Categories Berita

MRP Kecewa, Tak Ada Keterwakilan Perempuan Tabi di 14 Kursi DPR Papua

Ketua Pokja Agama MRP, Dorince Mehue didampingi Ketua Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau, protes ke Pansel 14 Kursi DPR Papua lantaran tak ada perwakilan perempuan Tabi, di sela-sela penyerahan Rekomendasi MRP, Rabu, 8 Juli 2020 – Doc

JAYAPURA, MRP  – Tidak adanya keterwakilan perempuan dari wilayah adat Tabi dalam seleksi 14 kursi DPR Papua hingga kini telah menghasilkan 42 orang calon, membuat Majelis Rakyat Papua (MRP) mengaku sangat kecewa.

“Tentu kami rasa sangat kecewa, lantaran tidak ada perwakilan perempuan terutama dari wilayah adat Tabi,” kata Ciska Abugau, AMa.Pd, Ketua Pokja Perempuan MRP usai penyerahan rekomendasi hasil verifikasi keaslian Orang Asli Papua oleh MRP ke Pansel 14 Kursi, Rabu, 8 Juli 2020.

Menurutnya,  dari empat wilayah adat yakni Laapago, Meepago, Animha dan Saireri sudah ada perwakilan unsur perempuan, namun wilayah adat Tabi tidak ada perwakilan perempuan hingga seleksi menghasilkan 42 orang itu.

Untuk itu, Ciska Abugau berharap agar Pansel 14 Kursi DPR Papua membuat masalah dengan tidak adanya keterwakilan perempuan dari wilayah adat Tabi pada seleksi 14 kursi DPR Papua itu.

“Jangan perempuan dimana-mana selalu dinomorduakan. Stop sudah, kami perempuan hari ini juga bisa. Ingat perempuan harus ada. Hari ini kami sangat kecewa sekali, karena satu wilayah adat Tabi, tidak ada keterwakilan perempuan, karena perempuan Tabi adalah perempuan Papua, bukan perempuan dari luar negeri,” tandasnya.

 Ditambahkan, jika perlakukan terhadap perempuan Tabi yang tidak masuk dalam 42 orang hasil seleksi Pansel 14 Kursi DPR Papua, itu berarti menyakiti dan mengecewakan perempuan Papua.

“Kami berharap meskipun sudah dihasilkan 42 orang calon anggota DPR Papua, supaya ada keadilan bahwa kami sudah usulkan ada lima perempuan Tabi harus dimasukkan, pasti ada yang memenuhi syarat. Kami harap dari wilayah adat, harus ada unsur perempuan, termasuk kami di MRP,” pungkasnya.

Senada dikatakan Ketua Pokja Agama MRP, Dorince Mehue mengakui, MRP telah melakukan pembahasan terhadap 42 calon 14 kursi DPR Papua dan ternyata ada ketimpangan di salah satu wilayah adat, sehingga harus menjadi pertimbangan bersama baik Pansel dan Gubernur Papua agar memberikan pertimbangan keterwakilan perempuan secara utuh untuk wilayah Tabi.

“Setelah kami membahas, kami melihat bahwa empat wilayah adat sudah ada keterwakilan perempuan. Tetapi mengapa di Tabi, dari sembilan orang yang diusulkan tidak ada perempuan, sebenarnya pada 34 orang dalam seleksi sebelumnya, sudah ada empat perempuan. Mengapa tidak dititipkan saja satu atau dua perempuan dari 9 orang pada hasil seleksi hingga 42 orang, namun 9 orang yang diusulkan ke MRP, semua laki-laki,” kata Dorince Mehue.

Untuk itu, lanjut Dorince Mehue, dalam pembahasan di MRP, Pokja Perempuan dan Pokja Adat serta Pokja lainnya menyuarakan agar dapat dipertimbangkan supaya ada keterwakilan perempuan dari wilayah Tabi, karena empat wilayah adat sudah ada keterwakilan perempuan.

“Nah, kenapa empat wilayah adat ada keterwakilan perempuan, sedangkan Tabi tidak ada? Karena kami di lembaga kultur sudah ada mewakili lima wilayah adat. Nah, ini ke depan harus diperhatikan keterwakilan perempuan ini, sesuai UU Otsus,” ujarnya.

Bahkan, Dorince Mehue menambahkan, jika keterwakilan perempuan dari empat wilayah adat itu, harus dalam posisi jadi sehingga ditambah dari Tabi, maka genap menjadi lima perwakilan wilayah adat dari unsur perempuan.

Wakil Ketua I MRP, Jimmy Mabel juga menyayangkan tidak adanya keterwakilan perempuan dari wilayah adat Tabi dalam seleksi 14 kursi DPR Papua itu.

Bahkan, MRP memberikan rekomendasi terkait keterwakilan perempuan dari wilayah Tabi dalam seleksi 14 kursi DPR Papua itu.

“Saya kira penerimaan partai politik 30 persen keterwakilan perempuan itu sudah jelas, 14 kursi ini mestinya harus sama, karena kerjanya di DPR Papua. Kami mengharapkan perlu diperhatikan perempuannya, sehingga kami anggap dari lima wilayah adat itu, lima perempuan harus masuk keterwakilan, sesuai keinginan MRP. Tidak usah pakai regulasi, tetapi ya ada juga cara lain untuk kita bisa masukkan perempuan dalam 14 kursi ini,” paparnya.

Sebab, imbuh Jimmy Mabel, perhitungan gender ini perlu dipertimbangkan, karena laki-laki dengan perempuan bersatu bisa membangun Papua ini.

“Saya kira itu paling penting. Tidak bisa laki-laki sendiri, perempuan sendiri. Tapi, dua menjadi satu menjadi satu kekuatan yang utuh untuk membangun Papua ini,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Pansel 14 Kursi DPR Papua, DR Septinus Saa menegaskan, jika pihaknya bekerja sesuai dengan Perdasus Nomor 6 Tahun 2014 tentang Rekrutmen Calon Anggota DPR Papua melalui Pengangkatan.

“Kita seleksi sesuai perintah Perdasus,” tandasnya. (*)

Sumber: Papuaterkini.com

Read More

Categories Berita

MRP dukung gerakan melawan unggahan media sosial yang merendahkan perempuan Papua

Ketua Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau bersama Sekretaris Pokja Perempuan MRP, Orpa Nari saat memberikan keterangan pers kepada jurnalis di Jayapura. – Jubi/Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua atau Pokja Perempuan MRP mengajak dan mendukung seluruh perempuan Papua bersatu melawan berbagai unggahan media sosial yang bias gender dan merendahkan martabat perempuan. Dukungan dan ajakan itu disampaikan Ketua Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau di Kota Jayapura, Rabu (8/7/2020).

Ciska Abugau menyampaikan dukungan itu sebagai respon atas gerakan Koalisi Perempuan Papua yang mengecam unggahan status seorang pengguna facebook bernama MJ Yarisetouw yang telah melecehkan martabat perempuan Papua. Pada Senin (6/7/2020) lalu, MJ Yarisetouw menyampaikan permohonan maaf secara terbuka atas status yang diunggahnya pada 2 Juli 2020 itu.

Ia menyatakan seluruh perempuan Papua harus bersatu melawan berbagai unggahan media sosial yang bias gender dan merendahkan martabat perempuan. “Kami, 17 perempuan di Pokja Perempuan MRP, mendukung Koalisi Perempuan Papua yang mau membawa kasus itu ke ranah hukum. Harus ada efek jera, supaya menjadi pembelajaran,” kata Abugau kepada Jubi pada Rabu.

Abugau menyatakan, apapun bentuk penyelesaian dari kasus unggahan status Yarisetouw, baik melalui proses hukum ataupun diselesaikan dengan permintaan maaf, perempuan Papua harus mendidik laki-laki Papua untuk menghargai perempuan. Abugau menegaskan perempuan Papua bukan obyek pelampiasan nafsu, obyek caci maki, atau obyek yang harus dipamer-pamerkan laki-laki.

Ia menyatakan setiap laki-laki Papua harus menghargai perempuan Papua sebagaimana mereka menghormati mama, istri, atau adik perempuan dalam keluarga mereka. Setiap laki-laki juga harus ingat untuk menghormati perempuan Papua saat menggunakan media sosial.

“Perempuan itu setara, jadi dia [laki-laki] mesti lindungi perempuan. Perlu memberikan pembelajaran, karena banyak laki-laki atau perempuan juga pamer-pamer foto tidak wajar dengan tujuan yang tidak jelas. [Tindakan itu] hanya merendahkan martabat wanita. Tolong mengunakan media sosial untuk hal yang positif, untuk kemajuan manusia Papua, [dengan unggahan] yang saling menghargai dan melindunggi antara laki-laki dan perempuan,” ujar Abugau.

Dalam keterangan pers pada Senin, sejumlah tokoh perempuan Papua yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Papua mengecam status Facebook yang diunggah MJ Yarisetouw. Wakil Ketua Solidaritas Perempuan Papua, Naci Jacqueline Hamadi mengatakan status MJ Yarisetouw itu adalah bentuk kekerasan verbal terhadap perempuan, dan berpotensi menjadi kekerasan berganda terhadap korban kekerasan terhadap perempuan.

Jacqueline Hamadi menyatakan Yarisetouw harus menghormati dan menghargai kedudukan perempuan Papua sebagai mama yang mewariskan ras Melanesia, mewariskan lelaki Papua. Tanpa perempuan Papua, tidak mungkin ada laki-laki Papua. “Apabila di Amerika [Serikat] mereka perjuangkan Black Lives Matter, hari ini kami nyatakan Papua Women Lives Matter. Kami akan berjuang untuk mempertahankan hak dan martabat kami sebagai perempuan Papua,” kata Hamadi.

Ia mengingatkan, kini ada banyak perempuan Papua yang berkarya dan berkarir di seluruh penjuru dunia, menekuni berbagai bidang profesi dan pekerjaan. Telah ada banyak perempuan Papua yang menjadi Guru Besar bergelar Profesor, menempuh pendidikan tinggi hingga bergelar Doktor, menjalankan profesi mulia seperti dokter, dan banyak pekerjaan lainnya.

“Jadi sebenarnya postingan status Facebook MJ Yarisetouw itu ditujukan kepada siapa? Setiap perempuan memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Setiap orang memiliki hak [untuk mendapatkan penghormatan atas kehidupan pribadinya]. Anda tidak punya hak untuk mengurus [kehidupan pribadi] mereka. [Ujaran Anda bisa tertuju kepada] perempuan [yang] mendapatkan perlakuan, kekerasan verbal dan non verbal, atau bahkan pemerkosaan, [dan ujaran Anda menimbulkan] kekerasan berganda. Itu tidak boleh diulangi lagi,” tegas Hamadi dalam keterangan pers Koalisi.

Hamadi meminta MJ Yarisetouw meminta maaf secara terbuka atas status facebook yang diunggahnya. “Dalam seminggu ini kami tunggu. Jika tidak, kami [akan] melaporkan kepada pihak berwewenang untuk melanjutkan proes Hukum,” katanya.

Dalam keterangan perse terpisah pada Senin, MJ Yarisetouw akhirnya meminta maaf kepada perempuan Papua, karena mengunggah status Facebook yang melecehkan dan merendahkan martabat perempuan Papua. Permohonan maaf itu juga disiarkan secara langsung melalui laman Facebook Yarisetouw. “Saya menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya,” kata Yarisetouw.

Yarisetouw mengakui unggahan statusnya telah menciderai perasaan seluruh “perempuan tanah” atau perempuan Papua. “Kepada seluruh perempuan Papua yang ada di Tanah Papua dan di manapun berada, sekali lagi [saya meminta] maaf. Saya tidak akan mengulanginya, sebab [perbuatan saya] itu menciderai hati perempuan Papua. Sekali lagi, saya memohon maaf kepada bapa, mama, dan khususnya perempuan Papua atau perempuan tanah, atas pontingan saya yang telah melukai hati dan perasaannya,” katanya.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Tak punya wakil dari jalur pengangkatan, perempuan Tabi mengadu ke MRP

Sejumlah perempuan yang mengatasnamakan Perempuan dari Lima Wilayah Adat di Papua mengadukan proses seleksi calon anggota DPR Papua jalur pengangkatan kepada Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua. – Jubi/Yulan

JAYAPURA, MRP – Sejumlah perempuan yang mengatasnamakan Perempuan dari Lima Wilayah Adat di Papua mendatangi Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua, Senin (6/7/2020). Mereka mengadukan proses seleksi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Papua yang tidak meloloskan satupun calon perempuan dari Wilayah Adat Tabi.

Dalam pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua, keanggotaan DPR Papua terdiri dari 55 wakil partai politik yang dipilih melalui Pemilihan Umum, dan 14 orang asli Papua (OAP) yang dipilih melalui mekanisme pengangkatan. Tim seleksi dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Provinsi Papua telah menyeleksi berkas para calon yang mendaftarkan diri untuk diangkat menjadi anggota DPR Papua, dan menyerahkan daftar nama 42 calon kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk diverifikasi asal-usulnya sebagai orang asli Papua.

Perempuan dari Lima Wilayah Adat di Papua meminta Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan MRP untuk memeriksa secara serius proses seleksi berkas para calon anggota DPR Papua jalur pengangkatan sejak tahap pertama hingga tahapan ketiga. Tahapan seleksi itu dinilai bermasalah, karena mencoret semua calon perempuan dari Wilayah Adat Tabi.

Lidia Mokay, salah satu perempuan Tabi yang mengadu bersama perempuan Papua lainnya berpendapat proses pemeriksaan berkas yang dilakukan panitia seleksi penuh kecurangan dan tidak transparan. “Ada kejanggalan dalam proses ini. Tidak ada tranparansi panitia seleksi kepada peserta tes. Tahapan yang dilakukan pansel juga tidak jelas,” kata Mokay yang gugur dalam seleksi pembuatan makalah.

Mokay bersama perempuan lainnya menduga proses pendaftaran calon anggota DPR Papua jalur pengangkatan hanya formalitas. Mereka menduga Gubernur Papua nantinya akan menetapkan anggota DPR Papua jalur pengangkatan periode sebelumnya untuk diangkat lagi menjadi anggota DPR Papua jalur pengangkatan periode 2019 – 2024.

“Kami dengar sudah ada kesepakatan di antara 14 orang itu. [Kabar itu menyebut] Gubernur tinggal keluarkan Surat Keputusan, lantik, sudah mereka kerja,” ujar Mokay.

Mokay menyatakan wilayah adat selain Tabi masih memiliki calon perempuan di dalam daftar 42 nama calon anggota DPR jalur pengangkatan yang diverifikasi MRP. Kondisi itu membuat perempuan dari wilayah Tabi merasa dilecehkan. Mokay berharap MRP sebagai lembaga kultur orang asli Papua mendengar dan ikut memperjuangkan adanya keterwakilan perempuan Tabi dalam pengangkatan anggota DPR Papua.

“Kami dilecehkan sebagai perempuan, tidak ada keterwakilan perempuan dari Tabi. Ada [jatah] tiga kursi, tetapi kenapa tidak ada satu pun perempuan yang lolos di antara laki-laki? Itu kami tuntut,” tegas Mokay.

Sekretaris Pokja Perempuan MRP, Orpa Nari menyatakan pihaknya akan menindaklanjuti pengaduan itu sesuai mekanisme di MRP. MRP akan meneruskan aduan itu kepada Pemerintah Provinsi Papua, Panitia Seleksi, dan DPR Papua sebagai penyelenggara perekrutan 14 anggota DPR Papua jalur pengangkatan.

Orpa Nari menekankan bahwa MRP hanya berwenangan memverifikasi asal-usul para calon sebagai orang asli Papua. “Aspirasi ini akan dilanjutkan sesuai mekanisme yang berlaku di lembaga. Kemudian, MRP khususnya Pokja Perempuan, tidak diberikan kewenangan atau ruang untuk menentukan. [MRP hanya] diberi ruang untuk memverifikasi keaslian calon sebagai orang asli Papua.(*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

Aturan pelaksanaan Otsus belum lindungi kepentingan perempuan Papua

Ketua Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau bersama Sekretaris Pokja Perempuan MRP, Orpa Nari saat memberikan keterangan pers kepada jurnalis di Jayapura. – Jubi/Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ciska Abugau yang pekan lalu terpilih menjadi Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua menyatakan aturan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua belum berpihak kepada kepentingan perempuan Papua. Abugau menyatakan pihaknya akan memperjuangkan aturan penggunaan dan pembagian Dana Otonomi Khusus Papua untuk kelompok perempuan Papua.

Hal itu dinyatakan Ciska Abugau kepada Jubi pada Minggu (5/7/2020). “Kami sudah turun, melihat dan ada beberapa masalah-masalah. Kami sudah tahu masalahnya adalah regulasi yang tidak berpihak kepada perempuan. Salah satunya, [tidak ada] regulasi perlindungan perempuan dari  kekerasan [yang dilakukan aparatur] Negara, pemerintah daerah, [ataupun kekerasan dalam] rumah tangga,” kata Abugau.

Menurut Abugau, suara perempuan Papua di pesisir pantai, danau, pegunungan, lembah, dan rawa-rawa banyak yang tidak terdengar. Perempuan Papua mengalami banyak masalah, baik sebagai perempuan, anak perempuan, ataupun mama. Abugau menyatakan perempuan Papua kerap menjadi korban dari sistem pemerintahan, sistem masyarakat, ataupun kehidupan rumah tangga yang tidak melindungi kepentingan perempuan.

Abugau menyatakan Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dipimpinnya akan memperjuangkan regulasi atau aturan pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang melindungi kepentingan perempuan Papua. Menurutnya, perlindungan perempuan Papua membutuhkan regulasi khusus, termasuk pengaturan yang jelas mengenai pembagian dan pengunaan Dana Otsus untuk perempuan Papua.

“Saya bersyukur, saya merasa, menjadi Ketua [Pokja Perempuan MRP] itu kepercayaan untuk saya bersama 16 perempuan [anggota Pokja Perempuan MRP untuk] menyuarakan suara-suara perempuan yang tidak bersuara [Kami akan memperjuangkan] regulasi pembagian Dana Otsus, khusus untuk perempuan. Kami sudah organisir,” kata Abugau.

Abugau menilai MRP memasuki masa yang berat, karena banyak pihak menyoroti akan berakhirnya aturan besaran Dana Otsus Papua setara 2 persen Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional pada tahun 2021. Berakhirnya jangka waktu kucuran dana setara 2 persen DAU Nasional itu telah memunculkan wacana evaluasi dan revisi UU Otsus Papua.

Abugau menyatakan pihaknya harus kerja keras untuk memastikan hal yang terkait upaya perlindungan perempuan Papua menjadi bagian dari evaluasi UU Otsus Papua. “Kami akan melakukan [dengar pendapat atau] hearing, [dan] dialog dengan instansi, lembaga terutama Dinas Pemberdayaan Perempuan,” kata Abugau.

Selain akan bertemu pihak pengunaan Dana Otsus, pihaknya akan memfasilitasi penerima manfaat. Abugau menyatkaan Pokja Perempuan MRP akan melakukan rapat dengar pendapat dalam skala besar, untuk melihat manfaat Dana Otsus bagi perempuan Papua. “Kami akan gelar rapat dengar pendapat [untuk] melihat apakah Dana Otsus sudah memberdayakan perempuan atau tidak,” katanya.

Ia mengajak semua pihak, khususnya 50 anggota MRP untuk bekerjasama, karena keberhasilan Pokja Perempuan MRP akan menjadi keberhasilan MRP memperjuangkan perlindungan bagi orang asli Papua (OAP). “Kita kerja sama, bergandengan tangan menyuarakan suara-suara perempuan Papua yang tidak bersuara. Kita bangun komitmen bersama untuk memberdayakan perempuan Papua,” kata Abugau.

Ketua MRP Timotius Murib mengatakan evaluasi dan pemilihan pimpinan alat kelengkapan MRP dilakukan setelah para pimpinan bekerja selama 2,5 tahun. “[Kami bersama-sama mengevaluasi] apa saja telah dikontribusikan untuk lembaga ini demi kepentingan OAP, evaluasi dan laporan apa yang mereka kerjakan, hasil yang mereka capai dan sedang kerjakan,” kata Murib kepada Jubi.

Murib meminta para pimpinan alat kelangkapan MRP, baik yang baru terpilih ataupun yang melanjutkan jabatannya, segera menyusun program untuk memperbaiki kinerja lembaga dalam melindungi dan memperjuangkan hak OAP. “MRP [ingin] meningkatkan kinerja untuk menolong OAP selama Otsus,”ungkapnya.

Meskipun masa bakti para anggota MRP periode ini tinggal 2,5 tahun, Murib mengingatkan para anggota MRP akan bekerja pada akhir masa berlakunya aturan kucuran Dana Otsus Papua setara 2 persen DAU Nasional. Ia berpesan anggota dan unsur pimpinan alat kelengkapan MRP bekerja dalam rangka evaluasi Otsus.

“Anggota dipercayakan [dan] harus berkontribusi untuk lembaga, melakukan dengar pendapat, dialog dengan lembaga yang mengunakan Dana Otsus Papua. Kita melakukan program kerja dalam rangka evaluasi Otsus,” ungkapnya.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Bupati Jember: Perempuan Papua harus menjadi pemimpin di tanahnya sendiri

Pertemuan Bupati Jember bersama pimpinan MRP dan anggota MRP di kantor MRP- Jubi/Agus Pabika.

 

Jayapura, MRP – Anggota Pokja Agama Majelis Rakyat Papua (MRP) Helena Hubi mengatakan, kehadiran Bupati Jember, Faida, dapat memotivasi perempuan Papua untuk menjadi pemimpin dan melindungi hak-hak perempuan Papua dari ancaman modernisasi.

“Perempuan Papua bisa menjadi pemimpin di tanah Papua dan kehadiran ibu bupati membawa satu motivasi tersendiri untuk perempuan Papua untuk bisa menjadi pemimpin di sini misalnya di tingkat kabupaten,” kata Helena dalam pertemuan silahturahmi tersebut, Selasa (28/01/2020).

Menurutnya, peran perempuan Papua dalam Legislatif terbilang sedikit dan MRP sebagai lembaga kehormatan rakyat Papua menjadi tempat bagi perempuan Papua bisa memiliki kesempatan untuk menjadi perwakilan tujuh wilayah adat masing-masing.

“Sangat sulit perempuan Papua bersaing di kursi legislative dan untung ada MRP sehingga hak perempuan Papua dapat kami aspirasikan lewat lembaga MRP,” kata Helena.

Sementara, Bupati Jember, Faida, mengapresiasi lembaga MRP karena memiliki 17 perwakilan perempuan Papua yang bisa bekerja dan menyuarakan hak-hak perempuan lewat lembaga resmi yang terhormat.

“Berjuang untuk hak-hak perempuan sejatinya tugas kita bersama di seluruh dunia, dan kami harap perempuan hebat Papua yang berada di kursi Legislatif dan MRP dapat menyuarakan dan memberi perlindungan terutama di dunia pendidikan (uang sekolah) diberi perhatian khusus kepada perempuan,” katanya. (*)

 

Read More