Categories Berita

UU Otsus Papua direvisi sepihak, MRP dan MRPB “gugat” Presiden di MK

Ketua MRP Timotius Murib, Ketua MRPB, Maxsi Ahoren, Wakil Ketua I MRP, Yoel Luiz Mulait ditemui awak media saat mendaftarkan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ke Mahkamah Konstitusi, Kamis (17/6/2021). – Dok. Tim Kuasa Hukum MRP/MRPB

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat mengajukan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ke Mahkamah Konstitusi RI di Jakarta, Kamis (17/6/2021). Permohonan itu diajukan karena pemerintah pusat secara sepihak mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.  

Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) itu didaftarkan dengan nomor pokok perkara 2085-0/PAN.MK/VI/2021. Advokat Roy Rening SH selaku salah satu kuasa hukum Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menyatakan SKLN ditujukan terhadap Presiden Joko Widodo selaku termohon.

“Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara [itu] atas perubahan kedua Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. [Sengketa itu merupakan sengketa] antara Majelis Rakyat Papua dan Presiden Republik Indonesia,” kata Rening mengurai pengajuan SKLN itu melalui materi yang dikirimkan ke Redaksi Jubi pada Kamis.

Dalam berkas permohonan SKLN itu Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menyatakan permohonan SKLN itu diajukan untuk mencari kebenaran dan keadilan. Alasan utama permohonan SKLN itu adalah langkah pemerintah pusat yang secara sepihak membuat Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

Ketua MRP, Timotius Murib menegaskan menegaskan selama ini pemerintah tidak melibatkan MRP maupun MRPB untuk membahas revisi UU Otsus Papua. Murib menyatakan MRP dan MRPB telah memberikan kuasa kepada Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia – Rumah Bersama Advokat untuk menangani SKLN di Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

“Pemerintah tidak pernah melibatkan MRP dan MRPB dalam proses perubahan atau revisi UU Otsus Papua. [Ketentuan] Pasal 77 [UU Otsus Papua yang mengatur] kewenangan MRP dan MRPB [dalam proses revisi UU Otsus Papua] tidak terlaksana. Karena itu, kami sepakat menggugat ke MK,” kata Murib kepada Jubi, Kamis.

Pasal 77 UU Otsus Papua mengatur tata cara untuk melakukan perubahan atas UU itu. Pasal itu menyatakan “Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Ketua MRPB,  Maxsi Ahoren menyatakan MRP dan MRPB mengajukan permohonan SKLN itu untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan pemerintah pusat. “Kami intinya tidak melawan negara, tapi menuntut kebenaran yang menyangkut Pasal 77 [UU Otsus Papua]. Sekali lagi kami tegaskan di sini, [permohonan SKLN itu] bukan untuk melawan negara, tapi hanya menuntut keadilan, karena kami bagian dari NKRI juga,” kata Ahoren.

Hingga kini, Panitia Khusus (Pansus) Otsus Papua DPR RI masih membahas RUU Perubahan Kedua UU Otsus Papua. Pada Kamis, Pansus Otsus Papua DPR RI menggelar Rapat Kerja untuk membahas Daftar Isian Masalah RUU itu yang dihadiri Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. (*)

Sumber: JUBI

Read More

Categories Berita

DPN Peradi Jadi Kuasa Hukum MRP Papua Bawah Masalah UU Otsus ke Mahkamah Konstitusi

Pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) saat foto bersama dengan DPN Peradi usai melakukan penandatanganan Mou – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) mengelar rapat konsultasi dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) berkaitan dengan pembahasan perubahan kedua undang-undang Otsus Papua.

Luhut Pangaribuan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) mengatakan pertemuan rapat konsultasi tersebut dengan inti tujuan MRP meminta pendapat hukum ke Peradi tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan perubahan kedua UU Otsus baik prosedurnya maupun subtansi.

“Prosedur yang pokok adalah bahwa perubahan sekarang yang dibicarakan di DPR RI tidak sesuai dengan mekanisme perubahan yang seharusnya diikuti yang di atur dalam UU Otsus itu,” katanya.

Di mana Dalam UU Otsus itu, kata Luhut, secara politik sebenarnya itu UU merupakan kesempatan dalam rangka menyelesaikan satu permasalahan.

“Jadi, boleh saya katakan bahwa dia (UU) lebih tinggi kurang pas tadi kira-kira begitulah maksudnya, tidak boleh di simpangi sebagaimana UU yang lain. Oleh karena itu, harus diperhatikan,” katanya.

Kalau ini pendekatannya secara demikian maka masalah di Papua tidak akan pernah selesai, dari mulai OPM sekarang Terorisme, Diskriminasi dan seterusnya.

“Jadi perlu secara lebih bijak untuk melihat persoalan perubahan kedua UU Otsus ini karena itu dengan bantuan tim yang akan dibentuk oleh Peradi untuk meresponnya akan coba mempelajari dan manakala ada hal yang bisa dilakukan secara hukum akan dilakukan misalnya dengan minta intepretasi atau pengujian dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sesuai dengan mekanisme yang ada di negara hukum di republik Indonesia,” tegasnya.

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua juga menambahkan rapat konsultasi tim kerja MRP tentang pokok-pokok pikiran rancangan perubahan kedua UU Otsus dengan DPN Peradi membicarakan subtansinya terkait dengan proses dan mekanisme yang dilakukan pemerintah pusat, eksekutif dan DPR RI untuk perubahan kedua atas UU Otsus Papua nomor 21 Tahun 2001.

“MRP mendapat respon yang luar biasa dari Peradi untuk melakukan komunikasi dengan MRP, dan Rakyat Papua dalam rangka membantu dimana satu polemik pro dan kontra yang terjadi di tengah masyarakat terkait dengan proses perubahan kedua UU Otsus Papua, sehingga dengan komunikasi MRP hari ini dengan Peradi bisa membuka satu wawasan dimana proses yang dilakukan pemerintah pusat sesuai konstitusi pasal 77 ini bisa kita sinkronkan,” katanya.

Perubahan kedua UU nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua pada prinsipnya MRP Papua berkeinginan untuk dikembalikan kepada proses hukum yaitu pasal 77 tetapi kemudian pemerintah pusat oleh DPR RI terus melakukan proses mekanisme perubahan secara sepihak ini.

“Inilah yang MRP datang menyampaikan subtansi terkait proses mekanisme ini untuk kita kaji pasal 77 dan surat presiden kepada DPRI RI pasal 5 UUD 1945 di mana presiden berhak mengusulkan UU bukan perubahan sehingga konteks hukum ini yang perlu MRP sampaikan kepada Peradi agar di ketahui oleh kalangan umum lebih khusus masyarakat orang asli Papua,” katanya.

Dalam kesempatan itu MRP melakukan penandatanganan MoU antara Majelis Rakyat Papua dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia, berlangsung di salah satu hotel di Jakarta, (9/6/2021). (*)

Read More
Categories Berita

MRP: Mau Pemekaran 20 Provinsi Silakan Saja

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) memberi pernyataan kongkrit soal dinamika politik yang terjadi di Papua selama ini. Momentumnya adalah evaluasi Undang – undang Otonomi Khusus yang hingga kini masih berproses dengan pengumpulan aspirasi lewat rapat dengar pendapat.

Hanya saja dari upaya yang dilakukan lembaga seperti MRP maupun DPRP untuk terlibat langsung dalam memulai evaluasi nampaknya tidak bisa berbuat banyak selama masih terjadi konflik regulasi. “Agenda kami tahun ini adalah mengevaluasi kinerja MRP termasuk mengawal perubahan ke II undang – undang Otsus. Ini sebenarnya momentum dan bisa menjadi titik awal untuk dilakukan evaluasi,” kata Ketua MRP, Timotius Murib kepada Cenderawasih Pos di Jayapura, Selasa (20/4).

Otsus di Papua dikatakan pada 10 Oktober akan berakhir dan sangat tepat dijadikan titik awal untuk perubahan. Hanya saja yang menjadi kendala saat ini adalah berlakunya dua undang – undang yakni Undang – undang pemerintahan daerah nomor 23 tahun 2014 dan undang – undang Otsus nomor 21 tahun 2001.

“Dari evaluasi ini kami tidak memberikan dukungan kepada siapa – siapa meski ada yang mendukung Otsus dan ada yang  menolak Otsus dan kami ada pada posisi memfasilitasi,” beber  Timotius. Kalaupun ada yang mengatakan Otsus gagal maupun berhasil maka semua perlu ditunjukkan dengan argumen yang masuk akal. MRP dikatakan tidak memihak kepada salah satunya tetapi ingin mengawal isu yang disampaikan.

MRP mempertanyakan mengapa pemerintah pusat hanya mempersoalkan pasal 34 dan pasal 76 sementara ada  dalam undang-undang ini ada banyak sekali pasal. “Saya mau katakan bahwa di Papua ini ada konflik regulasi. Ada dua undang-undang dan ada pasal-pasal yang tidak tegas, abu-abu. Ini yang harusnya diluruskan dulu, jangan ini  belum selesai sudah pikir yang lain,” sindirnya.

“Mau bikin pemekaran 5 provinsi atau 10 provinsi ya silakan saja asal konflik regulasi ini dituntaskan dulu. Jika itu beres mau bikin pemekaran sebanyak-banyaknya silakan saja. Jangan semua belum selesai lalu memikirkan yang lain sebab dampaknya adalah tak ada proteksi perlindungan terhadap orang asli Papua. Itu akan hilang,” tegasnya. (*)

Sumber: Cepos Online

Read More

Categories Berita

RDP Otsus murni hak dan ruang Rakyat Papua (bagian 2)

 

Calon peserta RDP Otsus Papua saat dikumpulkan di aula Polres Merauke, Selasa (17/11/2020) – Jubi/Frans L Kobun.

 

Oleh: Welis Doga

Apapun ideologi orang Papua, RDP adalah ruang untuk menyampaikan pendapatnya. Dalam RDP mereka dapat mengevaluasi otsus dengan melibatkan seutuhnya rakyat Papua. Oleh sebab itu, dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, pemerintah mestinya memberikan ruang seluas-luasnya kepada rakyat Papua untuk menyampaikan pendapat/pikiran, melalui RDP yang difasilitasi oleh MRP. Apalagi kebebasan menyampaikan pendapat dijamin penuh oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Peraturan perundang-undangan yang menjamin warga negara untuk menyampaikan pendapat dimaksud adalah pasal 28 UUD 1945, yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Atau Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Lalu Pasal 9 DUHAM, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menyampaikan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas.”

Oleh sebab itu, jika kemudian pemerintah dengan berbagai alasan yang tidak logis kemudian membatasi rakyat Papua, untuk menyampaikan pandangan/pikiran/pendapat tentang berhasil atau tidaknya UU Otsus Papua, melalui RDP yang difasilitasi oleh MRP, adalah murni pelanggaran atas konstitusi NKRI.

Tangung jawab bupati/wali kota memfasilitasi rakyat berpendapat, bukan politisir RDP

Jika beberapa bupati dan wali kota di wilayah Tabi dan Saireri mengevaluasi pelaksanaan UU Otsus pada Agustus 2020 di Jayapura atau adanya penolakan pelaksanaan RDP oleh para bupati/wali kota, maka itu adalah sebuah kekeliruan besar, sebab revisi atau evaluasi terhadap keberadaan UU Otsus mutlak kewenangan MRP sesuai pasal 77 dan 78 UU Otsus.

Apalagi soal perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat misalnya. Dalam pelaksanaan UU Otsus secara jelas pula diatur dalam PP No.54/2004 sebagaimana diubah dengan PP.No.64/2008 tentang MRP dimana pada pasal 36 huruf (e), MRP memiliki wewenang “memberikan pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRD, bupati/wali kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua”.

Jika para bupati dan wali kota di wilayah adat Tabi dan Saireri mendahului evaluasi UU Otsus, maka pertanyaannya, evaluasi itu atas dasar persetujuan atau pertimbangan siapa? Usulan revisi atau evaluasi otsus dalam UU Otsus mutlak ranah MRP.

Jika evaluasi otsus oleh para bupati/wali kota di dua wilayah adat tersebut dianggap final, apakah telah mengakomodasi suara semua komponen rakyat Papua di wilayah adat Tabi dan Saireri? Berapa banyak OAP yang terlibat dan menyatakan bahwa otsus berhasil dan harus dilanjutkan atau berapa banyak OAP di dua wilayah adat itu yang menyatakan otsus gagal dan menolak kelanjutannya?

Dalam evaluasi yang keterlibatannya terkesan hanya kelompok elite itu, menyebabkan tidak jelas sikap OAP di dua wilayah adat tersebut. Ini tentu karena tidak adanya niat para bupati/wali kota di dua wilayah adat itu untuk melibatkan OAP dari berbagai komponen, yang seharusnya menjadi subjek dari evaluasi otsus.

Hasil evaluasi dan rekomendasi para bupati/wali kota wilayah adat Tabi dan Saireri itu justru terkesan hanya versi para elite, para bupati dan wali kota. Dengan demikian, pola-pola ini mencederai kebebasan rakyat berpendapat.

Pengambilalihan kewenangan seperti ini, sebenarnya membuktikan bahwa pelaksanaan otsus selama hampir 20 tahun tidak berjalan maksimal, dalam hal kepentingan OAP. Ini juga membuktikan kurangnya pemahaman atas isi UU Otsus ataupun PP No.64/2008 tentang perubahan atas PP No.54/2004 tentang MRP.

Sikap para bupati atau wali kota di dua wilayah adat yang menolak RDP ini, juga membuktikan bahwa pemerintah gagal menyiapkan SDM orang Papua, sehingga OAP di lima wilayah adat ini terkesan terbelah, dan karena itu dianggap tidak penting untuk dilibatkan dalam mengemukakan pendapat pada evaluasi otsus.

Para bupati/wali kota yang terus mempolitisir RDP menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah ini karena seorang kepala daerah yang tidak paham tentang isi UU Otsus ataupun PP No.64/2008 tentang perubahan atas PP No.54/2004 tentang MRP ataukah karena memang gagal mengelola 80% alokasi triliunan anggaran otsus yang selama ini diterima oleh kabupaten/kota? Ataukah karena mereka dapat ditekan oleh pemerintah pusat?

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas bisa jadi alasannya walaupun kita tidak dapat membuktikannya. Jika karena alasan-alasan seperti dalam pertanyaan di atas, maka ini adalah kekeliruan besar. Ini juga dapat disebut bahwa para bupati/wali kota sebagai dalang utama pembungkam ruang demokrasi rakyat Papua. Ini juga adalah kegagalan pemerintah mendidik OAP tentang kebebasan rakyat untuk berpendapat. Itu merupakan perlawanan seorang kepala daerah terhadap perintah undang-undang negara, sebab RDP adalah amanat UU negara.

Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota mestinya paham baik amanat UU Otsus itu sendiri, sehingga tidak salah tafsir di kalangan masyarakat. Kelalaian pemerintah kabupaten yang tidak pernah transparan soal anggaran otsus maupun regulasinya dalam pengelolaan keuangan otsus, tentu saja dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda di kalangan masyarakat—subjek utama kehadiran otsus.

Di sisi lain, evaluasi yang dilakukan para kepala daerah di kabupaten/kota mestinya terbuka/transparan, sedetail mungkin, sehingga masyarakat penerima manfaat juga puas, apa yang berhasil dan tidak selama hampir 20 tahun otsus di Papua.

Usulan atau pikiran masyarakat tentang penting atau tidaknya keberlanjutan otsus di Tanah Papua memang harus benar-benar datang dari nurani rakyat sebagai penerima manfaat, bukan mengumpulkan elite di daerah lalu menyimpulkannya secara tergesa-gesa.

Dalam hal evaluasi otsus di 7 wilayah adat di Tanah Papua, pemerintah kabupaten/kota mesti memfasilitasi rakyat secara menyeluruh, terbuka/transparan, dan mengakomodasi berbagai pihak, baik pro NKRI, maupun Papua merdeka, sehingga evaluasinya benar-benar tuntas, sebab RDP yang didorong MRP adalah ruang rakyat untuk berpendapat. Kepala daerah mesti berperan aktif dalam hal ini, bukan mengeluarkan pernyataan kontra produktif, apalagi mendahului kewenangan MRP.

Jika ada kepala-kepala daerah yang mendahului evaluasi MRP, maka timbul pertanyaan, apakah karena pemerintah daerah takut disoroti rakyat karena pengelolaan keuangan otsus yang tidak tepat sasaran? Ini harus jelas. Apalagi anggaran RDP tidak dibebankan kepada APBD kabupaten. Semua akomodasi RDP justru dibiayai oleh APBD provinsi melalui MRP. Para kepala daerah seperti menghindari aspirasi masyarakat, padahal kepala daerah di kabupaten/kota merupakan pilihan rakyat yang juga pengelola 80% dana otsus selama ini.

Jika selama ini yang dikerjakan para bupati dan wali kota benar-benar demi kepentingan rakyat Papua, maka pemerintah daerah harus membuka diri, buka ruang bersama MRP, lalu menyediakan waktu kepada rakyat Papua, untuk mengemukakan keluh kesa rakyat akar rumput, sehingga semua pikiran rakyat benar-benar terakomodasi, untuk kemudian menjadi indikator dalam pengambilan kebijakan ke depannya dalam membangun tanah dan manusia Papua.

Pengadangan dan penolakan terhadap RDP merupakan pelanggaran hukum

Jika ada sebuah pertanyaan, apa dasar hukum bagi pihak-pihak yang akhir-akhir ini terus memaksakan kehendak dengan menolak RDP yang didorong oleh MRP? Maka jawabannya adalah nihil. Artinya bahwa penolakan atas pelaksanaan RDP sama sekali tidak memiliki dasar hukum.

Apa yang dilakukan MRP dengan RDP berdasarkan perintah peraturan perundang-undangan NKRI. Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah lembaga representatif rakyat Papua yang keberadaannya atas dasar UU Otsus maupun PP No.64 tentang perubahan atas PP No.54/2004 tentang MRP, dan itu merupakan instrumen hukum produk NKRI.

Jika ada pihak-pihak yang berupaya menggagalkan RDP, apalagi pengadangan seperti di Wamena, penangkapan oleh Polres Merauke hingga pernyataan penolakan oleh beberapa bupati dan wali kota, merupakan perlawanan terhadap amanat undang-undang negara. Bupati apalagi aparat kepolisian sudah dengan sadar telah melawan undang-undang, padahal MRP sedang melaksanakan perintah UU negara. Dalam konteks hukum, pihak-pihak tersebut seharusnya diberikan sanksi hukum yang tegas.

Pembiaran demontrasi oleh Polri di area objek vital tentunya telah melanggar UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perpres Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI No. 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional, dan Perkap Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah, serta Perkap Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Sektor, Surat Keputusan Kapolri No.Pol : Skep/551/VIII/2003, Tanggal 12 Agustus 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Pengamanan Obyek Khusus. Surat Keputusan kapolri No.Pol : Skep/738/X/2005, Tanggal 13 Oktober 2005 tentang Sistem Pengamanan Obyek Vital Nasional, Direktif Kapolri No.Pol. : R/Dir/680/IX/2004 tentang Pengamanan Obyek Vital. Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE.15 Tahun 2017 Tentang Larangan Penyampaian Pendapat Di Muka Umum Pada Obyek-Obyek Vital Transportasi Nasional.

Aparat keamanan juga tidak melaksanakan tupoksinya dalam menjaga pejabat negara dalam menjalankan perjalanan kedinasan sebagaimana diatur dalam UU No.5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dengan demikian pengadangan terhadap MRP di Wamena dan Merauke juga merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.

Penghadangan dan pembatalan RDP merugikan keuangan negara

MRP mengagendakan RDP jauh-jauh hari sebelumnya, sehingga sudah dipersiapkan, mulai dari materi RDP, akomodasi, dan lain sebagainya, yang dapat mendukung kesuksesan RDP itu. Persiapan RDP tentu menghabiskan anggaran negara yang cukup besar, tetapi jika dibatalkan hanya karena alasan tidak logis, apakah MRP tidak mengalami kerugian? Pembatalan RDP tentu mengalami kerugian material yang cukup besar, apalagi keuangan negara. Bersambung. (*)

Penulis adalah masyarakat pegunungan tengah Papua

Read More
Categories Berita

MRP dan MRPB sepakat tarik kembali draf revisi UU Otsus

Ketua MRP, Timotius Murib, dan Ketua MRPB, Maxi Ahoren, saat menunjukkan nota kesepakatan kerja sama kunjungan kerja dalam rangka rapat koordinasi menjelang pelaksanaan rapat dengar pendapat tentang pelaksanaan Otonomi Khusus Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Salah satu agenda bersama Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) selama di Jakarta adalah meminta kembali draf revisi UU Otonomi Khusus bagi Tanah Papua untuk dibahas bersama orang asli Papua. Hal itu disepakati dan ditetapkan dalam agenda kerja sama yang ditandatangani ketua kedua lembaga di Jakarta pada 1 September 2020.

Dua agenda dua lembaga ini sudah disepakti yakni bertemu dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pertemuan dengan pihak Kemendagri telah dilaksanakan Selasa (1/9/2020).

“Hari ini, 1 September 2020, delegasi MRP dan MRPB yang dipimpin langsung oleh Ketua MRP dan Ketua MRPB berkunjung dan bertemu dengan Direktur Penataan Daerah Otonomi Khusus dan DPOD, Drs. Maddaremmeng, M.Si, di Kantor Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, Jakarta,” ungkap Ketua MRP, Timotius Murib, melalui rilis pers yang diterima Jubi, Selasa (1/8/2020) malam.

Kata dia, kegiatan ini merupakan bagian dari rapat koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia untuk menyampaikan rencana rapat dengar pendapat (RDP) dari MRP dan MRPB bersama orang asli Papua mengenai efektivitas pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Kata dia, pada kesempatan itu kedua lembaga ini menyerahkan hasil keputusan Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB pada tanggal 28 Februari 2020 di Sentani, Jayapura. Salah satu keputusan dari Pleno Luar Biasa itu adalah MRP dan MRPB meminta kembali draf Undang-Undang Otsus Plus yang telah diserahkan ke Kemendagri.

“Pada dasarnya kami menyampaikan kepada Kementrian Dalam Negeri tentang rencana RDP dan meminta kembali draf Undang-Undang Otsus Plus. Kementrian Dalam Negeri sangat mendukung rencana pelaksanaan RDP dari MRP dan MRPB,” ungkap Ketua MRPB, Maxi Ahoren, setelah pertemuan di Kantor Kementrian Dalam Negeri RI.

Ketua MRP, Timotius Murib, menambahkan, “Sebelum merevisi kebijakannya mengenai Otonomi Khusus di Tanah Papua, pemerintah Pusat dan DPR RI harus mendengarkan suara orang asli Papua, khususnya solusi yang ditawarkan oleh orang asli Papua untuk masa depannya.”

Selain dengan Kementrian Dalam Negeri RI, MRP dan MRPB mengagendakan pertemuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 3 September 2020. Mereka juga akan meminta untuk mengambil kembali draf revisi UU Otonomi Khusus Papua yang telah masuk dalam Prolegnas 2020 DPR RI.

“Upaya MRP dan MRPB untuk meminta kembali draf revisi UU Otonomi Khusus Papua itu adalah bagian dari konsistensi MRP dan MRPB dalam melaksanakan perintah pasal 77 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,” tegas Timotius Murib. (*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

MRP Evaluasi Dana Otsus, 11 Pimpinan Keagamaan Kembalikan Pada Umatnya

MRP Evaluasi Dana Otsus, 11 Pimpinan Keagamaan Kembalikan Pada Umatnya – Dok Pribadi

JAYAPURA, MRP – Kabar berakhirnya alokasi dana Otonomi Khusus Papua yang akhir-akhir ini gencar diberitakan media massa dan mendapat tanggapan dari berbagai Pihak baik di tanah Papua maupun diluar Papua, membuat banyak pihak turut berfikir atas kebijakan khusus pemerintah pusat untuk memproteksi Orang Asli Papua dalam bentuk undang-undang 21 Tahun 2001 tentang dampaknya selama 20an Tahun berjalan.

Terkait permasalahan Otonomi Khusus inilah maka Senin (20/7/2020), Pokja Agama Majelis Rakyat Papua melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama pimpinan Sinode dan PW,NU di Tanah Papua mendengar pendapat dan pandangan serta presentasi pimpinan Gereja (Sinode),PW,NU Tentang dampak Kebijakan Otsus di Tanah Papua.

Rapat tersebut dilaksanakan di kantor MRP di Pimpin Langsung Timotius Murib selaku Ketua Majelis Rakyat Papua dan di Hadiri oleh 11 Perwakilan Sinode Gereja, Keuskupan dan PW serta NU di Papua.

Untuk itu dari hasil Rapat dalam Mendengarkan Pendapat serta Presentasi dari berbagai Perwakilan Sinode, Ketua MRP Timotius Murib mengatakan bahwa ada hasil Positif yang di dapatkan dari Dampak Berlakunya Undang undang Otsus Papua, khususnya lembaga Keagamaan. Dimana menurut mereka sangat terasa Dana Otsus Provinsi 10% yang di peruntukan bagi lembaga Keagamaan saat Kepemimpinan Gubernur Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Klemen Tinal Dua Periode pimpin Bumi Cendrawasih,”Ucap Ketua MRP saat di Tanya Usai Rapat di Ruang Kerjanya.

“Dari Sebelas pimpinan keagamaan yang hadir, mereka semua mengaku bahwa telah menerima Dana Otsus tersebut sesuai dengan jumlah Umat yang diperuntukkan bagi kebutuhan umat dimasing-masing Organisasi Sinode,” jelas murib.

Didalam Rapat tersebut juga Majelis Rakyat Papua (MRP) membagikan Kuesioner yang harus di Jawab oleh Para Hamba-hamba Tuhan, Pendeta dan Pastor serta Haji yang mewakili Organisasi mereka. Di mana Soal dari kuesioner sebagai berikut, Bagaimana jika Otonomi Khusus Papua tidak di Jalankan lagi atau tidak di perpanjang, Apa sikap lembaga keagamaan?

Kesebelas Sinode PW dan NU dengan Jawaban yang sama, mengatakan bahwa tidak dipersoalkan ada atau tidaknya Otonomi Khusus karena Sebelum ada Pemerintah Gereja sudah terlebih dulu ada di Papua untuk membangun Umat tanpa dana Otsus Karena Gereja berkeyakinan besar bahwa Tuhanlah yang dapat menolong Umat dari berbagai Persoalan di muka bumi ini ini adalah Prinsip berjemaat.

“Terkait dengan Evaluasi Otonomi Khusus Jilid II, Seluruh Pimpinan Sinode, PW dan NU Merekomendasikan bahwa Evaluasi Otsus di Kembalikan kepada Umatnya masing masing, Hasil dari Umatlah yang akan di Sampaikan kepada MRP sebagai Perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat ini merupakan amanat Undang-undang,” jelas Timotius Murib.

Hadir dalam pertemuan bersama MRP Papua, ketua sinode dan wakil ketua sinode GKI di Tanah Papua, Pdt. Andrikus. Mofu dan Pdt. Hiskia Rollo. Presiden Gidi Pdt. Dorman Wandikbo, kemudian Sinode Kingmi Pdt. Beny Giay. Pdt. Robert Horik mewakili Majelis Daerah GPdI, Evangelis Hendrik Tanem Sinode Gereja Bethel (Gereja Pantekosta) GBGP, perwakilan Sinode Gereja Pantekosta di Tanah Papua (GPDP), Ustad. Toni. Wanggai mewakili Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Papua, Perwakilan Keuskupan serta hamba Tuhan lainnya. (*)

 

Sumber: beritapapua.co

 

Read More
Categories Berita

MRP: Demo itu upaya terakhir, sampaikan evaluasi Otsus dengan santun dan berbasis data

Ketua MRP Timotius Murib bersama ketua DPR Papua Johny Banua Rouw – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP mengajak seluruh komponen rakyat Papua bekerjasama mengevaluasi implementasi otonomi khusus Papua dengan cara menggalang dukungan semua pihak untuk melakukan evaluasi.

“Kalau tidak berhasil katakan tidak, kalau berhasil, katakan berhasil, kita sampaikan secara satun, secara ilmiah dan terakhir harus ada data,” ungkap ketua MRP, Timotius Murib kepada redaksi Jubi, Jumat (24/07/2020) di Jayapura.

Kata dia, apa pun hasil evaluasinya, harus diperkuat dengan bukti-bukti yang membuktikan pernyataan dan sikap atas evaluasi.

Jika pun gagal, harus dibeberkan sejumlah fakta kegagalan itu, dan jika berhasil juga harus disertai buktinya.

“Kami tolak atau terima buktinya ada ini. Seketika kita bicara otonomi khusus gagal, mana buktinya, mana data kita, gagalnya seperti apa? Harus kita tunjukan?”ungkapnya.

Kata dia, MRP sudah membentuk empat tim besar yang melibatkan akademisi. Empat tim terdiri dari empat prioritas perhatian pembangunan otonomi khusus Papua. Mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan hingga infrastruktur.

MRP juga tidak akan mengabaikan pelanggaran HAM 20 tahun terakhir. Apakah ada pelanggaran HAM 20 tahun otonomi khusus berlaku? Berapa banyak orang Papua yang meninggal karena sakit penyakit dan kekerasan? Kalau ada kekerasan, mengapa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tidak pernah dibentuk sesuai amanat otonomi khsus Papua?

“Kami juga akan sisir pasal per pasal. Pasal pertama hingga pasal terakhir, apakah ini sudah ada perdasi, perdasus, atau tidak? Atau ada kebijakan pemerintah daerah tidak?” katanya.

Dia melanjutkan, dalam proses itu, pihaknya membagikan kuesioner untuk mengukur plus dan minusnya.

“Kita evaluasi. Kita bagikan kuesioner.Kegagalan plus minus akan terukur dengan baik, sampaikan dengan santun, jangan dengan cara demo-demo. Demo itu upaya yang paling terakhir,”ungkapnya.

Kata dia, langkah evaluasi seperti ini sangat tepat karena itu membuka mata semua pihak, untuk melihat, mendengar dan meyampaikan apa yang harus disampaikan atas implementasi otsus Papua.

“Hari ini kita orang asli Papua harus menyampaikan dengan gagasan-gagasan dalam narasi yang sopan, melakukan kajian-kajian ilmiah supaya ada semua pihak memberikan pendapat demi kehidupan masa depan orang asli Papua yang terbaik,”ungkapnya.

Ia mengatakan, pendapat dan rumusan terbaik atas evaluasi semua pihak itulah yang harus disampaikan kepada Jakarta.

Jhony Banua Rouw, Ketua DPRP mengatakan, pihaknya bersama MRP telah bersepakat untuk bekerjasama untuk mengevaluasi otonomi khusus Papua.

Pihaknya sadar, jika DPR Papua, MRP dan Gubernur Papua datang dari rakyat sehingga harus bekerjasama menyampaikan aspirasi rakyat.

“Kita samakan perseepsi karena ada usulan untuk merevisi UU otsus. Kita bekerjasama karena sadar, rakyat yang memilih DPRP, rakyat sama memilih MRP dan gubernur Papua,”ungkapnya.

Karena itu, ia mengajak untuk menyatukan persepsi, agar ketiga lembaga ini tidak terpisah dalam menyampaikan aspirasi rakyat.

“Kita sudah sepakat, kita bekerja sama bersama-sama. Ini baru langkah awal, kita belum tentukan sikap,” ungkapnya kepada wartawan usai pertemuan dengan MRP pada 24 Juli 2020 di Swiss Bel Hotel, Kota Jayapura, Papua. (*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

Jakarta rapat Otsus, MRP ingin evaluasi UU Otsus patuhi Pasal 77

Presiden Joko Widodo saat memimpin Rapat Terbatas yang membahas evaluasi Dana Otonomi Khusus Papua di Jakarta pada 11 Maret 2020. – Screencap Youtube Sekretariat Presiden

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP menyatakan setiap rencana perubahan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua atau UU Otsus Papua harus mengacu Pasal 77 UU Otsus Papua. Pernyataan itu disampaikan sebagai tanggapan MRP atas Rapat Terbatas Dana Otonomi Khusus Papua yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada 11 Maret 2020 lalu.

Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan Rapat Terbatas Presiden Joko Widodo yang membahas Dana Otsus Papua itu sah dan sesuai mekanisme negara. Ia mengatakan pemerintah di Jakarta boleh merencanakan evauasi dengan caranya sendiri.

Akan tetapi, Murib meminta setiap evaluasi pelaksanaan UU Otsus Papua harus didasarkan kepada ketentuan Pasal 77 UU Otsus Papua. Ia mengingatkan hanya rakyat Papua yang memiliki hak untuk mengevaluasi Otsus Papua, karena Otsus itu diberlakukan sebagai jawaban atas tuntutan rakyat Papua untuk merdeka dari Indonesia.

“MRP tahu pemerintah punya kepentingan pembangunan di Papua. Akan tetapi, kami mau [evaluasi Otsus Papua] sesuai dengan Pasal 77 UU Otsus Papua. Kalau mau melakukan perbaikan, [hal itu] benar-benar terinspirasi dari aspirasi rakyat Papua,” kata Murib kepada Jubi, Selasa (17/03/2020).

Pasal 77 UU Otsus Papua mengatur tata cara untuk melakukan perubahan atas UU itu. Pasal itu menyatakan “Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Wakil Ketua I MRP, Jimmy Mabel mengatakan MRP utusan rakyat Papua. Mereka tidak otomatis bicara atau berjuang atas nama rakyat asli Papua, tetapi hanya mediator bagi rakyat Papua.

Mabel menegaskan rakyat Papua yang punya suara untuk menilai pelaksanaan Otsus Papua.  “Kalau bicara aspirasi, rakyat sudah lama mengatakan Otsus [Papua] itu sudah gagal. [Otsus Papua] tidak berhasil, menjadi peti mayat,” kata Mabel merujuk kepada aspirasa rakyat Papua yang menolak Otsus Papua pada 2012 silam.

Meskipun demikian, Mabel menyatakan pemerintah masih punya kepentingan sepihak demi pembangunan Papua. Karena itu, dia berharap Jakarta kembali kepada mekanisme perubahan UU Otsus Papua yang diatur sendiri oleh UU itu, agar Jakarta tidak terkesan memaksakan kehendaknya kepada rakyat Papua.

“Pemerintah mau perpajang itu harus sesuai UU Otsus Papua. Kembalikan [dulu evaluasi Otsus Papua] kepada rakyat. Apa maunya masyarakat? Kami mengikuti keinginan orang asli Papua,” kata Mabel.

Mabel menyatakan nantinya MRP akan meneruskan apapun pendapat rakyat kepada pemerintah pusat. Karena, anggota MRP hanyalah perwakilan masyarakat asli, dan dipiih untuk untuk meneruskan aspirasi masyarakat asli Papua.

Sebelumnya, pada 11 Maret 2020 Presiden Joko Widodo memimpin Rapat Terbatas di Jakarta, membahas evaluasi Dana Otsus Papua. Presiden Jokowi mengharapkan kucuran Dana Otsus Papua dievaluasi secara menyeluruh, dengan melibatkan masyarakat di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Menurut Jokowi, pemerintah sudah menjalurkan Dana Otsus Papua yang sangat besar. Nilai kucuran Dana Otsus Papua sejak 2002 hingga 2020 telah mencapai Rp94,24 triliun. “Angka yang sangat besar,” kata Jokowi, sebagaimana dikutip dari dokumentasi video yang diunggah akun Youtube Sekretariat Presiden.

Jokowi menyatakan pemanfaat Dana Otsus Papua itu harus dievaluasi. “Sejauh mana dampaknya yang dirasakan oleh masyarakat. Perlu dikonsultasikan dengan seluruh komponen rakyat Papua dan Papua Barat,” kata Jokowi.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

Read More
Categories Berita

PP 64 tahun 2008 hambat kinerja MRP dan MRPB

Jayapura, Jubi – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib mengatakan, pihaknya bersama Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) telah membentuk panitia khusus (pansus), memperjuangkan perubahan regulasi yang mengatur lembaga kultur itu.

Ia mengatakan, sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 64 tahun 2008 tentang MRP, ada pasal terkait hak legislasi dan budgeting dalam aturan itu yang dinilai janggal dan tidak mendukung kinerja lembaga yang lahir dari Undang-Undang (UU) 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua itu.

Katanya, dalam PP itu MRP dan MRPB tidak memiliki hak legislasi dan budgeting, sehingga dalam pelaksanaan program kedua lembaga ini mendapat dana terbatas.

“Kami seperti instansi lain yang harus meminta-minta kepada panitia anggaran eksekutif dan banggar DPR Papua,” kata Murib, Selasa (10/4/2018).

Menurutnya, minimnya anggaran membuat pihaknya lemah dalam melaksanakan tugas sesuai mandat UU 21. Untuk itulah MRP dan MRPB memperjuangkan aturan yang mengatur lembaga tersebut agar pihaknya leluasa melakukan proteksi dan pelayanan kepada orang asli Papua (OAP) sesuai amanat Otsus.

“Kalau tidak, cita-cita luhur dalam UU 21 tidak terwujud. MRP hanya seperti singa yang tidak bertaring. Hanya menjadi lembaga stempel yang menstempel keputusan lembaga lain misalnya DPR Papua dan Pemprov Papua,” ucapnya.

Lantaran tidak memiliki hak legislasi lanjut Murib, MRP hanya berkewenangan memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap usulan kebijakan yang diajukan pihak ekskutif dan legislatif, termasuk dalam pembuatan rancangan peraturan daerah khusus (raperdasus).

MRP tidak memiliki hak mutlak mengubah isi atau pasal dalam rancangan peraturan yang diajukan eksekutif dan legislatif.

“Kalau pun kami memberi pertimbangan untuk pasal tertentu atau hal tertentu, tidak diakomodir. Makanya hak legislasi MRP penting untuk memperkuat regulasi ke depan,” ujarnya. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More