Categories Berita

Panmus MRP Adakan Lokakarya Untuk Evaluasi Program

Para pimpinan alat kelengkapan Majelis Rakyat Papua berfoto bersama usai mengikuti lokakarya yang selenggarakan Panitia Musyawarah MRP – For Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Panitia Musyawarah Majelis Rakyat Papua atau Panmus MRP menggelar lokakarya di Kota Jayapura, Jumat (26/11/2021), dalam rangka kompilasi program kerja dan kegiatan MRP sepanjang 2021.

Lokakarya itu juga mendiskusikan rencana kegiatan alat kelengkapan MRP pada akhir tahun 2021. Lokakarya itu menghadirkan sejumlah narasumber, termasuk Pastor John Bunay Pr.

Ketua MRP, Timotius Murib beserta pimpinan MRP dan alat kelengkapan MRP lainnya juga menjadi narasumber dalam lokakarya itu.

“Lokakarya itu mendiskusikan kegiatan [yang sudah dilaksanakan] oleh alat kelengkapan MRP. [Alat kelengkapan MRP itu] tiga kelompok kerja dan tiga alat kelengkapan lainnya yang akan melaksanakan kegiatan pada triwulan keempat,” kata Murib, Jumat.

Menurut Murib, MRP membenahi semua kelengkapan administrasi dan pembiayaan seluruh alat kelengkapan lembaga representasi kultural orang asli Papua itu.

“Semua agenda kegiatan MRP tahun 2021 itu benar-benar terakomodir dan bisa dipertanggungjawabkan oleh lembaga,” ucapnya.

Ia menjelaskan MRP berencana melakukan advokasi atas perubahan substansi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) yang diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang tentang Perubahan Kedua atas UU Otsus Papua (UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua).

“MRP melakukan advokasi terhadap materi perubahan [dalam] UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua. Itu menjadi fokus MRP dalam menjawab aspirasi orang asli Papua untuk mendiskusikan implementasi Otsus,” ujarnya.

Murib menyatakan sebelum pemerintah mengubah substansi UU Otsus Papua, seharusnya pemerintah berkomunikasi dahulu dengan rakyat Papua dan MRP.

“Tetapi pemerintah pusat berkeinginan melakukan perubahan itu sepihak. Itu yang menjadi advokasi MRP untuk kepentingan orang asli Papua,” jelas Murib.

Ketua Panmus MRP, Benny Sweny mengatakan lokakarya itu bertujuan mendokumentasikan laporan tentang kegiatan yang sudah dan belum terlaksana.

”Tujuannya untuk mendengarkan dan mendokumentasikan laporan program dan kegiataan yang telah dilaksanakan kelompok kerja serta alat kelengkapan MRP. [Kami] melakukan kompilasi  program/kegiatan dan pencapaiannya, mengidentifikasi kendala dan masalah yang dihadapi, serta mencari solusinya,” kata Sweny.

Menurut Sweny, setiap alat kelengkapan MRP mengisi matrik tentang program/kegiatan yang terlaksana maupun tidak terlaksana, pencapaian program yang terlaksana, ataupun kendala program yang tidak terlaksana.

“Matrikulasi dipaparkan pada saat lokakarya,” tuturnya.(*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories AdatBerita

MRP Dukung Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke – VI di Tabi

Foto bersama pengurus AMAN dari seluruh Nusantara dengan pimpinan dan anggota MRP usai melakukan audiens di ruang rapat MRP - Humas MRP
Foto bersama pengurus AMAN dari seluruh Nusantara dengan pimpinan dan anggota MRP usai melakukan audiens di ruang rapat MRP – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melakukan audiens dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam rangka mendukung pelaksanaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke – VI di wilayah adat Tabi provinsi Papua pada 22 Oktober 2022 mendatang.

Sebanyak 30 orang Pengurus AMAN yang telah tiba di Papua, melakukan audiens kepada pemerintah provinsi Papua, DPR Papua, juga Majelis Rakyat Papua, pada Rabu (24/11/2021).

Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw yang juga selaku ketua Panitia Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke VI di Papua Wilayah Adat Tabi mengatakan, Kongres ini akan dihadiri lebih dari 5 ribu peserta yang tergabung dalam AMAN dari seluruh komunitas adat di seluruh Indonesia, Kesultanan, serta para delegasi dari luar Negeri.

“Itu yang tadi dilaporkan secara resmi, akan berlangsung pada bulan Oktober tahun 2022, jadi dengan audiens ini menyampaikan secara resmi bahwa kongres masyarakat adat nusantara ini akan berlangsung di wilayah Tabi kabupaten Jayapura. Diperkirakan akan hadir 5 ribu orang dari berbagai daerah di Indonesia,” kata Mathius Awoitauw saat melakukan audiens dengan pimpinan dan anggota MRP.

Dari kongres VI di Papua, telah ditetapkan sejak empat tahun sebelumnya pada kongres ke V di sumatra utara, dan langkah persiapan yang sudah mulai dilakukan. Tentu hal ini menyambut baik oleh masyarakat ada di Wilayah Tabi sebagai tuan rumah pelaksanaan kongres, dan sebagai kehormatan untuk masyarakat adat di Papua.

“Kami akan berusaha mensukseskan itu semua, dan meminta dukungan oleh lembaga MRP yang juga terus menyuarahkan penyelamatan tanah dan manusia Papua,”ujar Awoiatuw.

Bupati Jayapura melaporkan, Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke VI akan dilaksanakan di kampung-kampung melibatkan 7 kampung di Kabupaten Jayapura.

“Untuk itu kongres ini hanya open seremoni yang akan berlangsung di Stadion Barnabas Youwe, untuk pelaksanaannya semua di Kampung tidak di Kota Sentani, dan peserta yang datang nanti akan tinggal di rumah masyarakat di kampung,” tuturnya.

Sementara itu Timotius Murib, memberikan apresiasi kepada AMAN yang akan melaksanakan ivent besar di tanah Papua yang akan melibatkan semua masyarakat adat yang ada di tanah Papua.

“MRP mendukung penuh Kongres AMAN ini karena isu yang di angkat juga merupakan visi misi Majelis Rakyat Papua yaitu selamatkan tanah dan manusia Papua,” ujar Murib.

Kata Murib, lembaga MRP juga secara khusus akan membentuk Pansus untuk sukseskan kegiatan Kongres ke- VI Aman untuk kita dukung sama-sama sekaligus MRP akan melakukan sosialisasi tentang kegiatan ini ke masyarakat Adat di 5 wilayah adat di tanah Papua. (*)

Humas MRP 

Read More
Categories Berita

Majelis Rakyat Papua Terima Aspirasi Tim Pemekaran Papua Selatan

Penyerahan dokumen kajian pemekaran Provinsi Papua Selatan oleh Tim ke pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) menerima kunjungan Tim pemekaran provinsi Papua Selatan di ruang rapat kantor MRP, Rabu (24/11/2021).

Pertemuan tersebut dilakukan untuk menyerahkan aspirasi pemekaran Papua Selatan yang di dukung oleh tokoh agama, masyarakat, pimpinan kepala daerah dan adat setempat.

Ketua Tim pemekaran Papua Selatan, Thomas Safanpo berterima kasih kepada semua pihak yang telah menerima aspirasi pemekaran ini.

Ia menjelaskan saat mendatangi Gubernur Papua, tim pemekaran diterima oleh Sekda Papua, Ridwan Rumasukun yang mewakili Gubernur Papua.

Lalu, tim pemekaran juga diterima langsung oleh Ketua DPR Papua, Jhoni Banua Rouw dan Ketua MRP, Timotius Murib.

“Sesuai mekanisme undang-undang, pemekaran provinsi harus mendapatkan persetujuan gubernur, DPR Papua dan MRP. Aspek legal formal itulah yang kami tempuh untuk mendapatkan persetujuan,” katanya.

Thomas menjelaskan aspirasi pemekaran juga ditandatangani oleh seluruh pemangku kepentingan, mulai dari tokoh agama yang diwakili oleh Keuskupan Merauke dan Asmat, lalu para pendeta GKI, serta tanda tangan majelis ulama dari empat kabupaten yakni Kabupaten Merauke, Asmat, Mappi dan Boven Digoel.

Ada juga tanda tangan dari kepala suku adat di 4 kabupaten dan tanda tangan para tokoh masyarakat.

“Aspirasi pemekaran Papua Selatan merupakan aspirasi akar rumput. Kami hanya memfasilitasi apa yang disampaikan oleh masyarakat Papua Selatan,” katanya.

Thomas menjelaskan usai mendapatkan persetujuan pada tingkat Provinsi Papua, maka pihaknya akan ke Jakarta untuk menyampaikan langsung kepada Presiden Jokowi, Menko Polhukam, Mendagri, dan Komisi II serta III DPR RI.

Sementara itu, Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), secara kelembagaan menerima aspirasi tim pemekaran Papua Selatan.

“Penyerahan aspirasi pemekaran wilayah Selatan tentunya baik untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat sehingga pemekaran yang di sampaikan sesuai aspirasi masyarakat dari wilayah Selatan ini akan di proses oleh Majelis Rakyat Papua sesuai dengan mekanisme yang berlaku di lembaga ini,” jelas Murib.(*)

 

Humas MRP

Read More
Categories Berita

MRP Soroti Maraknya Peredaran Minuman Beralkohol di Wamena

Kunjungan kerja Wakil Ketua 1 MRP, Yoel Luiz Mulait dan Pokja Agama MRP ke Wamena. – Humas MRP

WAMENA, MRP – Dalam kunjungan kerjanya ke Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua atau MRP menerima banyak laporan dan keluhan masyarakat terkait peredaran minuman beralkohol di Wamena.

MRP meminta Bupati Jayawijaya dan para pemangku kepentingan lainnya memperketat peredaran minuman beralkohol di Wamena.

Wakil Ketua 1 MRP, Yoel Luiz Mulait menyatakan kunjungan kerja Kelompok Kerja (Pokja) Agama MRP ke Wamena pada 12 November 2021 menerima banyak laporan dan keluhan masyarakat tentang peredaran minuman beralkohol di Wamena. MRP mengapresiasi Bupati Jayawijaya, John R Banua yang terus merazia penjualan minuman beralkohol di Wamena.

“Aspirasi rakyat yang begitu banyak masuk. MRP apresiasi kepada Pemerintah Kabupaten Jayawijaya. Bupati sendiri pernah turun [melakukan] inspeksi mendadak, menangkap dan merendam [orang yang mabuk-mabukan] di kolam. Itu merupakan langkah positif, dan kami berharap langkah-langkah itu kontinyu,” kata Mulait di Kota Jayapura, Kamis (18/11/2021).

Mulait menyatakan MRP telah mengeluarkan Surat Keputusan MRP nomor 4 tahun 2021 tentang Pengetatan Pengawasan Terhadap Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Serta Obat Obatan terlarang. Ia berharap para bupati, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Polri, dan TNI lebih berperan memberantas peredaran minuman beralkohol di Papua.

“Bupati Jayawijaya harus tampil berperan dalam pemberantasan minuman beralkohol itu. DPRD harus sediakan anggaran [untuk pemberantasan minuman berallkohol. Masalah COVID-19 bisa dianggarkan besar-besaran, masalah minuman beralkohol harus dianggarkan juga. COVID-19 banyak membunuh orang, minuman beralkohol juga banyak membunuh,” kata Mulait.

Ia menyatakan upaya pemberantasan peredaran minuman beralkohol di Wamena harus melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM), karena mereka mengetahui kondisi di lapangan.

“Ada 80 titik tempat pembuatan minuman [beralkohol] lokal yang ada di Jayawijaya. Data sudah ada, seharusnya dilakukan eksekusi. Minuman keras tidak boleh merampas hak damai orang Wamena,” kata Mulait.

Ketua Solidaritas Pemberantasan Minol dan Narkoba Jayawijaya, Theo Hesegem mengatakan Wamena tidak hanya menghadapi masalah peredaran minuman beralkohol. Ia menyatakan obat-obatan terlarang dan narkotika juga telah beredar di Wamena.

Hesegem menilai upaya pemberantasan minuman beralkohol juga belum dilakukan secara serius.

“Kita bilang, ‘minuman keras musuh kita bersama’, tetapi saya lihat macam tidak ada kepedulian untuk menangani secara serius [peredaran] minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang di Wamena,” jelasnya.

Hesegem menyatakan upaya pemberantasan peredaran minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang di Wamena harus dilakukan seserius pemerintah menangani pandemi COVID-19. Apalagi peredaran minuman beralkohol dan obat-obatan berbahaya itu membahayakan generasi muda di Jayawijaya dan kabupaten sekitarnya.

“Masalah COVID-19 ditangani secara serius, sedangkan minuman beralkohol tidak di tangani dengan secara serius. Padahal minuman beralkohol itu masalah yang ada di depan mata kita. Di Papua, secara khusus orang asli Papua, kurang sekali jumlah penduduknya. Jika penanganan minuman beralkohol dan obat-obat terlarang tidak serius, [orang asli Papua] tambah berkurang lagi jumlahnya,” ujar Hesegem.(*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

MRP dan Komnas Perempuan Bahas Perlindungan Perempuan ODHA di Wilayah Konflik

MRP dan Komnas Perempuan menggelar lokakarya membahas perlindungan bagi perempuan dengan HIV/AIDS di wilayah konflik. Lokakarya itu berlangsung di Kota Jayapura, Rabu (17/11/2021). – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan menggelar lokakarya membahas perlindungan bagi perempuan dengan HIV/AIDS di wilayah konflik. Lokakarya itu berlangsung di Kota Jayapura, Rabu (17/11/2021).

Lokakarya bertema “Mendorong Kebijakan Layanan Terintegrasi bagi Perempuan dengan HIV/AIDS di Wilayah Konflik dalam Penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua” itu diikuti perwakilan sejumlah organisasi pemuda gereja, aktivis yang bergerak di bidang kesehatan, mahasiswa, dan anggota MRP.

Lokakarya itu menghadirkan narasumber dari perwakilan Kepolisian Daerah (Polda) Papua, Ketua DPR Papua, dan komisioner Komnas Perempuan.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyatakan lokakarya itu digelar untuk menyikapi situasi pelayanan bagi perempuan dengan HIV/AIDS yang berada di wilayah konflik. Lokakarya itu juga membahas masalah tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua.

“Kami Komnas Perempuan mendapatkan data bahwa Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia [dengan] tingkat prevalensi HIV paling tinggi. Juga dengan tingkat kekerasan [terhadap perempuan] yang tinggi. Hanya saja, tingkat kekerasan terhadap perempuan tidak tercatat dengan baik,” kata Andy di Kota Jayapura, Rabu.

Ia menegaskan pelayanan kesehatan bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), termasuk bagi perempuan dengan HIV/AIDS sangat penting dan tidak boleh terputus. Andy menyatakan kasus perempuan dengan HIV/AIDS dan kasus kekerasan terhadah perempuan saling berkolerasi.

“Perempuan yang hidup dengan HIV/AIDS itu rentan mendapatkan kekerasan. Sebaliknya, perempuan korban kekerasan itu rentan terinfeksi HIV,” ujar Andy.

Menurutnya, pelayanan bagi perempuan dengan HIV/AIDS harus dilakukan secara terintegrasi, untuk memastikan kualitas kehidupan mreka terjaga dengan baik.

“Kami sangat berterima kasih karena MRP membuat lokakarya itu, dihadiri Ketua DPR Papua. Itu menjadi langkah awal membangun kerja sama yang lebih luas, dan tentunya langkah itu akan didukung DPR Papua, yang akan segera menindaklanjutinya,” kata Andy.

Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan pelaksanaan lokakarya itu sempat tertunda karena situasi pandemi COVID-19 di Papua. Ia menyatakan para pengambil kebijakan di Papua harus memperhatikan situasi perempuan dengan HIV/AIDS, khususnya yang berada di wilayah konflik.

Ia juga berharap para penentu kebijakan di Papua memperhatikan perlindungan bagi perempuan dan anak yang berada di wilayah konflik.

“Itu masalah yang serius, dan semua pihak harus bicara terkait perlindungan perempuan dan anak, terutama di wilayah konflik, dan juga bukan di wilayah konflik,” kata Murib.

Murib ingin lokakarya itu akan mendorong lahirnya Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Khusus tentang perlindungan bagi perempuan dan anak di Papua.

“Pada era Otonomi Khusus ini, regulasi yang perlu disiapkan. [Regulasi saat ini]  belum memberikan manfaat yang baik untuk perlindungan terhadap perempuan dan anak, terutama orang asli Papua,” ujar Murib.

Murib berharap Komnas Perempuan akan membantu para pemangku kepentingan untuk menyusun Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Khusus tentang perlindungan bagi perempuan dan anak di Papua.

“Lembaga-lembaga harus bersatu, terutama Komnas Perempuan, DPR Papua dan MRP, supaya kita melahirkan solusi dengan membuat  satu regulasi yang tepat untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak,” kata Murib. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

MRP: Aparat Keamanan Negara Seharusnya Menjaga Rakyat, Bukan Membunuh Rakyat

Debora Mote Wakil Ketua II Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua II Majelis Rakyat Papua atau MRP, Debora Mote menyatakan anggota TNI dan Polri harus menghormati jaminan perlindungan perempuan dan anak Papua yang diatur Peraturan Daerah Khusus Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pemulihan Hak Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Ia menyatakan aparat keamanan Negara seharusnya menjaga perempuan dan anak asli Papua, bukan membunuh mereka.

Hal itu dinyatakan Debore Mote dalam lokakarya “Mendorong Kebijakan Layanan Terintegrasi bagi Perempuan dengan HIV/AIDS di Wilayah Konflik dalam Penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua” yang digelar MRP dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Kota Jayapura, Rabu (17/11/2021).

Mote menegaskan anggota TNI dan Polri bertugas melindungi rakyat, termasuk perempuan dan anak asli Papua yang berada di wilayah konflik maupun di luar wilayah konflik.

“Peraturan Daerah Khusus Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pemulihan Hak Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia ada. Harap anggota TNI dan Polri tidak alergi. Perdasus itu memberikan warning, sebab alat negara itu digunakan untuk melindungi rakyat, bukan sebaliknya,” tegas Mote.

Mote menyatakan berbagai kasus kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap perempuan dan anak asli Papua harus menggugah MRP dan DPR Papua harus lebih mendorong pelaksanaan Perdasus Nomor 1 Tahun 2011 itu. Upaya itu penting untuk memastikan kasus kekerasan terhadap warga sipil di Papua tidak terus berulang.

“Kalau memang kita benar-benar sayang perempuan dan anak, Perdasus itu kita dorong. Jangan dengan seenaknya alat negara digunakan untuk membunuh perempuan dan anak, harus gunakan etika. Musuh siapa, bunuh siapa. Jangan bunuh orang sembarang di atas tanah ini,” kata Mote.

Ia menyatakan perlindungan terhadap perempuan dan anak asli Papua akan menentukan generasi pada masa mendatang. “Kita bicara soal perempuan dan anak berarti, kita bicara soal generasi dan keturunan. Itu penting, karena perempuan yang mengandung dan melahirkan generasi selanjutnya, bukan laki-laki. Perempuan itu yang melahirkan generasi, dan kalau ada anak, maka anaklah yang meneruskan keturunan itu, dan mewarisinya,” ujar Mote.

Perwakilan Pemuda Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Eneko Pahabol juga menyayangkan konflik dan kekerasan yang terus terjadi dan mengorban perempuan maupun anak asli Papua. Pahabol mempertanyakan mengapa konflik di Papua seperti dibiarkan berkepanjangan.

“Konflik kekerasan ini seakan menjadi lahan bisnis. Saya sebagai generasi penerus, yang mewarisi penderitaan orang tua dulu, meminta [pihak yang bertikai] untuk menghentikan konflik kekerasan itu secara tuntas dan damai,” ujar Pahabol.

Pahabol berharap ada solusi yang dapat memutuskan mata rantai kekerasan yang terjadi di Papua.”Harus ada solusi, dialog yang dilakukan oleh pihak TNI/Polri agar konflik di Tanah Papua ini benar-benar tuntas. Dampak dari konflik itu mengganggu perempuan dan anak di wilayah konflik. Kita tidak tahu mereka makan apa, kesehatan mereka seperti apa,” tuturnya. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

Konflik, HIV/AIDS, Minuman Beralkohol Ancam Keselamatan Anak Dan Perempuan Papua

MRP dan Komnas Perempuan menggelar lokakarya membahas perlindungan bagi perempuan dengan HIV/AIDS di wilayah konflik. Lokakarya itu berlangsung di Kota Jayapura, Rabu (17/11/2021). – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua, Ciska Abugau menyatakan keselamatan perempuan di Papua terancam oleh konflik, tingginya kasus HIV/AIDS, dan peredaran minuman beralkohol di Papua. Abugau mengkritik kehadiran aparat keamanan di Papua yang justru lebih sering mencelakakan ketimbang memberi rasa aman bagi perempuan Papua.

Abugau menyatakan kasus infeksi HIV/AIDS dan pengaruh buruk minuman beralkohol sudah sejak lama menjadi masalah di Papua. Akan tetapi, masalah itu tidak pernah ditangani dengan serius.

“Soal HIV dan minuman beralkohol, itu yang membuat kami juga pusing dalam penanganannya. Sampai sekarang tidak pernah habis-habis. [Kami sudah membicarakan masalah itu], baik bicara ke pemerintah, dan pejabat yang berwenang, tapi tetap sama saja,” kata Abugau.

Ketika kedua masalah itu belum lagi diselesaikan, perempuan Papua mengalami persoalan yang lebih berat karena konflik bersenjata meluas di berbagai wilayah di Papua. Sejak 2018, konflik bersenjata antara lain terjadi di Nduga, Puncak, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, dan telah menimbulkan korban dari kalangan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.

“HIV dan minuman beralkohol sudah tidak kami takuti lagi. Yang kami takuti adalah kekerasan dan penembakan kepada ibu dan anak di wilayah konflik,” jelas Abugau.

Abugau menyatakan tugas aparat keamanan untuk melindungi dan mengayomi tidak terlihat dalam praktik kerja mereka di Papua.

“Melindungi dan mengayomi itu sebenarnya melindungi siapa dan mengayomi siapa? Seperti di Intan Jaya, anak 2 tahun ditembak mati ibu ditembak, mereka ini tidak berdosa,” ujar Abugau.

Menurutnya, MRP sudah berupaya untuk turun langsung melihat kondisi orang asli Papua di wilayah konflik.

“Kami juga turun di wilayah konflik, tapi kami juga taruhan [nyawa]. Jangan sampai polisi salah-salah mereka tembak kami. Gara-gara kami turun untuk melihat anak kami ditembak mati, saudara kami ditembak mati, hanya karena kekesalan, sehingga kami bisa jadi korban juga,” ucapnya.

Abugau menegaskan perempuan dan anak di wilayah konflik berhak untuk dilindungi dan mendapatkan rasa aman. Ia menyesalkan insiden penembakan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Intan Jaya, serta sejumlah kekerasan aparat kepada warga sipil lainnya. Apalagi TNI dan Polri jarang mengusut kasus kekerasan anggotanya dengan tuntas. Ia mencontohkan kasus prajurit TNI membunuh dua warga Intan Jaya, Luther Zanambani dan Apinus Zanambani pada April 2020.

“Anak kami dibakar di dalam drum, abunya dibuang di sungai.  TNI/Polri diam. Kami tanya ke Koramil, Koramil bilang Kapolsek, jadi saling baku lepas tanggung jawab. Tapi akhirnya sekarang sudah ketahuan semua,” kata Abugau.

Kendati masalah kekerasan aparat keamanan kini lebih berbahaya dari persoalan peredaran minuman beralkohol di Papua, Abugau menyatakan peredaran minuman beralkohol tetap menjadi masalah serius di wilayah yang tidak menjadi zona konflik. Menurutnya, konsumsi minuman beralkohol menjadi salah satu penyebab tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua.

“Melindungi perempuan dan anak selain di wilayah konflik [juga penting]. Perlindungan perempuan dan anak juga perlu dilakukan karena faktor minuman beralkohol yang merusak rumah tangga,” ujarnya.

Dalam lokakarya “Mendorong Kebijakan Layanan Terintegrasi bagi Perempuan dengan HIV/AIDS di Wilayah Konflik dalam Penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua” yang berlangsung di Kota Jayapura pada Rabu (17/11/2021), Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani pihaknya akan terus mendorong upaya meningkatkan perlindungan kepada perempuan di Papua. Upaya itu antara lain dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan di Papua.

“Komnas Perempuan bersama dengan Majelis Rakyat Papua, menggagas Peraturan Daerah Khusus Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pemulihan Hak Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Perdasus itu sebetulnya fokus kepada upaya untuk menyelenggarakan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan yang khususnya bagi pelanggaran HAM,” ujarnya. (*)

Sumber:JUBI

Read More
Categories Berita

Ciska Abugau: Permintaan Maaf Kapolres Tidak akan Kurangi Rasa Sakit Hati Masyarakat Intan Jaya

Read More
Categories Berita

Kunker Pokja Perempuan MRP, Bantu Bama Bagi Pengungsi Intan Jaya di Dogiyai

Kunjungan kerja pokja perempuan Tim Dogiyai memberikan Bama bagi masyarakat pengungsi di kabupaten intan jaya – For Humas MRP 

DOGIYAI, MRP – Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP), Siska Abugau A.Ma.Pd, Petronela RTH Bunapa, SE, Yuliana Wambrauw, dan Nehemina Yebikon, melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Kabupaten Dogiyai, sekaligus memberikan bantuan bahan makanan (bama) kepada pengungsi di Kabupaten Intan Jaya.

Bama yang dibawakan Pokja Perempuan MRP berupa beras, mie instan, sauris (ikan kaleng), telur, gula, dan kopi.

“Saya secara pribadi sangat terpukul sekali dengan keadaan masyarakat di Sugapa Intan Jaya. Sayang sekali masyarakat mengungsi ke Gereja,” kata Ketua Pokja Perempuan MRP, Siska Abugau kepada media ini melalui selulernya, Sabtu (13/11/2021).

Bama bagi Pengungsi Intan Jaya yang di bawah ke Dogiyai – For Humas MRP

Dia menilai, TNI/Polri gagal melindungi masyarakat sipil di Intan Jaya. Baru-baru ini dikabarkan dua anak tertembak. Satu di antaranya meninggal dan satu lainnya masih dalam perawatan. Sedangkan seorang mama Papua tertembak yang diduga dilakukan oleh oknum TNI.

“Terbukti sekali kalau TNI hadir bukan untuk melindungi,” katanya.

Menurut dia, hak-hak anak dan perempuan harus dilindungi oleh negara, terutama TNI/Polri. Jika TNI/Polri dan TPNPB/OPM mau berperang, maka mereka harus berperang di lokasi yang jauh dari masyarakat sipil. Jangan mengorbankan masyarakat sipil.

Dia berharap bama yang diberikan Pokja MRP dapat membantu pengungsi di Intan Jaya.

“Besok (Minggu, 14/11) saya ke Inta Jaya untuk melihat keadaan warga di Sugapa,” katanya. (*)

Sumber: WAGADEI

Read More
Categories Berita

MRP Ajak Semua Pihak Duduk Bersama Mencari Solusi untuk Konflik Bersenjata di Intan Jaya

Foto Warga Intan Jaya mengungsi ke Gereja Katolik Bilogai, Baitapa dan Agapa – Ist

JAYAPURA, MRP — Semua pihak diajak duduk bersama dan mencari solusi untuk penyelesaian konflik bersenjata yang terjadi di beberapa daerah di Tanah Papua. Secara khusus di daerah Kabupaten Intan Jaya, Papua.

Ajakan ini disampaikan Ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP), Ciska Abugau saat diwawancarai suarapapua.com pada Jumat (12/11/2021) kemarin.

Dia menjelaskan, konflik bersenjata yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya dimulai sejak Desember 2019 antara TNI-Polri dengan Tentara Pembebasan Nasinal Papua Barat (TPNPB). Hingga 2021 menurut hemat dia, tidak ada solusi yang dihasilkan dan konflik terus terjadi. Untuk itu dia mengajak semua pihak untuk duduk bersama dan mencari solusi atas masalah tersebut.

“Kalau konflik bersenjata terjadi terus begini, tidak ada cara lain selain semua pihak duduk sama-sama dan bicara,” katanya.

Menurutnya, bupati dan DPRD Intan Jaya, Tokoh masyarakat, adat, perempuan, gereja, agama, mahasiswa dan intelektual harus bersatu untuk bicara dengan pemerintah provinsi, DPR Papua dan MRP.

“Mari kita semua duduk sama-sama baru bicara. Kami harus desak gubernur cabut surat rekomendasi untuk Blok Wabu. Kedua, saya minta gar jangan tambah pasukan. Biarkan masyarakat dengan pasukan organik saja,” ajak Abugau.

Dia bilang, sampai saat ini belum ada upaya penyatuan pemahaman bersama. Untuk itu upaya ini harus didorong supaya bisa ada solusi.

“Kita semua jadi satu untuk bicarakan barang ini. Sampai saat ini dari berbagai upaya yang sudah dilakukan ini belum ada hasil. Kalau tidak ayo, kita ketemu presiden dan DPR RI lalu bicarakan dengan mereka,” ajaknya berharap.

Dia juga meminta agar negara juga harus terbuka dan jujur sampaikan. Pakah penambahan pasukan non oragnik di Intan Jaya berkaitan dengan Blok B Wabu atau tidak.

“Negara juga harus jujur kalau pendropan pasukan dan kontak senjata itu karena blok wabu atau tidak. Harus sampaikan secara terbuka dan bicaralah dengan masyarakat Intan Jaya. Intan jaya itu hanya 4 suku. Kalau betul karena tambang, datang dan duduk lalu bicara. Ko mau apa dan kami mau apa. jangan bunuh-bunuh kami. Mau ambil kami punya hasil kekayaan baru kamu datang bunuh kami dulu, usir kami dulu itu logikanya bagaimana. Ini bukan tindakan negara lagi,” tegasnya.

Terkait dengan penembakan terhadap seorang mama dan dua orang anak di Intan Jaya pada 26 Oktober dan 9 November lalu, dia meminta agar TNI/Polri dan TPN-OPM harus akui kesalah secara gentle.

“Kami juga tahu perang. Dalam tradisi kami perempuan dan anak tidak boleh dipanah saat perang. Ini negara model apa yang datang bunuh-bunuh kami punya anak dan perempuan. Supaya tidak terjadi lagi, sekali lagi saya ajak semua pihak bersatu dan bicara.”

“Negara juga jangan usir kami dulu baru masuk ambil hasil kekayaan. Itu namanya pencuri. Kalau mau ambil kekayaan yang ada di intan jaya, mari duduk dan bicara sama-sama. Karena konflik ini tidak akan berkesudahan,” tambahnya.

Dia menambahkan, dirinya sangat menghargai kerja keras dari pemerintah daerah kabupaten Intan Jaya untuk mengupayakan akan konflik berakhir. Dalama hal ini, dia meminta agar pemerintah provinsi dan pusat harus dengar pemerintah daerah juga.

Sebab, kata dia, konflik yang terjadi di Intan Jaya bukan konflik sosial di masyarakat, tetapi karena perbedaan ideologi. Maka penanganan dan penyelesaiannya tidak bisa hanya seoarang bupati dan jajarannya saja.

“Bupati juga manusia. Bupati itu bagian dari negara, kalau ada laporan dari bupati, negara harus dengar. Dia yang tahu kondisi daerahnya. Jangan bikin gerakan sendiri,” pungkasnya. (*)

 

Sumber: SUARA PAPUA

Read More