RDP Otsus murni hak dan ruang Rakyat Papua (bagian 2)
Oleh: Welis Doga
Apapun ideologi orang Papua, RDP adalah ruang untuk menyampaikan pendapatnya. Dalam RDP mereka dapat mengevaluasi otsus dengan melibatkan seutuhnya rakyat Papua. Oleh sebab itu, dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, pemerintah mestinya memberikan ruang seluas-luasnya kepada rakyat Papua untuk menyampaikan pendapat/pikiran, melalui RDP yang difasilitasi oleh MRP. Apalagi kebebasan menyampaikan pendapat dijamin penuh oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Peraturan perundang-undangan yang menjamin warga negara untuk menyampaikan pendapat dimaksud adalah pasal 28 UUD 1945, yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Atau Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Lalu Pasal 9 DUHAM, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menyampaikan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas.”
Oleh sebab itu, jika kemudian pemerintah dengan berbagai alasan yang tidak logis kemudian membatasi rakyat Papua, untuk menyampaikan pandangan/pikiran/pendapat tentang berhasil atau tidaknya UU Otsus Papua, melalui RDP yang difasilitasi oleh MRP, adalah murni pelanggaran atas konstitusi NKRI.
Tangung jawab bupati/wali kota memfasilitasi rakyat berpendapat, bukan politisir RDP
Jika beberapa bupati dan wali kota di wilayah Tabi dan Saireri mengevaluasi pelaksanaan UU Otsus pada Agustus 2020 di Jayapura atau adanya penolakan pelaksanaan RDP oleh para bupati/wali kota, maka itu adalah sebuah kekeliruan besar, sebab revisi atau evaluasi terhadap keberadaan UU Otsus mutlak kewenangan MRP sesuai pasal 77 dan 78 UU Otsus.
Apalagi soal perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat misalnya. Dalam pelaksanaan UU Otsus secara jelas pula diatur dalam PP No.54/2004 sebagaimana diubah dengan PP.No.64/2008 tentang MRP dimana pada pasal 36 huruf (e), MRP memiliki wewenang “memberikan pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRD, bupati/wali kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua”.
Jika para bupati dan wali kota di wilayah adat Tabi dan Saireri mendahului evaluasi UU Otsus, maka pertanyaannya, evaluasi itu atas dasar persetujuan atau pertimbangan siapa? Usulan revisi atau evaluasi otsus dalam UU Otsus mutlak ranah MRP.
Jika evaluasi otsus oleh para bupati/wali kota di dua wilayah adat tersebut dianggap final, apakah telah mengakomodasi suara semua komponen rakyat Papua di wilayah adat Tabi dan Saireri? Berapa banyak OAP yang terlibat dan menyatakan bahwa otsus berhasil dan harus dilanjutkan atau berapa banyak OAP di dua wilayah adat itu yang menyatakan otsus gagal dan menolak kelanjutannya?
Dalam evaluasi yang keterlibatannya terkesan hanya kelompok elite itu, menyebabkan tidak jelas sikap OAP di dua wilayah adat tersebut. Ini tentu karena tidak adanya niat para bupati/wali kota di dua wilayah adat itu untuk melibatkan OAP dari berbagai komponen, yang seharusnya menjadi subjek dari evaluasi otsus.
Hasil evaluasi dan rekomendasi para bupati/wali kota wilayah adat Tabi dan Saireri itu justru terkesan hanya versi para elite, para bupati dan wali kota. Dengan demikian, pola-pola ini mencederai kebebasan rakyat berpendapat.
Pengambilalihan kewenangan seperti ini, sebenarnya membuktikan bahwa pelaksanaan otsus selama hampir 20 tahun tidak berjalan maksimal, dalam hal kepentingan OAP. Ini juga membuktikan kurangnya pemahaman atas isi UU Otsus ataupun PP No.64/2008 tentang perubahan atas PP No.54/2004 tentang MRP.
Sikap para bupati atau wali kota di dua wilayah adat yang menolak RDP ini, juga membuktikan bahwa pemerintah gagal menyiapkan SDM orang Papua, sehingga OAP di lima wilayah adat ini terkesan terbelah, dan karena itu dianggap tidak penting untuk dilibatkan dalam mengemukakan pendapat pada evaluasi otsus.
Para bupati/wali kota yang terus mempolitisir RDP menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah ini karena seorang kepala daerah yang tidak paham tentang isi UU Otsus ataupun PP No.64/2008 tentang perubahan atas PP No.54/2004 tentang MRP ataukah karena memang gagal mengelola 80% alokasi triliunan anggaran otsus yang selama ini diterima oleh kabupaten/kota? Ataukah karena mereka dapat ditekan oleh pemerintah pusat?
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas bisa jadi alasannya walaupun kita tidak dapat membuktikannya. Jika karena alasan-alasan seperti dalam pertanyaan di atas, maka ini adalah kekeliruan besar. Ini juga dapat disebut bahwa para bupati/wali kota sebagai dalang utama pembungkam ruang demokrasi rakyat Papua. Ini juga adalah kegagalan pemerintah mendidik OAP tentang kebebasan rakyat untuk berpendapat. Itu merupakan perlawanan seorang kepala daerah terhadap perintah undang-undang negara, sebab RDP adalah amanat UU negara.
Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota mestinya paham baik amanat UU Otsus itu sendiri, sehingga tidak salah tafsir di kalangan masyarakat. Kelalaian pemerintah kabupaten yang tidak pernah transparan soal anggaran otsus maupun regulasinya dalam pengelolaan keuangan otsus, tentu saja dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda di kalangan masyarakat—subjek utama kehadiran otsus.
Di sisi lain, evaluasi yang dilakukan para kepala daerah di kabupaten/kota mestinya terbuka/transparan, sedetail mungkin, sehingga masyarakat penerima manfaat juga puas, apa yang berhasil dan tidak selama hampir 20 tahun otsus di Papua.
Usulan atau pikiran masyarakat tentang penting atau tidaknya keberlanjutan otsus di Tanah Papua memang harus benar-benar datang dari nurani rakyat sebagai penerima manfaat, bukan mengumpulkan elite di daerah lalu menyimpulkannya secara tergesa-gesa.
Dalam hal evaluasi otsus di 7 wilayah adat di Tanah Papua, pemerintah kabupaten/kota mesti memfasilitasi rakyat secara menyeluruh, terbuka/transparan, dan mengakomodasi berbagai pihak, baik pro NKRI, maupun Papua merdeka, sehingga evaluasinya benar-benar tuntas, sebab RDP yang didorong MRP adalah ruang rakyat untuk berpendapat. Kepala daerah mesti berperan aktif dalam hal ini, bukan mengeluarkan pernyataan kontra produktif, apalagi mendahului kewenangan MRP.
Jika ada kepala-kepala daerah yang mendahului evaluasi MRP, maka timbul pertanyaan, apakah karena pemerintah daerah takut disoroti rakyat karena pengelolaan keuangan otsus yang tidak tepat sasaran? Ini harus jelas. Apalagi anggaran RDP tidak dibebankan kepada APBD kabupaten. Semua akomodasi RDP justru dibiayai oleh APBD provinsi melalui MRP. Para kepala daerah seperti menghindari aspirasi masyarakat, padahal kepala daerah di kabupaten/kota merupakan pilihan rakyat yang juga pengelola 80% dana otsus selama ini.
Jika selama ini yang dikerjakan para bupati dan wali kota benar-benar demi kepentingan rakyat Papua, maka pemerintah daerah harus membuka diri, buka ruang bersama MRP, lalu menyediakan waktu kepada rakyat Papua, untuk mengemukakan keluh kesa rakyat akar rumput, sehingga semua pikiran rakyat benar-benar terakomodasi, untuk kemudian menjadi indikator dalam pengambilan kebijakan ke depannya dalam membangun tanah dan manusia Papua.
Pengadangan dan penolakan terhadap RDP merupakan pelanggaran hukum
Jika ada sebuah pertanyaan, apa dasar hukum bagi pihak-pihak yang akhir-akhir ini terus memaksakan kehendak dengan menolak RDP yang didorong oleh MRP? Maka jawabannya adalah nihil. Artinya bahwa penolakan atas pelaksanaan RDP sama sekali tidak memiliki dasar hukum.
Apa yang dilakukan MRP dengan RDP berdasarkan perintah peraturan perundang-undangan NKRI. Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah lembaga representatif rakyat Papua yang keberadaannya atas dasar UU Otsus maupun PP No.64 tentang perubahan atas PP No.54/2004 tentang MRP, dan itu merupakan instrumen hukum produk NKRI.
Jika ada pihak-pihak yang berupaya menggagalkan RDP, apalagi pengadangan seperti di Wamena, penangkapan oleh Polres Merauke hingga pernyataan penolakan oleh beberapa bupati dan wali kota, merupakan perlawanan terhadap amanat undang-undang negara. Bupati apalagi aparat kepolisian sudah dengan sadar telah melawan undang-undang, padahal MRP sedang melaksanakan perintah UU negara. Dalam konteks hukum, pihak-pihak tersebut seharusnya diberikan sanksi hukum yang tegas.
Pembiaran demontrasi oleh Polri di area objek vital tentunya telah melanggar UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perpres Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI No. 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional, dan Perkap Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah, serta Perkap Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Sektor, Surat Keputusan Kapolri No.Pol : Skep/551/VIII/2003, Tanggal 12 Agustus 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Pengamanan Obyek Khusus. Surat Keputusan kapolri No.Pol : Skep/738/X/2005, Tanggal 13 Oktober 2005 tentang Sistem Pengamanan Obyek Vital Nasional, Direktif Kapolri No.Pol. : R/Dir/680/IX/2004 tentang Pengamanan Obyek Vital. Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE.15 Tahun 2017 Tentang Larangan Penyampaian Pendapat Di Muka Umum Pada Obyek-Obyek Vital Transportasi Nasional.
Aparat keamanan juga tidak melaksanakan tupoksinya dalam menjaga pejabat negara dalam menjalankan perjalanan kedinasan sebagaimana diatur dalam UU No.5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dengan demikian pengadangan terhadap MRP di Wamena dan Merauke juga merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.
Penghadangan dan pembatalan RDP merugikan keuangan negara
MRP mengagendakan RDP jauh-jauh hari sebelumnya, sehingga sudah dipersiapkan, mulai dari materi RDP, akomodasi, dan lain sebagainya, yang dapat mendukung kesuksesan RDP itu. Persiapan RDP tentu menghabiskan anggaran negara yang cukup besar, tetapi jika dibatalkan hanya karena alasan tidak logis, apakah MRP tidak mengalami kerugian? Pembatalan RDP tentu mengalami kerugian material yang cukup besar, apalagi keuangan negara. Bersambung. (*)
Penulis adalah masyarakat pegunungan tengah Papua