Categories Berita

Dikunjungi pejabat Kemenlu RI, MRP mendesak Presiden menarik pasukan di Nduga

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib (kanan) menyerahkan noken berisi sejumlah dokumen MRP kepada Direktur Urusan Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementrian Luar Negeri RI, Achsanul Habib yang mengunjungi Kantor MRP di Jayapura, Papua, Kamis (4/7/2019). – Ist.

Jayapura, Jubi – Majelis Rakyat Papua menerima kunjungan Direktur Urusan Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementrian Luar Negeri RI, Achsanul Habib pada Kamis (4/7/2019). Saat menemui Achsanul, Majelis Rakyat Papua menyampaikan desakan agar Presiden Joko Widodo menarik pasukan yang melakukan operasi pengejaran terhadap kelompok bersenjata di Kabupaten Nduga, Papua.

Hal itu disampaikan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib usai menerima kunjungan Achsanul. “Rekomendasi kami dalam pertemuan tadi, [agar Presiden] menarik semua pasukan organik dari Nduga. [Rekomendasi itu kami sampaikan agar] jangan ada kekerasan terus menerus [di Nduga],” tegas Murib kepada jurnalis Jubi.

Murib menyatakan rekomendasi itu disampaikan setelah MRP memaparkan data-data terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Papua. Kasus pelanggaran HAM yang dipaparkan kepada Achsanul itu termasuk kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum pemberlakuan Otonomi Khusus (Otsus) Papua pada 2001, maupun kasus pelanggaran HAM yang terjadi di era Otsus Papua.

Rangkaian kekerasan yang terjadi di Kabupaten Nduga pasca pembunuhan belasan pekerja PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018 termasuk salah satu kasus pelanggaran HAM yang dipaparkan MRP. Dalam paparan itu, MRP juga menjelaskan kondisi ribuan warga dari 13 distrik di Kabupaten Nduga yang mengungsi ke Kabupaten Jayawijaya, Lanny Jaya, Puncak, Yahukimo, dan Asmat di Papua demi menghindari konflik bersenjata antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata Egianus Kogoya.

Hingga kini, ribuan pengungsi dari Nduga itu hidup di sejumlah kantong pengungsian. Para pengungsi itu bertahan di pengungsian tanpa mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan, hak ekonomi maupun hak atas rasa aman untuk tinggal di rumahnya.

“Desakan [penarikan pasukan dari Nduga] itu bukan soal tembak menembak. [Kami menyampaikan desakan itu karena ada masalah tidak terpenuhinya hak-hak [para pengungsi sebagai] warga negara,”ungkap Murib di depan kantor Majelis Rakyat Papua.

Dalam pertemuan dengan Achsanul, Ketua Panitia Khusus Hukum dan HAM MRP, Aman Jikwa menyatakan masyarakat tidak hanya mengungsi ke areh yang dekat dengan permukiman atau pusat pelayanan publik. Di antara para warga dari 13 distrik di Kabupaten Nduga itu, ada warga yang memiliki mengungsi ke hutan, dan tinggal di dalam hutan selama berbulan-bulan.

“Saat kita bicara sekarang ini, ada [warga] masyarakat yang [masih tinggal] di hutan atau bernaung di gua-gua,”ungkap Jikwa.

Jikwa menyatakan pihaknya sangat kesal dengan para penggambil kebijakan di Jakarta yang selalu mengabaikan jeritan rakyat Papua, khususnya para pengungsi Nduga. Jikwa menilai pemerintah pusat tidak menunjukkan keinginan untuk membuat kebijakan yang mengakhiri konflik di Papua.

“Kami sangat kesal dengan kondisi itu. Kami, MRP, berbicara ke Jakarta, sama saja, tidak ada penyelesaian. Kalau MRP saja tidak didengar, apa lagi masyarakat yang lapor. Lebih baik [aparat keamanan] berhenti mengejar dan menembak [kelompok bersenjata di Nduga]. Menyelesaikan konflik tidak harus lewat senjata [atau melakukan] pengejaran di sana-sini. Tuhan berikan kita akal. Mengapa tidak pakai akal untuk menangani masalah Papua?” Jikwa mempertanyakan.

Anggota MRP, Siska Abugau menambahkan kelompok warga yang paling terdampak konflik bersenjata di Nduga adalah anak-anak dan perempuan. Abugau menyatakan peristiwa kekerasan yang terjadi muncul terus selama puluhan tahun selalu membuat perempuan menjadi kelompok korban yang paling menderita.

“Kalau bicara pelanggaran HAM, perempuan termasuk di dalamnya. Kami perempuan sakit, menagis dan terus menangis. Jadi, kalau mau selesaikan, [mohon menyelesaikan masalah kekerasan di Papua] dengan serius, [dan] jujur. Kami tidak mau begini terus,”ungkap Abugau dalam pertemuan dengan Achsanul itu.

Luis Madai, anggota MRP yang lain menambahkan para warga Nduga yang sedang mengungsi ke Kyawage di Kabupaten Lanny Jaya sejak pekan lalu merasa gelisah, karena mendengar pengejaran aparat keamanan terhadap kelompok bersenjata Egianus Kogoya dilakukan hingga sampai ke Kyawage. “Masyarakat mau mengungsi ke mana lagi?” Madai bertanya.

Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan semua informasi yang disampaikan dalam pertemuan dengan pejabat teras Kementerian Luar Negeri RI itu akurat, karena banyak anggota MRP yang berkomunikasi langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu, Murib berharap Kementerian Luar Negeri bisa menyampaikan informasi itu kepada para pemangku kepentingan yang lain.

“Kita tunggu, mereka menyampaikan informasi yang kita berikan, Atau mereka punya informasi lain,”ungkap Murib usai pertemuan itu.

Achsanul Habib menyatakan kunjungannya kali ini merupakan kunjungan pertamanya ke Papua. Oleh karena itu, Achsanul ingin bersilaturahmi dengan seluruh pemangku kepentingan di Papua, termasuk MRP sebagai lembaga yang merepresentasikan orang asli Papua.  Achsanul menyatakan ia senang menerima banyak masukan dan informasi dari MRP.

Achsanul menyatakan seluruh masukan dan informasi yang diterima dalam pertemuan dengan para anggota MRP itu akan diolah sebagai bahan menentukan kerangka kerja nasional pemerintah pusat, terutama dalam menentukan kerangka kerja tim terpadu penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu yang telah dibentuk Kementerian Hukum dan HAM.

Menurutnya, tim terpadu itu dibentuk untuk mencari penyelesaian atas berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu, termasuk kasus pelanggaran HAM di Aceh, Papua, kasus Talangsari, maupun kasus Tanjung Priok. “Kami dimasukkan ke dalam tim [terpadu itu], [dan seluruh informasi yang kami dapatkan dari MRP] akan kami bagikan [kepada] tim terpadu itu,” kata Achsanul.

Achsanul mengakui kasus kekerasan di Nduga telah menjadi perhatian internasional. Ia menyatakan ingin mengetahui lebih banyak informasi terkait dalam konflik bersenjata di Nduga, dan akan berkomunikasi lebih lanjut dengan MRP.

“Nduga barang kali masih menjadi perhatian internasional. Bapak-bapak [para anggota MRP memiliki informasi yang penting, dan informasi itu] sangat berharga buat kami. Kami ingin tahu lebih lanjut. Kita akan komunikasi lebih lanjut,”ungkapnya saat meninggalkan Kantor MRP. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Galeri Video

Mendagri Lantik 51 Anggota Majelis Rakyat Papua

(Antara)-Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, hari ini melantik dan mengambil sumpah terhadap 51 anggota Majelis Rakyat Papua, periode tahun 2017-2022. Mereka bertugas untuk memberikan kewenangan dan pertimbangan calon kepala daerah, sesuai undang-undang otonomi khusus. copyright © AntaraTV LKBN Antara – Indonesia

Read More
Categories Berita

MRP akan fokus kepada penyelamatan manusia dan tanah Papua

Kantor MRP tampak depan – Foto/Doc

Jayapura, MRP – Majelis Rakyat Papua mengatakan ada dua agenda utama yang akan menjadi perhatian khusus lembaga kultural orang asli Papua itu selama lima tahun mendatang. Kedua agenda utama itu adalah penyelamatan manusia dan penyelamatan tanah yang secara turun-temurun menghidupi orang asli Papua.

Hal itu dinyatakan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib di Jayapura, Kamis (20/6/2019). Murib menyatakan agenda penyelamatan manusia dan tanah Papua itu akan dijalankan di lima wilayah adat di Papua, yaitu Lapago, Meepago, Mamta, Saireri dan Animha.

“MRP konsen dengan tema utama penyelamatan manusia dan tanah Papua. Itu agenda utama MRP periode ketiga ini,”ungkap Murib di Jayapura, saat menghadiri rapat dengar pendapat Panitia Khusus Pokok-pokok Pikiran dan konsep Peraturan Daerah Khusus MRP terkait perlindungan hak orang asli Papua.

Murib menyatakan semua program atau agenda dari beberapa Kelompok Kerja (Pokja) Adat, Pokja Agama, Pokja Perempuan maupun alat kelengkapan MRP akan merujuk kepada dua agenda utama itu. Murib menegaskan, upaya melindungi orang asli Papua akan selalu berkaitan erat dengan upaya melindungi tanah yang secara turun-temurun menghidupi orang asli Papua.

Murib menyebut, perlindungan tanah itu akan berhubungan dengan perlindungan terhadap hutan, pohon, bintang dan manusia. Ia menyebut, Pokja Adat MPR harus bekerja keras untuk memperjuangkan hak masyarakat hukum adat di Papua atas hak ulayatnya, termasuk tanah adat dan hutan adat.

“[Upaya] menyelamatkan tanah di Papua sama dengan upaya menyelamatkan manusia maupun adat istiadat orang asli Papua, berikut sumber ekonomi bagi orang asli Papua dan dunia,” kata Murib.

Ketua Pokja Adat MRP, Demas Tokoro mengatakan pihaknya terus berupaya memperjuangkan kepentingan masyarakat adat untuk menyelesaikan klaim ulayat atas hutan dan tanah yang dikuasai pihak lain. Tokoro menyebutkan, pada akhir Mei 2019 pihaknya berhasil menjalankan pembuktian klaim adat marga Tanawani dari suku Tarao Tanao atas persil seluas 2 hektar yang dikuasai PT Pertamina di Kabupaten Kepulauan Yapen.

Tokoro menyatakan MRP telah mengecek status hak atas tanah atas persil yang digunakan PT Pertamina sejak 1979. Dari pengecekan sertifikat hak atas tanah, berikut surat pelepasan tanah itu, MRP menilai PT Pertamina dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kepulauan Yapen tidak bisa membuktikan keabsahan penguasaan tanah oleh PT Pertamina.

“Ketika kami mengecek BPN, BPN tidak memiliki surat pelepasan adat atas persil itu. Ketika kami mengecek PT Pertamina, PT Pertamina juga tidak memiliki surat pelepasan adat atas persil itu. Kami [MRP] tinggal menyatakan bahwa tanah itu merupakah hak ulayat marga Tanawani,” kata Tokoro.(*)

 

Read More
Categories Siaran Pers

MRP sarankan Pemkab Jayawijaya beri insentif pada tokoh agama

Pertemuan Bupati Jayawijaya bersama Pokja agama Majelis Rakyat Papua

Wamena, Jubi – Pokja agama Majelis Rakyat Papua mendorong pemerintah Kabupaten Jayawijaya untuk menata kembali pelaksanaan otonomi khusus khususnya bidang keagamaan.

MRP berharap dua persen alokasi dana untuk keagamaan dapat dikelola agar hamba Tuhan di Jayawijaya mendapatkan insentif.

“Hal ini nampaknya disetujui, seiring rencana pembangunan rumah ibadah untuk beberapa dedominasi umat beragama di kabupaten Jayawijaya,” kata Ketua Pokja Agama MRP, Yoel Mulait usai melakukan pertemuan dengan Bupati Jayawijaya, Jhon R Banua bersama tim pokja agama lainya, Jumat (24/5/2019) di ruang rapat bupati.

Sejak awal pekan ini, tim dari Pokja agama MRP mengunjungi beberapa distrik di Jayawijaya, untuk melakukan pertemuan dengan masyarakat orang asli Papua (OAP) di distrik Hubikosi, Welesi, Maima dan Walelagama.

“Kami mensosialisaikan kerukunan umat beragama, melakukan evaluasi dan monitoring pelaksanaan dana otonomi khusus di kabupaten Jayawijaya di bidang ke agamaan, pendidikan, kesehatan dan lainnya,” kata Mulait.

Menurut dia, dari hasil monitoring kerukunan umat beragama dari 14 dedominasi di Jayawijaya cukup baik, misalnya di Distrik Welesi kerukunan umat beragama antara Kristen dan Muslim sangat baik.

“Sedangkan untuk pendidikan, sesuai hasil pantauan ada beberapa sekolah yang tenaga pengajarnya lebih banyak tinggal di kota begitu juga tenaga kesehatan di Puskesmas,” katanya.

Bupati Jayawijaya, Jhon R Banua menambahkan, pemerintah daerah merencanakan pemberian insentif kepada hamba Tuhan melalui anggaran dana Otonomi Khusus (Otsus).

“Kami akan lihat lagi, termasuk masalah SDM, pendidikan, kesehatan dan pembangunan sehingga semuanya dapat berjalan baik,” kata Banua.(*)

Read More
Categories Siaran Pers

Maklumat MRP tentang larangan sertifikat tanah di Papua

 

MAKLUMAT MAJELIS RAKYAT PAPUA

NOMOR : 05/MRP/XII/2018

TENTANG

LARANGAN SERTIFIKAT TANAH DI PAPUA

 

BAHWA TANAH DAN SUMBER DAYA ALAM DI ATAS,DI BAWAH DAN / ATAU DI DALAMNYA ADALAH KEKAYAAN YANG DI ANUGERAHKAN OLEH TUHAN SANG PENCIPTA UNTUK KEPENTINGAN HIDUP SUKU DAN / ATAU MASYARAKAT ADAT PEMANGKU HAK SECARA TURUN TEMURUN.

OLEH KARENA ITU, DENGAN INI MAJELIS RAKYAT PAPUA SEBAGAI LEMBAGA REPRESENTASI KULTURAL ORANG ASLI PAPUA YANG MELINDUNGI HAK-HAK DASAR ORANG ASLI PAPUA MENYATAKAN BAHWA PROGRAM SERTIFIKASI TANAH YANG DI LAKUKAN NEGARA DI TANAH PAPUA DENGAN MENGABAIKAN NILAI DAN NORMA HUKUM ADAT MASYARAKAT ADAT PAPUA ADALAH TIDAK SAH.

KEPADA SELURUH MASYARAKAT ADAT TANAH PAPUA, MAJELIS RAKYAT PAPUA MENYAMPAIKAN PESAN TENTANG PENTINGNYA KESADARAN UNTUK MELINDUNGI TANAH DENGAN SUMBER DAYA ALAM DI ATAS, DI BAWAH DAN/ ATAU DI DALAMNYA, DAN TIDAK SERTA MERTA MENGIKUTI PROGRAM SERTIFIKASI TANAH YANG JUSTRU MENGAKIBATKAN HILANGNYA HAK SULUNG KEPEMILIKAN ATAS TANAH SECARA TURUN- TEMURUN.

Jayapura,21 Desember 2018

 

KETUA MAJELIS RAKYAT PAPUA

TIMOTIUS MURIB

 

 

Read More
Categories Siaran Pers

MRP diminta membentuk komisi hukum ad hoc untuk mengevaluasi Otsus Papua

Tes

Evaluasi pelaksanaan Otsus Papua di kedua provinsi penting untuk merumuskan usulan perubahan substansi UU Otsus Papua

Jayapura, Jubi – Majelis Rakyat Papua diminta untuk membentuk komisi hukum ad hoc untuk mengevaluasi pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Kajian dari komisi hukum ad hoc itu bisa dirumuskan menjadi usulan perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Permintaan itu disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian Pengkajian Pengembangan dan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy. Usulan itu disampaikan Warinussy karena pemerintah tidak menjalankan amanat Pasal 78 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua). Pasal itu memerintahan pelaksanaan Otsus Papua harus dievaluasi setiap tahun.

Warinussy menyatakan Majelis Rakyat Papua (MRP) berwenang melaksanakan Pasal 32 UU Otsus Papua untuk membentuk Komisi Hukum ad hoc. Komisi Hukum yang nantinya terbentuk itu akan ditugaskan mengevaluasi pelaksanaan UU Otsus Papua di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat.

“(Evaluasi pelaksanaan Otsus Papua di kedua provinsi penting untuk merumuskan usulan perubahan substansi UU Otsus Papua). Perubahan UU Otsus Papua penting untuk penghormatan dan pemberdayaan orang asli Papua sebagai subyek utama dari kelahiran Otsus Papua. Penghormatan dan Perlindungan bagi OAP mesti dilakukan dalam berbagai sektor, terutama ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik dan hukum. Peran Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat sangat menenukan (dalam pengusulan perubahan itu),” kata Warinussy dalam siaran persnya, Selasa (14/5/2019).

Warinussy juga meminta Majelis Rakyat Papua (MRP), para pemimpin adat di Papua, dan rakyat Papua berkonsolidasi agar pemerintah mau mengevaluasi penyelenggaraan Otsus Papua, dan menerima usulan perubahan UU Otsus Papua yang dihasilkan Komisi Hukum bentukan MRP.

“Saya yakin seyakin-yakinnya, jika Komisi Hukum ad hoc itu dibentuk di Papua maupun Papua Barat, segala hambatan untuk menjalankan kebijakan proteksi bagi jati diri dan hak-hak dasar orang asli Papua akan teratasi,” ungkap Warinussy.

Pekan lalu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua, John NR Gobai juga menyoroti sejumlah amanat UU Otsus Papua yang belum dijalankan, termasuk pembentukan pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Papua. Akibatnya, berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua belum diselesaikan secara hukum.

Untuk mengisi kekosongan pelaksanaan Otsus Papua itu, Gobai  menyusun draft Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Raperdasi) tentang pengadilan HAM di Papua. Draft Raperdasi tentang pengadilan HAM juga merumuskan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Papua.

“Kami mohon dukungan Ketua DPRP dan Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRP. Kami berharaf draft Raperdasi tentang pelanggaran HAM itu dapat dimasukkan dalam Program Legislasi Daerah 2019 – 2024,” kata Gobai kepada Jubi, Minggu (12/5/2019) pekan lalu.

Gobai menyatakan pembentukan Pengadilan HAM serta Komisi serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) merupakan mandat Pasal 45 ayat (2) UU Otsus Papua. Akan tetapi, setelah UU Otsus Papua berlaku 18 tahun, pemerintah belum juga membentuk kedua lembaga itu. Akibatnya, amanat UU Otsus Papua tidak sepenuhnya terlaksana.

Gobai juga menyebut pemerintah belum menjalankan amanat Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk membentuk Pengadilan HAM. “Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Pengadilan HAM, dan berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU Otsus Papua, maka dapat dibentuk (Pengadilan HAM) di Jayapura, (yang berwenang) untuk (mengadili semua pelanggaran HAM di Provinsi Papua,” kata Gobai.

Ia juga menekankan pentingnya draft Raperdasi pelanggaran HAM di Papua yang mengatur pembentukan KKR di Papua, mengingat  UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR terlanjur dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. “Pasal 45 ayat 2 UU Otsus Papua adalah dasar hukum pembentukan KKR yang berbeda dari pengertian KKR nasional dalam UU KKR. Kekhususan Otsus Papua adalah dasar untuk membentuk KKR untuk Provinsi Papua,” kata Gobai.(*)

 

Read More
Categories Berita

PP 64 tahun 2008 hambat kinerja MRP dan MRPB

Jayapura, Jubi – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib mengatakan, pihaknya bersama Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) telah membentuk panitia khusus (pansus), memperjuangkan perubahan regulasi yang mengatur lembaga kultur itu.

Ia mengatakan, sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 64 tahun 2008 tentang MRP, ada pasal terkait hak legislasi dan budgeting dalam aturan itu yang dinilai janggal dan tidak mendukung kinerja lembaga yang lahir dari Undang-Undang (UU) 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua itu.

Katanya, dalam PP itu MRP dan MRPB tidak memiliki hak legislasi dan budgeting, sehingga dalam pelaksanaan program kedua lembaga ini mendapat dana terbatas.

“Kami seperti instansi lain yang harus meminta-minta kepada panitia anggaran eksekutif dan banggar DPR Papua,” kata Murib, Selasa (10/4/2018).

Menurutnya, minimnya anggaran membuat pihaknya lemah dalam melaksanakan tugas sesuai mandat UU 21. Untuk itulah MRP dan MRPB memperjuangkan aturan yang mengatur lembaga tersebut agar pihaknya leluasa melakukan proteksi dan pelayanan kepada orang asli Papua (OAP) sesuai amanat Otsus.

“Kalau tidak, cita-cita luhur dalam UU 21 tidak terwujud. MRP hanya seperti singa yang tidak bertaring. Hanya menjadi lembaga stempel yang menstempel keputusan lembaga lain misalnya DPR Papua dan Pemprov Papua,” ucapnya.

Lantaran tidak memiliki hak legislasi lanjut Murib, MRP hanya berkewenangan memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap usulan kebijakan yang diajukan pihak ekskutif dan legislatif, termasuk dalam pembuatan rancangan peraturan daerah khusus (raperdasus).

MRP tidak memiliki hak mutlak mengubah isi atau pasal dalam rancangan peraturan yang diajukan eksekutif dan legislatif.

“Kalau pun kami memberi pertimbangan untuk pasal tertentu atau hal tertentu, tidak diakomodir. Makanya hak legislasi MRP penting untuk memperkuat regulasi ke depan,” ujarnya. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP Akan Mengevaluasi Penggunaan Dana Otsus

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib – Jubi/Roy Ratumakin.

 

Jayapura, Jubi –Majelis Rakyat Papua (MRP) akan mengevaluasi penggunaan dana Otonomi Khusus (Otsus) dalam masa Reses atau kegiatan di luar sidang pada pekan ini. Evaluasi dana Otsus lebih spesifik mengulas sektor pendidikan, kesehatan, dan keagamaan.

“Kami dalam tujuh hari kedepan akan reses ke daerah pemilihan (Dapil). Tugas reses menanyakan kepada masyarakat apakah selama ini sudah merasakan dana Otsus atau tidak,” kata Ketua Majelis Rakyat Papu

Evaluasi itu minimal bisa mengetahui apakah selama ini masyarakat merasakan efek dana Otsus atau tidak. “Dana Otsus ini kan besar, sudah seberapa besar masyarakat kita menikmatinya,” ujar Murib menjelaskan.

Selain ke masyarakat, anggota MRP juga akan menanyakan kepada pemerintah daerah, apakah setelah mendapatkan dana Otsus sudah disosialisasikan kepada masyarakat. Hal ini dinilai penting karena pembagian dana Otsus masing-masing 20 persen untuk provinsi dan 80 persen untuk kabupaten dan kota.

“Masyarakat perlu paham dana 80 persen tersebut diperuntukan untuk apa saja. Berapa untuk pendidikan, berapa untuk kesehatan dan berapa untuk keagamaan,” katanya.

Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Agama, MRP, Robert Wanggai, menyebutkan evaluasi penggunaan dana Otsus untuk kemajuan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat.

“Kalau ada masyarakat yang menjawab tidak pernah merasakan dana Otsus maka itu kesalahan pemerintah dalam hal ini kepala daerahnya,” kata Wangai.

Menurut dia, seharusnya kepala daerah mensosialisasikan ke masyarakat, setelah mendapatkan dana Otsus.  Apa lagi selama ini masyarakat menilai dana Otsus tersebut berada di Provinsi.

“Nyatanya tidak, malah dana Otsus tersebut lebih banyak dikelola oleh kabupaten dan kota,” katanya. (*)

 

Read More