Categories Berita

Majelis Rakyat Papua Kutuk Pelaku Mutilasi di Timika

JAYAPURA, MRP – Lembaga Majelis Rakyat Papua mengutuk keras tindakan tidak manusiawi yang dilakukan oleh oknum anggota TNI terhadap 4 warga sipil orang asli Papua yang di mutilasi di kabupaten Mimika, provinsi Papua.

Hal tersebut disampaikan Timotius Murib, ketua Majelis Rakyat Papua merespon kasus pembunuhan dengan cara mutilasi di Mimika. Pernyataan ini disampaikan Murib pada Rabu (31/8/2022) lalu.

MRP menegaskan kasus pembunuhan di Timika merupakan tindakan kejahatan yang dilakukan aparat terhadap orang asli Papua dimana 4 orang dibunuh dan dimutilasi.

“Saya pikir itu perilaku perbuatan yang sangat keji dan kami kutuk para pelaku itu,” ujar Murib.

MRP menduga tindakan pembunuhan ini merupakan tindakan balas dendam atas tindakan kekerasan yang dialami oleh keluarga mereka di daerah konflik seperti di Nduga, karena masyarakat yang dimutilasi semua dari Nduga.

MRP mengajak orang asli Papua untuk mewaspadai kejadian seperti ini agar tidak terulang lagi.

“Orang asli Papua jangan mudah ditipu, pembunuhan di Timika alasan mau beli senjata lalu dibunuh,” kata Murib.

MRP juga menegaskan orang asli Papua untuk harus waspada dengan situasi saat ini agar tidak menimbulkan konflik baru di Papua.

MRP juga berharap pelaku-pelaku ini dapat diproses dan diadili secara adil dan dihukum seberat-beratnya oleh pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap empat orang di Mimika, Papua, ikut disorot oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Diketahui, delapan oknum anggota TNI terlibat dalam kasus pembunuhan sadis tersebut.

Terkait hal itu, Jokowi menginstruksikan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa untuk mendukung proses penyelidikan kasus tersebut.

“Proses hukum harus berjalan sehingga kepercayaan masyarakat kepada TNI tidak pudar. Saya kira yang paling penting usut tuntas dan proses hukum,” katanya saat acara pembagian Nomor Induk Berusaha di GOR Toware, Jayapura, Rabu (31/8/2022).

Selain itu, Jokowi menjelaskan, penyelesaian kasus tersebut sesuai prosedur hukum yang berlaku akan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap TNI.

“Saya perintahkan Panglima TNI untuk membantu proses hukum,” tegasnya. (*)

Read More
Categories Berita

MRP dan Komnas Perempuan Bahas Perlindungan Perempuan ODHA di Wilayah Konflik

MRP dan Komnas Perempuan menggelar lokakarya membahas perlindungan bagi perempuan dengan HIV/AIDS di wilayah konflik. Lokakarya itu berlangsung di Kota Jayapura, Rabu (17/11/2021). – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan menggelar lokakarya membahas perlindungan bagi perempuan dengan HIV/AIDS di wilayah konflik. Lokakarya itu berlangsung di Kota Jayapura, Rabu (17/11/2021).

Lokakarya bertema “Mendorong Kebijakan Layanan Terintegrasi bagi Perempuan dengan HIV/AIDS di Wilayah Konflik dalam Penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua” itu diikuti perwakilan sejumlah organisasi pemuda gereja, aktivis yang bergerak di bidang kesehatan, mahasiswa, dan anggota MRP.

Lokakarya itu menghadirkan narasumber dari perwakilan Kepolisian Daerah (Polda) Papua, Ketua DPR Papua, dan komisioner Komnas Perempuan.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyatakan lokakarya itu digelar untuk menyikapi situasi pelayanan bagi perempuan dengan HIV/AIDS yang berada di wilayah konflik. Lokakarya itu juga membahas masalah tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua.

“Kami Komnas Perempuan mendapatkan data bahwa Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia [dengan] tingkat prevalensi HIV paling tinggi. Juga dengan tingkat kekerasan [terhadap perempuan] yang tinggi. Hanya saja, tingkat kekerasan terhadap perempuan tidak tercatat dengan baik,” kata Andy di Kota Jayapura, Rabu.

Ia menegaskan pelayanan kesehatan bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), termasuk bagi perempuan dengan HIV/AIDS sangat penting dan tidak boleh terputus. Andy menyatakan kasus perempuan dengan HIV/AIDS dan kasus kekerasan terhadah perempuan saling berkolerasi.

“Perempuan yang hidup dengan HIV/AIDS itu rentan mendapatkan kekerasan. Sebaliknya, perempuan korban kekerasan itu rentan terinfeksi HIV,” ujar Andy.

Menurutnya, pelayanan bagi perempuan dengan HIV/AIDS harus dilakukan secara terintegrasi, untuk memastikan kualitas kehidupan mreka terjaga dengan baik.

“Kami sangat berterima kasih karena MRP membuat lokakarya itu, dihadiri Ketua DPR Papua. Itu menjadi langkah awal membangun kerja sama yang lebih luas, dan tentunya langkah itu akan didukung DPR Papua, yang akan segera menindaklanjutinya,” kata Andy.

Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan pelaksanaan lokakarya itu sempat tertunda karena situasi pandemi COVID-19 di Papua. Ia menyatakan para pengambil kebijakan di Papua harus memperhatikan situasi perempuan dengan HIV/AIDS, khususnya yang berada di wilayah konflik.

Ia juga berharap para penentu kebijakan di Papua memperhatikan perlindungan bagi perempuan dan anak yang berada di wilayah konflik.

“Itu masalah yang serius, dan semua pihak harus bicara terkait perlindungan perempuan dan anak, terutama di wilayah konflik, dan juga bukan di wilayah konflik,” kata Murib.

Murib ingin lokakarya itu akan mendorong lahirnya Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Khusus tentang perlindungan bagi perempuan dan anak di Papua.

“Pada era Otonomi Khusus ini, regulasi yang perlu disiapkan. [Regulasi saat ini]  belum memberikan manfaat yang baik untuk perlindungan terhadap perempuan dan anak, terutama orang asli Papua,” ujar Murib.

Murib berharap Komnas Perempuan akan membantu para pemangku kepentingan untuk menyusun Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Khusus tentang perlindungan bagi perempuan dan anak di Papua.

“Lembaga-lembaga harus bersatu, terutama Komnas Perempuan, DPR Papua dan MRP, supaya kita melahirkan solusi dengan membuat  satu regulasi yang tepat untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak,” kata Murib. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

MRP: Aparat Keamanan Negara Seharusnya Menjaga Rakyat, Bukan Membunuh Rakyat

Debora Mote Wakil Ketua II Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua II Majelis Rakyat Papua atau MRP, Debora Mote menyatakan anggota TNI dan Polri harus menghormati jaminan perlindungan perempuan dan anak Papua yang diatur Peraturan Daerah Khusus Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pemulihan Hak Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Ia menyatakan aparat keamanan Negara seharusnya menjaga perempuan dan anak asli Papua, bukan membunuh mereka.

Hal itu dinyatakan Debore Mote dalam lokakarya “Mendorong Kebijakan Layanan Terintegrasi bagi Perempuan dengan HIV/AIDS di Wilayah Konflik dalam Penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua” yang digelar MRP dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Kota Jayapura, Rabu (17/11/2021).

Mote menegaskan anggota TNI dan Polri bertugas melindungi rakyat, termasuk perempuan dan anak asli Papua yang berada di wilayah konflik maupun di luar wilayah konflik.

“Peraturan Daerah Khusus Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pemulihan Hak Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia ada. Harap anggota TNI dan Polri tidak alergi. Perdasus itu memberikan warning, sebab alat negara itu digunakan untuk melindungi rakyat, bukan sebaliknya,” tegas Mote.

Mote menyatakan berbagai kasus kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap perempuan dan anak asli Papua harus menggugah MRP dan DPR Papua harus lebih mendorong pelaksanaan Perdasus Nomor 1 Tahun 2011 itu. Upaya itu penting untuk memastikan kasus kekerasan terhadap warga sipil di Papua tidak terus berulang.

“Kalau memang kita benar-benar sayang perempuan dan anak, Perdasus itu kita dorong. Jangan dengan seenaknya alat negara digunakan untuk membunuh perempuan dan anak, harus gunakan etika. Musuh siapa, bunuh siapa. Jangan bunuh orang sembarang di atas tanah ini,” kata Mote.

Ia menyatakan perlindungan terhadap perempuan dan anak asli Papua akan menentukan generasi pada masa mendatang. “Kita bicara soal perempuan dan anak berarti, kita bicara soal generasi dan keturunan. Itu penting, karena perempuan yang mengandung dan melahirkan generasi selanjutnya, bukan laki-laki. Perempuan itu yang melahirkan generasi, dan kalau ada anak, maka anaklah yang meneruskan keturunan itu, dan mewarisinya,” ujar Mote.

Perwakilan Pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Eneko Pahabol juga menyayangkan konflik dan kekerasan yang terus terjadi dan mengorban perempuan maupun anak asli Papua. Pahabol mempertanyakan mengapa konflik di Papua seperti dibiarkan berkepanjangan.

“Konflik kekerasan ini seakan menjadi lahan bisnis. Saya sebagai generasi penerus, yang mewarisi penderitaan orang tua dulu, meminta [pihak yang bertikai] untuk menghentikan konflik kekerasan itu secara tuntas dan damai,” ujar Pahabol.

Pahabol berharap ada solusi yang dapat memutuskan mata rantai kekerasan yang terjadi di Papua.”Harus ada solusi, dialog yang dilakukan oleh pihak TNI/Polri agar konflik di Tanah Papua ini benar-benar tuntas. Dampak dari konflik itu mengganggu perempuan dan anak di wilayah konflik. Kita tidak tahu mereka makan apa, kesehatan mereka seperti apa,” tuturnya. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

Konflik, HIV/AIDS, Minuman Beralkohol Ancam Keselamatan Anak Dan Perempuan Papua

MRP dan Komnas Perempuan menggelar lokakarya membahas perlindungan bagi perempuan dengan HIV/AIDS di wilayah konflik. Lokakarya itu berlangsung di Kota Jayapura, Rabu (17/11/2021). – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua, Ciska Abugau menyatakan keselamatan perempuan di Papua terancam oleh konflik, tingginya kasus HIV/AIDS, dan peredaran minuman beralkohol di Papua. Abugau mengkritik kehadiran aparat keamanan di Papua yang justru lebih sering mencelakakan ketimbang memberi rasa aman bagi perempuan Papua.

Abugau menyatakan kasus infeksi HIV/AIDS dan pengaruh buruk minuman beralkohol sudah sejak lama menjadi masalah di Papua. Akan tetapi, masalah itu tidak pernah ditangani dengan serius.

“Soal HIV dan minuman beralkohol, itu yang membuat kami juga pusing dalam penanganannya. Sampai sekarang tidak pernah habis-habis. [Kami sudah membicarakan masalah itu], baik bicara ke pemerintah, dan pejabat yang berwenang, tapi tetap sama saja,” kata Abugau.

Ketika kedua masalah itu belum lagi diselesaikan, perempuan Papua mengalami persoalan yang lebih berat karena konflik bersenjata meluas di berbagai wilayah di Papua. Sejak 2018, konflik bersenjata antara lain terjadi di Nduga, Puncak, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, dan telah menimbulkan korban dari kalangan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.

“HIV dan minuman beralkohol sudah tidak kami takuti lagi. Yang kami takuti adalah kekerasan dan penembakan kepada ibu dan anak di wilayah konflik,” jelas Abugau.

Abugau menyatakan tugas aparat keamanan untuk melindungi dan mengayomi tidak terlihat dalam praktik kerja mereka di Papua.

“Melindungi dan mengayomi itu sebenarnya melindungi siapa dan mengayomi siapa? Seperti di Intan Jaya, anak 2 tahun ditembak mati ibu ditembak, mereka ini tidak berdosa,” ujar Abugau.

Menurutnya, MRP sudah berupaya untuk turun langsung melihat kondisi orang asli Papua di wilayah konflik.

“Kami juga turun di wilayah konflik, tapi kami juga taruhan [nyawa]. Jangan sampai polisi salah-salah mereka tembak kami. Gara-gara kami turun untuk melihat anak kami ditembak mati, saudara kami ditembak mati, hanya karena kekesalan, sehingga kami bisa jadi korban juga,” ucapnya.

Abugau menegaskan perempuan dan anak di wilayah konflik berhak untuk dilindungi dan mendapatkan rasa aman. Ia menyesalkan insiden penembakan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Intan Jaya, serta sejumlah kekerasan aparat kepada warga sipil lainnya. Apalagi TNI dan Polri jarang mengusut kasus kekerasan anggotanya dengan tuntas. Ia mencontohkan kasus prajurit TNI membunuh dua warga Intan Jaya, Luther Zanambani dan Apinus Zanambani pada April 2020.

“Anak kami dibakar di dalam drum, abunya dibuang di sungai.  TNI/Polri diam. Kami tanya ke Koramil, Koramil bilang Kapolsek, jadi saling baku lepas tanggung jawab. Tapi akhirnya sekarang sudah ketahuan semua,” kata Abugau.

Kendati masalah kekerasan aparat keamanan kini lebih berbahaya dari persoalan peredaran minuman beralkohol di Papua, Abugau menyatakan peredaran minuman beralkohol tetap menjadi masalah serius di wilayah yang tidak menjadi zona konflik. Menurutnya, konsumsi minuman beralkohol menjadi salah satu penyebab tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua.

“Melindungi perempuan dan anak selain di wilayah konflik [juga penting]. Perlindungan perempuan dan anak juga perlu dilakukan karena faktor minuman beralkohol yang merusak rumah tangga,” ujarnya.

Dalam lokakarya “Mendorong Kebijakan Layanan Terintegrasi bagi Perempuan dengan HIV/AIDS di Wilayah Konflik dalam Penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua” yang berlangsung di Kota Jayapura pada Rabu (17/11/2021), Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani pihaknya akan terus mendorong upaya meningkatkan perlindungan kepada perempuan di Papua. Upaya itu antara lain dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan di Papua.

“Komnas Perempuan bersama dengan Majelis Rakyat Papua, menggagas Peraturan Daerah Khusus Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pemulihan Hak Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Perdasus itu sebetulnya fokus kepada upaya untuk menyelenggarakan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan yang khususnya bagi pelanggaran HAM,” ujarnya. (*)

Sumber:JUBI

Read More
Categories Berita

Ciska Abugau: Permintaan Maaf Kapolres Tidak akan Kurangi Rasa Sakit Hati Masyarakat Intan Jaya

Read More
Categories Berita

Kunker Pokja Perempuan MRP, Bantu Bama Bagi Pengungsi Intan Jaya di Dogiyai

Kunjungan kerja pokja perempuan Tim Dogiyai memberikan Bama bagi masyarakat pengungsi di kabupaten intan jaya – For Humas MRP 

DOGIYAI, MRP – Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP), Siska Abugau A.Ma.Pd, Petronela RTH Bunapa, SE, Yuliana Wambrauw, dan Nehemina Yebikon, melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Kabupaten Dogiyai, sekaligus memberikan bantuan bahan makanan (bama) kepada pengungsi di Kabupaten Intan Jaya.

Bama yang dibawakan Pokja Perempuan MRP berupa beras, mie instan, sauris (ikan kaleng), telur, gula, dan kopi.

“Saya secara pribadi sangat terpukul sekali dengan keadaan masyarakat di Sugapa Intan Jaya. Sayang sekali masyarakat mengungsi ke Gereja,” kata Ketua Pokja Perempuan MRP, Siska Abugau kepada media ini melalui selulernya, Sabtu (13/11/2021).

Bama bagi Pengungsi Intan Jaya yang di bawah ke Dogiyai – For Humas MRP

Dia menilai, TNI/Polri gagal melindungi masyarakat sipil di Intan Jaya. Baru-baru ini dikabarkan dua anak tertembak. Satu di antaranya meninggal dan satu lainnya masih dalam perawatan. Sedangkan seorang mama Papua tertembak yang diduga dilakukan oleh oknum TNI.

“Terbukti sekali kalau TNI hadir bukan untuk melindungi,” katanya.

Menurut dia, hak-hak anak dan perempuan harus dilindungi oleh negara, terutama TNI/Polri. Jika TNI/Polri dan TPNPB/OPM mau berperang, maka mereka harus berperang di lokasi yang jauh dari masyarakat sipil. Jangan mengorbankan masyarakat sipil.

Dia berharap bama yang diberikan Pokja MRP dapat membantu pengungsi di Intan Jaya.

“Besok (Minggu, 14/11) saya ke Inta Jaya untuk melihat keadaan warga di Sugapa,” katanya. (*)

Sumber: WAGADEI

Read More
Categories Berita

Anggota MRP Pertanyakan Kkeadilan Untuk Korban di Intan Jaya

Para anggota MRP mengikuti rapat Koordinasi Tim Kerja Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Orang Asli Papua tentang Implementasi Hak Asasi Manusia dalam Wilayah Konflik di Provinsi Papua yang digelar Jumat (19/3/2021). – Jubi/Arjuna

JAYAPURA, MRP– Anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP dari Intan Jaya, Ciska Abugau mempertanyakan upaya pemerintah dan aparat keamanan memberikan keadilan terhadap semua korban yang kehilangan nyawa dalam konflik bersenjata antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata di Intan Jaya, Papua. Abugau menyatakan proses hukum harus dijalankan terhadap semua kasus pembunuhan warga di Intan Jaya.

Ciska Abugau mengatakan proses hukum dalam kasus pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani terus berjalan, termasuk dengan rencana untuk mengautopsi jenazah Pdt Yeremia. Akan tetapi, ada beberapa warga sipil yang kehilangan nyawanya di sana, beberapa diantara pembunuhan itu diduga dilakukan aparat keamanan, dengan tuduhan bahwa korban adalah bagian dari kelompok bersenjata.

“Pendeta Yeremia Zanambani mau diautopsi. Bagaimana dengan korban korban yang lain di Intan Jaya? Kenapa hanya Pendeta Zanambani yang mau diautopsi?” kata Ciska Abugau dalam Rapat Koordinasi Tim Kerja Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Orang Asli Papua, Jumat (19/3/2021).

Rapat Koordinasi yang gelar MRP di Kota Jayapura itu membahas Implementasi Hak Asasi Manusia dalam Wilayah Konflik di Provinsi Papua. Ciska Abugau yang juga Ketua Kelompok Kerja atau Pokja Perempuan MRP itu kecewa, karena upaya menciptakan damai di Intan Jaya belum membuahkan hasil.

“Kami sudah menyampaikan ini kepada berbagai pihak, namun tidak didengar. Kita jangan selalu saling curiga. Tokoh agama dicurigai,” ujarnya.

Inspektur Pengawas Daerah Kepolisian Daerah atau Irwasda Polda Papua, Komisaris Besar Polisi Alfred Papare yang hadir sebagai pembicara menyatakan aparat keamanan tidak berupaya memperlambat atau menghambat penuntasan pembunuhan terhadap Pdt Yeremia Zanambani. Ia mengakui dalam beberapa waktu terakhir konflik bersenjata di Intan Jaya menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat.

Apalagi pasca pembunuhan terhadap Pdt Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa, 19 September 2020 silam yang diduga dilakukan aparat keamanan. “Sudah ada tim investigasi yang dibentuk [Menkopolhukam]. Kapolda yang baru dilantik beberapa waktu lalu, telah mengundang Bupati Intan Jaya, membicarakan bagaimana upaya penyelesaian masalah di sana. Kita minta melakukan pendekatan kepada keluarga Pendeta Yeremia Zanambani agar bisa dilakukan autopsi,” kata Papare.

Menurutnya, pihak keluarga telah membuat surat pernyataan menyetujui jenazah Pdt Yeremia diautopsi. Akan tetapi, keluarga meminta bantuan pemerintah daerah dan kehadiran berbagai pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat.

“Bukan aparat memperlambat penuntasan masalah ini. Akan tetapi, kami mesti menghargai hak hak keluarga. Nantinya autopsi akan dilakukan di Intan Jaya, sesuai kesepakatan. Kami sudah mempersiapkan tim dokter yang akan dibantu tim Laboratorium Forensik dari Makassar,” ujarnya.

Papare menyatakan yang menjadi masalah adalah kelompok bersenjata yang masih berada di Intan Jaya. Dikhawatirkan mereka akan berupaya mengganggu proses autopsi nantinya.

Menurutnya, Polda Papua kini menyiapkan strategi agar autopsi nanti berjalan tanpa hambatan. Pemerintah daerah akan melakukan pendekatan terhadap kelompok bersenjata. “Kini Bupati berupaya melakukan pendekatan, agar tidak ada gangguan saat autopsi dilakukan. Autopsi mesti dilakukan untuk mendapat fakta hukum [penyebab korban meninggal dunia], agar tidak ada saling tuding,” katanya. (*)

Sumber: JUBI

Read More