Categories Siaran Pers

Maklumat MRP tentang larangan sertifikat tanah di Papua

 

MAKLUMAT MAJELIS RAKYAT PAPUA

NOMOR : 05/MRP/XII/2018

TENTANG

LARANGAN SERTIFIKAT TANAH DI PAPUA

 

BAHWA TANAH DAN SUMBER DAYA ALAM DI ATAS,DI BAWAH DAN / ATAU DI DALAMNYA ADALAH KEKAYAAN YANG DI ANUGERAHKAN OLEH TUHAN SANG PENCIPTA UNTUK KEPENTINGAN HIDUP SUKU DAN / ATAU MASYARAKAT ADAT PEMANGKU HAK SECARA TURUN TEMURUN.

OLEH KARENA ITU, DENGAN INI MAJELIS RAKYAT PAPUA SEBAGAI LEMBAGA REPRESENTASI KULTURAL ORANG ASLI PAPUA YANG MELINDUNGI HAK-HAK DASAR ORANG ASLI PAPUA MENYATAKAN BAHWA PROGRAM SERTIFIKASI TANAH YANG DI LAKUKAN NEGARA DI TANAH PAPUA DENGAN MENGABAIKAN NILAI DAN NORMA HUKUM ADAT MASYARAKAT ADAT PAPUA ADALAH TIDAK SAH.

KEPADA SELURUH MASYARAKAT ADAT TANAH PAPUA, MAJELIS RAKYAT PAPUA MENYAMPAIKAN PESAN TENTANG PENTINGNYA KESADARAN UNTUK MELINDUNGI TANAH DENGAN SUMBER DAYA ALAM DI ATAS, DI BAWAH DAN/ ATAU DI DALAMNYA, DAN TIDAK SERTA MERTA MENGIKUTI PROGRAM SERTIFIKASI TANAH YANG JUSTRU MENGAKIBATKAN HILANGNYA HAK SULUNG KEPEMILIKAN ATAS TANAH SECARA TURUN- TEMURUN.

Jayapura,21 Desember 2018

 

KETUA MAJELIS RAKYAT PAPUA

TIMOTIUS MURIB

 

 

Read More
Categories Siaran Pers

MRP diminta membentuk komisi hukum ad hoc untuk mengevaluasi Otsus Papua

Tes

Evaluasi pelaksanaan Otsus Papua di kedua provinsi penting untuk merumuskan usulan perubahan substansi UU Otsus Papua

Jayapura, Jubi – Majelis Rakyat Papua diminta untuk membentuk komisi hukum ad hoc untuk mengevaluasi pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Kajian dari komisi hukum ad hoc itu bisa dirumuskan menjadi usulan perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Permintaan itu disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian Pengkajian Pengembangan dan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy. Usulan itu disampaikan Warinussy karena pemerintah tidak menjalankan amanat Pasal 78 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua). Pasal itu memerintahan pelaksanaan Otsus Papua harus dievaluasi setiap tahun.

Warinussy menyatakan Majelis Rakyat Papua (MRP) berwenang melaksanakan Pasal 32 UU Otsus Papua untuk membentuk Komisi Hukum ad hoc. Komisi Hukum yang nantinya terbentuk itu akan ditugaskan mengevaluasi pelaksanaan UU Otsus Papua di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat.

“(Evaluasi pelaksanaan Otsus Papua di kedua provinsi penting untuk merumuskan usulan perubahan substansi UU Otsus Papua). Perubahan UU Otsus Papua penting untuk penghormatan dan pemberdayaan orang asli Papua sebagai subyek utama dari kelahiran Otsus Papua. Penghormatan dan Perlindungan bagi OAP mesti dilakukan dalam berbagai sektor, terutama ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik dan hukum. Peran Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat sangat menenukan (dalam pengusulan perubahan itu),” kata Warinussy dalam siaran persnya, Selasa (14/5/2019).

Warinussy juga meminta Majelis Rakyat Papua (MRP), para pemimpin adat di Papua, dan rakyat Papua berkonsolidasi agar pemerintah mau mengevaluasi penyelenggaraan Otsus Papua, dan menerima usulan perubahan UU Otsus Papua yang dihasilkan Komisi Hukum bentukan MRP.

“Saya yakin seyakin-yakinnya, jika Komisi Hukum ad hoc itu dibentuk di Papua maupun Papua Barat, segala hambatan untuk menjalankan kebijakan proteksi bagi jati diri dan hak-hak dasar orang asli Papua akan teratasi,” ungkap Warinussy.

Pekan lalu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua, John NR Gobai juga menyoroti sejumlah amanat UU Otsus Papua yang belum dijalankan, termasuk pembentukan pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Papua. Akibatnya, berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua belum diselesaikan secara hukum.

Untuk mengisi kekosongan pelaksanaan Otsus Papua itu, Gobai  menyusun draft Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Raperdasi) tentang pengadilan HAM di Papua. Draft Raperdasi tentang pengadilan HAM juga merumuskan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Papua.

“Kami mohon dukungan Ketua DPRP dan Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRP. Kami berharaf draft Raperdasi tentang pelanggaran HAM itu dapat dimasukkan dalam Program Legislasi Daerah 2019 – 2024,” kata Gobai kepada Jubi, Minggu (12/5/2019) pekan lalu.

Gobai menyatakan pembentukan Pengadilan HAM serta Komisi serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) merupakan mandat Pasal 45 ayat (2) UU Otsus Papua. Akan tetapi, setelah UU Otsus Papua berlaku 18 tahun, pemerintah belum juga membentuk kedua lembaga itu. Akibatnya, amanat UU Otsus Papua tidak sepenuhnya terlaksana.

Gobai juga menyebut pemerintah belum menjalankan amanat Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk membentuk Pengadilan HAM. “Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Pengadilan HAM, dan berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU Otsus Papua, maka dapat dibentuk (Pengadilan HAM) di Jayapura, (yang berwenang) untuk (mengadili semua pelanggaran HAM di Provinsi Papua,” kata Gobai.

Ia juga menekankan pentingnya draft Raperdasi pelanggaran HAM di Papua yang mengatur pembentukan KKR di Papua, mengingat  UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR terlanjur dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. “Pasal 45 ayat 2 UU Otsus Papua adalah dasar hukum pembentukan KKR yang berbeda dari pengertian KKR nasional dalam UU KKR. Kekhususan Otsus Papua adalah dasar untuk membentuk KKR untuk Provinsi Papua,” kata Gobai.(*)

 

Read More