Categories Berita

MRP Pesimis Dengan Sikap Pemerintah Pusat

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) maupun DPRP baru saja merampungkan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang menjadi langkah awal untuk melakukan evaluasi Undang-undang Otonomi Khsusus  yang sudah berjalan 20 tahun. Oktober 2021 nanti aturan yang tersirat berisi lex specialis ini akan genap 20 tahun. Hanya sayangnya Otsus tak benar – benar spesial karena masih digantung dengan keberadaan undang – undang pemerintahan daerah nomor 23 tahun 2014 yang terkesan lebih dominan.

Dari kondisi ini, Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib menyampaikan sikap pesimisnya jika pemerintah pusat akan mendengarkan seluruh aspirasi dari Papua. “Sesuai dengan pengalaman saya, pemerintah pusat selama ini sulit memberikan kepeduliannya dengan apa yang diperjuangkan di daerah. Misalnya dulu kami pernah memperjuangkan Otsus Plus tapi tidak diakomodir.

Lalu kedua soal perubahan peraturan pemerintah tentang Majelis Rakyat Papua. Ini kata Timotius sudah 22 kali dibawa ke Jakarta selama 20 tahun  namun tak kunjung digubris. Peraturan pemerintah tentang MRP ini bahkan dianggap sebagai peraturan pemerintah yang terlama yang pernah ada di Indonesia. “Bayangkan kami harus menunggu 20 tahun untuk satu PP,” sindirnya. Jadi dari pengalaman  – pengalaman selama ini menunjukkan jika pemerintah pusat memang tidak pernah mau lebih peduli dengan apa yang dilakukan oleh lembaga – lembaga di Papua.

“Apalagi Mendagri kemarin berhadapan dengan DPR RI lalu menyampaikan DPR atau MRP itu forum aspirasi, ini kesannya seperti menyederhanakan masalah sehingga saya pikir memang pemerintah tidak akan peduli apalagi saat ini ancaman global masyarakat ekonomi Asia yang cukup luar biasa dan Indonesia juga mulai bingung,” tambahnya. Papua ingin dipakai menjadi sentra ekonomi kawasan timur dan aspirasi apapun tidak bisa menghalang halangi itu.

“Apa yang kami disampaikan hingga menangis air mata darah juga tidak akan dilirik, MRP mau jungkir balik juga mereka akan jalan terus termasuk jika ada yang kami anggap menyalahi kemudian diperjuangkan lewat jalur hukum juga nampaknya tidak bisa terlalu berharap. Mereka yang punya perangkat hukum jadi sangat tipis sekali kalau mereka dengar,” sindir Timotius. “Saya bingung apa yang bisa dilakukan untuk membuat pemerintah pusat lebih peduli, mungkin nanti Tuhan turun baru mereka peduli,” tutupnya.

Sumber: Cepos Online

Read More

Categories Berita

RDP Otsus murni hak dan ruang Rakyat Papua (bagian 2)

 

Calon peserta RDP Otsus Papua saat dikumpulkan di aula Polres Merauke, Selasa (17/11/2020) – Jubi/Frans L Kobun.

 

Oleh: Welis Doga

Apapun ideologi orang Papua, RDP adalah ruang untuk menyampaikan pendapatnya. Dalam RDP mereka dapat mengevaluasi otsus dengan melibatkan seutuhnya rakyat Papua. Oleh sebab itu, dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, pemerintah mestinya memberikan ruang seluas-luasnya kepada rakyat Papua untuk menyampaikan pendapat/pikiran, melalui RDP yang difasilitasi oleh MRP. Apalagi kebebasan menyampaikan pendapat dijamin penuh oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Peraturan perundang-undangan yang menjamin warga negara untuk menyampaikan pendapat dimaksud adalah pasal 28 UUD 1945, yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Atau Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Lalu Pasal 9 DUHAM, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menyampaikan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas.”

Oleh sebab itu, jika kemudian pemerintah dengan berbagai alasan yang tidak logis kemudian membatasi rakyat Papua, untuk menyampaikan pandangan/pikiran/pendapat tentang berhasil atau tidaknya UU Otsus Papua, melalui RDP yang difasilitasi oleh MRP, adalah murni pelanggaran atas konstitusi NKRI.

Tangung jawab bupati/wali kota memfasilitasi rakyat berpendapat, bukan politisir RDP

Jika beberapa bupati dan wali kota di wilayah Tabi dan Saireri mengevaluasi pelaksanaan UU Otsus pada Agustus 2020 di Jayapura atau adanya penolakan pelaksanaan RDP oleh para bupati/wali kota, maka itu adalah sebuah kekeliruan besar, sebab revisi atau evaluasi terhadap keberadaan UU Otsus mutlak kewenangan MRP sesuai pasal 77 dan 78 UU Otsus.

Apalagi soal perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat misalnya. Dalam pelaksanaan UU Otsus secara jelas pula diatur dalam PP No.54/2004 sebagaimana diubah dengan PP.No.64/2008 tentang MRP dimana pada pasal 36 huruf (e), MRP memiliki wewenang “memberikan pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRD, bupati/wali kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua”.

Jika para bupati dan wali kota di wilayah adat Tabi dan Saireri mendahului evaluasi UU Otsus, maka pertanyaannya, evaluasi itu atas dasar persetujuan atau pertimbangan siapa? Usulan revisi atau evaluasi otsus dalam UU Otsus mutlak ranah MRP.

Jika evaluasi otsus oleh para bupati/wali kota di dua wilayah adat tersebut dianggap final, apakah telah mengakomodasi suara semua komponen rakyat Papua di wilayah adat Tabi dan Saireri? Berapa banyak OAP yang terlibat dan menyatakan bahwa otsus berhasil dan harus dilanjutkan atau berapa banyak OAP di dua wilayah adat itu yang menyatakan otsus gagal dan menolak kelanjutannya?

Dalam evaluasi yang keterlibatannya terkesan hanya kelompok elite itu, menyebabkan tidak jelas sikap OAP di dua wilayah adat tersebut. Ini tentu karena tidak adanya niat para bupati/wali kota di dua wilayah adat itu untuk melibatkan OAP dari berbagai komponen, yang seharusnya menjadi subjek dari evaluasi otsus.

Hasil evaluasi dan rekomendasi para bupati/wali kota wilayah adat Tabi dan Saireri itu justru terkesan hanya versi para elite, para bupati dan wali kota. Dengan demikian, pola-pola ini mencederai kebebasan rakyat berpendapat.

Pengambilalihan kewenangan seperti ini, sebenarnya membuktikan bahwa pelaksanaan otsus selama hampir 20 tahun tidak berjalan maksimal, dalam hal kepentingan OAP. Ini juga membuktikan kurangnya pemahaman atas isi UU Otsus ataupun PP No.64/2008 tentang perubahan atas PP No.54/2004 tentang MRP.

Sikap para bupati atau wali kota di dua wilayah adat yang menolak RDP ini, juga membuktikan bahwa pemerintah gagal menyiapkan SDM orang Papua, sehingga OAP di lima wilayah adat ini terkesan terbelah, dan karena itu dianggap tidak penting untuk dilibatkan dalam mengemukakan pendapat pada evaluasi otsus.

Para bupati/wali kota yang terus mempolitisir RDP menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah ini karena seorang kepala daerah yang tidak paham tentang isi UU Otsus ataupun PP No.64/2008 tentang perubahan atas PP No.54/2004 tentang MRP ataukah karena memang gagal mengelola 80% alokasi triliunan anggaran otsus yang selama ini diterima oleh kabupaten/kota? Ataukah karena mereka dapat ditekan oleh pemerintah pusat?

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas bisa jadi alasannya walaupun kita tidak dapat membuktikannya. Jika karena alasan-alasan seperti dalam pertanyaan di atas, maka ini adalah kekeliruan besar. Ini juga dapat disebut bahwa para bupati/wali kota sebagai dalang utama pembungkam ruang demokrasi rakyat Papua. Ini juga adalah kegagalan pemerintah mendidik OAP tentang kebebasan rakyat untuk berpendapat. Itu merupakan perlawanan seorang kepala daerah terhadap perintah undang-undang negara, sebab RDP adalah amanat UU negara.

Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota mestinya paham baik amanat UU Otsus itu sendiri, sehingga tidak salah tafsir di kalangan masyarakat. Kelalaian pemerintah kabupaten yang tidak pernah transparan soal anggaran otsus maupun regulasinya dalam pengelolaan keuangan otsus, tentu saja dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda di kalangan masyarakat—subjek utama kehadiran otsus.

Di sisi lain, evaluasi yang dilakukan para kepala daerah di kabupaten/kota mestinya terbuka/transparan, sedetail mungkin, sehingga masyarakat penerima manfaat juga puas, apa yang berhasil dan tidak selama hampir 20 tahun otsus di Papua.

Usulan atau pikiran masyarakat tentang penting atau tidaknya keberlanjutan otsus di Tanah Papua memang harus benar-benar datang dari nurani rakyat sebagai penerima manfaat, bukan mengumpulkan elite di daerah lalu menyimpulkannya secara tergesa-gesa.

Dalam hal evaluasi otsus di 7 wilayah adat di Tanah Papua, pemerintah kabupaten/kota mesti memfasilitasi rakyat secara menyeluruh, terbuka/transparan, dan mengakomodasi berbagai pihak, baik pro NKRI, maupun Papua merdeka, sehingga evaluasinya benar-benar tuntas, sebab RDP yang didorong MRP adalah ruang rakyat untuk berpendapat. Kepala daerah mesti berperan aktif dalam hal ini, bukan mengeluarkan pernyataan kontra produktif, apalagi mendahului kewenangan MRP.

Jika ada kepala-kepala daerah yang mendahului evaluasi MRP, maka timbul pertanyaan, apakah karena pemerintah daerah takut disoroti rakyat karena pengelolaan keuangan otsus yang tidak tepat sasaran? Ini harus jelas. Apalagi anggaran RDP tidak dibebankan kepada APBD kabupaten. Semua akomodasi RDP justru dibiayai oleh APBD provinsi melalui MRP. Para kepala daerah seperti menghindari aspirasi masyarakat, padahal kepala daerah di kabupaten/kota merupakan pilihan rakyat yang juga pengelola 80% dana otsus selama ini.

Jika selama ini yang dikerjakan para bupati dan wali kota benar-benar demi kepentingan rakyat Papua, maka pemerintah daerah harus membuka diri, buka ruang bersama MRP, lalu menyediakan waktu kepada rakyat Papua, untuk mengemukakan keluh kesa rakyat akar rumput, sehingga semua pikiran rakyat benar-benar terakomodasi, untuk kemudian menjadi indikator dalam pengambilan kebijakan ke depannya dalam membangun tanah dan manusia Papua.

Pengadangan dan penolakan terhadap RDP merupakan pelanggaran hukum

Jika ada sebuah pertanyaan, apa dasar hukum bagi pihak-pihak yang akhir-akhir ini terus memaksakan kehendak dengan menolak RDP yang didorong oleh MRP? Maka jawabannya adalah nihil. Artinya bahwa penolakan atas pelaksanaan RDP sama sekali tidak memiliki dasar hukum.

Apa yang dilakukan MRP dengan RDP berdasarkan perintah peraturan perundang-undangan NKRI. Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah lembaga representatif rakyat Papua yang keberadaannya atas dasar UU Otsus maupun PP No.64 tentang perubahan atas PP No.54/2004 tentang MRP, dan itu merupakan instrumen hukum produk NKRI.

Jika ada pihak-pihak yang berupaya menggagalkan RDP, apalagi pengadangan seperti di Wamena, penangkapan oleh Polres Merauke hingga pernyataan penolakan oleh beberapa bupati dan wali kota, merupakan perlawanan terhadap amanat undang-undang negara. Bupati apalagi aparat kepolisian sudah dengan sadar telah melawan undang-undang, padahal MRP sedang melaksanakan perintah UU negara. Dalam konteks hukum, pihak-pihak tersebut seharusnya diberikan sanksi hukum yang tegas.

Pembiaran demontrasi oleh Polri di area objek vital tentunya telah melanggar UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perpres Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI No. 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional, dan Perkap Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah, serta Perkap Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Sektor, Surat Keputusan Kapolri No.Pol : Skep/551/VIII/2003, Tanggal 12 Agustus 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Pengamanan Obyek Khusus. Surat Keputusan kapolri No.Pol : Skep/738/X/2005, Tanggal 13 Oktober 2005 tentang Sistem Pengamanan Obyek Vital Nasional, Direktif Kapolri No.Pol. : R/Dir/680/IX/2004 tentang Pengamanan Obyek Vital. Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE.15 Tahun 2017 Tentang Larangan Penyampaian Pendapat Di Muka Umum Pada Obyek-Obyek Vital Transportasi Nasional.

Aparat keamanan juga tidak melaksanakan tupoksinya dalam menjaga pejabat negara dalam menjalankan perjalanan kedinasan sebagaimana diatur dalam UU No.5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dengan demikian pengadangan terhadap MRP di Wamena dan Merauke juga merupakan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.

Penghadangan dan pembatalan RDP merugikan keuangan negara

MRP mengagendakan RDP jauh-jauh hari sebelumnya, sehingga sudah dipersiapkan, mulai dari materi RDP, akomodasi, dan lain sebagainya, yang dapat mendukung kesuksesan RDP itu. Persiapan RDP tentu menghabiskan anggaran negara yang cukup besar, tetapi jika dibatalkan hanya karena alasan tidak logis, apakah MRP tidak mengalami kerugian? Pembatalan RDP tentu mengalami kerugian material yang cukup besar, apalagi keuangan negara. Bersambung. (*)

Penulis adalah masyarakat pegunungan tengah Papua

Read More
Categories Berita

Penangkapan Anggota Majelis Rakyat Papua Cermin Pembungkaman OAP*

Anggota MRP Papua ditangkap – Humas MRP

MERAUKE, MRP – Merespon penangkapan anggota dan staf Majelis Rakyat Papua (MRP) oleh anggota Kepolisian Resor Merauke dengan tuduhan makar, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Rapat Dengar Pendapat yang dipersiapkan oleh Majelis Rakyat Papua di Merauke merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat. Menangkap mereka secara sewenang-wenang sangatlah diskriminatif sementara kita tahu kebebasan berkumpul untuk kelompok lain justru dijamin.”

“Belum lagi, mereka dituduhkan dengan pasal makar hanya karena mengutarakan pendapat dengan damai. Ini jelas bentuk pelanggaran hak asasi manusia.”

Beberapa peserta RDP yang menunggu pemeriksaan di Aula Polres Merauke.

“Majelis Rakyat Papua merupakan perwakilan dari masyarakat Papua dan mempunyai hak untuk meminta dan mengutarakan pandangan masyarakat Papua terhadap implementasi otonomi khusus. Seharusnya pemerintah dan aparat penegak hukum menjamin dan melindungi hak tersebut, bukan melakukan tindakan represif yang semakin menggerus kebebasan berekspresi di sana.”

“Penangkapan terhadap mereka di Papua yang menggunakan haknya untuk berekspresi dan berkumpul, seperti kawan-kawan MPR ini, akan sulit untuk dihentikan selama pasal makar di KUHP masih diterapkan di luar ketentuan yang diizinkan dalam hukum hak asasi manusia internasional.”

Latar belakang

Pada 17 November 2020, 55 orang, termasuk dua anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), ditangkap oleh anggota Polres Merauke dan dituduh melanggar Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang makar.

Ke-55 orang tersebut berada di Merauke untuk menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait implementasi otonomi khusus di Papua. RDP tersebut tadinya direncanakan untuk diadakan pada tanggal 17-18 November namun dihentikan karena adanya penolakan dari Kapolres Merauke.

Tenaga ahli MRP, Wensislaus Fatubun, mengatakan kepada Amnesty International Indonesia bahwa dia, koordinator tim RDP, dua anggota MRP, dan seorang staf MRP lainnya ditahan dan diperiksa di Polres Merauke sebelum akhirnya dibebaskan pada 18 November.

Wensislaus mengatakan bahwa barang-barang tim RDP MRP, termasuk uang penunjang kegiatan RDP MRP masih ditahan oleh Polres Merauke.

MRP merupakan lembaga resmi Negara yang ditegaskan di dalam Pasal 5 UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan kemudian diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah No. 54/2004 Tentang Majelis Rakyat Papua. Pasal 51 PP No. 54/2004 telah menegaskan salah satu kewenangan MRP adalah untuk melakukan rapat dengar pendapat yang dilakukan oleh alat kelengkapan MRP dengan badan dan lembaga-lembaga sosial masyarakat dalam rangka mendengar dan menampung aspirasi sesuai dengan kewenangan MRP.

Wensislaus Fatubun setelah menjalani pemeriksaan di Polres Merauke.
Otoritas Indonesia kerap menerapkan pasal “makar”, dengan pengertian yang terlalu umum dan kabur sehingga tidak lagi sesuai tujuan awal dari pasal tersebut. Amnesty menilai penerapan ketentuan makar yang terlalu luas akan berpotensi membatasi kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat sesuai dengan ketentuan yang diizinkan dalam hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2005.

Setiap individu tanpa terkecuali berhak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai. ICCPR secara tegas telah menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ICCPR, serta dijelaskan dalam Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia. Merujuk Kovenan tersebut, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen HAM internasional.

Dalam konteks nasional, hak atas kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta Pasal 24 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM.

Amnesty International tidak mengambil sikap apapun terkait status politik dari provinsi manapun di Indonesia. Meski demikian, kami memegang teguh prinsip kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk menyuarakan kemerdekaan atau gagasan politik apapun yang dilakukan secara damai yang tidak mengandung kebencian, diskriminasi serta kekerasan.

 

*OAP: Orang Asli Papua

 

Sumber: https://www.amnesty.id/

 

Read More
Categories Berita

Tim MRP Meepago: Begitu Tiba Kami Diintimidasi Aparat TNI dan Polisi

NABIRE, MRP – Salah seorang dari anggota tim Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diutus ke wilayah Meepago untuk gelar kegiatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Otonomi Khusus, mengaku pihaknya sejak tiba di bandara udara Nabire dari Jayapura, pada Sabtu (13/11/2020) lalu, mendapat intimidasi langsung dari aparat keamanan TNI dan Polisi.

Intimidasi dimaksud intimidasi non verbal yakni diikuti dan diawasi ketat.

“Tiba Sabtu pagi. Pas keluar di pintu keluar gedung bandara, kiri, kanan, depan, sudah ada anggota TNI dan polisi. Ada yang pakaian lengkap tapi paling (banyak) itu pakaian preman,” ujar anggota tersebut yang enggan dimediakan kepada Wagadei, Kamis (19/11/2020).

Tak sampai disitu, sepanjang perjalanan ke tempat penginapan aparat terus buntuti.

“Mereka pakai motor dan mobil. Kami tahu itu aparat tapi bikin malas tahu. Selama di Nabire sebelum naik ke Dogiyai, kemana kami pergi diawasi terus,” katanya.

Lebih parah menurutnya, ketika di Dogiyai. Aparat tak hanya mondar-mandir diluar disekitar tempat penginapan. Mereka (aparat) masuk dalam pagar halaman bahkan sampai depan pintu kamar penginapan.

“Hari lain juga. Tapi di hari Senin (16/11), pendropan aparat dalam jumlah besar dari Nabire pakai mobil banyak sekali. Saya lihat sendiri. Terus sekitar jam 04.00 sore, ada satu pleton aparat masuk ke kediaman kami. Mereka hanya mondar-mandir. Tidak sentuh kami (lakukan kekerasan)” ungkapnya.

Kendati begitu, sikap aparat tersebut, dia dan kawan-kawannya menuding sebagai salah satu bentuk tindakan intimidasi terhadap pihaknya secara langsung.

“Karena begitu tiba kami langsung diintimidasi sampai -1 hari H. Kami rasa sekali ada dalam kurungan aparat seperti dalam penjara. Tidak bisa bergerak bebas,” tudingnya.

Diakhir keterangannya, dia menyesalkan sikap aparat yang seharusnya menegakkan hukum dan undang-undang ditetapkan negara malah balik ‘memperkosa’.

“Kami (mau) jalankan RDP sesuai UU Otsus tapi negara Indonesia tidak mau, tidak tahu kenapa. Untuk itu kepada rakyat Papua di Meepago, kami minta maaf sekali, RDP tidak kami gelar. Sekali lagi sebagai manusia biasa, kami minta maaf sekali,” tutupnya.

Seperti diketahui, RDP dibatalkan oleh surat penolakan dari Asosiasi Bupati Meepago yang dikeluarkan Senin (16/11/2020) lalu atau sehari sebelum hari H.

Tiga alasan yang dipakai; adanya Pemilukada di Nabire, adanya maklumat Kapolda Papua dan adanya penolakan RDP digelar di Dogiyai oleh sekelompok orang.(*)

 

Sumber: Wagadei.com

 

Read More
Categories Berita

MRP Bahas Otsus: Diintai, Digeledah, Ditangkap, dan Dituduh Makar

Kantor MRP di Kotaraja Jayapura – Humas MRP

Rapat legal pembahasan otsus oleh Majelis Rakyat Papua dijegal. Orang-orangnya ditangkapi karena dituding merencanakan makar.

JAYAPURA, MRP – Pembahasan soal otonomi khusus (otsus) Papua, yang akan berakhir pada 2021 nanti, terus berlanjut. Baru-baru ini salah satu forum legal yang membahas itu justru direpresi aparat, dalam hal ini kepolisian. Orang-orang yang terlibat ditangkapi karena dituduh merencanakan makar.

Salah satu orang yang ditangkap adalah Wensislaus Fatubun pada 17 November lalu. Ia berstatus Tenaga Ahli Majelis Rakyat Papua (MRP), representasi kultural di Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Ia ditangkap ketika MRP tengah menyelenggarakan rapat dengar pendapat (RDP) wilayah, salah satu program kerja yang tujuannya mendengarkan aspirasi orang asli Papua (OAP) tentang otsus, berlangsung pada 17-18 November kemarin di gedung Vertenten Sai atau Aula Katedral Merauke.

Setelah RDP wilayah, mekanisme selanjutnya adalah menggelar RDP umum yang diikuti oleh MRP Papua-Papua Barat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Papua-Papua Barat.

Pada 15 November, sekitar pukul 22.00, Kapolres Merauke AKBP Untung Surianata bertemu dan meminta Pastor Hengky Kariwob (Vikjen Keuskupan Agung Merauke), Pastor John Kandam (Sekretaris Uskup), dan Pastor Anselmus Amo (Direktur SKP KAMe) di Keuskupan untuk tidak memfasilitasi RDP. Pastor Anselmus lantas menelepon Canisius Mandagi, Uskup Agung Keuskupan Agung Merauke. Uskup menegaskan RDP dapat dilakukan karena itu bukan kegiatan politik.

Setengah jam kemudian, beberapa polisi datang ke Hotel Grand Mandala, Hotel Pangkat, dan Hotel Valentine, tempat para peserta dan penyelenggara RDP menginap. “MRP diminta untuk ke polres malam itu juga untuk bertemu dengan kapolres,” ucap Fatubun dalam keterangan tertulis Kamis (19/11/2020).

Fatubun bersama Koordinator Tim RDP MRP wilayah Anim Ha, seorang staf MRP dan dua orang anggota MRP lain ke Polres Merauke untuk bertemu kapolres, tapi batal karena yang bersangkutan ternyata sudah pulang. Melalui ajudannya, kapolres bilang bertemu esok pagi saja. Pukul 08.46 keesokan harinya, mereka kembali menyambangi polres. Karena Kapolres lagi-lagi tak di tempat, rombongan menyerahkan surat kepada sespri kapolres dan memberikan nomor telepon untuk koordinasi.

Sekitar pukul 11.00 sekelompok orang dari Buti berdemonstrasi di kantor Bupati menolak RDP MRP. Massa meminta agar otsus dilanjutkan dan pemekaran Provinsi Papua Selatan. Enam jam berikutnya, Fatubun cs memutuskan membatalkan RDP karena situasi tak kondusif dan mereka dalam pantauan kepolisian.

Pukul 22.00, polisi datang lagi ke hotel. Kali ini dengan membawa senjata laras panjang.

Pada 17 November, pukul 08.00 pagi, seorang pria berbaju merah dan bukan tamu duduk di depan hotel. Tim RDP curiga orang itu ialah intelijen. Dia hanya diam sekitar 30 menit lalu pergi. Satu jam berikutnya, ada dua orang yang diduga sebagai intelijen polres menyambangi penginapan. Mereka menanyakan ke pihak hotel soal jumlah dan penghuni kamar. Lantas mereka angkat kaki.

Pukul 10.00, ketika Fatubun sedang duduk di depan hotel, Kapolres Merauke bersama anak buahnya datang. Beberapa dari mereka membawa senjata laras panjang. Mereka menggeledah hotel dan kamar tim RDP. Saat itulah Fatubun ditangkap. “Sebelum menangkap saya, kapolres bertanya asal, pekerjaan, [serta] kepentingan saya di Merauke. Mereka minta KTP saya,” katanya.

Fatubun dimasukkan ke mobil Dalmas, sementara barang bawaannya dijadikan barang bukti. “Di mobil Dalmas, saya melihat Koordinator Tim RDP MRP, dua staf MRP, dan seorang peserta diborgol seperti saya.” Ia dan rekan-rekannya diinterogasi dan baru dibebaskan pada 18 November sekira pukul 16.45.

Kapolres Merauke AKBP Untung Surianata menyatakan dalam penggeledahan pada pagi jelang siang tanggal 17 November, ia dan rombongan menemukan sebuah pisau. “Lalu kenapa kami tangkap mereka? Karena ada buku makar, buku untuk mengajak merdeka di berbagai tempat, yang buku kuning itu,” ujar Untung kepada reporter Tirto, Kamis. Untung bilang buku itu sempat dibuang ke luar dari jendela hotel.

Buku kuning itu berjudul ‘Pedoman Dasar Negara Republik Federal Papua Barat’, edisi pertama yang terbit Januari 2012, dikeluarkan oleh Sekretariat Negara Republik Federal Papua Barat. Kata sambutan buku ditulis oleh oleh Presiden NRFPB Forkorus Yaboisembut.

Berdasar berkas yang didapatkan reporter Tirto, ditemukan juga dokumen Polisi Negara Republik Federal Papua Barat Nomor: 001/KKP-NRFPB/IV/2012 yang ditandatangani oleh Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Federal Papua Barat Letnan Jenderal Fery Fernando Yensenem tentang Penunjukan Kepala dan Wakil Kepala Kepolisian Negara Bagian Ha-Anim.

“Sementara kita (Indonesia) punya pangdam, kapolda, bupati, dan gubernur. Karena mereka makar, kami tegas begitu tak apa. Ini bukan kasus maling ayam atau sandal jepit,” katanya, lalu mengatakan kalau apa yang mereka lakukan lebih baik karena di negara lain para terduga makar dapat ditembak mati.

Ada 54 orang yang ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Dia bilang “harusnya semua [jadi] tersangka karena ada buku itu.”

Dua dari mereka dinyatakan positif COVID-19 setelah dites. Ini alasan mengapa mereka akhirnya dibebaskan. “Kami juga punya tahanan. Nanti rawan.”

Pembungkaman

Ketua MRP Timotius Murib mengkritik penangkapan ini. Ia bilang apa yang dilakukan polisi sama saja melawan lembaga dan program negara. MRP itu lembaga legal, pun dengan acara yang mereka selenggarakan. “Berarti secara tidak langsung kepolisian menolak [pembahasan] otonomi khusus karena menolak RDP,” katanya kepada reporter Tirto, Kamis.

Murib tak tahu ihwal ‘buku kuning’ yang jadi alasan polisi menangkapi para peserta dan penyelenggara. Namun ia menduga buku itu milik peserta rapat, bukan milik anggota atau tim MRP. Peserta rapat saat itu adalah Barisan Merah Putih, organisasi pemuda serupa, serta perwakilan adat. Total peserta 35 orang per kabupaten. Sementara dari MRP yang hadir sekira 20-an orang. Sebanyak 2 anggota dan 9 staf sekretariat diciduk.

Sebelum penangkapan, tepatnya pada 14 November 2020, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw menerbitkan maklumat bernomor Mak/1/Xl/2020 tentang Rencana Rapat Dengar Pendapat pada Masa Pandemi COVID-19. Maklumat itu melarang RDP diikuti lebih dari 50 orang; peserta wajib mengikuti protokol kesehatan (swab/PCR, 3M) dan menyediakan tempat cuci tangan atau cairan pembersih tangan; lalu bagi pelanggar akan ditindak oleh kepolisian.

“Maklumat ini dikeluarkan untuk mencegah penyebaran COVID-19, karena khawatir rapat yang mengundang berkumpulnya orang dapat menimbulkan klaster baru,” ujar Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal dalam keterangan tertulis, Sabtu (14/11/2020).

Bagi pengacara dari Perkumpulan Advokat HAM Papua Michael Himan, maklumat tersebut “sangatlah politis dan terlalu abstrak.” Ia mengatakan demikian untuk mengomentari bagian lain dari maklumat, angka 3 huruf c. Di sana disebutkan siapa pun yang terlibat RDP “dilarang merencanakan atau melakukan tindakan yang menjurus tindak keamanan negara, makar, atau separatisme atau pun tindakan lainnya yang dapat menimbulkan pidana umum atau atau perbuatan melawan hukum lainnya dan konflik sosial.”

Kepada reporter Tirto, Rabu (18/11/2020), ia mengatakan RDP bukan termasuk tindakan penyerangan, apalagi makar. Selama dilangsungkan secara damai, tindakan menyampaikan pendapat tidak dapat dianggap makar.

Lagipula maklumat itu bukan produk hukum yang tidak memiliki kekuatan hukum bagi orang luar. Maklumat sekadar informasi bagi internal Polri. “Pernyataan tersebut bertentangan dengan ketentuan Perkap 15/2007. Kepolisian tidak memiliki kewenangan untuk membuat peraturan yang berlaku eksternal.”

Atas dasar itu Himan menyimpulkan maklumat, dan penangkapan, telah melanggar hak kebebasan berekspresi masyarakat Papua.

Kritik serupa disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem, kepada reporter Tirto, Rabu. Ia pertama-tama mengatakan bahwa otsus pada dasarnya adalah bentuk tawaran politik yang diberikan pemerintah pusat terhadap aspirasi merdeka orang Papua. Pusat Data dan Analisa Tempo pada 2019 lalu menulis Otsus adalah “jalan tengah bagi kelompok pro kemerdekaan Papua dan pemerintah pusat.”

Ketika itu aspirasi untuk merdeka memang sedang tinggi-tingginya di tanah Papua. Keputusan Kongres Rakyat Papua (KRP) II yang diadakan Presidium Dewan Papua (PDP) di Gedung Olahraga Cenderawasih APO, Kota Jayapura, 29 Mei sampai 4 Juni 2000, bulat menyebut rakyat Papua ingin lepas dari Indonesia.

Maka, “bila ruang [ekspresi] masyarakat dilarang, tidak mengevaluasi atau RDP, [maka] isu Papua merdeka akan semakin menguat di akar rumput.”

Sumber: Tirto.id

Read More

Categories Berita

Banyak pihak kecewa, Asosiasi Bupati Meepago tolak RDP

Rakyat Meepago yang melakukan aksi di Dogiyai karena RDP MRP tak dilaksanakan, Selasa (17/11/2020) – Egedy untuk Jubi

JAYAPURA, MRP– Majelis Rakyat Papua (MRP) mengungkapkan kekecewaannya ketika ditolak Asosiasi Bupati Meepago (ABM) padahal mereka sudah di Nabire dan Dogiyai untuk melaksanakan rapat dengar pendapat (RDP) tentang evaluasi implementasi pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua.

“Kami menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Meepago karena batal menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Wilayah (RDPW) karena tidak didukung oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) Asosiasi Bupati Meepago,” kata Ketua I MRP, Debora Mote, melalui keterangan tertulis yang diterima Jubi, Selasa (17/11/2020).

Pembatalan kegiatan RDPW di wilayah adat Meepago yang dipusatkan di Kabupaten Dogiyai tersebut ditolak oleh para bupati di wilayah Meepago Meepago yakni Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, dan Intan Jaya, yang tergabung dalam Asosiasi Bupati Meepago, melalui surat yang dikirim langsung ke MRP.

Atas pelarangan ini Debora Mote menyayangkan sikap pimpinan bupati di wilayah Meepago yang menolak kegiatan RDPW.

“Secara pribadi dan lembaga MRP kami menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Meepago, yang mana antusias dalam beberapa hari terakhir ini ingin menyukseskan kegiatan RDPW, namun menjelang hari pelaksanaan secara tiba-tiba tidak didukung oleh bupati setempat,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa pelaksanaan RDP tersebut sesuai dengan aturan UU pasal 77 nomor 21 tahun 2001 sehingga wajib Aparatur Sipil Negara untuk mendukung pelaksanaan RDP tersebut, bukan malah menolaknya.

Anggota Komisi I DPR Papua dari daerah pemilihan Meepago, Laurenzus Kadepa, mempertanyakan ada apa dengan para bupati di wilayah Meepago yang menolak MRP yang menjalankan amanah Undang-undang Otonomi Khusus (UU Otsus) yakni rapat dengar pendapat (RDP) di wilayah Meepago, yang hendak dipusatkan di Kabupaten Dogiyai pada Selasa (17/11/2020) dan Rabu (18/11/2020).

Kadepa menyayangkan sikap Bupati Nabire yang mengatasnamakan Asosiasi Bupati Meepago. Padahal menurut dia, RDP sangat penting sekali untuk tiga komponen yakni adat, agama, dan perempuan duduk bersama dan berbicara.

“Kami kecewa Bupati Meepago melalui Ketua, Bupati Nabire Isaias Douw, menolak tim MRP untuk tiadakan RDP. Ini ruang mereka (tiga komponen) bicara tentang manfaat yang dirasakan dari otsus selama ini. Bukan bicara NKRI harga mati atau Papua merdeka. Negara harusnya dewasa dalam menyikapi situasi ini,” ungkap Laurenzus Kadepa kepada Jubi, Selasa (17/11/2020).

Jika menolak, politisi Partai NasDem ini minta pihak berwajib segera melakukan evaluasi dan memeriksa penggunaan dana otsus oleh para bupati selama 20 tahun berjalan.

Di masa pandemi Covid-19 ini, kata dia, semua pihak wajib mematuhi dan menjalankan anjuran pemerintah soal protokol kesehatan. Pelaksanaan RDP pun akan mematuhi protokol kesehatan.

Sekretaris II Dewan Adat Papua (DAP), John NR Gobai, mengakui seluruh masyarakat Meepago telah menunggu MRP di Dogiyai untuk menyaksikan, mendengarkan, dan menyampaikan aspirasi pelaksanaan otsus di Papua selama 20 tahun berjalan.

“Apa sesungguhnya pertimbangan MRP, surat Bupati Nabire sebenarnya mesti dilihat sebagai bagian dari perhatian untuk menjaga keamanan bukan larangan. MRP mengapa harus mengecewakan masyarakat Meepago yang telah siap menyampaikan aspirasi mereka. Di Meepago tidak ada aksi maupun demo penolakan RDP seperti wilayah adat lain,” kata Gobai.

Ia mempertanyakan mengapa harus takut dengan dugaan dinamika yang akan berkembang, sebab itu merupakan dinamika karena RDP bukan sarana pengambilan keputusan.

“RDP hanyalah sarana mendengar pendapat rakyat bukan pendapat bupati yang merupakan kuasa pengguna anggaran termasuk dana otsus di kabupaten dan kota,” ujarnya.

“Apa yang ditakutkan MRP sebenarnya di Meepago, dugaan saya ada silent operation di Papua menjelang RDP MRP, tentu dengan garansi akan ada pemekaran atau jabatan yang penting jangan ada RDP MRP, seperti yang bisa kita lihat di Merauke,” katanya.

Ketua Fraksi PKB DPRD Deiyai, Naftali Magai, menegaskan MRP telah menjadi boneka eksekutif, dan takut menemui rakyatnya yang memberikan amanat melindungi orang dan Tanah Papua.

“Mental MRP ini diragukan, apakah mereka benar lindungi orang dan tanah Papua atau jalankan misi lainnya,” ujarnya.

“Seharian penuh ini kami (DPRD Deiyai dan Paniai tanpa DPRD Dogiyai) di Dogiyai, tunggu tim MRP. Tapi tak kunjung datang. Masyarakat antusias sambut mereka, tapi karena mereka (MRP) tidak datang maka mereka bacakan pernyataan tolak otsus dan minta kemerdekaan Papua,” katanya. (*)

Read More

Categories Berita

Masa sidang dibuka, MRP akan segera gelar RDP Otsus di 5 wilayah adat

Majelis Rakyat Papua (MRP) siang tadi melakukan rapat pleno pembukaan masa sidang VI tahun 2020. Timotius Murib Ketua MRP bersama Debora Mote Wakil Ketua II MRP memimpin langsung rapat pleno ini. (16/10/2020) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP mengelar rapat pleno pembukaan Masa Sidang Triwulan IV tahun 2020 di Hotel Horizon, Kotaraja, Kota Jayapura, Papua, pada Jumat (16/10/2020). Selama masa sidang itu, MRP akan menggelar Rapat Dengar Pendapat terkait pelaksanaan Otonomi Khusus Papua.

Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan Masa Sidang Triwulan IV tahun 2020 akan menjadi masa sidang khusus bagi MRP. Selama masa sidang itu, MRP akan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) di lima wilayah adat, untuk mendengarkan masukan dan pendapat rakyat Papua menilai pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

Murib berharap para anggota MRP dapat mempersiapkan diri dengan baik. “Karena itu, kami [sampaikan] arahan khusus [bagi] para anggota, [silahkan] mempersiapkan diri dengan baik supaya bisa melaksanakan RDP,” kata Murib usai memimpin rapat pleno Jumat.

Murib menyatakan RDP itu akan diselenggarakan di lima wilayah adat yang ada di Provinsi Papua. Setelah itu, MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) akan menggelar rapat pleno gabungan. “Rapat [pleno gabungan berupa] Rapat Dengar  Pendapat Umum akan digelar di Biak,” kata Murib.

Sebelumnya, Dewan Adat Papua (DAP) versi Kongres Luar Biasa dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia menyatakan penilaian mereka bahwa Otsus Papua telah gagal. Akan tetapi, mereka mendukung upaya MRP untuk memfasilitasi penyampaian pendapat orang asli Papua atas Otonomi Khusus Papua. Kedua organisasi itu berharap, apapun hasil aspirasi yang terkumpul akan diteruskan kepada pemerintah pusat.

Ketua Dewan Adat Papua (DAP) versi Kongres Luar Biasa, Dominikus Surabut menyatakan sejak lama DAP sudah menolak Otonomi Khusus Papua sejak tas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) diberlakukan pada 2001. “Tahun 2001 Dewan Adat Papua tolak otonomi khusus. Tahun 2007 dan 2010, Dewan Adat Papua mengatakan pelaksanaan Otsus gagal dan [kami] tolak. [Sejak] tahun 2001 hingga 2020, Dewan Adat Papua punya sikap sama,” kata Surabut pada Selasa (13/10/2020).

Kini, DAP versi Kongres Luar Biasa memilih diam, tidak memberikan pendapat, saran, maupun usul lagi. Bagi Surabut, posisi DAP sudah jelas, karena sejak jauh hari telah menyatakan Otsus Papua gagal, dan menolak keberlanjutan Otsus Papua. “[Perlindungan] hak asasi manusia, pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur, [semua] tidak berimplikasi positif kepada penguatan masyarakat Papua untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri,” kata Surabut.

Surabut mengingatkan, Otsus Papua diberlakukan sebagai jawaban pemerintah pusat atas tuntutan orang asli Papua yang meminta merdeka. Akan tetapi, selama pemberlakuan Otsus Papua, aspirasi Papua merdeka justru semakin berkembang dan menjadi isu internasional. “Dewan Adat Papua di bawah pimpinan saya posisinya jelas, kami mendukung aspirasi masyarakat adat,” kata Surabut.

Surabut menyatakan pihaknya akan mengikuti langkah-langkah penyampaian aspirasi rakyat melalui Majelis Rakyat Papua (MRP). Ia berharap aspirasi rakyat yang difasilitasi MRP itu akan membuat pemerintah Indonesia dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mau duduk bersama dan berdialog untuk menyelesaikan masalah Papua.

“Kami ada bersama dengan MRP, memfasilitasi rakyat berpendapat. Apapun hasilnya, kami bersama rakyat akan kawal [penyampaian aspirasi] itu, [agar] pemerintah Indonesia dan ULMWP duduk bicara, apa endingnya,” kata Surabut.

Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI), Hendrikus Maday mengatakan pihaknya juga telah memutuskan untuk menolak Otsus Papua. “Kami secara organisasi mengatakan tolak, karena pelaksanaan Otsus [Papua] itu seharusnya melibatkan rakyat. [Yang] terjadi, [Otsus Papua dilaksanakan] secara sepihak, baik itu Otsus [Papua] periode pertama, maupun rencana [Otsus Papua Jilid II],” kata Maday.

Maday menyatakan AMPTPI juga mendukung MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) memfasilitasi penyampaian pendapat rakyat Papua atas keberadaan Otsus Papua. “Kami memberikan dukungan kepada MRP [untuk] mengambil aspirasi dari rakyat,  entah itu mau terima atau tolak [Otsus Papua], untuk disampaikan kepada pemerintah,” kata Maday.(*)

Sumber: Jubi

Read More

Categories Berita

Aspirasi terkait evaluasi Otsus Papua harus disampaikan secara damai

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib meminta masyarakat Papua untuk menyampaikan aspirasi terkait rencana evaluasi Otonomi Khusus Papua secara damai dan tanpa kekerasan.

Murib menyatakan seluruh aspirasi itu akan diteruskan kepada pemerintah pusat.

Hal itu dinyatakan Timotius Murib usai mengikuti rapat koordinasi Gubernur, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua, MRP, serta anggota DPR RI serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan Papua dan Papua Barat yang berlangsung di Kota Jayapura, Kamis (13/8/2020).  Murib mengatakan MRP berencana menggelar forum dengan melibatkan perwakilan berbagai organisasi dan lembaga untuk memberikan masukan terkait evaluasi Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

Menurutnya, pelaksanaan Otsus Papua selama 19 tahun pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Hal itulah yang perlu dievaluasi, dan hasil evaluasi itu disampaikan kepada pemerintah pusat.

“Kami ingin aspirasi disampaikan secara santun, berwibawa, ilmiah, yang tentunya di dukung dengan data. Intinya, MRP, DPR Papua, dan Pemerintah Provinsi Papua menginginkan adanya evaluasi, dengan harapan perubahan yang dikehendaki masyarakat Papua [akan terlaksana] lebih baik dari hari ini, ” ujar Murib.

Read More