Categories Berita

MRP: Rencana Peresmian dan Pelantikan Penjabat Gubernur 3 DOB Terkesan Terburu-buru

JAYAPURA, MRP – Rencana Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia akan mempercepat peresmian sekaligus pelantikan penjabat Gubernur tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) hasil pemekaran Papua pada akhir Oktober ini, dinilai terlalu terburu-buru.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib saat dihubungi Jubi, Rabu (5/10/2022) mengatakan, memang sejak awal pemerintah pusat terkesan ingin semuanya serba cepat, terburu-buru melakukan perubahan undang-undang Otsus, pembentukan DOB lalu pengisian perangkat seperti pelantikan penjabat Gubernur dan pengisian MRP.

Kata Murib, pemerintah seharusnya memahami bahwa tidak ada perubahan di pasal yang mengatur tentang jumlah anggota MRP yang merupakan representasi dari jumlah anggota DPR Papua. “Jadi, anggota MRP itu representasi 2 per 3 dari anggota DPR Papua. Lalu di wilayah pemekaran DOB ini kalau MRP diproses secepatnya setelah Pj. Gubernur dilantik, mau presentasikan angggota DPR Provinsi yang mana? induk atau pemekaran,” ucapnya.

Karena kata dia, hasil pemekaran Papua belum ada pengisian anggota DPR provinsinya, lalu representasi mana yang akan digunakan untuk jumlah anggota MRP.

“Ini harus konsisten, pemerintah jangan abal-abal, saya jadi heran bagaimana pemimpin hari ini semua keliru, emosional. Makanya itu MRP berikan masukan dan saran, supaya harus sesuai aturan jangan dilanggar aturan itu,” katanya.

Ia melihat baik pemerintah pusat maupun DPR RI kompak, bagaimana caranya pemekaran provinsi di Papua dipercepat meski melanggar semua batasan-batasan atau aturan, dan itu telah disahkan proses pemekaran DOB.

“Tentu saja untuk pengisian penjabat Gubernur telah dirancang oleh pemerintah pusat, jadi pada prinsipnya rakyat dalam hal ini MRP tentu tidak bisa banyak berbuat apa-apa, karena ini keinginan Jakarta, keinginan pemerintah pusat dan sudah landing sesuai kehendak mereka,” katanya.

Pada prinsipnya MRP tetap mengawal semua kebijakan yang telah dilakukan pemerintah pusat, dan yang terpenting adalah bagaimana kebijakan yang dibuat benar-benar memproteksi kehidupan orang asli Papua.

“Orang Papua itu butuh kehidupan bukan pembangunan, pembangunan itu baik tetapi jika dengan cara-cara yang tidak elok tidak sesuai dari akar rumput saya pikir akan terjadi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia terutama hak dasar orang asli Papua,” katanya.

Sebelumnya Wakil Menteri Dalam Negeri RI, Wempi Wetipo menyatakan jika kementerian akan mempercepat proses pelantikan penjabat gubernur serta pembentukan struktur pemerintahan di tiga provinsi baru hasil pemekaran Papua yaitu Papua Pegunungan, Papua Tengah dan Papua Selatan.

“Ketentuan undang-undang [mengatur selambat-lambatnya penjabat Gubernur ditunjuk] enam bulan setelah undang-undangnya disahkan, berarti pada Januari 2023. Akan tetapi, kami mempercepat prosesnya. Peresmian [tiga provinsi baru] dilakukan akhir Oktober 2022,” kata Wetipo. (*)

Read More
Categories Berita

Reses ke III, Anggota MRP Dorince Mehue Sosialisasikan 12 Keputusan Kultural OAP

JAYAPURA, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Pokja Agama, Dorince Mehue, SE melakukan reses III tahun 2022 di Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Kamis (29/09/2022).

Kegiatan dengan agenda sosialisasi 12 keputusan MRP tentang perlindungan hak dasar Orang Asli Papua (OAP) itu, dihadiri Ketua BPH AMAN Jayapura, Benhur Wally dan Sekretaris Pokja Perempuan MRP, Orpa Nari.

Dorince Mehue yang juga Ketua PWKI Papua mengatakan selain sosialiasi dan penjaringan aspirasi, bersamaan dengan itu dilaksanakan konsolidasi organisasi perempuan Gereja menjelang Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) ke-VI yang akan digelar 24-30 Oktober 2022.

“Ini dua agenda kegiatan yang kita lakukan dalam satu hari. Kehadiran semua pihak, khususnya perempuan Papua tentu sangat penting untuk menambah wawasan dan pengalaman kita ke depannya,” kata Dorince saat membuka kegiatan tersebut.

Ia menjelaskan, sebelumnya 12 keputusan Itu juga telah disampaikan kepada pimpinan DPR Papua. Dan DPR Papua telah menindaklanjuti dua keputusan MRP untuk diproses sebagai Peraturan Daerah Khusus (Perdasus).

Selengkapnya kata Dorince, 12 keputusan tersebut, antara lain, Keputusan larangan pemberian nama atau gelar adat kepada orang lain di luar suku pemangku adat. Keputusan larangan jual beli tanah di Papua, moratorium izin pengelolaan sumber daya alam di tanah Papua, hingga penghentian kekerasan dan diskriminasi oleh aparat penegak hukum terhadap OAP.

Selain itu, keputusan pemenuhan hak politik perempuan asli Papua dalam pelaksanaan pemilihan umum legislatif, perlindungan perempuan dan anak asli Papua di wilayah konflik, khususnya di Kabupaten Intan Jaya, Nduga, dan Puncak Provinsi Papua.

Keputusan perlindungan cagar alam di tanah Papua, perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungam rumah adat OAP, perlindungan dan pelestarian fungsi ekosistem hutan manggrove di Papua, perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan rumah adat OAP, pengakuan perlindungan dan pelestarian areal tanah sakral OAP.

Kemudian, keputusan pentingnya pemantapan dan penataan kembali kedudukan MRP dan keputusan pengetaan pengawasan terhadap peredaran dan penjualan minuman beralkohol serta obat-obat terlarang lainnya. (*)

 

Read More
Categories Berita

Reses Ke III, Anggota MRP Toni Wanggai Gelar Sosialisasi 12 Keputusan Kultural

SENTANI, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Pokja Agama, Dr. H. Toni V. M. Wanggai, S.Ag., M.A., lakukan sosialisasi dan jaring aspirasi pada reses triwulan ke-III 2022.

Hal ini untuk mensosialisasikan 12 keputusan kultural MRP tahun 2021-2022, serta melihat perkembangan dinamika kerukunan umat beragama di Papua, khususnya Kabupaten Jayapura.
Terkait ini, maka Toni Wanggai sapaan akrabnya melaksanakan kegiatan reses III tahun 2022, di Kota Sentani, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, kemarin.

Reses tersebut digelar dalam bentuk silaturrahmi dan tatap muka bersama para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, tokoh pemuda, TNI-Polri dan sejumlah pihak terkait lainnya dalam rangka sosialisasi dan juga menjaring aspirasi.

Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) dari Pokja agama, Dr. H. Toni V. M. Wanggai, S.Ag., M.A., mengatakan, 12 keputusan dari Majelis Rakyat Papua (MRP) itu bersifat kultural dan bersifat budaya, yang mana secara umum untuk memproteksi dan mengafirmasi keberpihakan terhadap manusia dan tanah Papua.

“Di mana, dalam 12 keputusan itu diantaranya tidak menggunakan atau memberikan gelar adat secara tidak tepat kepada orang tertentu. Pada poin ini, kami dari MRP berharap ada kriteria-kriteria tertentu dan tidak bisa diberikan kepada semua orang termasuk terkait dengan kepentingan politik apapun. Kemudian, hal yang tidak kalah penting yang dibicarakan di dalam 12 keputusan kultural itu terkait dengan bagaimana mengenai moratorium sumberdaya alam di Papua,”  lanjutnya.

Suasana kegiatan bersama tokoh agama dan tokoh masyarakat bersama Anggota MRP, Toni Wangggai. 

“Karena kami melihat eksplorasi terhadap sumberdaya alam Papua ini terjadi sangat luar biasa dan perlu ada penghentian dan juga ada regulasi yang bisa memberikan kepastian hukum dalam menjaga alam Papua,” ujar Toni Wanggai ketika menjawab pertanyaan wartawan media online ini, kemarin.

Dalam reses tersebut, dirinya mengaku mengundang sejumlah tokoh. Baik itu, tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, serta tokoh pemuda.

Kemudian, terkait dengan upaya penyelamatan manusia Papua seperti pengekatan terhadap peredaran minuman beralkohol dan penyalahgunaan narkoba. Di mana, pihaknya menilai tingkat kriminalitas tertinggi terjadi di Papua akhir-akhir ini, pengaruh yang paling tinggi itu disebabkan karena minuman beralkohol dan narkotika. Oleh karena itu, hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi MRP.

“Apalagi mayoritas yang terkena dampak ini adalah anak – anak orang asli Papua. Ini menjadi satu keadaan yang darurat dan emergensi untuk kita melakukan penyelamatan. Jadi perlu ada regulasi kembali yang lebih ketat di dalam pengawasan ini dari pemerintah daerah untuk menyelamatkan generasi kita dari kerusakan moral dan kepunahan,” ujarnya.

Selain yang juga disesuaikan terkait dengan pelestarian adat dan budaya Papua. Terutama bahasa daerah sebagai salah satu karakter budaya. Ini harus dilestarikan dengan upaya membuat dalam kurikulum muatan lokal.

Kemudian perlu mengatur struktur pemerintahan adat yang lebih jelas sehingga tidak semua orang bisa mengakui sebagai kepala adat. Termasuk mengarahkan seluruh masyarakat di Kabupaten Jayapura dan papua umumnya supaya tidak menjual tanah adat sembarangan tetapi itu diatur secara ketat. Karena tanah adalah warisan utama orang asli Papua yang harus dijaga. (*)

 

Read More