Categories Berita

Komnas HAM Akan Beri Pendapat UU Otsus Bagi Provinsi Papua Kepada MK  

Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua hari ini mengunjungi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk membahas pelanggaran HAM di Papua dan kebijakan pusat yang mengabaikan partisipasi orang asli Papua – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua hari ini mengunjungi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk membahas pelanggaran HAM di Papua dan kebijakan pusat yang mengabaikan partisipasi orang asli Papua. Salah satunya adalah pemekaran provinsi Papua sehingga menuai protes penolakan yang meluas.

“Saat ini kami mengajukan uji materi terhadap UU No. 2/2021 Tentang Perubahan Kedua UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU ini dibuat tanpa pertimbangan MRP, tanpa konsultasi dan partisipasi orang asli Papua. Bahkan materi UU ini melemahkan hakhak orang asli Papua. Kami meminta Komnas HAM memberi pendapat di MK,” kata Wakil Ketua I MRP Yoel Luis Mulait.

Selain Yoel, MRP juga diwakili oleh Ketua Tim Kerja Otsus MRP Benny Sweny, yang didampingi oleh perwakilan DPN Peradi RBA Saor Siagian, Rita Kalibongso, dan Muniar Sitanggang. Selain itu, pertemuan juga dihadiri Amnesty International Indonesia yang diwakili oleh Usman Hamid, Nurina Savitri, dan Wirya Adiwena, dan Muhammad Haikal dari Public Virtue Research Institute.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menjelaskan, dalam waktu dekat, Komnas HAM berencana memberi pendapat hukum kepada Mahkamah Konstitusi soal hak-hak orang asli Papua yang terlanggar akibat proses pengesahan UU No. 2/2021 Tentang Perubahan Kedua UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

“Senin, 15 Maret, kami akan bahas dengan tim khusus perihal revisi kedua UU Otsus tersebut. Kami akan menimbang perlunya surat keterangan dari Komnas HAM selaku lembaga negara yang independen untuk memberikan pendapat ahli dalam perspektif HAM kepada MK terkait tidak dilibatkannya partisipasi orang asli Papua dalam pembuatan UU tersebut, dan materi yang melanggar hak-hak orang asli Papua dalam kerangka Otonomi Khusus,” kata Ahmad.

Lanjutnya, Komnas HAM juga akan  memberikan pendapat UU Otsus Bagi Provinsi Papua kepada MK Jakarta, 11 Maret 2022.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia mendampingi MRP ke Komnas HAM membahas pelanggaran hak orang asli Papua dalam keterlibatnya merevisi UU Otsus nomor 2 tahun 2021.

“Jadi kami mendukung kunjungan MRP ke Komnas HAM. Kami meminta Komnas HAM agar ikut mengkaji kebijakan pemerintah pusat yang menjadi akar penyebab terlanggarnya hak orang asli Papua, termasuk revisi kedua UU Otsus yang menegasikan peran MRP, menghapuskan hak atas partisipasi politik lewat partai lokal, dan masih mementingkan kepastian hukum bagi pengusaha daripada orang asli Papua. Itu diskriminatif, inkonstitusional, dan melanggar kesepakatan politik yang tertuang di mukadimah UU Otsus,” kata Usman.

Komnas HAM diminta bukan cuma menyelidiki pelanggaran HAM secara konvensional, tapi juga mencari akar masalah dari berulangnya kekerasan. Salah satunya adalah inkonsistensi Otonomi Khusus. Banyak yang belum ditepati. Komisi HAM, KKR dan Pengadilan HAM di Papua tidak pernah dibentuk. Sekarang pasal-pasal penting dalam UU Otsus itu diubah. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Anggota MRP desak Pemerintah Pusat izinkan pelapor khusus ke Papua

Rakyat Papua terus menagih janji pemerintah pusat selesaikan pelanggaran HAM besar di Paniai 2014 silam – Doc

Jayapura, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua, Pdt. Nikolaus Degey mendesak Pemerintah Indonesia mengizinkan perwakilan PBB yang menangani Hak Asasi Manusia untuk masuk ke Papua. Kata dia, dengan masuknya perwakilan PBB bisa membuka tabir pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Papua.

Menurutnya, Indonesia tak seharusnya menutupi berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Apalagi sudah ada penetapan sejumlah kasus yang dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat. Sebut saja pelanggaran HAM Paniai 7-8 Desember 2014.

“Kami menerima laporan aktivis HAM di Jakarta, Komnas HAM menetapkan Kasus Paniai sebagai pelanggaran HAM berat,”ungkapnya kepada jurnalis Jubi, Minggu (16/02/2020) di Kota Jayapura, Papua.

Dikatakan Degey, penetapan itu membuktikan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua bukanlah rekayasa pihak tertentu. Karena itulah ia meminta pemerintah Indonesia berjiwa besar mengakui pelanggaran itu dan mengizinkan PBB masuk ke Papua.

“Pemerintah harus segera mengizinkan masuk ke Papua. Permintaan ini harus Jakarta yang sampaikan sehingga pelapor khusus PBB pun masih menanti, kapan undangan akan dikirim,”ungkapnya.

Di sisi lain, John Gobay, mantan anggota parlemen provinsi Papua mengatakan penetapan kasus Paniai sebagai pelanggaran HAM berat menambah panjang jumlah kasus pelanggaran HAM di Papua.

“Sebelumnya ada Wasior dan Wamena. dua kasus terendap di Makamah Agung,” ungkapnya.

Karena itu, pihaknya berharap 3 kasus ini menjadi pertimbangan utama dari Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk membentuk pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Menurutnya, pembentukan pengadilan HAM ini akan membuat proses peradilan berjalan transparan.

“Ini penting, masyarakat harus dengan mata kepala sendiri menyaksikan proses tersebut, akan memberikan kepuasan kepada keluarga korban,”ungkapnya.

Sebelumnya, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM pada 3 Februari 2020 memutuskan kasus Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.

“Secara aklamasi, kami putuskan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan dikutip dari Kompas.com, Sabtu (15/2/2020).

Kata Taufan, keputusan paripurna khusus ini melalui proses penyelidikan pajang Tim Ad Hoc selama 5 tahun, dari tahun 2015 hingga 2020. Peristiwa Paniai terjadi kekerasan penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang siswa berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk. Kemudian, 21 orang lainnya mengalami luka penganiayaan. Korban menjalani pengobatan serius di rumah sakit setempat. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More