Categories Berita

MRP: Belum Ada Kajian Akademis Papua Butuh Pemekaran

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Thimotius Murib mengungkapkan bahwa pemerintah Republik Indonesia,  DPR RI untuk tidak melakukan pemekaran wilayah Provinsi Papua secara sepihak. Sebab, menurutnya, sampai saat ini  belum ada kajian akademik yang mengatakan bahwa Papua membutuhkan pemekaran atau pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB).

Murib mengatakan, melihat aksi penolakan dari masyarakat akar rumput di beberapa kabupaten terkait revisi undang-undang otonomi khusus tahun 2001 dan penolakan daerah otonomi baru sehingga pada prinsipnya MRP menolak pemekaran.

MRP menilai untuk melakukan pemekaran kampung distrik kabupaten dan provinsi itu baik, namun menurutnya di era Presiden Jokowi ini ada moratorium, maka soal Pemekaran harus di tahan dulu.

“Untuk wilayah Papua saat ini di era Joko Widodo diketahui bahwa masih moratorium,  sementara untuk indikator yang menjadi acuan dilakukannya pemekaran provinsi belum ada sama sekali, baik dari kajian akademis maupun dampak positif di masyarakat, maka kami MRP menolak pemekaran saat ini,” katanya, Selasa (29/3).

Dikatakan, dengan adanya Provinsi Papua Barat dan Papua saat ini, MRP lebih menyarankan untuk bagaimana melakukan penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan secara baik dan benar lebih dulu, ketimbang memikirkan pemekaran. “Menurut kami, pemekaran ini akan membawa beban baru dengan posisi masyarakat Papua yang jumlah penduduknya sedikit,” katanya. “Pemekaran provinsi kapanpun dilakukan bisa sja, tapi untuk saat ini belum, maka kami MRP menolak,”tandasnya.

Sementara itu terkait reaksi beberapa masyarakat yang mengatakan bahwa perlu adanya pemekaran untuk meningkatkan  kesejahteraan masyarakat Papua, Ketua MRP Thimotius Murib ini menilai hal itu keliru. Sebab, pemekaran  belum dibutuhkan masyarakat saat ini. Hal ini  terbukti daerah menolak dengan jumlah penduduk yang masih sedikit,  jumlah SDM yang menurut pemerintah pusat dan rendah seluruh Indonesia dan juga tingkat kemiskinan tertinggi di  seluruh Indonesia.

“Prinsipnya baik, tapi untuk Papua dan Papua Barat yang terjadi di Pemerintah kabupaten/kota aturannya dibenahi dulu terkait aturan,  seperti diberlakukannya undang-undang otonomi khusus dan undang-undang otonomi daerah ini yang perlu di bahas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah karena konsekuen. Dua  UU ini tidak terlalu nampak di masyarakat dan orang Papua kehidupannya belum lebih baik.”tuturnya.

“Jadi  lebih baik kita memperbaiki pola kerja tata kelola pemerintahan yang baik komitmen kepala daerah untuk membangun daerahnya dan peningkatan ekonomi kreatif, sumber daya alam yang dikelola secara mandiri dan juga pengembangan sumber daya manusia yang lebih baik barulah  selanjutnya kita berbicara terkait pemekaran,” pungkasnya. (*)

Sumber: Cepos

Read More
Categories Berita

Masa Sidang Pertama 2022 Ditutup, Anggota MRP Akan Kunjungi 5 Wilayah Adat di Papua

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP pada Selasa (29/3/2022) mengelar rapat pleno di Kota Jayapura, dalam rangka penutupan masa sidang pertama tahun 2022. Rapat pleno pada Selasa itu dipimpin Ketua MRP, Timotius Murib.

Timotius Murib menyatakan setelah MRP menutup masa sidang pertama 2022, para anggota MRP akan menjalani masa reses dan mengunjungi lima wilayah adat di Papua.

“Pimpinan dan anggota MRP akan melakukan perjalanan atau reses ke lima wilayah adat,” kata Murib, Selasa.

Menurutnya, Kelompoik Kerja (Pokja) Adat, Pokja Perempuan, dan Pokja Agama MRP telah merumuskan program kerja masing-masing untuk tahun 2022.

“Ketiga Pokja itu telah melaksanakan program kerja tahunan [mereka], ini kami pleno penutupan masa sidang pertama,” ucapnya.

Murib menjelaskan masa reses dan perjalanan para anggota MRP di lima wilayah adat itu dilakukan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat.

“Nanti anggota MRP akan melihat dan mendengar langsung aspirasi dari masyakarat kami di lima wilayah adat. Pimpinan dan anggota akan melakukan perjalanan itu selama tujuh hari,” kata Murib.

Ia menyebut ada sejumlah rekomendasi dari hasil evaluasi kinerja MRP pada triwulan pertama 2022. Salah satu rekomendasi itu adalah advokasi kewenangan Otonomi Khusus Papua pasca Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) yang dinilai banyak mengurangi kewenangan khusus Pemerintah Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua, dan DPR Papua.

“Rekomendasi triwulan pertama itu advokasi terhadap [perubahan pengaturan kewenangan khusus dalam] UU Otsus Papua Baru. Menurut MRP, [UU Otsus Papua Baru] berisiko merugikan hak Orang Asli Papua,” ujar Murib.

MRP sendiri telah mengajukan permohonan uji materiil atas UU Otsus Papua Baru di Mahkamah Konstitusi, dan perkara itu tengah disidangkan.

“Tanggal 28 Maret 2022, Hakim Konstitusi mendengar saksi ahli dari pemerintah dan DPR RI. Kemudian ada sidang ke tujuh,  nanti pada 10 April 2022, di mana hakim juga akan mendengar saksi ahli dari pemerintah dan DPR RI,” kata Murib. (*)

Read More
Categories Berita

MRP Sebut Pelaksanaan Otsus di Papua Tidak Beri Perubahan

pengelolaan dana Otsus Papua meski menuai sorotan tetap dilanjutkan – Ist

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait menyatakan, pelaksanaan otonomi khusus (Otsus) di Papua tidak memberikan banyak perubahan bagi masyarakat lokal. Menurut Yoel, selama ini, tidak ada kekhususan yang dirasakan di Papua.

“Kami berharap melalui pelaksanaan otsus ada suatu perubahan baik bagi rakyat Papua, tapi kenyataan yang terjadi dalam pelaksanaannya tidak ada hal yang baru. Tidak ada kekhususan di tanah Papua,” ujar Yoel dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, Rabu (23/2/2022).

Yoel mengungkapkan, selama 20 tahun, pemerintah hanya menjanlankan empat dari 24 kewenangan yang diatur dalam UU Otsus Papua Nomor 21 Tahun 2001. Empat kewenangan itu adalah adanya ketentuan gubernur orang asli Papua, MRP, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan dana otsus.

“Yang lainnya tidak jalan, termasuk Pasal 49 tentang pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Banyak masalah belum selesai,” ucapnya.

Sementara itu, pemerintah dan DPR memutuskan merevisi UU Otsus Papua dan kemudian mengesahkannya pada Juli 2021.

Menurut Yoel, revisi UU Otsus Papua dilakukan secara terburu-buru tanpa melihat akar masalah yang sebenarnya terjadi di Papua. Ia pun menyatakan, rakyat Papua sama sekali tidak dilibatkan dalam pembahasan revisi undang-undang tersebut.

“Kami melihat pemerintah menggampangkan persoalan Papua. Tidak melihat persoalan yang mengakar, misal ada kajian LIPI, mestinya bisa jadi rujukan bagi pemerintah dlm menyelesaikan masalah dengan baik. Kami merasa proses yang berjalan sangat melukai hati dan perasaan orang Papua,” tuturnya.

Karena itu, MRP mengajukan gugatan terhadap UU Otsus Papua Nomor 2 Tahun 2021 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun gugatan tercatat sebagai perkara nomor 47/PUU-XIX/2021. Yoel menegaskan, gugatan ke MK merupakan upaya konstitusional yang ditempuh MRP demi meraih keadilan.

“Kami ingin secara bermartabat menguji konstitusi. Kami tahu sembilan hakim MK adalah negarawan, bagaimana (menjaga) keutuhan NKRI. Kami berharap melalui majelis hakim MK bisa memberikan putusan yang berkeadilan bagi rakyat Papua,” ucapnya. (*)

Sumber: https://nasional.kompas.com/

Read More
Categories Berita

MRP: Pemekaran Papua Untuk Kepentingan Siapa?

Timotius Murib (Ketua), saat memberikan keterangan pers di didampingi Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) mempertanyakan niat pemerintah pusat terkait rencana pemekaran Papua menjadi enam wilayah administrasi. Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan Papua tidak memenuhi syarat kepadatan penduduk untuk dimekarkan.

“Indikator pemekaran di Provinsi Papua, sama sekali tidak ada. Terus kepentingan siapa? Kepentingan apa? Pemerintah Pusat bernafsu sekali untuk mendorong melakukan pemekaran di Provinsi Papua,” kata Timotius saat media visit dengan CNN Indonesia, Selasa (22/3).

Ia membandingkan jumlah penduduk Papua dengan provinsi lain yang memiliki penduduk banyak. Menurutnya, aneh jika pemerintah justru berambisi melakukan pemekaran di Papua alih-alih di daerah tersebut.

“Kami serba bingung. Sementara teman-teman di provinsi lain, katakan seperti di Jawa Barat, ini kan puluhan juta penduduk, tidak dimekarkan. Indikator syarat pemekaran itu kan juga sudah dipenuhi, tapi tidak dimekarkan,” katanya.

Lebih lanjut, Timotius juga menyinggung soal UU Otsus Papua hasil revisi yang telah mempermudah pemekaran wilayah di Bumi Cendrawasih.

Aturan sebelumnya, pemekaran dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP, namun berdasarkan UU Otsus revisi, pemerintah pusat punya wewenang untuk melakukan pemekaran di Papua.

“Kita tidak prasangka buruk. Tapi ini ada kepentingan apa? Negara memaksakan untuk pemekaran di tanah Papua. MRP menolak pemekaran atau DOB di tanah Papua dengan alasan tidak memenuhi syarat atau indikator untuk lakukan pemekaran,” kata dia.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid meminta pemerintah untuk menunda seluruh pelaksanaan UU Otsus Papua hingga Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan terkait uji materiil yang dilayangkan oleh MRP.

Salah satu implementasi UU Otsus baru itu adalah pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) atau pemekaran wilayah di Papua.

“Pemekaran wilayah yang pemerintah sedang laksanakan itu menggunakan UU Otsus yang baru. Kalau UU Otsus yang lama, mereka enggak boleh melakukan itu, kalau mereka melakukan itu maka melanggar pasal 76 yang mewajibkan pemekaran wilayah wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP,” kata Usman.

Ia justru curiga, ambisi pemerintah melakukan pemekaran terkait dengan proses perizinan penambangan di Blok Wabu.

Selama 2-3 tahun terakhir, kata dia, ada tarik ulur antara Kementerian ESDM dengan Gubernur Papua soal penambangan di tempat tersebut.

“ESDM seperti ingin cepat-cepat dapat izin wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dari Gubernur. Lalu muncul beredar surat dari gubernur yang menyetujui, tapi tidak pernah dikonfirmasi oleh kantor gubernur. Saya temui Kepala Biro Hukum, Biro Umum, staf ahli, semuanya membantah,” katanya.

Dengan kondisi itu, ia menduga pemerintah mengambil jalan pintas dengan pemekaran wilayah agar izin mudah diberikan.

“Tampaknya pemerintah seperti kesulitan untuk dapatkan persetujuan penuh dari gubernur, sehingga mencoba dalam ‘mencari jalan pintas’ untuk meminta persetujuan gubernur baru. Misalnya kalau ingin dapat WIUPK di Blok Wabu, bikin saja provinsi pemekaran, Papua Tengah misalnya. Gubernur bisa orang mereka atau orang yang dukung mereka. MRP-nya juga dibuat seperti yang mereka inginkan,” kata Usman.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan pemekaran Provinsi Papua bakal menjadi enam wilayah administrasi. Namun, rencana tersebut belum final karena masih terdapat perdebatan terkait pemekaran.

Enam provinsi yang diusulkan pemerintah pusat antara lain, Papua Barat Daya, Papua Barat, Papua Tengah, Pegunungan Tengah, Papua Selatan, dan Papua Tabi Saireri.

Sementara itu, Kantor Staf Presiden (KSP) menyatakan rencana pemekaran provinsi diPapua danPapua Barat adalah bagian dari upaya pemerintah meratakan pembangunan.(*)

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/

Read More
Categories Berita

MRP: Demonstrasi Tolak Otsus yang tak Konsisten, Bukan Papua Merdeka

Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait mengatakan, demonstrasi yang terjadi di beberapa wilayah di Papua merupakan aksi penolakan terhadap pelaksanaan otonomi khusus (otsus) yang tidak konsisten. Menurutnya, demonstrasi itu bukan untuk meminta Papua merdeka. 

“Demonstrasi yang terjadi di Wamena, di Mapaho, di Jayapura, itu mayoritas rakyat itu menolak, yang menolak ini bukan minta Papua merdeka, yang menolak ini adalah tidak setuju dengan pelaksanaan otsus yang tidak konsisten,” ujar Yoel dalam diskusi daring pada Kamis (25/3/2022) kemarin.

Dia menuturkan, sejauh ini tidak ada riset atau penelitian yang merekomendasikan perlu adanya pemekaran wilayah di Papua. Namun, pemerintah pusat justru akan membentuk empat daerah otonom baru (DOB) di Papua, yakni Provinsi Papua Pegunungan Tengah, Papua Tengah, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan.

Rencana pemekaran disampaikan pemerintah saat pembahasan perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Revisi itu kini sudah disahkan dalam UU Nomor 2/2021 yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 19 Juli 2021.

“Tidak ada riset, tidak ada penelitian yang merekomendasikan perlu ada pemekaran di Papua. Lalu sekarang pemekaran untuk siapa?” tanya Yoel.

Menurut Yoel, penyusunan UU Otsus yang baru itu dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Pemerintah tidak melibatkan aspirasi publik maupun masyarakat Papua, termasuk MRP. “UU ini adalah produk Jakarta, tapi dipaksakan untuk bisa diterapkan di Papua, enggak mungkin, aspirasi rakyat itu harus diakomodasi dulu,” kata dia.

Dia mengatakan, MRP membuka diri jika dilakukan dialog agar aksi kekerasan bisa dihentikan. Namun, dia menegaskan, dialog ini konteksnya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga tidak ada aksi saling curiga antara satu sama lain. (*)

Sumber: https://www.republika.co.id/

Read More
Categories Berita

Bertemu MRP, BEM Uncen Serahkan Pernyataan Sikap Tolak Pemekaran Papua

BEM Uncen menyerahkan pernyataan sikap mereka untuk menolak rencana pemekaran Provinsi Papua kepada Ketua MRP, TImotius Murib di Kota Jayapura, Kamis (24/3/2022). – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM Universitas Cenderawasih menemui pimpinan Majelis Rakyat Papua di Kota Jayapura, Kamis (24/3/2022). Dalam pertemuan itu, BEM Universitas Cenderawasih menyerahkan pernyataan sikap resmi mereka untuk menolak rencana pemekaran Provinsi Papua.

Rombongan BEM Universitas Cenderawasih (Uncen) yang mendatangi Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) itu dipimpin Ketua BEM Uncen, Salmon Wantik. Mereka diterima oleh Ketua MRP, Timotius Murib. Wantik menyatakan rakyat Papua tidak pernah meminta pemekaran Provinsi Papua.

Menurutnya, wacana pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk sejumlah provinsi baru itu justru dipaksakan pemerintah pusat di Jakarta, dengan meminjam tangan elit politik Papua.

“Para Bupati dan pejabat elit politik lain, stop minta pemekaran. Rakyat tidak pernah berikan mandat kepada mereka untuk meminta pemekaran Provinsi Papua. Kami mengutuk mereka yang jalan minta pemekaran itu [dengan] mengatasnamakan Orang Asli Papua yang telah mati dan atas nama Tanah Papua ini,” kata Wantik saat beraudiensi dengan MRP.

Wantik menyatakan berbagai pemekaran wilayah yang pernah dilakukan di Tanah Papua tidak membawa kesejaheraan bagi Orang Asli Papua. Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Tanah Papua justru dinilai Wantik berdampak negatif bagi Orang Asli Papua. Hal itulah yang menyebabkan berbagai pihak bersuara untuk menolak rencana pemekaran Provinsi Papua.

“Lapisan masyarakat Papua bersama mahasiswa masih konsisten melakukan kampanye menolak DOB. Karena pemekaran merupakan peluang bagi trasmigrasi, peluang bagi investasi asing. [Itu] realita objektif yang telah berlangsung lama, bahkan menjadi pengetahuan umum bagi rakyat Papua. Kebijakan Jakarta yang sedang mengupayakan pemekaran [bertemu] siasat elit Papua [yang] mencari kuasa. Pembahasan usulan DOB oleh DPR RI mengabaikan kritik publik [terhadap rencana pemekaran Papua,” kata Wantik.

Wantik menyatakan ada banyak data yang menunjukkan bahwa Orang Asli Papua telah menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri, antara lain karena pemekaran wilayah yang semakin mendorong migrasi orang dari luar Papua. Bahkan, Otonomi Khusus (Otsus) Papua gagal mencegah migrasi besar-besaran itu.

“Banyak data yang mununjukkan bahwa Orang Asli Papua menjadi minoritas di atas tanah sendiri, sekalipun ada Otonomi Khusus Papua. Oleh karena itu, kami menilai Otonomi Khusus Papua telah gagal. Otonomi Khusus dan pemekaran adalah satu paket kebijakan politik pembangunan yang tidak pro rakyat Papua. Tanah dan hutan Papua diambil alih atas nama pembangunan, pertanian, hingga perkebunan kelapa sawit. Hasilnya memicu transmigrasi spontan tak terkendali di Tanah Pарua,” kata Wantik.

Ia juga mengkritik pemekaran wilayah yang selalu diikuti dengan penambahan satuan teritorial TNI dan Polri di Tanah Papua. Pos TNI dan Polri terus bertambah banyak dan meluas, yang pada akhirnya justru memperluas wilayah konflik di Papua.

“Apa untungnya pemekaran bagi orang Papua, jika pemekaran mengabaikan hak orang asli Papua? Maka dari itu, kami bersama rakyat Papua menolak segala paket [kebijakan pemekaran] yang ditawarkan,” kata Wantik.

Wantik menyerahkan pernyataan resmi BEM Uncen itu kepada Ketua MRP, Timotius Murib. Pernyataan itu juga memuat tuntutan BEM Uncen kepada pemerintah untuk menarik pasukan organik dan non organik dari sejumlah kabupaten yang dilanda konflik bersenjata, yaitu Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Puncak Jaya, Puncak, serta Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat.

BEM Uncen juga menolak paket kebijakan Otsus Papua Jilid 2. BEM Uncen mendorong pemerintah pusat untuk melihat akar persoalan Papua dari perspektif Orang Asli Papua, dan bukan memaksakan cara pandang Jakarta untuk melihat akar masalah Papua.

BEM Uncen menyatakan pemerintah harus berhenti mengeluarkan berbagai perizinan yang mengeksploitasi sumber daya alam di Papua, dan meminta pemerintah Indonesia memberi akses kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengunjungi Papua.

Selain itu, BEM Uncen juga meminta Jakarta menggelar referendum sebagai solusi demokratis untuk menyelesaikan konflik Papua.

Dalam audiensi bersama BEM Uncen itu, Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan pihaknya telah melakukan banyak hal untuk menyelamatkan tanah dan Orang Asli Papua. Akan tetapi, berbagai upaya MRP itu dihambat banyak pihak.

“Kita mau lakukan Rapat Dengar Pendapat [Evaluasi Otsus Papua] dihadang, sampai ada anggota kami yang diborgol [polisi]. Ada pejabat yang tidak terima MRP melakukan Rapat Dengar Pendapat itu,” kata Murib.

Murib menyatakan wacana pemekaran Provinsi Papua terus muncul karena ada kepentingan sejumlah Bupati yang telah dua kali menjabat dan tidak bisa mencalonkan diri lagi. “Soal pemekaran, itu kepentingan para elit Papua, para Bupati yang sudah berkahir masa jabatan mereka,” ucap Murib.

Murib menyatakan MRP juga telah bersikap tegas atas langkah pemerintah pusat dan DPR RI yang secara sepihak membahas dan mengundangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru).

Murib menyatakan banyak perubahan kewenangan dalam UU Otsus Papua Baru yang justru memperlemah upaya penyelamatan tanah dan orang Papua.

“Masalah hari ini bukan saja soal Orang Asli Papua yang ditembak mati, tapi [juga] soal tanah. Banyak masalah tanah di Papua ini. Besok-besok, tidak lagi para ondoafi yang [mengatur masalah tanah], [yang] berkuasa nanti, semua negara yang atur,” ucap Murib.(*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories AdatBerita

MRP Berharap Revisi RTRW Papua Berpihak Kepada Masyarakat Adat

Anggota Kelompok Kerja Adat Majelis Rakyat Papua dari Wilayah Adat Saereri, Edison Tanati.- for Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP berharap revisi Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW Provinsi Papua yang saat ini sedang dibahas oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Papua benar-benar berpihak pada masyarakat adat.

Hal tersebut disampaikan anggota Kelompok Kerja Adat MRP, Edison Tanati di Kota Jayapura, Rabu (23/3/2022). Edison Tanati menghadiri diskusi kelompok terpumpun dan konsultasi publik revisi Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW di Jayapura.

Diskusi kelompok terpumpun dan konsultasi publik itu diselenggarakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Papua untuk menyelaraskan data berbagai lembaga yang digunakan sebagai basis data revisi RTRW Papua. Menurut Tanati, keberadaan RTRW sangat berpengaruh terhadap perlindungan tanah masyarakat adat. Oleh karena itu, perencanaan RTRW harus bisa mempertegas wilayah mana yang tidak boleh dibangun, misalnya kawasan hutan bakau dan sagu.

“Memang sebelumnya banyak sekali masyarakat adat yang dirugikan. Makanya untuk saat ini kami berharap [perencanaan dan revisi RTRW Papua] bisa [memberikan] perlindungan hutan adat serta hak-hak masyarakat adat,” ujarnya.

Tanati yang merupakan wakil masyarakat adat Saereri di MRP menegaskan bahwa Wilayah Adat Saereri memiliki lokasi sakral yang tidak boleh dirusak atau diganggu. Lokasi sakral itu antara lain berupa sekolah adat dan tempat yang ditumbuhi makanan pokok masyarakat adat setempat. Tanati melihat pembangunan di berbagai wilayah di Papua berdampak buruk bagi masyarakat adat.

“Kami melihat seperti di Sentani, [ibu kota] Kabupaten Jayapura, keberadaan kebun sagu sudah habis karena adanya pembangunan perumahan. Hal itu sangat merugikan, karena sagu merupakan makanan pokok masyarakat adat,” katanya.

Ia berharap lewat diskusi kelompok terpumpun dan konsultasi publik revisi RTRW yang digelar Bappeda Papua dapat memberi ketegasan dalam rangka perlindungan hutan sagu dan bakau. “Keduanya perlu perlindungan dari tangan para pengusaha properti, sebab hutan sagu akan menjadi pangan masa depan bagi anak cucu kita. Sementara bakau merupakan hutannya seluruh ekosistem [kawasan pesisir],” katanya.

Hal senada disampaikan anggota Kelompok Kerja Adat MRP dari Wilayah Adat Lapago, Aman Jikwa. Jikwa mengapresiasi langkah Bappeda Papua dan mitranya untuk melibatkan perwakilan dari lima wilayah adat di Papua untuk berpartisipasi dalam penyempurnaan revisi RTRW Papua yang akan berlaku selama 20 tahun mendatang.

“Harus ada tindak lanjut dari pertemuan hari ini. Supaya ada satu kekuatan besar yang nyata dalam membangun Papua,” kata Jikwa.

Jikwa menyatakan pemetaan hak ulayat masyarakat adat harus dilakukan secara baik. Menurutnya, hak ulayat dan masing-masing wilayah adat memiliki keunggulan yang perlu dikelola serta dikembangkan sebagai pendapatan masyarakat adat setempat.

“Itu sudah kami sampaikan. Semoga [revisi] RTRW [itu] benar-benar berpihak dan melindungi keberadaan masyarakat adat,” kata Jikwa. (*)

Sumber: Jubi

Read More
Categories Berita

DPRD dan FOPERA Paniai Serahkan Aspirasi Penolakan DOB Kepada MRP

Tim Pansus DPRD Paniai-Meepago resmi menyerahkan aspirasi rakyat Paniai tolak DOB Papua ke MRP – for Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) menerima aspirasi masyarakat Kabupaten Paniai yang menolak rencana pembentukan Daerah Otonom Baru di Provinsi Papua pada Senin (21/03/2022).

Anggota Pokja Agama Majelis Rakyat Papua, Pdt. Nicolas Degey, yang menerima aspirasi tersebut mengatakan, dirinya akan melaporkan kepada pimpinan lembaga terkait aspirasi Orang Asli Papua tersebut dan mendorong agar pemerintah pusat menunda rencana pembentukan Daerah Otonom Baru di Tanah Papua.

Pasalnya, pembentukan daerah otonom baru tidak serta merta menyelesaikan berbagai persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, khususnya orang asli Papua, namun dipandang akan menambah masalah.

Pdt. Nicolas Degey mencontohkan sejumlah persoalan yang tidak kunjung selesai dengan kehadiran dua provinsi di tanah Papua saat ini seperti perbedaan jumlah serapan tenaga kerja antara orang asli Papua dan non Papua, pelanggaran HAM yang melibatkan institusi militer dan kepolisian di berbagai daerah, hingga persoalan pendidikan dan kesehatan serta pengungsian.

Aspirasi penolakan DOB Provinsi Papua Tengah itu, diserahkan langsung oleh Ketua DPRK Paniai, Sem Nawipa didampingi Ketua Pansus DPRK Paniai, Marthen Tenouye, Ketua Legislasi DPRK Paniai, Melianus Yatipai, serta didampingi Koordinator Front Pembela Rakyat (FOPERA) Paniai, Abeth Gobai bersama sejumlah anggota lainnya.

Koordinator FOPERA Paniai, Abeth Gobai membacakan pernyataan sikap atau aspirasi yang menolak dengan tegas produk Jakarta tentang Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di atas Tanah Papua.

“Kami Rakyat Papua di Paniai menolak dengan tegas DOB Provinsi Papua Tengah,” tegas Abeth Gobai.

Selain itu, FOPERA Paniai juga menolak dan meminta para bupati di Meepago yang saling bertikai merebutkan ibu kota provinsi, sebab rakyat Papua di Meepago menolak pemekaran.

Bahkan, mereka juga meminta Bupati Paniai segera menghentikan upaya dalam memperjuangkan pemekaran Provinsi Papua Tengah.

Selain itu, mereka juga menolak Otsus Jilid II, menolak dengan tegas atas Perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 2 Tahun 2021 atas Pemaksaan Jakarta menerapkan di Papua.

“Buka ruang demokrasi seluas – luasnya di Tanah Papua. FOPERA Paniai mengutuk tindakan pembungkaman ruang demokrasi pasca aksi tolak DOB,” tekannya.

Mereka juga meminta agar Jubir PRP Victor Yeimo dan 8 tapol agar segera dibebaskan tanpa syarat dan meminta segera menarik militer organic dan non organik dari beberapa daerah konflik yakni Nduga, Intan Jaya, Oksibil, Maybrat, Yahukimo, Puncak Jaya dan seluruh Papua. (*)

 

Read More
Categories Berita

MRP Minta Jakarta Tunda Pemekaran Provinsi Papua

Timotius Murib, Ketua MRP (tenggah) di dampingi Yoel Luiz Muliat Waket I MRP dan Debora Mote Waket II MRP saat memberikan keterangan pers, Rabu (9/3/2022) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP meminta pemerintah pusat dan DPR RI tidak memaksakan kehendak untuk memekarkan Provinsi Papua. Pemerintah dan DPR RI semestinya mendengar aspirasi masyarakat, dan bukan mengikuti kemauan elit politik yang punya kepentingan tertentu. Pemerintah seharusnya juga lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan di daerah yang memiliki Otonomi Khusus seperti Papua, termasuk dalam hal pemekaran dan pembentukan Daerah Otonom Baru.

Hal itu disampaikan Ketua MRP, Timotius Murib untuk menanggapi rencana pemerintah pusat dan DPR RI untuk memekarkan Provinsi Papua dan membentuk sejumlah provinsi baru di Papua. Murib menegaskan Papua dan Nangroe Aceh Darussalam adalah dua provinsi yang diberi Otonomi Khusus (Otsus) karena rakyatnya pernah menyatakan ingin merdeka dari Indonesia.

Seharusnya, pemerintah berhati-hati dalam merumuskan kebijakan—termasuk rencana pemekaran dan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB)—di daerah yang memiliki Otsus. “Papua dan Aceh itu daerah khusus, presiden seharusnya merawat daerah khusus. Papua dan Aceh berstatus khusus, karena ada perjuangan rakyat itu sendiri,” kata Murib saat menjawab pertanyaan Jubi pada Kamis (10/3/2022).

Sayangnya, menurut Murib Jakarta melakukan evaluasi implementasi Otsus Papua dan revisi atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama) secara sepihak. Pengundangan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) juga dinilai bermasalah, karena dibahas secara sepihak, dan mengurangi substansi kewenangan Otsus Papua dalam UU Otsus Papua yang lama.

Murib menyatakan UU Otsus Papua Baru itu adalah menghapuskan kewenangan MRP dan DPR Papua untuk menolak atau menyetujui rencana pemekaran provinsi. Pasal 76 UU Otsus Papua Lama menyatakan “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.”

Dengan UU Otsus Papua Baru, pemerintah pusat dan DPR RI bisa memekarkan Provinsi Papua tanpa membutuhkan persetujuan MRP atau DPR Papua.

Murib menyatakan UU Otsus Papua yang baru membuat pemerintah pusat dan DPR RI bisa melaksanakan kehendaknya tanpa persetujuan lembaga resmi di Papua. Hal itu membuat Otsus Papua “kehilangan rohnya”, karena MRP dan DPR Papua tidak lagi berwenang menyampaikan dan meneruskan aspirasi rakyat Papua.

Saat ini pun DPR RI telah menyusun Naskah Akademik untuk membuat undang-undang pemekaran Provinsi Papua. Murib mengingatkan rencana pembentukan provinsi baru di Wilayah Adat Lapago dan Meepago telah mendapatkan penolakan keras dari ribuan warga yang berunjuk rasa di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, dan Nabire, ibu kota Kabupaten Nabire beberapa hari yang lalu.

Murib menyebut unjuk rasa rakyat Papua untuk menolak pemekaran Provinsi Papua telah terjadi di berbagai wilayah Papua dan luar Papua. Menurutnya, Orang Asli Papua menilai rencana pemekaran Provinsi Papua itu ganjil, karena pemerintah sendiri sedang memoratorium pemekaran wilayah dan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB).

“Negara masih melakukan moratorium [pemekaran wilayah]. Negara sendiri melakukan moratorium. Akan tetapi, [kenapa rencana pemekaran] untuk Papua dipaksanakan? Dasarnya apa? Latar belakangnya apa?” Murib bertanya.

Meskipun UU Otsus Papua Baru telah membuat MRP tidak lagi berwenang untuk menolak atau menyetujui pemekaran provinsi, Murib menyatakan MRP akan tetap menyampaikan dan meneruskan aspirasi rakyat Papua.

Murib menyatakan MRP meminta pemerintah tidak melanjutkan rencana pemekaran Provinsi Papua, karena rencana itu telah menimbulkan banyak protes. Murib menyatakan pemerintah pusat dan DPR RI harus mempertimbangkan masalah waktu dan kesiapan rakyat Papua atas rencana pemekaran provinsi itu. Ia menyatakan saat ini bukanlah saat yang tepat untuk memekarkan Provinsi Papua.

“Apakah Jakarta bisa menerima atau tidak [penyampaikan MRP], karena kewenangan MRP dipangkas habis. Akan tetapi,  rakyat yang berdemonstrasi berhadap-hadapan dengan kekuatan besar, sehingga MRP wajib menyampaikan pendapat kepada pemerintah. Niat Jakarta untuk pemekaran itu perlu dipertibangkan dan ditolak. Pemekaran itu baik, tetapi belum saatnya, belum saatnya. [Kami minta] niat pemerintah pusat diurungkan dan di-pending,” kata Murib.

Sebelumnya, pada Kamis (10/3/2022), ribuan warga Wilayah Adat Lapago berunjuk rasa di Wamena untuk menolak rencana pembentukan provinsi baru di wilayah adat mereka. Mereka menyatakan rakyat Papua tidak membutuhkan pemekaran. Mereka menyatakan rakyat Papua lebih membutuhkan penyelesaian atas berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi sejak 1963, ketika Indonesia menduduki Papua.

“Kami membutuhkan penyelesaian [kasus pelanggaran] HAM bukan pemekaran. Pemekaran membawa orang Papua ke genosida. [Kami melihat dari pengalaman] pemekaran kabupaten [di Papua], [itu] saja telah [menimbulkan] banyak konflik,” kata Dano Tabuni saat membacakan pernyataan sikap dalam demonstrasi menolak DOB di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jayawijaya, Wamena. (*)

Sumber: Jubi

Read More
Categories Berita

MRP Sebut Agenda Pemekaran DOB di Papua Bukan Kehendak Masyarakat OAP

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat  Papua (MRP) sebagai lembaga culture orang asli Papua menyatakan,  rencana pemekaran Daerah Otonomo Baru (DOB) pada beberapa wilayah di Papua baik Provinsi maupun Kabupaten bukan kehendak dan aspirasi rakyat Papua tapi merupakan program paksaan elite jakarta dan beberapa elite lokal di Papua.

Pernyataan itu disampaikan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib kepada KBRN di Sentani, Kabupaten Jayapura, jumat (04/02/2022).

Murib menegaskan MRP maupun pemerintah provinsi Papua di bawa kepemimpinan guberenur Lukas Enembe dan DPR Papua sama sekali tidak menghendaki untuk adanya pemekaran provinsi maupun Kabupaten di Papua.

“Saya selaku ketua MRP jujur mau mengatakan bahwa tidak ada dokumen dari pemerintah provinsi (Papua) dan DPR Papua serta dokumen kajian ilmiah kelayakan pemekaran dari MRP yang  memberikan persetujuan pemekaran itu” Kata Timotius Murib.

Dengan demikian MRP menurut Timotius, sebagai lembaga culture orang asli Papua (OAP) dengan tegas menolak rencana pemekaran tersebut karena merasa belum siap terima pemekaran itu dan bukan kehendak Rakyat Papua.

“Alasannya hari ini kami tidak butuh pemekaran tapi perbaikan-perbaikan dulu regulasi kita, contoh undang-undang nomor 21 tentang otsus regulasinya diatur dulu, kami orang Papua belum siap pemekaran banyak-banyak itu” Tegas Murib.

Oleh karena itu, rencana pemekaran daerah otonom baru (DOB) yang hendak disiapkan pemerintah Pusat, Timotius Murib menyebut merupakan kebijakan sepihak pemerintah Pusat dan beberapa elit lokal Papua.

“Pemekaran Provinsi itu melalui rekomendasi Gubernur, DPR,  persetujuan dan pertimbangan dari Majelis Rakyat Papua, ini daerah otonomi khusus tidak bisa pakai hanya dengan  UU Otonomi Daerah” Tegas Murib

Yuliten Anouw, anggota MRP lainnya mengatakan dalam setiap kali kunjungannya kepada masyarakat di Papua tidak perna ada aspirasi tentang pemekaran yang disampaikan. Justru masyarakat  asli Papua, kata Anouw menolak pemekaran.

“Setiap kali kunjungan itu Orang asli Papua tidak perna minta pemekaran justeru menolak. Tapi ini diambil alih oleh jakarta dengan beberapa elite (Papua) yang rakus itu dengan jabatan. Sikap lembaga juga kami sudah tolak” Kata Yuliten Anouw, ketua dewan kehormatan MRP.

Anouw lebih menyarankan, pemerintah daerah di Papua  dan para pihak lainnya bersama-sama membenahi kebijakan-kebijakan tentang proteksi orang Asli Papu pada dua provinsi yang suda ada di Tanah Papua ini (Papua dan Papua Barat).

“Cukup saja dua (Provinsi) yang ada ini, sesuai dengan realita dua yang ada ini saja orang Papua  posisinya masih minim jumlah penduduk juga, justru pemekaran ini bukan diperuntukan orang Papua juga. Kita benahi dulu yang ada sekarang” Ujar anggota MRP dari wilayah Mepago itu. (*)

Sumber: RRI

Read More