Categories Berita

Kehadiran MRP Untuk Membela Hak Masyarakat Asli Papua

Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Yuliten Anouw dan Panus Werimon, saat foto bersama BMA Nabire dan DAP Dogiyai, Selasa (22/6/2021) – Jubi/Titus Ruban

 

NABIRE, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) dari Kelompok Kerja (Pokja) Adat melakukan sosialisasi identifikasi hak-hak adat orang asli Papua (OAP). Sosialisasi berlangsung di rumah makan JDF di Jalan Semarang Distrik Nabire, Kabupaten Nabire, Selasa (22/6/21) malam.

Ketua tim kelompok kerja (MPR) wilayah adat Meepago, Yuliten Anouw, mengatakan pihaknya mengundang beberapa badan musyawarah adat (BMA) serta dewan adat Papua (DAP) di wilayah ini untuk mengidentifikasikan hak-hak dasar OAP yang masih terabaikan.

“Karena MPR adalah lembaga kultur masyarakat Papua yang hadir untuk membela hak-hak OAP,” kata Anouw kepada Jubi usai pertemuannya dengan para tokoh adat.

Menurutnya, sosialisasi identifikasi hak-hak adat OAP, harusnya merupakan tugas utama anggota MRP periode pertama. Akan tetapi baru dilakukan pada periode ini yang telah memasuki akhir periode.

Namun tidak masalah baginya, sebab terpenting adalah harus dilakukan. Maka identifikasi adalah tentang alam berupa tanah, air, sungai, laut, sumber daya alam, yang harus diperhatikan oleh pemerintah nantinya, yaitu harus jelas  dan peruntukannya.

“Karena selama ini, implementasi dan perhatian pemerintah terhadap hak-hak adat OAP belum berjalan dengan baik. Ini menjadi tanggung jawab MRP, jadi harus ada satu ketetapan hukum hak-hak adat OAP dan perlu dijalankan oleh pemprov sesuai amanat UU Otsus,” tuturnya.

Sebab selama ini, katanya, hak dasar OAP belum terpenuhi, sering disepelekan, dan dipandang sebelah mata. Misalnya, pelaku usaha di bidang pertambangan   memasuki wilayah adat OAP tanpa memperhatikan haknya.

“Ini banyak yang terjadi, misalnya di Nabire. Ada banyak perusahaan tambang, masuk dengan paksa, masyarakat pemilik hak ulayat diabaikan bahkan sering terjadi kekerasan. Saya contohkan di sungai Musairo beberapa tahun lalu,” ungkap Anouw.

Dia berharap, sosialisasi ini akan menjadi acuan dan masukan bagi MRP, yang nantinya akan dibahas dalam rapat paripurna hingga menjadi aturan baku dan diterbitkan dalam sebuah dokumen atau buku pedoman tentang hak-hak adat OAP yang harus dijalankan dan dipatuhi.

“Hasilnya harus ada sebuah buku untuk dijalankan oleh semua pihak,” harap Anouw.

Ketua Dewan Adat Papua (DAD) wilayah Kabupaten Dogiyai, Germanus Goo, menyampaikan terima kasih kepada MPR yang terus menyuarakan hak-hak masyarakat adat orang Papua. Ia mendukung program lembaga kultur orang Papua ini, demi menyelamatkan Tanah dan manusia asli Papua.

“Karena tanah adalah ciptaan Tuhan dan pekerjanya adalah manusia,” kata Goo.

Dia menilai, saat ini dalam implementasi UU Otsus belum selaras antara pemerintah dan adat, yakni belum ada komitmen yang jelas dalam mengatur tanah adat di Papua pada umumnya
terlebih khusus wilayah Meepago.

Karena itu, Dewan adat Dogiyai mendukung program MRP untuk mensosialisasikan demi penyelamatan tanah dan manusia Papua. Ia juga meminta kepada Dewan Adat di wilayah Meepago untuk meneruskan program MPR kepada masyarakat sambil menunggu program selanjutnya.

“Selama ada Otsus, belum ada komitmen yang jelas dari pemerintah untuk hak-hak dasar OAP,” ungkap Goo.

Sekretaris Umum Badan Musyawarah Adat (BMA) Suku Wate, Otis Money, berterima kasih kepada MRP yang telah memberikan sosialisasi tentang identifikasi hak-hak adat OAP.

Tahun 1969 orang Wate telah menyerahkan tanah kepada pemerintah untuk membangun melalui SK 66.

Namun hingga saat ini, orang Wate masih dipandang sebelah mata dan tidak diperhitungkan dala, pemerintahan di daerah ini. Sebab, walaupun dalam SK tersebut dinyatahkan hibah, tetapi setidaknya  bisa diperhatikan genersi mudanya untuk diangkat menjadi ASN atau menduduki jabatan penting di pemerintahan.

“Orang Wate di Nabire masih terbelakang, belum ada perhatian pemerintah yang serius. Padahal tanah sudah dikasih oleh moyang dulu gratis,” ucap Money.

Menurutnya, perlu diperhatikan oleh Pemkab Nabire agar anak asli suku Wate diberikan ruang dalam meraih Pendidikan, mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.

“Kalau bisa saya usulkan, dalam penerimaan ASN bisa ada keterwakilan orang Wate, atau mungkin Pemkab bisa kuliahkan tiap tahun satu atau dua orang. Artinya, ini sebagai perhatian kepada pemilik hak ulayat,” tuturnya. (*)

Sumber: JUBI

Read More

Categories Berita

Pokja Perempuan MRP: OAP Adalah Ayah Dan Ibunya Harus Asli Papua

Ciska Abugau ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Kelompok Kerja atau Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP), Ciska Abugau berpendapat definisi orang asli Papua (OAP) adalah mereka yang memiliki ayah dan ibu asli Papua.

Pernyataan itu dikatakan Ciska Abugau menyikapi rencana Panitia Khusus Otonomi Khusus atau Pansus Otsus DPR Papua, menyerahkan hasil kajiannya terkait Otsus Papua kepada pemerintah dan DPR RI.

Kajian dilakukan Pansus Otsus DPR Papua, berkaitan dengan rencana pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Otsus Papua.

Dalam hasil kajiannya, Pansus Otsus mengusulkan perubahan Pasal 1 huruf (t) UU Otsus mengenai definisi orang asli Papua yang berbunyi “Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.”

Usulan perubahan yang akan diajukan Pansus Otsus, yakni poin (a) menyebutkan OAP adalah “orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua, yang ayah dan ibunya, atau ayahnya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua.”

Poin (b) berbunyi orang asli Papua adalah “Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua yang ibunya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua.”

Dibagian penjelasan, disebutkan alasan menghilangkan frasa “orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua” agar dapat memberi perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua, terutama berkaitan dengan hak hak dasar penduduk asli Papua sebagai upaya mewujudkan harkat, martabat, dan jati diri orang asli Papua.

Menurut Ciska, sebuah pihak terkait mesti duduk bersama membicarakan dan menyepakati definisi orang asli Papua.

“Saya sangat mengerti sekali. Namun sejak periode kedua saya di MRP, kami Pokja Perempuan ketika itu mempertahankan [argumen] yang namanya OAP itu adalah mereka yang ayah dan ibu asli Papua, itu saja,” kata Ciska Abugau kepada Jubi, Kamis (17/6/2021).

Ia berpendapat mereka yang ayah atau ibunya non-Papua mestinya tidak dapat dikategorikan asli Papua, meski di Papua mengakui keaslian lewat garis keturunan ayah atau patrilinear.

Akan tetapi lanjut Abugau, jika garis keturunan ayah dianggap asli Papua, bagaimana dengan garis keturunan ibu.
Mestinya mereka yang lahir dari ibu Papua, juga dianggap asli Papua. Sebab, perempuan yang mengandung anak anak.

Katanya, definisi orang Papua ini menjadi polemik ketika dalam pembahasan MRP periode kedua kala itu.

“Kalau seperti itu, biar adil yang namanya asli Papua, kedua orang tuanya mesti orang asli Papua. Garis keturunan bapak juga tidak perlu. Siapa suruh ko kawin perempuan lain. Ada perempuan Papua to,” ujarnya.

Ciska Abugau mengatakan, ia berpendapat seperti itu bukan untuk mendiskriminasi mereka yang lahir dari ayah atau ibu bukan asli Papua.

Akan tetapi, ini sebagai menjaga jati diri orang asli Papua, dengan ciri khas berambut keriting dan berkulit hitam.

Katanya, orang asli Papua mesti menghilangkan semua pikiran negatif. Namun bagaimana berupaya mempertahankan jati diri, mesti duduk membuat komitmen bersama.

Para pihak dipandang perlu mendiskusikan mengenai keaslian ini, agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat adat.

Ia berharap, para pihak harus lebih memperhitungkan keberadaan orang asli Papua pada masa mendatang dan menyadari, kini jumlah orang asli Papua makin berkurang.

“Daripada kita terus berdebat mempertahankan keaslian dari garis keturunan bapak atau mama, sebaiknya yang dianggap asli adalah mereka yang kedua orangtuanya asli Papua. Kalau tidak, dalam beberapa tahun ke depan jati diri orang yang benar benar asli Papua, tak akan ada lagi,” kata Ciska Abugau.

Sementara itu, Ketua Pansus Otsus DPR Papua, Thomas Sondegau mengatakan semua masukan yang disampaikan kepada pihaknya itu sangat baik.

Akan tetapi, mesti mempertimbangkan waktu, sebab kini tahapan revisi UU Otsus Papua di DPR RI terus berlangsung.

“Jika saja, pemerintah dan DPR RI dapat memberi waktu kepada kami, tidak masalah,” kata Thomas Sondegau.

Ia mengaku, revisi Pasal 1 huruf (t) UU Otsus yang diusulkan pihaknya itu, berdasarkan aspirasi masyarakat yang disampaikan ke Pansus DPR Papua.

“Ya, itu berdasarkan aspirasi masyarakat saat kami turun lapangan. Tidak mungkin kami berani mengajukan seperti itu kalau tidak berdasarkan aspirasi yang kami terima,” ucapnya.

Sehari sebelumnya, Sekretaris II Dewan Adat Papua, John NR Gobai juga mengingatkan agar usulan perubahan Pasal 1 huruf (t) UU Otsus Papua, yang akan diajukan Pansus Otsus DPR Papua, sebaiknya dikaji kembali.

Ia khawatir, usulan perubahan itu nantinya dapat menimbulkan polemik di masyarakat adat. Sebab, masyarakat adat Papua menganut paham patrilinear.

“Kita hargai upaya Pansus Otsus untuk memproteksi hak hak dasar orang asli Papua. Namun, kami khawatir itu akan menimbulkan polemik di masyarakat,” ujar John Gobai.

Menurutnya, definisi orang asli Papua mesti disepakati bersama masyarakat adat di lima wilayah adat. Dengan begitu, usulan perubahan yang nantinya didorong Pansus Otsus DPR Papua mendapat legitimasi dari masyarakat adat.

“Memang itu harus diperjelas. Tapi tidak mesti dengan regulasi nasional. Cukup dengan regulasi daerah, misalnya perdasus. Perdasus itu kita lahirkan setelah rapat dengar pendapat umum dengan masyarakat adat,” ujarnya.

Katanya, dalam dengan menggelar rapat dengar pendapat umum, dapat diketahui apakah masyarakat adat menerima revisi pasal yang mau didorong, ataukah masyarakat adat tetap pada kebiasaan mengikuti garis keturunan ayah, bukan ibu.

Ia mengakui, dalam kasus kasus tertentu di masyarakat adat Papua, tidak bisa dipungkiri anak-anak mengikuti marga ibunya.

Namun, dalam perumusan sebuah regulasi yang sifatnya mengikat nantinya, mesti benar benar mendapat legitimasi dari berbagai pihak, terutama masyarakat adat Papua.

“Jangan sampai masyarakat menilai kami di DPR Papua ini hanya mendorong kepentingan kelompok tertentu,” kata Gobai.(*)

Sumber: JUBI

Read More

Categories Berita

MRP: Kapan RI bangun Papua sesuai falsafah negara?

Ilustrasi demo Otsus – Jubi. Dok

JAYAPURA, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP, Yohanes Wob menilai pemerintah Indonesia belum membangun Papua sesuai falsafah negara. Penyelenggara negara masih menyampingkan cita-cita pendiri negara yang tersurat dalam Pancasila, dan belum memanusiakan dan memberikan keadilan bagi rakyat Papua.

Pernyataan itu disampaikan Yohanes Wob kepada Jubi saat dihubungi melalui panggilan telepon selularnya pada Senin (22/6/2020). “Kapan Kementerian-kementerian RI menyusun program pembangunan berdasarkan sila-sila falsafah negara Pancasila?” tanya Wob.

Wob menegaskan pemerintah semestinya menyusun dan membangun Papua sesuai sila kedua dan sila kelima Pancasila. Menurutnya, pembangunan di Papua belum mewujudkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab serta prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Wob menilai pembangunan di Papua masih jauh dari manusiawi, karena menempatkan manusia Papua masih menjadi obyek pembangunan. Pembangunan di Papua akhirnya tidak membawa perubahan nyata bagi kehidupan orang asli Papua.

Ia menegaskan, Jakarta selalu menyebut Papua tertinggal, membuat banyak proyek pembangunan dan memberlakukan Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Namun setelah Otsus Papua diberlakukan selama hampir 20 tahun, proyek pembangunan dan otonomi khusus itu gagal memanusiakan orang asli Papua. “Perihal peradaban dan keadilan bagi manusia Papua masih nol!” tegas Wob.

Ia mengingatkan keadilan bagi rakyat Papua tidak bisa diukur dengan berbagai perubahan yang dialami dan diterima para elit Papua, termasuk jabatan dan fasilitas jabatan bagi mereka. Keadilan tidak bisa diukur dengan fasilitas layanan umum yang dibangun di kota-kota, yang mayoritas penduduknya kaum migran. “Keadilan harus [ada] bagi orang asli Papua yang ada di kampung-kampung,” ujarnya.

Wob mengkritik pemerintah pusat yang telah gagal menjalankan Otsus Papua, namun tetap memaksakan keberlanjutan otonomi khusus itu. Ia menilai pilihan untuk melanjutkan Otsus Papua lebih didasari kepentingan ekonomi dan politik ketimbang didasari rasa kemanusiaan terhadap orang Papua.

“Keberlanjutan Otsus di Papua akan dipaksakan oleh Jakarta, karena Otsus adalah penghubung Jakarta dan Papua. Tanpa Otsus, Jakarta tak punya pilihan [dan alasan] untuk tetap jadikan Papua sebagai bagian dari Indonesia,” ujar Wob.

Wob menilai Otsus Papua adalah hasil kesepakatan elit Papua dengan Jakarta. Kedua belah pihak saling memanfaatkan, dengan mengatasnamakan rakyat Papua. “Otsus itu kontrak politik Pemerintah Indonesia dengan elit Papua tentang status politik manusia dan bumi Papua,” kata Wob.

Wob menyatakan kontrak politik semacam itu seharusnya dilakukan dengan rakyat Papua. “Sekarang penentunya ada di rakyat Papua, mau Otsus atau mau pilihan politik lainnya?” tanyanya.

Pemerintah pusat sendiri telah berencana merevisi peraturan perundang-undangan yang terkait Osus Papua. Dikutip dari pemberitaan Tirto.id berjudul “Mendagri: RUU Otsus Papua Mendesak Dibahas Karena Berakhir 2021“, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengatakan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Otonomi Khusus Papua harus dilaksanakan DPR pada tahun ini. Ia menganggap RUU itu sangat mendesak mengingat pada tahun 2021 kucuran Dana Otsus Papua akan berakhir.

“Ada dua skenario alternatif, untuk RUU [Otsus Papua]. Yang pertama adalah hanya melakukan keberlanjutan dana otsus dua persen dari dana alokasi umum. Kedua melanjutkan hasil pembahasan tahun 2014 RUU tentang Otsus Pemprov Papua, singkatnya yang dilanjutkan dananya, otsusnya terus dilakukan,” kata Tito, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI, Rabu (22/1/2020).

Pada 11 Maret 2020 Presiden Joko Widodo memimpin Rapat Terbatas di Jakarta, membahas evaluasi Dana Otsus Papua. Presiden Jokowi mengharapkan kucuran Dana Otsus Papua dievaluasi secara menyeluruh, dengan melibatkan masyarakat di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Menurut Jokowi, nilai kucuran Dana Otsus Papua sejak 2002 hingga 2020 telah mencapai Rp94,24 triliun. “Angka yang sangat besar. [Harus ada evaluasi sejauh mana dampaknya yang dirasakan oleh masyarakat. Perlu dikonsultasikan dengan seluruh komponen rakyat Papua dan Papua Barat,” kata Jokowi, sebagaimana dikutip dari dokumentasi video yang diunggah akun Youtube Sekretariat Presiden.

Rapat terbatas itu ditanggapi Ketua MRP Timotius Murib pada 17 Maret 2020, yang menyatakan setiap rencana perubahan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang UU Otsus Papua harus mengacu Pasal 77 UU Otsus Papua. Ia mengingatkan hanya rakyat Papua yang memiliki hak untuk mengevaluasi Otsus Papua, karena Otsus itu diberlakukan sebagai jawaban atas tuntutan rakyat Papua untuk merdeka dari Indonesia.

“MRP tahu pemerintah punya kepentingan pembangunan di Papua. Akan tetapi, kami mau [evaluasi Otsus Papua] sesuai dengan Pasal 77 UU Otsus Papua. Kalau mau melakukan perbaikan, [hal itu] benar-benar terinspirasi dari aspirasi rakyat Papua,” kata Murib kepada Jubi, Selasa (17/3/2020).(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Pemerintah diminta putus mata rantai pembunuhan warga sipil Papua

Korban penembakan di Timika – Jubi/Dok/IST

JAYAPURA, MRP – Anggota Mejelis Rakyat Papua (MRP) Pdt Nikolaus Degey minta pemerintah pusat hingga Provinsi Papua harus bekerja sama mencari solusi memutus mata rantai pembunuhan warga sipil Papua yang terjadi di area Freeport hingga ke sejumlah wilayah kabupaten di Tanah Papua.

Degey menyampaikan itu menyusul pembunuhan dua pemuda warga sipil di area tambang Freeport, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, pekan lalu. Dua warga, Eden Armando Debari (19) dan Ronny Wandik (23), meninggal dunia, Senin (13/4/2020). Keduanya tertembak peluru tajam milik anggota TNI yang melakukan patroli di area Freeport.“Pembunuhan ini berulang, pembunuhan ini bukan yang pertama di Kabupaten Mimika, area Freeport terutama,”ungkapnya kepada jurnalis Jubi, Jumat (17/04/2020) pagi.

“Pembunuhan ini berulang, pembunuhan ini bukan yang pertama di Kabupaten Mimika, area Freeport terutama,”ungkapnya kepada jurnalis Jubi, Jumat (17/04/2020) pagi.

Kata dia, ini pembunuhan terkini dari pembunuhan-pembunuhan sebelumnya atas nama mengamankan Freeport. Pembunuhan selalu menimpa warga sipil, pemilik hak ulayat yang berdomisili di area Freeport, terutama dari Grasberg hingga Portsite dengan berbagai alasan klasik.

Pembunuhan demi Freeport

Kata dia, penggusuran, pengusiran, dan pembunuhan terhadap warga sipil, pemilik hak ulayat secara terang-terangan terjadi sejak 1967, setelah Freeport mengantongi kontrak karya. Sejak itu, perusahaan tambang asal Amerika mulai menggusur tanaman rakyat. Mereka membangun helipad dan basecamp di Lembah Waa dan Banti, Jila, Bela, Alama, kawasan Gunung Nemangkawi.

Penduduk yang tinggal di lembah-lembah itu melakukan melakukan protes tidak menerima kehadiran Freeport. Tuarek Nartkime, seorang tokoh adat suku Amungme memimpin protes. Korban jiwa dalam protes pertama ini tidak dicatat hingga protes terus berlanjut.

Lima tahun kemudian, 1972, Nartkime kembali memimpin protes di Lembah Tsinga. Freeport dan Pemerintah Indonesia menghadapi ini dengan mengerakan TNI angkatan darat ke Tsinga. TNI melakukan pengamanan aktivitas eksploitasi.

Dalam protes kedua ini, Markus Haluk dalam bukunya “Mengugat Freeport” menyebut 60 orang suku Amungme menjadi korban tewas. Protes terus berlanjut hingga warga melepaskan hak ulayat dibawa tekanan, yang menjadi dasar Perjanjian Januari 1974.

Atas nama perjanjian itu, Freeport terus memperluas wilayah operasi atas nama pembangunan perumahan karyawan, yang kini dikenal kota Timika Indah dan Tembagapura. Dua wilayah ini dibangun dengan todongan senjata dan pemaksaan.

Protes berlanjut pada 1994 dan 1995. Dalam protes-protes yang terjadi dalam dua tahun ini, sejumlah orang menjadi korban. Media https://tirto.id/ mencatat sejumlah kematian selama 1994 di bawah judul “Catatan Pembunuhan Demi Freeport”.

Tirto.id mencatat sepanjang Juni-Juli, lima warga lembah Tsinga tewas. Oktober 1994, Gorden Rumaropen, suku Biak tewas. November 1994, lima saudara Kelly Kwalik, ditahan, disiksa, dan dibunuh. Desember 1994, 11 warga Papua tewas.

Markus Haluk mencatat juga terjadi penembakan brutal terjadi pada 1995. Satu regu TNI yang melakukan penembakan itu menembak lima warga sipil. Satu pendeta yang saat itu memimpin doa tewas dan empat generasi muda, dua orang anak berusia lima dan enam tahun, dua orang remaja 14 dan 15 tahun.

Solusi memutus mata rantai pembunuhan

Lanjut Pdt Degey, area Freeport bukan hutan belantara tanpa penghuni. Sebelum Freeport masuk, wilayah ini sudah ada penghuni. Karena itu, dia menduga pembunhan akan terus berlanjut demi emas, tembaga, atau kandungan mineral lainya.

“Ini lokasi warga mencari makan. Pembunuhan ini tidak akan pernah berhenti. Karena itu, pemerintah harus bertanggung jawab, hentikan pembunuan warga sipil, pemilik emas,”ungkap anggota Pokja Agama MRP, utusan Gereja Kigmi Papua ini.

Kata dia, bentuk pertanggungjawabannya, pemerintah harus memberikan jaminan keamanan dan kehidupan bagi warga. Salah satu solusi memutus mata rantai itu, pelaku pembunuhan terhadap dua pemuda di Kwamki Lama pekan lalu harus dihukum setimpal dengan perbuatan.

“Kasih hukuman 20 tahun penjara. Pecat dari dinas secara tidak terhormat untuk menciptakan efek jera. Kalau tidak ada efek jera, pembunuhan kita akan dengar lagi,”ungkapnya serius.

Ketua Dewan Adat Papua hasil Konferensi Luar Biasa di Baliem, Domminikus Surabut, mengatakan solusinya bukan hukum menghukum melainkan perundingan kembali dengan melihat sejarah Papua masuk ke Republik Indonesia.

“Pembunuhan di area Freport ini bukan masalah ekonomi toh. Freeport ini titik tolak keputusan politik Papua masuk ke Indonesia,” ungkapnya kepada jurnalis Jubi, Jumat (17/04/2020).

Kata dia, untuk itu, pelurusan sejarah dan duduk di meja perundingan dengan masyarakat adat menjadi solusi mengakhiri pembunuhan warga sipil di Papua.

“Kita duduk di meja perundingan itu solusinya. Itu bisa membantu mencari soliusi. Selain itu, sudah terbukti tidak berhasil,”ungkapnya. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Tak Berkategori

MRP Harap Bimtek Tingkatkan Kualitas Kelembagaan dan Anggotanya

Majelis Rakyat Papua (MRP) menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) untuk pimpinan dan anggotanya, di Kabupaten Biak Numfor, pada, Selasa, 04 hingga Jumat, 07 Februari 2020 di Asana Hotel Biak, Papua.

Biak Numfor, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) untuk pimpinan dan anggotanya, di Kabupaten Biak Numfor, pada, Selasa, 04 hingga Jumat, 07 Februari 2020 di Asana Hotel Biak, Papua.

Wakil Ketua I, Jimmy Mabel, S. Th. MM mengatakan, Bimtek merupakan program kerja yang dilaksanakan tahun ini, sebagai upaya peningkatan kapasitas kelembagaan.

“Tujuan Bimtek ini adalah Pertama, Meningkatkan kapasitas anggota MRP, dalam penggunaan dan penguasaan tupoksi, kewenangan dan pengambilan keputusan guna melaksanakan afirmasi, proteksi dan pemberdayaan orang asli Papua (OAP). Kedua, Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengawasan keuangan Otonomi khusus. Ketiga, Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengelolaan keuangan dan penyusunan laporan pertanggungjawaban keuangan Otsus. Keempat, Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan anggota MRP terkait regulasi dan penerapannya sesuai kebijakan pemprov Papua dan kabupaten/ kota di Papua,” kata Mabel.

Ia menjelaskan, pelaksanaan tugas dan fungsi MRP, dijabarkan melalui program kerjasama yang tidak terlepas dari pengaruh interaksi dan dinamika sosial yang sejalan dengan perkembangan zaman, serta ilmu pengetahuan, teknologi dan sains serta perubahan sosial yang terjadi swcara lokal, regional maupun secara internasional.

“Memasuki era digital membutuhkan penyesuaian perilaku organisasi. Miisalnya, dalam perencanaan pembangunan daerah harus melalui E-Plan, dwmikian juga dalam pengelolaan keuangan harus melalui E- Budgeting , semua hal ini membutuhkan penyesuaian,” tuturnya.

Sebagai lembaga negara di daerah yang terbentuk berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua. Kami memiliki tugas dan kewenangan yang telah diatur pada pasal l9 sampai dengan 25 Undang-Undang tentang Otonomi Khusus di Provinsi Papua. Ia berharap, anggota MRP dapat mengikuti bimtek dengan baik.(*)

 

Sumber: www.analisapublik.com

 

Read More
Categories Berita

Perjuangkan hak OAP, Peran dan fungsi MRP dipertajam melalui Bimtek

Foto bersama Asisten I Setda provinsi Papua Doren Wakerkwa, Kwakil ketua I MRP Jimmy Mabel, Bupati Biak dan Dirjen Bapenas RI beserta anggota MRP usai membuka kegiatan Bimtek bagi MRP di Biak – Humas MRP

Biak, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) kembali menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) di Asana Hotel Biak, Selasa (2/4). Bimtek yang diikuti jajaran pimpinan dan anggota MRP dilakukan dalam rangka memperkuat visi dan misi lembaga cultural masyarakat asli Papua, khususnya lagi untuk menyelamatkan manusia dan Tanah Papua.

Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan skill dan pengetahuan teknis tentang pelaksanaan tugas dan kewenangan para anggotanya. Termasuk pengawasan terhadap kebijakan pembangunan, khususnya lagi pembangunan yang dibiayai dari anggaran Otonomi Khusus (Otsus) dan segala implementasi peraturan lainnya, baik yang bersifat Perdasus maupun Perdasi.

Asisten I Setda Provinsi Papua Doren Wakerkwa yang mewakili Gubernur Lukas Enembe, S.IP.,MH mengatakan, bahwa penguatan terhadap kapasitas dan peran MRP masih perlu menjadi perhatian serius. Hal tersebut dinilai penting dalam rangka memperkuat peran tugas dan fungsi pokok dari MRP khususnya dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat asli Papua.

“Bimtek yang digelar ini diharapkan lebih mempertajam peran, tugas dan fungsi dari MRP, khususnya dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat asli Papua. Dengan Bimtek ini maka tentu juga diharapkan, MRP kedepan lebih lebih baik dalam menjalankan tugas-tugasnya kedepan,” tandas Wakerkwa.

Hal yang hampir sama dikatakan oleh Wakil Ketua MRP Jimmi Mabel, S.Th.,MM. Ia  mengatakan, dengan kegiatan Bimtek kali ini diharapkan  mampu meningkatkan kemampuan l dan pengetahuan teknis tentang pelaksanaan tugas dan kewenangan para anggotanya.

“Peran MRP dalam implementasi kebijakan afirmasi, proteksi, dan pemberdayaan orang asli Papua  masih perlu diperkuat. Melalui Bimtek ini tentu diharapkan anggota MRP nantinya lebih mempertajam peran dan fungsinya masing-masing,” pungkasnya.

Dikatakan, pelaksanaan Bimtek yang menghadirkan sejumlah pamateri termasuk dari Bappenas juga membahas tentang materi kebijakan keuangan otonomi khusus dalam pengaturan dan implementasi perubahan Perdasus Nomor 25 Tahun 2013,  teknis dan metode audit keuangan, pedoman pengawasan dana otsus Papua dan sejumlah lainnya terkait hak dasar orang asli Papua.

“Kegiatan ini juga pada dasarnya juga untuk bertujuan meningkatkan kapasitas anggota MRP dalam penguasaan berbagai hal. Mulai dari tupoksi, kewenangan, dan pengambilan keputusan sebagai anggota MRP  serta sejumlah lainnya,” tandasnya.

Sementara itu Bupati Biak Numfor Herry Ario Naap, S.Si.,M.Pd   menyambut baik pelaksanaan Bimtek MRP di Biak.   Bupati Herry   juga menyinggung soal peran dan tugas MRP yang masih perlu diperkuat, khususnya lagi dalam hal implementasi regulasi dalam memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua. “Peran dan fungsi MRP masih perlu diperkuat, dalam mengimplementasikan tugas dan fungsinya MRP diharapkan kedepan lebih memberikan pengaruh yang lebih besar,” tandasnya. (*)

 

Sumber: www.ceposonline.com

 

Read More