupaya mempertahankan jati diri, mesti duduk membuat komitmen bersama.

Para pihak dipandang perlu mendiskusikan mengenai keaslian ini, agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat adat.

Ia berharap, para pihak harus lebih memperhitungkan keberadaan orang asli Papua pada masa mendatang dan menyadari, kini jumlah orang asli Papua makin berkurang.

“Daripada kita terus berdebat mempertahankan keaslian dari garis keturunan bapak atau mama, sebaiknya yang dianggap asli adalah mereka yang kedua orangtuanya asli Papua. Kalau tidak, dalam beberapa tahun ke depan jati diri orang yang benar benar asli Papua, tak akan ada lagi,” kata Ciska Abugau.

Sementara itu, Ketua Pansus Otsus DPR Papua, Thomas Sondegau mengatakan semua masukan yang disampaikan kepada pihaknya itu sangat baik.

Akan tetapi, mesti mempertimbangkan waktu, sebab kini tahapan revisi UU Otsus Papua di DPR RI terus berlangsung.

“Jika saja, pemerintah dan DPR RI dapat memberi waktu kepada kami, tidak masalah,” kata Thomas Sondegau.

Ia mengaku, revisi Pasal 1 huruf (t) UU Otsus yang diusulkan pihaknya itu, berdasarkan aspirasi masyarakat yang disampaikan ke Pansus DPR Papua.

“Ya, itu berdasarkan aspirasi masyarakat saat kami turun lapangan. Tidak mungkin kami berani mengajukan seperti itu kalau tidak berdasarkan aspirasi yang kami terima,” ucapnya.

Sehari sebelumnya, Sekretaris II Dewan Adat Papua, John NR Gobai juga mengingatkan agar usulan perubahan Pasal 1 huruf (t) UU Otsus Papua, yang akan diajukan Pansus Otsus DPR Papua, sebaiknya dikaji kembali.

Ia khawatir, usulan perubahan itu nantinya dapat menimbulkan polemik di masyarakat adat. Sebab, masyarakat adat Papua menganut paham patrilinear.

“Kita hargai upaya Pansus Otsus untuk memproteksi hak hak dasar orang asli Papua. Namun, kami khawatir itu akan menimbulkan polemik di masyarakat,” ujar John Gobai.

Menurutnya, definisi orang asli Papua mesti disepakati bersama masyarakat adat di lima wilayah adat. Dengan begitu, usulan perubahan yang nantinya didorong Pansus Otsus DPR Papua mendapat legitimasi dari masyarakat adat.

“Memang itu harus diperjelas. Tapi tidak mesti dengan regulasi nasional. Cukup dengan regulasi daerah, misalnya perdasus. Perdasus itu kita lahirkan setelah rapat dengar pendapat umum dengan masyarakat adat,” ujarnya.

Katanya, dalam dengan menggelar rapat dengar pendapat umum, dapat diketahui apakah masyarakat adat menerima revisi pasal yang mau didorong, ataukah masyarakat adat tetap pada kebiasaan mengikuti garis keturunan ayah, bukan ibu.

Ia mengakui, dalam kasus kasus tertentu di masyarakat adat Papua, tidak bisa dipungkiri anak-anak mengikuti marga ibunya.

Namun, dalam perumusan sebuah regulasi yang sifatnya mengikat nantinya, mesti benar benar mendapat legitimasi dari berbagai pihak, terutama masyarakat adat Papua.

“Jangan sampai masyarakat menilai kami di DPR Papua ini hanya mendorong kepentingan kelompok tertentu,” kata Gobai.(*)

Sumber: JUBI

Read More

Categories Berita

MRP dukung gerakan melawan unggahan media sosial yang merendahkan perempuan Papua

Ketua Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau bersama Sekretaris Pokja Perempuan MRP, Orpa Nari saat memberikan keterangan pers kepada jurnalis di Jayapura. – Jubi/Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua atau Pokja Perempuan MRP mengajak dan mendukung seluruh perempuan Papua bersatu melawan berbagai unggahan media sosial yang bias gender dan merendahkan martabat perempuan. Dukungan dan ajakan itu disampaikan Ketua Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau di Kota Jayapura, Rabu (8/7/2020).

Ciska Abugau menyampaikan dukungan itu sebagai respon atas gerakan Koalisi Perempuan Papua yang mengecam unggahan status seorang pengguna facebook bernama MJ Yarisetouw yang telah melecehkan martabat perempuan Papua. Pada Senin (6/7/2020) lalu, MJ Yarisetouw menyampaikan permohonan maaf secara terbuka atas status yang diunggahnya pada 2 Juli 2020 itu.

Ia menyatakan seluruh perempuan Papua harus bersatu melawan berbagai unggahan media sosial yang bias gender dan merendahkan martabat perempuan. “Kami, 17 perempuan di Pokja Perempuan MRP, mendukung Koalisi Perempuan Papua yang mau membawa kasus itu ke ranah hukum. Harus ada efek jera, supaya menjadi pembelajaran,” kata Abugau kepada Jubi pada Rabu.

Abugau menyatakan, apapun bentuk penyelesaian dari kasus unggahan status Yarisetouw, baik melalui proses hukum ataupun diselesaikan dengan permintaan maaf, perempuan Papua harus mendidik laki-laki Papua untuk menghargai perempuan. Abugau menegaskan perempuan Papua bukan obyek pelampiasan nafsu, obyek caci maki, atau obyek yang harus dipamer-pamerkan laki-laki.

Ia menyatakan setiap laki-laki Papua harus menghargai perempuan Papua sebagaimana mereka menghormati mama, istri, atau adik perempuan dalam keluarga mereka. Setiap laki-laki juga harus ingat untuk menghormati perempuan Papua saat menggunakan media sosial.

“Perempuan itu setara, jadi dia [laki-laki] mesti lindungi perempuan. Perlu memberikan pembelajaran, karena banyak laki-laki atau perempuan juga pamer-pamer foto tidak wajar dengan tujuan yang tidak jelas. [Tindakan itu] hanya merendahkan martabat wanita. Tolong mengunakan media sosial untuk hal yang positif, untuk kemajuan manusia Papua, [dengan unggahan] yang saling menghargai dan melindunggi antara laki-laki dan perempuan,” ujar Abugau.

Dalam keterangan pers pada Senin, sejumlah tokoh perempuan Papua yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Papua mengecam status Facebook yang diunggah MJ Yarisetouw. Wakil Ketua Solidaritas Perempuan Papua, Naci Jacqueline Hamadi mengatakan status MJ Yarisetouw itu adalah bentuk kekerasan verbal terhadap perempuan, dan berpotensi menjadi kekerasan berganda terhadap korban kekerasan terhadap perempuan.

Jacqueline Hamadi menyatakan Yarisetouw harus menghormati dan menghargai kedudukan perempuan Papua sebagai mama yang mewariskan ras Melanesia, mewariskan lelaki Papua. Tanpa perempuan Papua, tidak mungkin ada laki-laki Papua. “Apabila di Amerika [Serikat] mereka perjuangkan Black Lives Matter, hari ini kami nyatakan Papua Women Lives Matter. Kami akan berjuang untuk mempertahankan hak dan martabat kami sebagai perempuan Papua,” kata Hamadi.

Ia mengingatkan, kini ada banyak perempuan Papua yang berkarya dan berkarir di seluruh penjuru dunia, menekuni berbagai bidang profesi dan pekerjaan. Telah ada banyak perempuan Papua yang menjadi Guru Besar bergelar Profesor, menempuh pendidikan tinggi hingga bergelar Doktor, menjalankan profesi mulia seperti dokter, dan banyak pekerjaan lainnya.

“Jadi sebenarnya postingan status Facebook MJ Yarisetouw itu ditujukan kepada siapa? Setiap perempuan memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Setiap orang memiliki hak [untuk mendapatkan penghormatan atas kehidupan pribadinya]. Anda tidak punya hak untuk mengurus [kehidupan pribadi] mereka. [Ujaran Anda bisa tertuju kepada] perempuan [yang] mendapatkan perlakuan, kekerasan verbal dan non verbal, atau bahkan pemerkosaan, [dan ujaran Anda menimbulkan] kekerasan berganda. Itu tidak boleh diulangi lagi,” tegas Hamadi dalam keterangan pers Koalisi.

Hamadi meminta MJ Yarisetouw meminta maaf secara terbuka atas status facebook yang diunggahnya. “Dalam seminggu ini kami tunggu. Jika tidak, kami [akan] melaporkan kepada pihak berwewenang untuk melanjutkan proes Hukum,” katanya.

Dalam keterangan perse terpisah pada Senin, MJ Yarisetouw akhirnya meminta maaf kepada perempuan Papua, karena mengunggah status Facebook yang melecehkan dan merendahkan martabat perempuan Papua. Permohonan maaf itu juga disiarkan secara langsung melalui laman Facebook Yarisetouw. “Saya menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya,” kata Yarisetouw.

Yarisetouw mengakui unggahan statusnya telah menciderai perasaan seluruh “perempuan tanah” atau perempuan Papua. “Kepada seluruh perempuan Papua yang ada di Tanah Papua dan di manapun berada, sekali lagi [saya meminta] maaf. Saya tidak akan mengulanginya, sebab [perbuatan saya] itu menciderai hati perempuan Papua. Sekali lagi, saya memohon maaf kepada bapa, mama, dan khususnya perempuan Papua atau perempuan tanah, atas pontingan saya yang telah melukai hati dan perasaannya,” katanya.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Aturan pelaksanaan Otsus belum lindungi kepentingan perempuan Papua

Ketua Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau bersama Sekretaris Pokja Perempuan MRP, Orpa Nari saat memberikan keterangan pers kepada jurnalis di Jayapura. – Jubi/Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ciska Abugau yang pekan lalu terpilih menjadi Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua menyatakan aturan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua belum berpihak kepada kepentingan perempuan Papua. Abugau menyatakan pihaknya akan memperjuangkan aturan penggunaan dan pembagian Dana Otonomi Khusus Papua untuk kelompok perempuan Papua.

Hal itu dinyatakan Ciska Abugau kepada Jubi pada Minggu (5/7/2020). “Kami sudah turun, melihat dan ada beberapa masalah-masalah. Kami sudah tahu masalahnya adalah regulasi yang tidak berpihak kepada perempuan. Salah satunya, [tidak ada] regulasi perlindungan perempuan dari  kekerasan [yang dilakukan aparatur] Negara, pemerintah daerah, [ataupun kekerasan dalam] rumah tangga,” kata Abugau.

Menurut Abugau, suara perempuan Papua di pesisir pantai, danau, pegunungan, lembah, dan rawa-rawa banyak yang tidak terdengar. Perempuan Papua mengalami banyak masalah, baik sebagai perempuan, anak perempuan, ataupun mama. Abugau menyatakan perempuan Papua kerap menjadi korban dari sistem pemerintahan, sistem masyarakat, ataupun kehidupan rumah tangga yang tidak melindungi kepentingan perempuan.

Abugau menyatakan Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dipimpinnya akan memperjuangkan regulasi atau aturan pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang melindungi kepentingan perempuan Papua. Menurutnya, perlindungan perempuan Papua membutuhkan regulasi khusus, termasuk pengaturan yang jelas mengenai pembagian dan pengunaan Dana Otsus untuk perempuan Papua.

“Saya bersyukur, saya merasa, menjadi Ketua [Pokja Perempuan MRP] itu kepercayaan untuk saya bersama 16 perempuan [anggota Pokja Perempuan MRP untuk] menyuarakan suara-suara perempuan yang tidak bersuara [Kami akan memperjuangkan] regulasi pembagian Dana Otsus, khusus untuk perempuan. Kami sudah organisir,” kata Abugau.

Abugau menilai MRP memasuki masa yang berat, karena banyak pihak menyoroti akan berakhirnya aturan besaran Dana Otsus Papua setara 2 persen Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional pada tahun 2021. Berakhirnya jangka waktu kucuran dana setara 2 persen DAU Nasional itu telah memunculkan wacana evaluasi dan revisi UU Otsus Papua.

Abugau menyatakan pihaknya harus kerja keras untuk memastikan hal yang terkait upaya perlindungan perempuan Papua menjadi bagian dari evaluasi UU Otsus Papua. “Kami akan melakukan [dengar pendapat atau] hearing, [dan] dialog dengan instansi, lembaga terutama Dinas Pemberdayaan Perempuan,” kata Abugau.

Selain akan bertemu pihak pengunaan Dana Otsus, pihaknya akan memfasilitasi penerima manfaat. Abugau menyatkaan Pokja Perempuan MRP akan melakukan rapat dengar pendapat dalam skala besar, untuk melihat manfaat Dana Otsus bagi perempuan Papua. “Kami akan gelar rapat dengar pendapat [untuk] melihat apakah Dana Otsus sudah memberdayakan perempuan atau tidak,” katanya.

Ia mengajak semua pihak, khususnya 50 anggota MRP untuk bekerjasama, karena keberhasilan Pokja Perempuan MRP akan menjadi keberhasilan MRP memperjuangkan perlindungan bagi orang asli Papua (OAP). “Kita kerja sama, bergandengan tangan menyuarakan suara-suara perempuan Papua yang tidak bersuara. Kita bangun komitmen bersama untuk memberdayakan perempuan Papua,” kata Abugau.

Ketua MRP Timotius Murib mengatakan evaluasi dan pemilihan pimpinan alat kelengkapan MRP dilakukan setelah para pimpinan bekerja selama 2,5 tahun. “[Kami bersama-sama mengevaluasi] apa saja telah dikontribusikan untuk lembaga ini demi kepentingan OAP, evaluasi dan laporan apa yang mereka kerjakan, hasil yang mereka capai dan sedang kerjakan,” kata Murib kepada Jubi.

Murib meminta para pimpinan alat kelangkapan MRP, baik yang baru terpilih ataupun yang melanjutkan jabatannya, segera menyusun program untuk memperbaiki kinerja lembaga dalam melindungi dan memperjuangkan hak OAP. “MRP [ingin] meningkatkan kinerja untuk menolong OAP selama Otsus,”ungkapnya.

Meskipun masa bakti para anggota MRP periode ini tinggal 2,5 tahun, Murib mengingatkan para anggota MRP akan bekerja pada akhir masa berlakunya aturan kucuran Dana Otsus Papua setara 2 persen DAU Nasional. Ia berpesan anggota dan unsur pimpinan alat kelengkapan MRP bekerja dalam rangka evaluasi Otsus.

“Anggota dipercayakan [dan] harus berkontribusi untuk lembaga, melakukan dengar pendapat, dialog dengan lembaga yang mengunakan Dana Otsus Papua. Kita melakukan program kerja dalam rangka evaluasi Otsus,” ungkapnya.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Ciska Abugau pimpin Pokja Perempuan MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP melakukan pemilihan pimpinan dan anggota enam alat kelengkapan lembaga di Kota Jayapura, Papua, Jumat (3/7/2020). Anggota MRP Ciska Abugau terpilih menjadi Ketua Kelompok Kerja Perempuan MRP, sementara Adolof Kogoya terpilih menjadi Ketua Panitia Urusan Rumah Tangga MRP.

Pemilihan pimpinan dan anggota enam alat kelengkapan MRP itu dilakukan melalui proses evaluasi kinerja para pimpinan dan anggota. Dari proses pemilihan itu, hanya dua alat kelengkapan MRP yang mengalami pergantian pimpinan.

Anggota MRP Ciska Abuga terpilih menjadi Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan MRP, mengantikan Nelince Wamuar. Selain itu, Adolof Kogoya terpilih menjadi Ketua Panitia Urusan Rumah Tangga MRP, mengantikan Dolince Mehue.

Pimpinan dari empat kelengkapan MRP lainnya tidak mengalami pergantian. Yoel Luiz Mulait tetap menjadi Ketua Pokja Agama, sementara Demas Tokoro melanjutkan jabatannya sebagai Ketua Pokja Adat. Nehemi Yebikon akan melanjutkan tugasnya selaku Ketua Dewan Kehormatan, dan Benny Sweny tetap menjadi Ketua Panitia Musyawarah.

Usai terpilih, Ciska Abugau mengatakan ia berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepadanya untuk memimpin Pokja Perempuan. Ia menyatakan akan menjalankan evaluasi Otonomi Khusus (Otsus) bagi perempuan Papua. “[Kami] akan melakukan rapat dengar pendapat besar-besaran, untuk menyaring aspirasi sejauh mana Dana Otsus memberdayakan perempuan Papua,” kata Abugau.

Ia mengatakan pekerjaan itu akan sangat berat, dan ia mengajak, 17 anggota Pokja Perempuan bekerja sama menyuarakan suara-suara perempuan Papua yang tidak bersuara dan tidak terdengar, yang ada di gunung, lembah, rawa, dan pesisir pantai. “Kita harus bersatu, satu komitmen untuk memberdayakan perempuan,” kata Abugau.

Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan evaluasi dan pemilihan pimpinan alat kelengkapan MRP dilakukan setelah para pimpinan bekerja selama 2,5 tahun. “[Kami bersama-sama mengevaluasi] apa saja telah dikontribusikan untuk lembaga ini demi kepentingan orang asli Papua atau OAP, evaluasi dan laporan apa yang mereka kerjakan, hasil yang mereka capai dan sedang kerjakan,” kata Murib kepada Jubi.

Murib meminta para pimpinan alat kelangkapan MRP, baik yang baru terpilih ataupun yang melanjutkan jabatannya, segera menyusun program untuk memperbaiki kinerja lembaga dalam melindungi dan memperjuangkan hak OAP. “MRP [ingin] meningkatkan kinerja untuk menolong OAP selama Otonomi Khusus,”ungkapnya.

Meskipun masa bakti para anggota MRP periode ini tinggal 2,5 tahun, Murib mengingatkan para anggota MRP akan bekerja pada akhir masa berlakunya aturan kucuran Dana Otsus Papua setara 2 persen Dana Alokasi Umum Nasional. Ia berpesan anggota dan unsur pimpinan alat kelengkapan MRP bekerja dalam rangka evaluasi Otsus.

“Anggota dipercayakan [dan] harus berkontribusi untuk lembaga, melakukan dengar pendapat, dialog dengan lembaga yang mengunakan Dana Otsus Papua. Kita melakukan program kerja dalam rangka evaluasi Otsus,” ungkapnya.(*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

Ciska Abugau Selenggarakan Sosialisasi dan Jaring Aspirasi Tentang PSDD dan Pangan Lokal

Ciska Abugau anggota MRP saat melakukan sosialisasi dan jaring aspirasi pada kegiatan reses II di asrama Mahasiswa Buper Waena – Doc SP

JAYAPURA, MRP – Ciska Abugau, Wakil Kelompok Kerja Prempuan (Pokja)  Majelis Rakyat Papua telah melakukan sosialisasi tentang Covid-19 dan melakukan penjaringan aspirasi dari mahasiswa tentang  realisasi pembatasan sosial yang diperluas dan diperketat (PSDD) dan sikap masyarakat Orang Asli Papua terkait kearifan lokal ditengah pandemic covid-19.

Kegiatan tersebut dilakukan di asrama mahasiswa Intan Jaya Buper Waena bersama mahasiswa dan pelajar asal Intan Jaya dengan dihadiri oleh Apeniel Ezra Sani (anggota DPR Papua dari Meepago), Pastor Kleopas Sondegau, Pr dan Arnold Belau, Pemred Suara Papua pada Selasa (23/6/2020).

Abugau menjelaskan bahwa kegiatan yang dilakukannya itu bertujuan untuk mengecek langsung mahasiswa dan sebagai suatu kegiatan syukuran.

“Penyakit corona ini membuat semua orang panic dan tidak bisa buat apa-apa, maka hari ini saya buat kegiatan ini agar kita cek langsung apakah ada masyarakat atau mahasiswa dan pelajar Intan Jaya ada yang kena penyakit ini atau tidak. Tapi puji Tuhan kami semua baik-baik saja. Kegiatan ini juga sebagai syukuran karena beberapa bulan kita tdak bisa kumpul sama-sama,” katanya.

Lanjut dia, kegiatan yang dilakukan itu sebenarnya dilakukan di daerah dimana dirinya diutus namun pembatasan sosial membuat setiap orang yang ingin berpergian bibatasi maka ia lakukan bersama mahasiswa.

“Saya ini MRP saya dipilih oleh prempuan Migani  bukan kalian yang pilih tapi saya sebagai mama, tidak memilih ini dan itu maka saya buat kegiatan ini disini karena bagi saya generasi penerus  itu penting,” jelas Abugau.

Dalam kegiatan itu, Yustianus Agimbau, ketua Ikatan Mahasiswa Intan Jaya di Jayapura memberikan apresiasi kepada ibu Sisca yang menyelengarakan kegiatan itu.

“Saya ucapkan banyak terima kasih kepada mama kita yang senantiasa ada bagi kami mahasiswa dan pelajar Intan Jaya dari dulu sampai hari ini, dalam situasi apapun, saya juga menyampaikan terima kasih kepada putra-putra terbaik Intan Jaya yang hadir dikesempatan itu,”ujarnya.

Dalam kegiatan ini Sisca Abugau selaku penyelengara kegiatan menjadi moderator dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua Apniel Sani sebagai narasumber pertama, Arnold Belau pmpinan redaksi suarapapua.com sebagai pemeteri kedua dan Pastor Kleopas Sondegau, Pr., sebagai narasumber ketiga.

Kegiatan itu dilakukan sekitar sejam lalu dilanjutkan dengan makan bersama hasil bakar batu, sebagai ucapan syukur dan akhir dari kegiatan yang dimaksud. Peserta yang hadir kurang lebih 500 peserta dari beberapa daerah seperti Puncak, Paniai, Yalimo dan ada beberapa asrama.

Apeniel Sani memberikan apresiasi kepada Ciska Abugau sebagai perempuan Migani yang duduk di MRP. Dimana menurut Sani, Abugai menjadi orang tua bagi mahasiswa dari Intan Jaya dan Meepago di Kota Jayapura.

Sani berharap agar semua mahasiswa Intan Jaya dapat menjaga kesehatan dan melindungi diri dari corona dengan tetap mematuhi aturan pemerintah. (*)

 

Sumber: suarapapua.com

Read More