Categories Berita

MRP minta Presiden nasehati JPU dan majelis hakim Tapol Papua

Ketua MRP Timotius Murib menyerahkan aspirasi Rakyat Papua untuk pembebasan 7 Tapol Rasis Papua kepada Staf Ahli president Laus D.C.Rumayom (Jubi/Humas MRP)

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP berharap Presiden Joko Widodo mau memberikan saran agar Jaksa Penuntut Umum dan majelis hakim yang menangani perkara tujuh tahanan politik Papua di Pengadilan Negeri Balikpapan dapat menegakkan hukum dan rasa keadilan. Permintaan itu disampaikan Ketua MRP Timotius Murib di Jayapura, Senin (15/6/2020).

Murib menyebut harapan itu bukan semata-mata harapan MRP, namun juga aspirasi rakyat Papua yang menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada tujuh tahanan politik (Tapol Papua) yang dinilai tidak adil. Ketujuh tahanan politik (tapol) Papua itu adalah para mahasiswa dan aktivis yang ditangkap dan diadili dalam perkara makar, pasca gelombang demonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

Murib menyatakan rakyat Papua telah menyampaikan aspirasi mereka kepada MRP, baik secara langsung maupun melalui media massa, mempertanyakan beratnya tuntutan JPU. Murib menyatakan pihaknya telah menyampaikan seluruh aspirasi rakyat Papua itu secara tertulis melalui Staf Ahli Deputi V Kantor Kepresidenan, Laus Deo Calvin Rumayom pada pekan lalu.

“Kami harap Presiden sebagai pimpinan negara ini memberikan saran supaya JPU dan hakim memberikan pertimbangan dan putusan yang sebaik-baiknya. Mereka yang mengadili [7 tapol] itu [adalah] negarawan. Negarawan harus menegakan hukum, adil, dan profesional,” ujar Murib kepada jurnalis Jubi.

Murib menyatakan MRP meminta para penegak hukum di Indonesia, khususnya JPU dan hakim yang menangani perkara makar tujuh Tapol Papua, mengedepankan hukum dan keadilan dengan fakta persidangan dan fakta yang ada di tengah masyarakat Papua. Jika JPU dan hakim melihat fakta dan tidak memiliki kepentingan lain, demikian menurut Murib, ketujuh Tapol Papua seharusnya bebas dari tuntutan hukum.

Murib menegaskan, ketujuh Tapol Papua bukanlah pelaku rasisme yang membuat rakyat Papua marah dan berunjuk rasa di berbagai kota. “Mereka harus dibebaskan demi hukum. Karena, kami ikuti baik proses persidangan kasus rasisme melalui [tim] pengacara MRP, sudah terbukti

mereka bukan pelaku,” kata Murib.Pekan lalu, Pimpinan Lintas Agama se-Papua juga telah berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo, meminta agar tujuh Tapol Papua yang tengah menjalani proses hukum sebagai terdakwa makar diperlakukan secara adil. Dalam surat mereka tertanggal 12 Juni 2020, Pemimpin Lintas Agama se-Papua juga meminta Joko Widodo serius menyelesaikan masalah rasisme di Papua.

Seruan Pimpinan Lintas Agama se-Papua itu melibatkan para pimpinan umat beragam dari Forum Kerukunan Umat Beragama, Persekutuan Gereja-gereja Papua, Persekutuan Gereja-gereja Jayapura, Keuskupan Jayapura, dan sejumlah Sinode Gereja di Papua. Pemimpin Lintas Agama se-Papua menyatakan berbagai unjuk rasa anti rasisme yang terjadi di Papua dan Jakarta dipicu oleh sejumlah insiden rasial terhadap mahasiswa Papua di Malang, Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang.

Ketujuh Tapol Papua itu adalah para mahasiswa dan aktivis yang ditangkap dan diadili pasca gelombang demonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.  Ketujuh Tapol Papua yang diadili di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan itu adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay, serta Feri Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.

Dalam  persidangan yang digelar PN Balikpapan pada 2 Juni 2020 dan 5 Juni 2020, JPU menuntut tujuh Tapol Papua dengan pasal makar dan meminta hakim menjatuhkan hukuman penjara antara lima tahun hingga 17 tahun. Buchtar Tabuni dituntut hukuman balik berat, 17 tahun penjara. Sementara Steven Itlay dan Agus Kossay 15 masing-masing dituntut 15 tahun penjara. Alexander Gobay dan Fery Kombo masing-masing dituntut 10 tahun penjara. Sedangkan Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok masing-masing dituntut hukuman lima tahun penjara.

Para pemuka agama meminta proses hukum terhadap ketujuh Tapol Papua diperlakukan secara lebih adil. Pemimpin Lintas Agama se-Papua menyatakan kasus hukum ketujuh Tapol itu bermula dari masalah rasisme, dan bukan makar.

“Dengan demikian, negara harus bisa membedakan antara gerakan makar dan reaksi terhadap rasisme,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua, KH Saiful Islam Al Payage di Kantor Simode Gereja Kristen Injili, Kota Jayapura, Jumat (12/6/2020).(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Aspirasi pembebasan Tapol Papua dititipkan lewat staf ahli presiden

Ketua MRP Timotius Murib menyerahkan aspirasi Rakyat Papua untuk pembebasan 7 Tapol Rasis Papua kepada Staf Ahli president Laus D.C.Rumayom (Jubi/Humas MRP)

JAYAPURA, MRP Majelis Rakyat Papua menyampaikan aspirasi rakyat terkait pembebasan tujuh tahanan Politik Papua di Kalimantan Timur melalui staf ahli presiden. Penyerahan aspirasi berlangsung dalam pertemuan dengan staf ahli kepresidenan di Kantor MRP di Kotaraja, Kota Jayapura, jum’at (12/6/2020) petang kemarin.

“Kita sudah rampung menyerap aspirasi Rakyat Papua menjadi aspirasi yang berasal dari MRP,” kata  Ketua MRP, Timotius Murib, kepada jubi.co.id usai pertemuan penyerahan aspirasi.

Murib menyebut tiga Kelompok yang menyampaikan aspirasi secara tertulis dan langsung ke MRP meliputi badan esekutif Mahasiswa perguruan tinggi negeri dan swasta di Papua yang terganbung dalam solidaritas Mahasiswa Papua, gabungan Mahasiswa Eksodus akibat rasisme, dan lima  organisasi Cipayung di Kota Jayapura.

Cipayung merupakan forum bersama lima organisasi mahasiswa, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).

“Aspirasi juga dari intelektual Papua melalui media. Aspirasi itu, kami sampaikan kepada presiden melalui staf ahli kepresidenan dalam pertemuan tadi,” kata Murip yang menjelaskan sejumlah kelompok masyarakat  yang menjadi dasar aspirasi MRP.

Ia mngatakan,  Staf Ahli KepreLaus D.C.Rumayom,sidenan deputi V yang membidangi Politik, Hukum, Pertahanan Keamanan dan otonomi khusus, berjanji meneruskan itu ke presiden melalui mekanismenya.

“Di depan Kami juga sampaikan ke Kepala staf ahli kepresidenan, beliau sudah sepakat menerima aspirasi,” katanya.

Laus Rumayom yang hadir memenuhi udangan MRP untuk menerima aspirasi, mengapresiasi kerja MRP  yang cepat merampung aspirasi  dari berbagai kalangan  Rakyat Papua untuk disampaikan kepada presiden.

“MRP ambil langkah yang tepat  rampung aspirasi masyarakat dan meminta presiden ikut memberikan dukungan terhadap aspirasi masyarakat sehingga proses hukum ini dapat selesai,” kata Rumayom.

Ia menjelaskan aspirasi itu bukan sekedar keinginan Rakyat tetapi bagian dari kerja MRP melindunggi hak-hak masyarakat adat. “Menyerahkan aspirasi saja tetapi ini bagian dari proteksi masyarakat adat di Papua,” katanya. (*)

 

Sumber: https://jubi.co.id/

 

Read More
Categories Berita

MRP akan serahkan aspirasi rakyat Papua kepada Staf Presiden

pimpinan organisasi kemahasiswaan yang tergabung dalam Organisasi Cipayung Indonesia di Papua berpose bersama setelah menyerahkan aspirasi ke Majelis Rakyat Papua, Jumat, 12 Juni 2020. Jubi/IYuliana Lantipo

JAYAPURA, MRPProtes terhadap tuntutan “kontroversial” Jaksa Penuntut Umum kepada 7 Tahanan Politik Papua dalam kasus rasisme terus dialamatkan kepada pemerintah pusat serta institusi negara terkait. Hari ini, Jumat, 12 Juni 2020, Majelis Rakyat Papua kembali didatangi lima pimpinan organisasi kemahasiswaan yang tergabung dalam Organisasi Cipayung Indonesia di Papua.

“Mereka menyerahkan aspirasi berisi tuntutan kepada Presiden Joko Widodo untuk membebaskan anak-anak kami di Balikpapan. Mereka juga merasa [proses hukum] ini tidak adil, karena teman-temannya yang sebenarnya korban atas ujaran rasisme dan protes malah ditahan dengan tuduhan makar,” kata Ketua MRP, Timotius Murib usai menerima pimpinan lima organisasi Cipayung Papua kepada Jubi, Jumat [12/6/2020].

Pimpinan kelima organisasi Cipayung yang langsung menyerahkan tuntutan mereka adalah Harianto Rumagio (Himpunan Mahasiswa Islam), Victor Tibul [Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia], Andiko D. Saputra (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), Ricky Bofra (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), dan Wokoi Yelipele (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia).Hari ini juga, MRP akan menyerahkan aspirasi masyarakat Papua terkait tuntutan pembebasan 7 tapol Papua kepada Presiden Joko Widodo melalui Staf Ahli Deputi V Kantor Kepresidenan, Laus D. C. Rumayom, S.Sos, M.Sii.

Pimpinan lembaga kultural orang asli Papua itu mengaku telah menerima aspirasi yang sama dari berbagai kalangan, termasuk dari organisasi mahasiswa seperti BEM Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta di Tanah Papua, Posko Pusat Exodus Mahasiswa dan Pelajar Papua Se-Indonesia, dan organisasi gerakan mahasiswa Cipayung Indonesia di Papua.

“Intinya, aspirasi berisi tuntutan untuk meringankan sekaligus membebaskan 7 Tapol Papua di Balikpapan saat sidang putusan nanti. Semua aspirasi ini akan kami himpun dan akan sampaikan kepada Presiden [Joko Widodo] melalui Staf Ahli Kepresidenan, Bapak Laus Rumayom hari ini juga,” katanya.

Kemudian, pada Jumat [5/6/2020], dalam sidang dengan agenda yang sama, Jaksa Ismail Nuhumury SH, MH, membacakan tuntutan kepada Hengky Hilapok 5 tahun, Alexander Gobay 10 tahun, dan Steven Itlay 15 tahun. Dan, dalam persidangan berbeda, Jaksa Adrianus Tomaha, SH, MH, membacakan tuntutan kepada Ferry Kombo 10 tahun sementara Agus Kossay 15 tahun.

Sementara itu, Ketua HMI, Harianto Rumagia, yang berbicara mewakili organisasi Cipayung, berharap pemerintah pusat menaruh perhatian serius atas kasus 7 tapol Papua di Balikpapan yang terkesan dikriminalisasi.

“Kami memberikan dukungan kepada MRP dan memberikan tuntutan juga kepada Pemerintah Pusat untuk terlibat aktif dalam rangka membebaskan 7 tahanan politik Papua, tahanan rasisme, korban rasisme, yang ada di Balikpapan. Persoalan ini sangat tidak adil bagi kami, bagi adik-adik kami yang ditahan dan dituntut 5-17 tahun penjara. Kami sudah pelajari semua tuntutan itu dan kami rasa itu tidak adil,” katanya.

Rumagia meminta MRP dan DPR Papua bekerja untuk satu aspirasi masyarakat Papua bahwa, “Kami hanya meminta satu, bahwa [mereka] harus dibebaskan,” harapnya. (*)

 

sumber: Jubi. co. id

 

Read More