Categories Berita

MRP bersyukur 7 Tapol Papua divonis ringan

 

 

Wakil Ketua I MRP, Jimmy Mabel – Humas MRP

 

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP bersyukur atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Balikpapan yang memvonis tujuh tahanan politik atau Tapol Papua dengan hukuman penjara antara 10 hingga 11 bulan. Hukuman itu jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum agar mereka dihukum antara 5 – 17 tahun penjara.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua I MRP, Jimmy Mabel kepada Jubi di Kota Jayapura, Jumat (19/6/2020). “Pertama, syukur kepada Tuhan Allah Bangsa Papua,” kata Mabel.

Ketujuh Tapol Papua itu adalah para mahasiswa dan aktivis yang ditangkap dan diadili pasca gelombang demonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.  Mereka adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay, serta Fery Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.

Dalam  persidangan yang digelar PN Balikpapan pada 2 Juni 2020 dan 5 Juni 2020, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut ketujuh Tapol itu dengan hukuman penjara antara lima tahun hingga 17 tahun. Pada Rabu (17/6/2020) majelis hakim membacakan vonis yang menyatakan ketujuh Tapol Papua bersalah melakukan makar, namun menjatuhkan hukuman yang lebih ringan dari tuntutan JPU.

Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok yang dituntut hukuman 5 tahun penjara dijatuhi hukum 10 bulan penjara. Alexander Gobay dan Fery Kombo yang dituntut hukuman 10 tahun penjara akhirnya dijatuhi hukuman 10 bulan penjara. Sementara Agus Kossay dan Steven Itlay yang dituntut 15 tahun penjara dihukum 11 bulan penjara. Bucthar Tabuni yang ditntut JPU dengan hukuman 17 tahun penjara divonis 11 bulan oleh majelis hakim.

Mabel menyatakan putusan itu bukan buah perjuangan satu-dua orang, melainkan perjuangan semua pihak. Mabel menyebut putusan itu buah perjuangan para penasehat hukum, para terdakwa, pemerintah daerah serta berbagai pihak di Papua, dan seluruh orang asli Papua.”Para pengacara, pengadilan yang mengadili, pemerintah di dan rakyat akar rumput, orang asli Papua,” kata Mabel.

Menurutnya, putusan majelis hakim PN Balikpapan itu memang tidak memuaskan harapan masyarakat Papua yang meyakini para Tapol Papua itu berdemonstasi untuk menolak tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, dan bukan pelaku makar. “Mereka harusnya bebas murni, karena kasus ini murni [masalah] rasisime. Akan tetapi, kami bersyukur dengan putusan hukuman ringan itu, bertolak belakang dengan [tuntutan] JPU,” kata Mabel.

Sebelumnya, pada Rabu (17/6/2020), penasehat Hukum (PH) tujuh Tapol Papua, Gustaf Kawer menilai majelis hakim yang mengadili perkara itu telah bersikap netral dalam menjatuhkan hukuman terhadap kliennya “Kami menyampaikan terima kasih, sebab hakim netral sehingga putusan itu [lebih] rendah [dari tuntutan JPU]. Seandainya hakim tidak netral, saya yakin putusannya tidak akan berubah [dari yang dituntut jaksa],” kata Kawer di Jayapura, Rabu.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Anggota MRP: Hentikan penangkapan mahasiswa Papua

Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) ditangkap polisi di kampusnya pada Senin (15/6/2020). – IST

JAYAPURA, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP, Pdt Nikolaus Degey STh meminta Kepolisian Resor Kota Jayapura segera membebaskan empat mahasiswa yang juga pengurus Badan Eksekutf Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura. Degey meminta polisi berhenti mencampuri aktivitas mahasiswa di lingkungan kampus.

Hal itu dinyatakan Degey menyikati ditangkap pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) oleh polisi pada Senin (15/6/2020) sekitar pukul 08.00 WP. Menempatkan empat mahasiswa yang ditangkap di kampus mereka adalah Marten Pakage, Semi Gobay, Albert Yatipai, dan Ones Yalak.

Marten dan teman-teman diambil setelah mereka membuka Posko Mimbar Bebas Pembebasan Tapol Papua di kampusnya pada Sabtu (13/6/2020) lalu. Bagaimana cara polisi mencampuri urusan kampus?

“Lingkungan kampus itu Lingkungan akademik, jadi tidak perlu tangkap lah. Kalau tangkap, ini kan mencampuri urusan kampus, ”kata Degey bagi Jubi.

Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Agama MRP yang memenangkan mimbar bebas yang menyuarakan kebebasan pembebasan tujuh tahanan politik (Tapol) Papua yang tengah diadili di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan di Kalimantan Timur harus dilihat sebagai bagian dari tantangan akademi. Terkait dengan diskusi tentang berani yang diikuti para tokoh Papua pada pekan lalu, dan sama-sama membahas beratnya menanggapi Jaksa Penuntut Umum terhadap tujuh Tapol Papua di PN Balikpapan.

“Jadi, kalau mau tangkap, tangkap semua. Jangan hanya empat mahasiswa USTJ saja yang ditangkap. Hukum harus adil. Kalau tidak bisa adil [dengan] diskusi semua [orang yang membahas masalah tujuh Tapol Papua], bebaskan saja empat anak itu, ”kata Degey.

Di tempat terpisah, advokat Emanuel Gobay selaku Koordinator Litigasi Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua menyatakan mimbar bebas di Kampus USTJ yang tidak melanggar hukum, sehingga para penyelenggaranya tidak bisa menjadi polisi. Gobay meminta mahasiswa baru USTJ segera dikirimkan.

Ia menyetujui kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu mengirim surat meminta penyampaian pendapat di muka umum, sebagaimana disetujui Undang-undang (UU) Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. 

“Secara eksplisit menjawab bahwa kegiatan akademik dan kegiatan keagamaan merupakan kegiatan yang dikecualikan dalam persetujuan tertulis,” kata Gobay dalam keterangan pers tertulisnya.

Gobay menyatakan otoritas penegak hukum di Papua wajib menyetujui dan melindungi hak demokrasi warga negara yang menyetujui UU Nomor 9 Tahun 1998. “Maka, sudah disetujui empat orang mahasiswa USTJ yang tangkap, Marthen Pakage, Semi Gobay, Albert Yatipai, Ones Yalak didukung saja,” tegas Gobay. (*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Berita

MRP minta Presiden nasehati JPU dan majelis hakim Tapol Papua

Ketua MRP Timotius Murib menyerahkan aspirasi Rakyat Papua untuk pembebasan 7 Tapol Rasis Papua kepada Staf Ahli president Laus D.C.Rumayom (Jubi/Humas MRP)

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP berharap Presiden Joko Widodo mau memberikan saran agar Jaksa Penuntut Umum dan majelis hakim yang menangani perkara tujuh tahanan politik Papua di Pengadilan Negeri Balikpapan dapat menegakkan hukum dan rasa keadilan. Permintaan itu disampaikan Ketua MRP Timotius Murib di Jayapura, Senin (15/6/2020).

Murib menyebut harapan itu bukan semata-mata harapan MRP, namun juga aspirasi rakyat Papua yang menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada tujuh tahanan politik (Tapol Papua) yang dinilai tidak adil. Ketujuh tahanan politik (tapol) Papua itu adalah para mahasiswa dan aktivis yang ditangkap dan diadili dalam perkara makar, pasca gelombang demonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

Murib menyatakan rakyat Papua telah menyampaikan aspirasi mereka kepada MRP, baik secara langsung maupun melalui media massa, mempertanyakan beratnya tuntutan JPU. Murib menyatakan pihaknya telah menyampaikan seluruh aspirasi rakyat Papua itu secara tertulis melalui Staf Ahli Deputi V Kantor Kepresidenan, Laus Deo Calvin Rumayom pada pekan lalu.

“Kami harap Presiden sebagai pimpinan negara ini memberikan saran supaya JPU dan hakim memberikan pertimbangan dan putusan yang sebaik-baiknya. Mereka yang mengadili [7 tapol] itu [adalah] negarawan. Negarawan harus menegakan hukum, adil, dan profesional,” ujar Murib kepada jurnalis Jubi.

Murib menyatakan MRP meminta para penegak hukum di Indonesia, khususnya JPU dan hakim yang menangani perkara makar tujuh Tapol Papua, mengedepankan hukum dan keadilan dengan fakta persidangan dan fakta yang ada di tengah masyarakat Papua. Jika JPU dan hakim melihat fakta dan tidak memiliki kepentingan lain, demikian menurut Murib, ketujuh Tapol Papua seharusnya bebas dari tuntutan hukum.

Murib menegaskan, ketujuh Tapol Papua bukanlah pelaku rasisme yang membuat rakyat Papua marah dan berunjuk rasa di berbagai kota. “Mereka harus dibebaskan demi hukum. Karena, kami ikuti baik proses persidangan kasus rasisme melalui [tim] pengacara MRP, sudah terbukti

mereka bukan pelaku,” kata Murib.Pekan lalu, Pimpinan Lintas Agama se-Papua juga telah berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo, meminta agar tujuh Tapol Papua yang tengah menjalani proses hukum sebagai terdakwa makar diperlakukan secara adil. Dalam surat mereka tertanggal 12 Juni 2020, Pemimpin Lintas Agama se-Papua juga meminta Joko Widodo serius menyelesaikan masalah rasisme di Papua.

Seruan Pimpinan Lintas Agama se-Papua itu melibatkan para pimpinan umat beragam dari Forum Kerukunan Umat Beragama, Persekutuan Gereja-gereja Papua, Persekutuan Gereja-gereja Jayapura, Keuskupan Jayapura, dan sejumlah Sinode Gereja di Papua. Pemimpin Lintas Agama se-Papua menyatakan berbagai unjuk rasa anti rasisme yang terjadi di Papua dan Jakarta dipicu oleh sejumlah insiden rasial terhadap mahasiswa Papua di Malang, Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang.

Ketujuh Tapol Papua itu adalah para mahasiswa dan aktivis yang ditangkap dan diadili pasca gelombang demonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.  Ketujuh Tapol Papua yang diadili di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan itu adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay, serta Feri Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.

Dalam  persidangan yang digelar PN Balikpapan pada 2 Juni 2020 dan 5 Juni 2020, JPU menuntut tujuh Tapol Papua dengan pasal makar dan meminta hakim menjatuhkan hukuman penjara antara lima tahun hingga 17 tahun. Buchtar Tabuni dituntut hukuman balik berat, 17 tahun penjara. Sementara Steven Itlay dan Agus Kossay 15 masing-masing dituntut 15 tahun penjara. Alexander Gobay dan Fery Kombo masing-masing dituntut 10 tahun penjara. Sedangkan Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok masing-masing dituntut hukuman lima tahun penjara.

Para pemuka agama meminta proses hukum terhadap ketujuh Tapol Papua diperlakukan secara lebih adil. Pemimpin Lintas Agama se-Papua menyatakan kasus hukum ketujuh Tapol itu bermula dari masalah rasisme, dan bukan makar.

“Dengan demikian, negara harus bisa membedakan antara gerakan makar dan reaksi terhadap rasisme,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua, KH Saiful Islam Al Payage di Kantor Simode Gereja Kristen Injili, Kota Jayapura, Jumat (12/6/2020).(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

MRP akan kawal aspirasi pelajar soal tapol Papua

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib didampinggi beberapa anggota MRP berfoto bersama para aktivis Solidaritas Mahasiswa Papua. – Dok. MRP

JAYAPURA,  MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP menyatakan akan mengawal aspirasi Solidaritas Mahasiswa Papua yang meminta tujuh tahanan politik Papua yang sedang diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan segera menerima. Hal itu dinyatakan Ketua MRP, Timotius Murib di Kota Jayapura, Rabu (10/6/2020).

Timotius Murib menyatakan pada Selasa (9/6/2020) pihaknya telah menerima kunjungan Solidaritas Mahasiswa Papua. Perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai perguruan tinggi di Kota Jayapura yang datang ke MRP untuk menggabungkan masalah beratnya

“Kemarin kami menerima undangan BEM perguruan tinggi negeri dan swasta,” kata Murib kepada Jubi, Rabu.

Menurutnya, aspirasi yang disampaikan Solidaritas Mahasiswa Papua kepada MRP sama dengan yang mereka umumkan sebelumnya, meminta pembebasan ketujuh tapol yang sekarang diadili di PN Balikpapan. Para siswa meminta MRP mengupayakan ketujuh tapol Papua itu bisa dibeli tanpa syarat.

Murib menyatakan setelah tindakan dan ujaran terhadap mahasiswa Papua terjadi di Surabaya pada 16 Agustus 2019, MRP telah membentuk Tim Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) MRP. Murib akan mengumumkan aspirasi Solidaritas Mahasiswa Papua kepada tim tersebut. “Karena itu, melalui tim itu, kami akan meneruskan aspirasi pelajar. Kita berjuang bersama, ”kata Murib.

Ketua Tim Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) MRP, Yoel Luiz Mulait mengatakan pihaknya akan mengawal aspirasi mahasiswa.

“Sesuai pasal 20 huruf (e) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, itu tugas dan wewenang MRP. Jadi setiap aspirasi rakyat Papua [menjadi] tugas kami untuk kawal. Tentunya, sesuai mekanisme kelembagaan MRP, ”kata Mulait. (*)

Sumber: Jubi. co. id 

Read More

Categories Berita

MRP minta 7 tapol dipulangkan ke Papua

Ilustrasi tujuh tapol Papua yang dipindahkan ke Kaltim saat akan diserahkan ke Kejaksaan. – Jubi. Dok

 

Jayapura, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP meminta Kejaksaan Tinggi Papua memulangkan tujuh tahanan politik asal Papua yang kini ditahan di Kalimantan Timur. MRP menilai pemindahan lokasi penahanan dan pemindahan tempat persidangan ketujuh tahanan politik itu tidak beralasan, karena situasi di Papua telah aman.

Permintaan itu disampaikan oleh Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Agama MRP, Yoel Mulait di Jayapura, Selasa (28/1/2020). “Kita minta 7 tahanan di Kalimantan dipindahkan di Papua, [dan menjalani] persidangan [di Papua],” kata Yoel Mulait.

Ketujuh tahanan politik (tapol) yang ditahan di Kalimantan Timur itu adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay, serta Feri Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.

Pada 4 Oktober 2019, Kepolisian Daerah Papua memindah lokasi penahanan ketujuh tapol kasus makar Papua itu dari Jayapura ke Kalimantan Timur. Mahkamah Agung RI telah menunjuk Pengadilan Negeri Balikpapan untuk memeriksa dan memutus perkara ketujuh tapol itu. Penunjukan itu dinyatakan dalam surat Mahkamah Agung nomor 179/KMA/SK/X/2019.

Mulait menegaskan pemindahan ketujuh tapol itu tidak dibisa diterima, karena proses sidang sejumlah perkara yang terkait dengan unjukrasa dan amuk massa anti rasisme Papua di Pengadilan Negeri Jayapura telah berjalan dengan aman. “[Mereka dipindahkan dengan] alasan keamanan. Tetapi sidang lain [sudah berjalan dan] tidak ada yang ganggu,” kata Mulait.

Mulait menyatakan seharusnya aparat penegak hukum berupaya untuk mengadili ketujuh tapol Papua itu di Papua. Menurutnya, jika proses pengadilan terhadak ketujuh tapol dijalankan di Papua, hal itu justru akan menguntung Negara maupun ketujuh tapol.  “[Sidang di Papua akan] untungkan kedua belah pihak. Keluarga tidak  butuh biaya besar [untuk mengikuti proses sidang]. Jaksa yang menyidangkan tidak bolak balik ke sana juga,”ungkapnya.

Sebaliknya, Mulait mengingatkan kesan itu justru akan memperburuk citra Indonesia di mata masyarakat internasional.”Kalau sidang di luar [Papua], [itu justru] memberi kesan Papua belum aman,” kata Mulait.

Aktivis perempuan Papua, Iche Murib mengatakan pada Selasa mengantar keluarga tujuh tahanan politik atau tapol Papua mendatangi Kejaksaan Tinggi Papua. Keluarga ketujuh tapol Papua kembali meminta Kejaksaan Tinggi Papua segera memulangkan ketujuh tapol Papua yang kini ditahan di Kalimantan Timur.

Iche Murib menyatakan dalam pertemuan itu keluarga ketujuh tapol Papua kembali menegaskan tuntutan mereka agar tujuh tapol Papua segera dipulangkan ke Papua. “Proses persidangan sebaiknya dilakukan di Papua. Karena saat ini Papua sudah aman,” kata Murib saat dihubungi Jubi melalui sambungan selulernya, Selasa.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More