Categories Berita

Rapat Gabungan Pokja MRP Guna Dengar Hasil RDPW 5 Wilayah Adat

Rapat gabungan Pokja MRP saat menyampaikan laporan RDPW dari lima wilayah adat, Kamis (3/12/2020) siang. – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Guna menyampaikan hasil Rapat Dengar Pendapat Wilayah (RDPW) dari lima wilayah adat, Majelis Rakyat Papua (MRP) mengelar pertemuan rapat gabungan Pokja.

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) mengatakan terkait dengan hasil dari RDPW dari lima wilayah adat, apapun yang dihadapi dan di dapat oleh tim RDP di daerah masing-masing itu yang dilaporkan saat rapat gabungan Pokja MRP. Kamis, (3/12/2020).

“Sehingga hasil laporan itu akan menjadi dokumen, kemudian tim RDP akan melakukan kompilasi (menilai dan menyusun) dengan lima laporan tersebut untuk di buatkan satu dokumen, dimana yang akan disampaikan oleh pimpinan sebelum kami ambil keputusan tindak lanjut kapan RDPU akan dilakukan kapan atau RDP akan ditiadakan tergantung dari hasil kompilasi,” tutur Murib.

Dirinya menambahkan Majelis Rakyat Papua (MRP) sesunguhnya ingin melakukan RDP dari tahapan RDP sebelumnya dimana kali ini dilakukan pada periode ke tiga, dimana RDP sebelumnya periode ke dua dilakukan pada tahun 2013 – 2015 dimana dari hasil RDP tersebut lahirlah rencana UU Otsus Plus.

“Sejauh yang diketahui MRP UU Otsus Plus ini belum di konsultasikan kepada masyarakat, jadi masyarakat belum memberikan penilaian terhadap rancangan tersebut sehingga sudah tujuh tahun semenjak Jokowi menjabat tidak pernah di bahas lagi,” katanya.

Dirinya juga mengatakan MRP hari ini melakukan RDP dimana hasilnya rakyat akan menilai evektifitas pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) sehingga hasil dari RDP ini MRP akan merekomendasikan kepada Presiden agar ada pembobotan dalam UU Otsus Plus.

“Dimana hari ini Pemerintah pusat mendorong ke Proleknas namun dalam pelaksanaan RDPW di lapangan ini, ada pihak-pihak lain dan kelompok tertentu yang melarang untuk MRP lakukan RDP dan juga pihak keamanan TNI/Polri menangkan anggota dan staf MRP di Merauke di tangkap dan di borgol,” ujarnya.

Sebelumnya Amnesty International Indonesia menegaskan, penangkapan anggota dan staf Majelis Rakyat Papua (MRP) oleh Kepolisian Resor (Polres) Merauke dengan tuduhan makar merupakan pembungkaman ruang demokrasi bagi Orang Asli Papua (OAP).

Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, mengatakan, rapat dengar pendapat (RDP) yang dipersiapkan MRP di Merauke merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat.

“Menangkap mereka secara sewenang-wenang sangatlah diskriminatif, sementara kita tahu kebebasan berkumpul untuk kelompok lain justru dijamin. Belum lagi, mereka dituduhkan dengan pasal makar hanya karena mengutarakan pendapat dengan damai. Ini jelas bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” tuturnya.

Seharusnya, kata Usman, pemerintah dan aparat penegak hukum menjamin dan melindungi hak tersebut, bukan melakukan tindakan represif yang semakin menggerus kebebasan berekspresi. (*)

 

Humas MRP

 

Read More
Categories Berita

MRP Bahas Otsus: Diintai, Digeledah, Ditangkap, dan Dituduh Makar

Kantor MRP di Kotaraja Jayapura – Humas MRP

Rapat legal pembahasan otsus oleh Majelis Rakyat Papua dijegal. Orang-orangnya ditangkapi karena dituding merencanakan makar.

JAYAPURA, MRP – Pembahasan soal otonomi khusus (otsus) Papua, yang akan berakhir pada 2021 nanti, terus berlanjut. Baru-baru ini salah satu forum legal yang membahas itu justru direpresi aparat, dalam hal ini kepolisian. Orang-orang yang terlibat ditangkapi karena dituduh merencanakan makar.

Salah satu orang yang ditangkap adalah Wensislaus Fatubun pada 17 November lalu. Ia berstatus Tenaga Ahli Majelis Rakyat Papua (MRP), representasi kultural di Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Ia ditangkap ketika MRP tengah menyelenggarakan rapat dengar pendapat (RDP) wilayah, salah satu program kerja yang tujuannya mendengarkan aspirasi orang asli Papua (OAP) tentang otsus, berlangsung pada 17-18 November kemarin di gedung Vertenten Sai atau Aula Katedral Merauke.

Setelah RDP wilayah, mekanisme selanjutnya adalah menggelar RDP umum yang diikuti oleh MRP Papua-Papua Barat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Papua-Papua Barat.

Pada 15 November, sekitar pukul 22.00, Kapolres Merauke AKBP Untung Surianata bertemu dan meminta Pastor Hengky Kariwob (Vikjen Keuskupan Agung Merauke), Pastor John Kandam (Sekretaris Uskup), dan Pastor Anselmus Amo (Direktur SKP KAMe) di Keuskupan untuk tidak memfasilitasi RDP. Pastor Anselmus lantas menelepon Canisius Mandagi, Uskup Agung Keuskupan Agung Merauke. Uskup menegaskan RDP dapat dilakukan karena itu bukan kegiatan politik.

Setengah jam kemudian, beberapa polisi datang ke Hotel Grand Mandala, Hotel Pangkat, dan Hotel Valentine, tempat para peserta dan penyelenggara RDP menginap. “MRP diminta untuk ke polres malam itu juga untuk bertemu dengan kapolres,” ucap Fatubun dalam keterangan tertulis Kamis (19/11/2020).

Fatubun bersama Koordinator Tim RDP MRP wilayah Anim Ha, seorang staf MRP dan dua orang anggota MRP lain ke Polres Merauke untuk bertemu kapolres, tapi batal karena yang bersangkutan ternyata sudah pulang. Melalui ajudannya, kapolres bilang bertemu esok pagi saja. Pukul 08.46 keesokan harinya, mereka kembali menyambangi polres. Karena Kapolres lagi-lagi tak di tempat, rombongan menyerahkan surat kepada sespri kapolres dan memberikan nomor telepon untuk koordinasi.

Sekitar pukul 11.00 sekelompok orang dari Buti berdemonstrasi di kantor Bupati menolak RDP MRP. Massa meminta agar otsus dilanjutkan dan pemekaran Provinsi Papua Selatan. Enam jam berikutnya, Fatubun cs memutuskan membatalkan RDP karena situasi tak kondusif dan mereka dalam pantauan kepolisian.

Pukul 22.00, polisi datang lagi ke hotel. Kali ini dengan membawa senjata laras panjang.

Pada 17 November, pukul 08.00 pagi, seorang pria berbaju merah dan bukan tamu duduk di depan hotel. Tim RDP curiga orang itu ialah intelijen. Dia hanya diam sekitar 30 menit lalu pergi. Satu jam berikutnya, ada dua orang yang diduga sebagai intelijen polres menyambangi penginapan. Mereka menanyakan ke pihak hotel soal jumlah dan penghuni kamar. Lantas mereka angkat kaki.

Pukul 10.00, ketika Fatubun sedang duduk di depan hotel, Kapolres Merauke bersama anak buahnya datang. Beberapa dari mereka membawa senjata laras panjang. Mereka menggeledah hotel dan kamar tim RDP. Saat itulah Fatubun ditangkap. “Sebelum menangkap saya, kapolres bertanya asal, pekerjaan, [serta] kepentingan saya di Merauke. Mereka minta KTP saya,” katanya.

Fatubun dimasukkan ke mobil Dalmas, sementara barang bawaannya dijadikan barang bukti. “Di mobil Dalmas, saya melihat Koordinator Tim RDP MRP, dua staf MRP, dan seorang peserta diborgol seperti saya.” Ia dan rekan-rekannya diinterogasi dan baru dibebaskan pada 18 November sekira pukul 16.45.

Kapolres Merauke AKBP Untung Surianata menyatakan dalam penggeledahan pada pagi jelang siang tanggal 17 November, ia dan rombongan menemukan sebuah pisau. “Lalu kenapa kami tangkap mereka? Karena ada buku makar, buku untuk mengajak merdeka di berbagai tempat, yang buku kuning itu,” ujar Untung kepada reporter Tirto, Kamis. Untung bilang buku itu sempat dibuang ke luar dari jendela hotel.

Buku kuning itu berjudul ‘Pedoman Dasar Negara Republik Federal Papua Barat’, edisi pertama yang terbit Januari 2012, dikeluarkan oleh Sekretariat Negara Republik Federal Papua Barat. Kata sambutan buku ditulis oleh oleh Presiden NRFPB Forkorus Yaboisembut.

Berdasar berkas yang didapatkan reporter Tirto, ditemukan juga dokumen Polisi Negara Republik Federal Papua Barat Nomor: 001/KKP-NRFPB/IV/2012 yang ditandatangani oleh Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Federal Papua Barat Letnan Jenderal Fery Fernando Yensenem tentang Penunjukan Kepala dan Wakil Kepala Kepolisian Negara Bagian Ha-Anim.

“Sementara kita (Indonesia) punya pangdam, kapolda, bupati, dan gubernur. Karena mereka makar, kami tegas begitu tak apa. Ini bukan kasus maling ayam atau sandal jepit,” katanya, lalu mengatakan kalau apa yang mereka lakukan lebih baik karena di negara lain para terduga makar dapat ditembak mati.

Ada 54 orang yang ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Dia bilang “harusnya semua [jadi] tersangka karena ada buku itu.”

Dua dari mereka dinyatakan positif COVID-19 setelah dites. Ini alasan mengapa mereka akhirnya dibebaskan. “Kami juga punya tahanan. Nanti rawan.”

Pembungkaman

Ketua MRP Timotius Murib mengkritik penangkapan ini. Ia bilang apa yang dilakukan polisi sama saja melawan lembaga dan program negara. MRP itu lembaga legal, pun dengan acara yang mereka selenggarakan. “Berarti secara tidak langsung kepolisian menolak [pembahasan] otonomi khusus karena menolak RDP,” katanya kepada reporter Tirto, Kamis.

Murib tak tahu ihwal ‘buku kuning’ yang jadi alasan polisi menangkapi para peserta dan penyelenggara. Namun ia menduga buku itu milik peserta rapat, bukan milik anggota atau tim MRP. Peserta rapat saat itu adalah Barisan Merah Putih, organisasi pemuda serupa, serta perwakilan adat. Total peserta 35 orang per kabupaten. Sementara dari MRP yang hadir sekira 20-an orang. Sebanyak 2 anggota dan 9 staf sekretariat diciduk.

Sebelum penangkapan, tepatnya pada 14 November 2020, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw menerbitkan maklumat bernomor Mak/1/Xl/2020 tentang Rencana Rapat Dengar Pendapat pada Masa Pandemi COVID-19. Maklumat itu melarang RDP diikuti lebih dari 50 orang; peserta wajib mengikuti protokol kesehatan (swab/PCR, 3M) dan menyediakan tempat cuci tangan atau cairan pembersih tangan; lalu bagi pelanggar akan ditindak oleh kepolisian.

“Maklumat ini dikeluarkan untuk mencegah penyebaran COVID-19, karena khawatir rapat yang mengundang berkumpulnya orang dapat menimbulkan klaster baru,” ujar Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal dalam keterangan tertulis, Sabtu (14/11/2020).

Bagi pengacara dari Perkumpulan Advokat HAM Papua Michael Himan, maklumat tersebut “sangatlah politis dan terlalu abstrak.” Ia mengatakan demikian untuk mengomentari bagian lain dari maklumat, angka 3 huruf c. Di sana disebutkan siapa pun yang terlibat RDP “dilarang merencanakan atau melakukan tindakan yang menjurus tindak keamanan negara, makar, atau separatisme atau pun tindakan lainnya yang dapat menimbulkan pidana umum atau atau perbuatan melawan hukum lainnya dan konflik sosial.”

Kepada reporter Tirto, Rabu (18/11/2020), ia mengatakan RDP bukan termasuk tindakan penyerangan, apalagi makar. Selama dilangsungkan secara damai, tindakan menyampaikan pendapat tidak dapat dianggap makar.

Lagipula maklumat itu bukan produk hukum yang tidak memiliki kekuatan hukum bagi orang luar. Maklumat sekadar informasi bagi internal Polri. “Pernyataan tersebut bertentangan dengan ketentuan Perkap 15/2007. Kepolisian tidak memiliki kewenangan untuk membuat peraturan yang berlaku eksternal.”

Atas dasar itu Himan menyimpulkan maklumat, dan penangkapan, telah melanggar hak kebebasan berekspresi masyarakat Papua.

Kritik serupa disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem, kepada reporter Tirto, Rabu. Ia pertama-tama mengatakan bahwa otsus pada dasarnya adalah bentuk tawaran politik yang diberikan pemerintah pusat terhadap aspirasi merdeka orang Papua. Pusat Data dan Analisa Tempo pada 2019 lalu menulis Otsus adalah “jalan tengah bagi kelompok pro kemerdekaan Papua dan pemerintah pusat.”

Ketika itu aspirasi untuk merdeka memang sedang tinggi-tingginya di tanah Papua. Keputusan Kongres Rakyat Papua (KRP) II yang diadakan Presidium Dewan Papua (PDP) di Gedung Olahraga Cenderawasih APO, Kota Jayapura, 29 Mei sampai 4 Juni 2000, bulat menyebut rakyat Papua ingin lepas dari Indonesia.

Maka, “bila ruang [ekspresi] masyarakat dilarang, tidak mengevaluasi atau RDP, [maka] isu Papua merdeka akan semakin menguat di akar rumput.”

Sumber: Tirto.id

Read More

Categories Berita

Timotius Murib Tegaskan RDP Otsus tak Membawa Aspirasi Papua Merdeka

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) menegaskan, adanya penolakan pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) tentang evaluasi Otsus, lantaran rasa curiga yang berlebihan bahwa RDP akan membawa aspirasi Papua merdeka.

“Penolakan RDP telah membungkam hak demokrasi orang asli Papua.  Padahal,  kami hanya ingin adanya perbaikan pelaksanaan Otsus secara menyeluruh,” tegas Ketua MRP  Timotius Murib saat dikonfirmasi di Jayapura,  Senin (16/11/2020).

Timotius menuturkan, pihaknya  sungguh kecewa aksi penolakan RDP oleh sekelompok orang di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Minggu (15/11/2020).  Padahal RDP itu sesungguhnya membahas implementasi Otsus selama 19 tahun.

Selain itu,  tuturnya,  pihaknya juga merasa heran dengan sikap sejumlah kepala daerah yang menolak pelaksanaan RDP di wilayahnya.

“Kami sudah menyurati para kepala daerah di lima wilayah adat, sebelum pelaksanaan RDP yang dijadwalkan pada tanggal 17 hingga 18 November 2020,” terangnya.

Menurutnya, pelaksanaan RDP terkait evaluasi Otsus sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 tentang MRP.

“Pelaksanaan RDP ini sesuai dengan amanah Pasal 77 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus. Karena itu, ia meminta kepala daerah dan seluruh lembaga negara wajib mendukung pelaksanaan RDP evaluasi Otsus,” pungkas Timotius.

Timotius menegaskan,  penolakan RDP evaluasi implementasi Otsus di Papua telah mencederai hak warga untuk menyampaikan pendapatnya demi mencapai solusi bersama.

Ditambahkannya,  MRP akan menggelar rapat dalam waktu dekat untuk menentukan jadwal terbaru pelaksanaan RDP di lima wilayah adat dan RDP Umum. Masing-masing wilayah adat Tabi, Saireri, Mee Pago, La Pago dan Animha. (*)

 

Sumber: http://papuainside.com/

 

Read More
Categories Berita

DAP dan AMPTPI dukung MRP memfasilitasi rakyat Papua untuk bicara Otsus

ketua MRP Timotius Murib bersama ketua DAP dan pengutus serta pendiri AMPTPI – (Humas – MRP

JAYAPURA, MRP – Dewan Adat Papua versi Kongres Luar Biasa dan Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia mendukung upaya Majelis Rakyat Papua untuk memfasilitasi penyampaian pendapat orang asli Papua atas Otonomi Khusus Papua. Kedua organisasi itu berharap, apapun hasil aspirasi yang terkumpul akan diteruskan kepada pemerintah pusat.

Ketua Dewan Adat Papua (DAP) versi Kongres Luar Biasa, Dominikus Surabut menyatakan pihaknya akan mengikuti langkah-langkah penyampaian aspirasi rakyat melalui Majelis Rakyat Papua (MRP). Ia berharap aspirasi rakyat yang difasilitasi MRP itu akan membuat pemerintah Indonesia dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mau duduk bersama dan berdialog untuk menyelesaikan masalah Papua.

“Kami ada bersama dengan MRP, memfasilitasi rakyat berpendapat. Apapun hasilnya, kami bersama rakyat akan kawal [penyampaian aspirasi] itu, [agar] pemerintah Indonesia dan ULMWP duduk bicara, apa endingnya,” kata Surabut kepada Jubi, Selasa (13/10/2020).

Surabut menyatakan sejak lama DAP sudah menolak Otonomi Khusus Papua sejak tas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) diberlakukan pada 2001. “Tahun 2001 Dewan Adat Papua tolak otonomi khusus. Tahun 2007 dan 2010, Dewan Adat Papua mengatakan pelaksanaan Otsus gagal dan [kami] tolak. [Sejak] tahun 2001 hingga 2020, Dewan Adat Papua punya sikap sama,” kata Surabut.

Kini, DAP versi Kongres Luar Biasa memilih diam, tidak memberikan pendapat, saran, maupun usul lagi. Bagi Surabut, posisi DAP sudah jelas, karena sejak jauh hari telah menyatakan Otsus Papua gagal, dan menolak keberlanjutan Otsus Papua. “[Perlindungan] hak asasi manusia, pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur, [semua] tidak berimplikasi positif kepada penguatan masyarakat Papua untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri,” kata Surabut.

Surabut mengingatkan, Otsus Papua diberlakukan sebagai jawaban pemerintah pusat atas tuntutan orang asli Papua yang meminta merdeka. Akan tetapi, selama pemberlakuan Otsus Papua, aspirasi Papua merdeka justru semakin berkembang dan menjadi isu internasional. “Dewan Adat Papua di bawah pimpinan saya posisinya jelas, kami mendukung aspirasi masyarakat adat,” kata Surabut.

Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI), Hendrikus Maday mengatakan pihaknya juga telah memutuskan untuk menolak Otsus Papua. “Kami secara organisasi mengatakan tolak, karena pelaksanaan Otsus [Papua] itu seharusnya melibatkan rakyat. [Yang] terjadi, [Otsus Papua dilaksanakan] secara sepihak, baik itu Otsus [Papua] periode pertama, maupun rencana [Otsus Papua Jilid II],” kata Maday.

Maday menyatakan AMPTPI juga mendukung MRP dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) memfasilitasi penyampaian pendapat rakyat Papua atas keberadaan Otsus Papua. “Kami memberikan dukungan kepada MRP [untuk] mengambil aspirasi dari rakyat,  entah itu mau terima atau tolak [Otsus Papua], untuk disampaikan kepada pemerintah,” kata Maday.

Sebelumnya, Ketua MRP Timotius Murib meminta AMPTPI dan generasi muda Papua ikut menyampaikan aspirasi mereka melalui Rapat Dengar Pendapat tentang pelaksanaan Otsus Papua. Murib menyatakan, Rapat Dengar Pendapat itu digelar MRP untuk memfasilitasi seluruh rakyat Papua menyampaikan aspirasi mereka terkait pelaksanaan Otsus Papua.

Permintaan itu disampaikan Murib seusai membuka Kongres Nasional IV AMPTPI di Sentani, Kabupaten Jayapura, Senin (12/10/2020). Ia menyatakan seluruh hasil Rapat Dengar Pendapat itu akan diplenokan oleh MRP, dan akan diantar ke Dewan Perwakilan Rakyat Papua, untuk diteruskan kepada pemerintah pusat. “Kami minta dukungan, agar rakyat Papua memberikan pendapat tentang pelaksanaan Otonomi khusus,” kata Murib pada Senin.(*)

Sumber: Jubi

Read More

Categories Berita

MRP dan MRPB sepakat gelar RDP terkait efektivitas pelaksanaan Otsus

Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) sepakat menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) tentang pelaksanaan otonomi khusus Papua, dalam satu dokumen kerja sama kedua lembaga tersebut. – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) sepakat menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) tentang pelaksanaan otonomi khusus Papua, dalam satu dokumen kerja sama kedua lembaga tersebut.

RDP digelar sebelum bertemu menteri dalam negeri dan DPR RI, dalam kunjungan kerja selama sepekan di Jakarta pada 31 Agustus – 4 September 2020.

Pernyataan itu disampaikan Timotius Murib, ketua MRP pada 1 September 2020, melalui pernyataan tertulisnya kepada redaksi Jubi.

“Kunjungan kerja ini merupakan bagian dari agenda bersama kedua lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yang menjadi representasi kultural orang asli Papua,”kata Murib yang juga ketua Tim RDP MRP kepada redaksi jubi.co.id.

Kata dia, agenda bersama MRP dan MRPB telah disepakati dan dituangkan dalam sebuah Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh Ketua MRP dan Ketua MRPB pada 1 September 2020 di Golden Boutique Hotel, Jakarta

Penandatangan MoU didahului sesi pertemuan bersama antara MRP dan MRPB, membahas poin-poin MoU mengenai pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat Umum dan Rapat Pleno Luar Biasa, tentang 20 tahun efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan kerjasama MRP dan MRPB sebagai upaya dari orang asli Papua untuk melihat pelaksanaan kebijakan Otonomi Khusus dan mencari solusi terbaik demi masa depan orang asli Papua di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

“Sebelum melihat lebih dalam mengenai efektivitas pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, MRP dan MRPB melakukan sesi pertemuan bersama dengan diakhiri penandatanganan MoU bersama, sebagai kesepakatan bersama kedua lembaga negara itu dalam melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum dan Pleno Luar Biasa bersama orang asli Papua,“ tegas Ketua MRP.

Senada dengan Ketua MRP, Maxsi Ahoren selaku Ketua MRPB menegaskan, kerjasama ini adalah momentum dimana orang asli Papua bersatu dalam memikirkan masa depannya. “Kami dari MRPB melihat kerjasama antara kami dan MRP sebagai momentum dalam menjalankan mandat Pasal 77 dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, “ ujarnya.(*)

Read More

Categories Berita

MRP dan MRPB sepakat tarik kembali draf revisi UU Otsus

Ketua MRP, Timotius Murib, dan Ketua MRPB, Maxi Ahoren, saat menunjukkan nota kesepakatan kerja sama kunjungan kerja dalam rangka rapat koordinasi menjelang pelaksanaan rapat dengar pendapat tentang pelaksanaan Otonomi Khusus Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Salah satu agenda bersama Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) selama di Jakarta adalah meminta kembali draf revisi UU Otonomi Khusus bagi Tanah Papua untuk dibahas bersama orang asli Papua. Hal itu disepakati dan ditetapkan dalam agenda kerja sama yang ditandatangani ketua kedua lembaga di Jakarta pada 1 September 2020.

Dua agenda dua lembaga ini sudah disepakti yakni bertemu dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pertemuan dengan pihak Kemendagri telah dilaksanakan Selasa (1/9/2020).

“Hari ini, 1 September 2020, delegasi MRP dan MRPB yang dipimpin langsung oleh Ketua MRP dan Ketua MRPB berkunjung dan bertemu dengan Direktur Penataan Daerah Otonomi Khusus dan DPOD, Drs. Maddaremmeng, M.Si, di Kantor Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, Jakarta,” ungkap Ketua MRP, Timotius Murib, melalui rilis pers yang diterima Jubi, Selasa (1/8/2020) malam.

Kata dia, kegiatan ini merupakan bagian dari rapat koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia untuk menyampaikan rencana rapat dengar pendapat (RDP) dari MRP dan MRPB bersama orang asli Papua mengenai efektivitas pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Kata dia, pada kesempatan itu kedua lembaga ini menyerahkan hasil keputusan Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB pada tanggal 28 Februari 2020 di Sentani, Jayapura. Salah satu keputusan dari Pleno Luar Biasa itu adalah MRP dan MRPB meminta kembali draf Undang-Undang Otsus Plus yang telah diserahkan ke Kemendagri.

“Pada dasarnya kami menyampaikan kepada Kementrian Dalam Negeri tentang rencana RDP dan meminta kembali draf Undang-Undang Otsus Plus. Kementrian Dalam Negeri sangat mendukung rencana pelaksanaan RDP dari MRP dan MRPB,” ungkap Ketua MRPB, Maxi Ahoren, setelah pertemuan di Kantor Kementrian Dalam Negeri RI.

Ketua MRP, Timotius Murib, menambahkan, “Sebelum merevisi kebijakannya mengenai Otonomi Khusus di Tanah Papua, pemerintah Pusat dan DPR RI harus mendengarkan suara orang asli Papua, khususnya solusi yang ditawarkan oleh orang asli Papua untuk masa depannya.”

Selain dengan Kementrian Dalam Negeri RI, MRP dan MRPB mengagendakan pertemuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 3 September 2020. Mereka juga akan meminta untuk mengambil kembali draf revisi UU Otonomi Khusus Papua yang telah masuk dalam Prolegnas 2020 DPR RI.

“Upaya MRP dan MRPB untuk meminta kembali draf revisi UU Otonomi Khusus Papua itu adalah bagian dari konsistensi MRP dan MRPB dalam melaksanakan perintah pasal 77 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,” tegas Timotius Murib. (*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More

Categories Siaran Pers

MRP dan MRPB menetapkan agenda bersama untuk melaksanakan RDP OAP

Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) Maxsi Ahoren menyatukan agenda bersama mengenai pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan Rapat Pleno Luar Biasa tentang 20 tahun efektivitas pelaksanaan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 – Humas MRP

 

JAKARTA, MRP – MRP dan MRPB menetapkan agenda bersama untuk melaksanakan RDP OAP tentang Efektifitas Pelaksanaan Otsus di Tanah Papua, dan Mengkomunikasikannya dengan Kemendagri.

Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menyatukan agenda dan menyerahkan keputusan Pleno Luar Biasa kepada Kementerian Dalam Negeri RI dan DPR RI.  Ini sebagai bagian dari mempersiapkan Rapat Dengar Pendapat dan Pleno Luar Biasa mengenai dua puluh tahun efektivitas pemberlakuan Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Jakarta, 1 September 2020: Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua tengah menjadi perhatian serius pemerintah dan warga Papua. Hal ini terkait dengan rencana Pemerintah Pusat untuk revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dimana telah menciptakan sikap pro dan kontra dari pihak warga masyarakat. Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat melakukan kunjungan kerja pada 31 Agustus – 4 September 2020 di Jakarta.

Kunjungan kerja ini merupakan bagian dari agenda bersama kedua lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008  tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dimana menjadi representasi kultural orang asli Papua.

MoU MRP dan MRPB

Agenda bersama MRP dan MRPB telah disepakati dan dituangkan dalam sebuah Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh Ketua MRP dan Ketua MRPB pada 1 September 2020 di Golden Boutique Hotel, Jakarta.

Penandatangan MoU ini didahului dengan sebuah sesi pertemuan bersama antara MRP dan MRPB dimana membahas point-point MoU mengenai pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat Umum dan Rapat Pleno Luar Biasa tentang dua puluh tahun efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Ketua MRP, Timotius Murib menegaskan bahwa kerjasama MRP dan MRPB sebagai upaya dari orang asli Papua untuk melihat pelaksanaan kebijakan Otonomi Khusus dan mencari solusi terbaik demi masa depan orang asli Papua di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

“Sebelum melihat lebih dalam mengenai efektivitas pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, MRP dan MRPB melakukan sesi pertemuan bersama dengan diakhiri penandatanganan MoU bersama sebagai kesepakatan bersama kedua lembaga negara ini dalam melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum dan Pleno Luar Biasa bersama orang asli Papua,“ tegas Ketua MRP.

Senada dengan Ketua MRP, Maxsi Ahoren selaku Ketua MRPB menegaskan bahwa kerjasama ini adalah momentum dimana orang asli Papua bersatu dalam memikirkan masa depannya. “Kami dari MRPB melihat kerjasama antara kami dan MRP sebagai momentum dalam menjalankan mandat Pasal 77 dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, “ ungkapnya.

Menarik Kembali Draf Revisi UU Otsus Papua

Salah satu agenda bersama MRP dan MRPB selama di Jakarta adalah meminta kembali draft UU Revisi Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua untuk dibahas bersama orang asli Papua.

Hari ini, 1 September 2020, delegasi MRP dan MRPB yang dipimpin langsung oleh Ketua MRP dan Ketua MRPB berkunjung dan bertemu dengan Direktur Penataan Daerah Otonomi Khusus dan DPOD, Drs. Maddaremmeng, M.Si di Kantor Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, Jakarta.

Kegiatan ini merupakan bagian dari Rapat Koordinasi dengan Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia untuk menyampaikan rencana Rapat Dengar Pendapat dari MRP dan MRPB bersama orang asli Papua mengenai efektivitas pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dan menyerahkan hasil keputusan Pleno Luar Biasa MRP dan MRPB pada tanggal 28 Februari 2020 di Sentani, Jayapura. Salah satu keputusan dari Pleno Luar Biasa itu adalah MRP dan MRPB meminta kembali draf Undang-Undang Otsus Plus yang telah diserahkan ke Kemendagri.

“Pada dasarnya kami menyampaikan kepada Kementrian Dalam Negeri tentang rencana RDP dan meminta kembali draf Undang-Undang Otsus Plus. Kementrian Dalam Negeri sangat mendukung rencana pelaksanaan RDP dari MRP dan MRPB,”ungkap Maxsi Ahoren, Ketua MRPB setelah pertemuan di Kantor Kementrian Dalam Negeri RI.

Lebih lanjut Ketua MRP, Timotius Murib menegaskan, “Sebelum merevisi kebijakannya mengenai Otonomi Khusus di tanah Papua, pemerintah Pusat dan DPR RI harus mendengarkan suara orang asli Papua, khususnya solusi yang ditawarkan oleh orang asli Papua untuk masa depannya.”

Selain dengan Kementrian Dalam Negeri RI, MRP dan MRPB mengagendakan pertemuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada 3 September 2020 dimana juga akan meminta untuk mengambil kembali draf revisi UU Otonomi Khusus Papua yang telah masuk dalam Prolegnas 2020 DPR RI.

“Upaya MRP dan MRPB untuk meminta kembali draf revisi UU Otonomi Khusus Papua itu adalah bagian dari konsistensi MRP dan MRPB dalam melaksanakan perintah Pasal 77 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,” tegas Ketua MRP, Timotius Murib.

Humas MRP

 

Read More
Categories Berita

MRP: Papua gabung NKRI bukan dengan “tangan kosong”

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Teriakan menolak rencana sepihak pemerintah pusat memberlakukan Otonomi Khusus Papua Jilid II semakin santer terdengar di Papua maupun di Jakarta. Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib menegaskan perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua hanya dapat dilakukan atas usulan rakyat Papua melalui MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Papua.

Hal itu dinyatakan Timotius Murib usai mengikuti rapat koordinasi Gubernur, pimpinan DPR Papua, MRP, serta anggota DPR RI serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan Papua dan Papua Barat yang berlangsung di Kota Jayapura, Kamis (13/8/2020) malam. Ia menegaskan rakyat Papua merupakan pihak yang berhak mengevaluasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua), sebagaimana telah tegas disebutkan dalam Pasal 77 UU Otsus Papua.

“Pasal itu menyatakan, usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPR Papua kepada DPR atau Pemerintah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apalagi, Papua bergabung ke NKRI bukan tidak membawa apa-apa. [Papua] datang dengan satu pulau besar dan segala isinya,” kata Murib.

UU Otsus Papua tidak mengatur jangka waktu berlakunya Otsus Papua. Akan tetapi, kucuran “penerimaan khusus” atau Dana Otsus Papua setara 2 persen plafon Dana Alokasi Umum sebagaimana diatur Pasal 34 ayat (3) huruf e UU Otsus Papua akan berakhir pada 2021. Hal itu memunculkan wacana evaluasi Otsus Papua dan revisi UU Otsus Papua.

Tempo.co melansir pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang berharap revisi UU Otsus Papua segera dibahas dan disahkan tahun ini. Hal itu dinyatakan Tito dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, 22 Januari 2020. Banyak pemangku kepentingan politik di Papua merespon negatif rencana itu, dan menolak rencana sepihak Jakarta memberlakukan “Otsus Jilid II”.

Murib menyatakan pihaknya bersama DPR Papua akan membuka ruang bagi seluruh komponen masyarakat untuk memberikan pendapat untuk memperbaiki isi dari setiap pasal yang ada dalam UU Otsus Papua. “Kami tetap menghargai berbagai pihak yang sudah melakukan evaluasi, tapi MRP juga akan melaksanakan evaluasi sesuai pasal 77 itu,” ujar Murib.

“Intinya, masyarakat Papua ingin ke depan Otsus berjalan secara baik. Tidak seperti saat ini, ada pasal-pasal yang tidak bisa berjalan secara baik. Ini yang perlu kita diskusikan dan disampaikan ke pemerintah pusat,” kata Murib.

Ia menambahkan, sejauh ini perhatian pemerintah pusat untuk Papua cukup baik, hanya saja kepuasan batin orang asli Papua kurang, karena para petinggi di pusat hanya melihat Otsus Papua dari perspektif kucuran uang dari pemerintah pusat kepada Provinsi Papua. Di sisi lain, berbagai kewenangan khusus Pemerintah Provinsi Papua tidak bisa dijalankan.

“Sejauh ini pemerintah dan masyarakat [di] Papua merasa dikebiri kewenangannya. Itu yang perlu diluruskan, jangan melihat Otsus Papua [hanya] dalam bentuk uang, tapi [juga dalam hal] kewenangan [khusus pemerintah di Papua],” tegasnya.

Wakil Gubernur Papua, Klemen Tinal mengatakan sejak 2014 Pemerintah Provinsi Papua telah berinisiatif menyampaikan usulan perubahan atas UU Otsus Papua. Akan tetapi, usulan perubahan itu tidak mendapat respon positif dari pemerintah pusat dan DPR RI.

Padahal, demikian menurut Tinal, evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan UU Otsus Papua penting dan mendesak dilakukan, mengingat UU Otsus Papua sudah tidak mampu lagi merespon dinamika sosial, politik, budaya, pertahanan dan keamanan di Papua. “Untuk menjamin konsolidasi dan koordinasi yang efektif diantara Pemerintah Provinsi Papua, DPR Papua, MRP, DPR dan DPD dari daerah pemilihan Papua, perlu segera dibentuk kelompok kerja gabungan yang melaksanakan tugas sebagai administrator, katalisator dalam merumuskan perubahan UU Otsus Papua,” kata Tinal.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id
Read More
Categories Berita

Pemerintah diharapkan tak berpikir negatif terhadap rencana RDP Otsus

JAYAPURA, MRP – Anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum dan Hak Asasi Manusia DPR Papua, Laurenzus Kadepa berharap pemerintah pusat tak berpikiran negatif, dengan rencana rapat dengar pendapat atau RDP Otonomi Khusus (Otsus) oleh rakyat Papua.

Ia mengatakan, Majelis Rakyat Papua atau MRP telah membentuk tim mempersiapkan RDP.

DPR Papua juga telah membentuk panitia khusus (Pansus) Otsus. Kedua lembaga ini akan memfasilitasi RDP, sesuai amanat pasal 77 Undang-Undang Otsus Papua.

Katanya, pemerintah pusat jangan berupaya menekan para pihak di Papua, dengan adanya rencana pelaksanaan RDP mengevaluasi pelaksanaan Otsus di Bumi Cenderawasih.

“Jangan karena wacana RDP pemerintah pusat berupaya menekan DPR Papua, gubernur dan perangkatnya, MRP dan para pihak di Papua,” kata Kadepa melalui panggilan teleponnya, Jumat (7/8/2020).

Ia tak ingin, pemerintah pusat menanggapi rencana RDP itu dengan pengerahan personil keamanan ke Papua.

“RDP yang merupakan bagian dari amanat UU Otsus Papua untuk mendengar aspirasi dan pendapat masyarakat Papua terhadap pelaksanaan Otsus,” ujarnya.

Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan pihaknya telah membentuk tim beranggotakan 19 orang, untuk mempersiapkan segala sesuatuanya untuk pelaksanaan RDP.

“Tim ini akan melaksanakan seluruh proses persiapan, kurang lebih tiga bulan ke depan. Mereka menyiapkan seluruh tahapan RDP rakyat Papua di 29 kabupaten dan kota di Provinsi Papua dan 12 kabupaten di Papua Barat,” kata Murib beberapa hari lalu.

Menurutnya, dalam proses ini pihaknya akan membangun komunikasi dengan semua pihak dengan harapan semua pihak memahami dan mendukung RDP, termasuk kelompok masyarakat dan mahasiswa yang menolak apapun aktivitas MRP.

“Kami akan membangun komunikasi supaya kita satu pemahaman supaya rakyat salurkan pendapat secara bersama dan santun,” ungkapnya. (*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More