Categories Berita

MRP Menilai Tanggapan Yan Mandenas Semakin Ngawur dan Gagal Paham

Ketua Panmus MRP, Benny Sweny, S.Sos dalam sebuah diskusi dengan Ketua BALEG DPR RI, Dr. Supratman Andi Agtas, SH, MH. Diskusi dengan topik tugas dan wewenang MRP dalam implementasi UU Otsus terkait dengan pemekaran wilayah di Papua. – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Menanggapi anggota Komisi I DPR RI Yan P. Mandenas yang menilai MRP keliru, Ketua Panmus MRP Benny Sweny dengan santai mengimbau semua kalangan agar tidak terpengaruh.

“Pernyataan itu (Mandenas) semakin ngawur dan gagal fokus dalam memahami tugas dan wewenang MRP dalam UU Otsus,. Biarkan saja, anjing menggonggong kafilah berlalu,” kata Benny saat ditanya media, Jumat, (29/4/2022).

Benny menjelaskan bahwa salah satu tugas pokok dan fungsi MRP jelas tertuang dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf e yaitu memperhatikan dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

“Ketentuan itu tidak membedakan jenis-jenis aspirasi, apakah aspirasi politik, aspirasi bukan politik, aspirasi sosial, aspirasi hukum, atau aspirasi lainnya. Jadi pernyataan seperti itu (Mandenas) hanya karangan yang dibuat-buat. Narasinya kabur,” kata Benny.

Selanjutnya, menurut Benny, Pasal 76 UU No. 21/2001 atau UU Otsus yang lama maupun Pasal 76 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2021 atau UU Otsus yang baru jelas telah mengamanatkan bahwa pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP. Sayangnya, ini tidak dipatuhi oleh pemerintah pusat.

Bahkan ketentuan yang sama juga memberi penegasan tentang syarat suatu pemekaran yaitu dilakukan “setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.” Amanat ini juga diabaikan.

Ketidakpatuhan dan pengabaian tersebut terlihat secara jelas ketika pemerintah justru membuat ketentuan Pasal 76 yang tunggal itu menjadi tiga ayat sehingga menimbulkan kerancuan wewenang pemekaran.

Sekadar contoh, ditambahkanlah Pasal 76 ayat (2) yang berbunyi : “Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat.

“Ini ayat tambahan yang menghilangkan aspek khusus dari pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi,” lanjut Benny.

Dengan penambahan ketentuan tersebut, maka pemekaran provinsi di wilayah otonomi khusus seperti Papua menjadi tidak ada bedanya dengan pemekaran wilayah lainnya di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

“Mengapa pemekaran Papua harus diatur dalam UU Otsus kalau tidak lagi ada yang khusus? Orang-orang seperti Yan ini justru telah membuat pasal pemekaran menjadi ambigu, sehingga itulah yang di-uji materiil-kan MRP. Ini agar karakteristik pemekaran di Papua berciri khusus yaitu atas persetujuan MRP dan DPRP.”

Benny menegaskan, MRP sebenarnya tidak dalam posisi menolak atau mendukung pemekaran. Tetapi menyuarakan aspirasi OAP yang banyak menolak pemekaran yang tanpa partisipasi, konsultasi dan persetujuan MRP dan DPRP. Kalau pun ada yang dituntut ke pemerintah pusat, maka MRP memang meminta agar kewenangan pemekaran itu dikembalikan sehingga hanya merupakan wewenang MRP dan DPRP.

”Setiap usulan Pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi atau pembentukan DOB di Tanah Papua tetaplah harus melalui MRP dan DPRP. Agar MRP juga dapat mengkaji secara komperehensif apakah Papua saat ini sudah layak dimekarkan berdasarkan empat faktor yaitu kesatuan budaya, kesiapan SDM OAP, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa datang.

“Itulah yang MRP sampaikan di Jakarta, baik kepada pimpinan partai politik, Presiden Joko Widodo maupun pimpinan DPR RI agar Pengesahan RUU Pembentukan 3 DOB itu ditunda dahulu. Kalau bisa sampai setelah Pemilu. Paling tidak, sampai ada keputusan MK” tandasnya.

Suara orang yang meminta MRP dibubarkan itu boleh-boleh saja, tapi jangan lupa bahwa MRP adalah roh jiwa Otonomi Khusus Papua, yang membedakan Papua dengan Provinsi lain di Indonesia.

“MRP dan Otsus seperti dua sisi mata uang yang integral dan tak terpisahkan, jadi kalau MRP dibubarkan maka OTSUS juga bubar. Jadi intinya, jangan komentar sembarangan sebelum membaca dan mencermati sesuatu hal secara mendalam,” tegasnya.

Ditambahkannya, Yan sebagai wakil rakyat di DPR RI tidak pernah merespon aspirasi masyarakat yang menolak DOB, bahkan tidak mau menerima kehadiran MRP di Jakarta.

“Kapan dia menerima MRP berdialog dan menindaklanjuti aspirasi MRP? Saat kami di Jakarta bersama Ketua MRP, saya telepon Yan Mandenas berkali-kali untuk ketemu tapi telpon saya tidak dijawab. Jadi kelihatan sekali dia tidak mau menerima aspirasi masyarakat akar rumput maupun MRP sebagai lembaga representasi orang asli Papua,” pungkasnya. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

MRP: Pemekaran Papua dan Penambahan Provinsi Tidak Menjamin OAP Sejahtera

Ketua MRP, Timotius Murib ketika menyampaikan materi dalam Media Briefing “Perkembangan Pembentukan Daerah Otonomi Baru Pasca Pertemuan dengan Istana” yang diselenggarakan Public Virtue secara daring pada Rabu (27/4/2022). – Tangkapan layar Youtube Public Virtue

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua menilai pemekaran Papua untuk membentuk tiga provinsi baru tidak serta merta menjamin Orang Asli Papua akan sejahtera. Hal itu dinyatakan Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib dalam Media Briefing “Perkembangan Pembentukan Daerah Otonomi Baru Pasca Pertemuan dengan Istana” yang diselenggarakan Public Virtue secara daring pada, Rabu (27/4/2022).

Hal itu disampaikan Murib menyikapi langkah rapat paripurna DPR RI menetapkan tiga Rancangan Undang-undang (RUU) pembentukkan tiga provinsi baru di Papua sebagai RUU inisiatif DPR RI pada 12 April 2022. Sejumlah tiga provinsi baru yang dibentuk dari hasil pemekaran Papua itu adalah Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

Murib mengatakan saat ini sumber daya manusia Papua tidak cukup dan tidak siap untuk menghadapi pemekaran Papua. Menurutnya, tidak ada juga jaminan bahwa tiga provinsi yang dibentuk melalui pemekaran Papua akan membuka kesempatan bekerja bagi Orang Asli Papua.

“Tidak ada partisipasi masyarakat Papua dalam pemekaran. Buktinya masyarakat asli Papua di 29 kabupaten dan kota di Papua terus melakukan penolakan terhadap pemekaran,” ujar Murib.

Insert Content here Murib menyampaikan Orang Asli Papua sebenarnya ada evaluasi yang menyeluruh atas pelaksanaan Otonomi Khusus Papua selama 20 tahun terakhir. Evaluasi itu perlu dilakukan guna melihat sejauh mana penerapan Otonomi Khusus Papua berhasil atau gagal meningkatkan kesejahteran Orang Asli Papua. “Harus evaluasi secara total dulu,” katanya.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyampaikan pemerintah pusat setidaknya harus menjalankan tiga kewajiban kepada Orang Asli Papua. Diantaranya kewajiban untuk menyampaikan informasi, mengkonsultasikan, dan memperoleh persetujuan ketika pemerintah pusat membuat suatu kebijakan. Pasalnya, sejak 2001 pemerintah pusat sudah memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

“Ketiga kewajiban ini dimaksudkan untuk dapat memenuhi hak-hak Orang Asli Papua, atau Hak Asasi Manusia orang-orang di Papua baik sebagai manusia, warga negara yang dijamin dalam konsitusi, maupun satuan-satuan masyarakat adat yang diakui UUD RI,” kata Usman.

Usman menyampaikan pemerintah harus mendengarkan aspirasi masyarakat Papua yang disampaikan melalui  DPR Papua dan MRP. “Karena itu berhubungan dengan tiga kewajiban yang saya sampaikan di atas itu,” ujarnya.

Menurut Usman, jika hal itu tidak dipertimbangkan dengan baik oleh pemerintah, pihaknya khawatir akan terjadi eskalasi kekerasan di Papua. Amnesty mencatat setidaknya 12 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan, termasuk peningkatan kebebasan bergerak, pemukulan dan penangkapan yang kerap dialami oleh Orang Asli Papua setempat. Situasi Orang Asli Papua dikhawatirkan akan semakin memburuk jika satuan teritorial aparat kemanan semakin bertambah karena pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB). (*)

Sumber: Jubi

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

MRP: Pembentukan Tiga Provinsi Baru Bukan Solusi Menangani Krisis di Papua

Ketua MRP, Timotius Murib ketika menyampaikan materi dalam Media Briefing “Perkembangan Pembentukan Daerah Otonomi Baru Pasca Pertemuan dengan Istana” yang diselenggarakan Public Virtue secara daring pada Rabu (27/4/2022). – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Pemerintah pusat kembali didesak untuk menunda dan mengevaluasi rencana pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di Tanah Papua. Pembentukan tiga provinsi baru di provinsi Papua dinilai bukan merupakan solusi dalam menangani krisis berupa konflik bersenjata, pelanggaran HAM, dan rendahnya tingkat capaian pemerintah dalam membangun kesejahteraan orang asli Papua.

Dalam media briefing yang diselenggarakan oleh Public Virtue Research Institute (PVRI) pada Rabu (27/04/22), sejumlah akademisi dan perwakilan masyarakat sipil sepakat bahwa langkah pemekaran atau pembentukan DOB bukan solusi bagi penanganan krisis Papua yang semakin kompleks. Pasalnya, strategi dalam menyelesaikan persoalan Papua melalui DOB selama ini juga tidak berjalan maksimal dan bahkan jauh dari kebutuhan orang asli Papua (OAP).

Peneliti PVRI Ainun Dwiyanti mempertanyakan sikap pemerintah pusat yang gencar mendorong langkah pembentukan DOB. Menurutnya, jika pemerintah bersungguh-sungguh mewujudkan kesejahteraan rakyat, sudah sepatutnya terjadi proses konsultasi kebijakan dengan OAP agar kebijakan pemerintah dapat menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

“Jika rencana pemekaran terus berlangsung, artinya aspirasi OAP hanya untuk formalitas dan tidak menjadi konsiderasi pembuatan kebijakan. Lalu untuk siapa dan kesejahteraan seperti apa yang ditawarkan pemerintah dalam kebijakan DOB?” tanya Ainun.

Ainun juga menambahkan bahwa gencarnya penolakan masyarakat terhadap pembentukan DOB mengindikasikan bahwa kebijakan ini dianggap tidak representatif dan tidak menjadi solusi atas krisis kemanusiaan yang ada. Justru sebaliknya, menambah persoalan baru di Tanah  Papua.

“Dalam catatan PVRI, sejak awal Maret hingga April 2022 saja sudah terjadi 10 kali demonstrasi di Papua guna menolak DOB. Beberapa diantaranya berujung kekerasan aparat keamanan dan mengakibatkan 2 orang tewas di Yahukimo. Pemerintah harus melihat gejolak tersebut,” tegas Ainun.

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fitriani Bintang Timur juga mengungkapkan persoalan pemekaran berkorelasi dengan masalah keamanan dan kekerasan di Papua.

“Tantangan keamanan dari pemekaran DOB meliputi, aspek struktural-militer pasca adanya provinsi baru, yaitu akan dibangunnya pos-pos komando militer baru. Meskipun pemerintah bisa mengklaim hal itu untuk keamanan dan ketertiban, kita harus sadar bahwa ramifikasi tersebut belum bisa diterima oleh masyarakat Papua mengingat kasus-kasus kekerasan pada masyarakat Papua, isu pelanggaran HAM terhadap warga sipil, dan sebagainya. Dasar dari pembentukan provinsi baru adalah luasnya wilayah yang hendak diatur dan agar distribusi akses kesejahteraan dan pembangunan merata. Alasan itu pun belum dianggap meyakinkan karena perluasan satuan territorial militer justru menimbulkan keresahan dan ketidakamanan,” ujar Fitriani.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyampaikan pendapat serupa bahwa rencana pembentukan DOB minim partisipasi dan mengindikasikan bahwa pemerintah pusat gagal dalam menjalankan kewajibannya.

“Pemerintah memiliki tiga kewajiban yang harus dipenuhi saat membuat kebijakan, yaitu duty to inform atau kewajiban untuk menginformasikan kebijakan yang akan berdampak pada mereka, lalu duty to consult atau kewajiban mengonsultasikan kebijakan, dan duty to obtain free and prior informed consent atau kewajiban memperoleh persetujuan tanpa paksaan dari orang asli Papua,” ungkap Usman.

Usman mengingatkan jika ketiga kewajiban tersebut krusial untuk pemenuhan hak-hak warga OAP karena diakui oleh ketentuan Pasal 18B UUD 1945. Laporan Amnesty International terbaru yang terkait rencana penambangan emas di Blok Wabu juga menunjukkan betapa minimnya konsultasi dan partisipasi orang asli Papua dalam proses pembuatan rencana kebijakan negara di Intan Jaya, Papua.

Hadir bersama Usman Hamid yaitu Timotius Murib selaku Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) mengingatkan, jika pembuat kebijakan tidak melibatkan OAP dalam keputusan-keputusan yang menyangkut Papua maka dapat menimbulkan permasalahan serius.

“Saat bertemu Presiden Jokowi, MRP menyampaikan kepada Presiden bahwa cikal bakal dari kesalahan besar yang terjadi di Papua adalah perubahan kedua UU Otsus Tahun 2021 yang disahkan tanpa konsultasi dengan lembaga negara di Papua dan masyarakat sipil Papua. Oleh karenanya, rencana pembentukan DOB juga diteruskan oleh pemerintah secara sepihak,” ujar Timotius.

Timotius menambahkan jika Tiga UU DOB yang didorong oleh Mendagri dan Komisi II DPR RI merupakan mekanisme yang salah dan illegal karena merujuk asosiasi bupati yang tidak ada di UU Otsus. Karenanya Presiden dan pimpinan DPR RI perlu menunda keputusan tersebut dan mengoreksi tindakan Menteri terkait yang keliru membaca aturan.

“Ada empat alasan penting mengapa masyarakat Papua menolak DOB. Pertama, DOB masih di-moratoriumkan oleh pemerintah. Kedua, DOB provinsi lain dan daerah-daerah kabupaten di Papua tidak memiliki PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang tinggi, sehingga secara fiskal akan sangat berketergantungan berat dengan pemerintah pusat, membebani APBN. Ketiga, sumber daya manusia yang berasal dari OAP hampir tidak ada atau sedikit, mayoritas adalah warga non-Papua. Yang terakhir aspirasi DOB bukan berasal dari akar rumput dan MRP sesuai UU” imbuh Timotius.

Senada dengan Timotius, akademisi Universitas Cendrawasih Bernarda Meteray mengatakan jika 20 tahun Otsus belum membawa banyak perubahan signifikan bagi OAP. Menurutnya, pembangunan cenderung berpola nasional dan mengabaikan pola lokal, kurang menyentuh kebutuhan dan hak-hak asasi rakyat, dan pemerintah meredam perlawanan dengan memekarkan provinsi.

“Pemekaran wilayah lebih bersifat politik, berorientasi untuk meningkatkan prestise negara, bukan menunjukkan niat memajukan penduduk. Perlu dilihat dengan baik karakteristik wilayah apabila akan mengadakan pemekaran wilayah. Perubahan dan perbaikan akan terjadi hanya jika pemerintah serius mensejahterakan orang di Papua, terutama OAP,” ungkapnya.

Terkait persoalan bertambahnya provinsi di Papua, peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas mengungkapkan jika rencana pembentukan DOB perlu dievaluasi.

“Ketua Dewan Pengarah BRIN, Ibu Megawati, sudah menyampaikan kritik terhadap Mendagri tentang kebijakan pemekaran daerah sehingga BRIN diminta melakukan riset tentang potensi pemekaran daerah,” ujarnya.

Cahyo juga menambahkan kecenderungan paradigma proses pembangunan dilaksanakan dari sudut pandang Jakarta, seperti melihat Papua dari Monas. Kebijakan pemekaran Mendagri saat  ini didasarkan pada premis bahwa ‘uang adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah di Papua’.

“Semakin banyak investasi yang berjalan, semakin lumpuh daya otonomi orang Papua. Papua akan semakin bergantung pada bantuan-bantuan dari Jakarta. Ini harus dikoreksi,” pungkas Cahyo. (*)

Humas MPR

Read More
Categories Berita

MRP Lapor Jokowi Soal Penangkapan Anggota Saat RDP Bahas Otsus Papua

Pimpinan MRP saat berfoto bersama Presiden Jokowi di Istana Negara – For Humas MRP

JAKARTA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, mengadukan peristiwa penangkapan sejumlah anggota anggota MRP saat melaksanakan evaluasi otonomi khusus Papua pada November 2020 ke Presiden Joko Widodo, Senin (25/4). Timotius mengatakan, saat ditangkap anggota MRP sedang menjalankan tugas untuk mendengarkan aspirasi orang asli Papua (OAP) tentang penerapan otonomi khusus.

“MRP dan timnya itu ditangkap dan diborgol. Ini juga sudah kami sampaikan ke Bapak Presiden kemarin,” kata Timotius pada diskusi daring yang digelar Public Virtue Research Institute, Rabu (27/4).

Timotius menuturkan, polisi menangkap 54 orang peserta rapat, termasuk anggota MRP, dengan tuduhan makar. Namun, polisi membebaskan mereka karena tak punya bukti kuat.

Kepada Jokowi, dia juga menyampaikan soal kelompok masyarakat yang menolak rapat MRP.

Salah satunya, yaitu kelompok Barisan Merah Putih. Timotius mengatakan, kelompok itu membubarkan paksa rapat yang jelas-jelas digelar MRP sebagai lembaga negara.

“Menurut MRP, masyarakat ini pasti diajak dan disuruh kemudian membubarkan kegiatan MRP yang dilaksanakan di lima wilayah,” ujarnya.

Selain itu, pada pertemuan dengan Jokowi, MRP menyatakan revisi UU Otsus Papua dilakukan tanpa diskusi dan persetujuan rakyat Papua. Mereka pun meminta Jokowi mengevaluasi pembentukan undang-undang itu.

Selain itu, MRP meminta Jokowi mengkaji ulang pemekaran tiga provinsi di Papua. MRP meminta pemerintah menunda kebijakan hingga ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Diketahui, pada September 2021, MRP melayangkan permohonan uji materiil UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua ke MK. Salah satu pasal yang digugat yaitu terkait wewenang pemekaran wilayah di Papua.

Sementara itu, pada 12 April 2022, DPR menyetujui tiga RUU daerah otonom baru di Papua sebagai RUU inisiatif DPR. Ketiga RUU tersebut meliputi RUU Provinsi Papua Selatan, RUU Provinsi Papua Tengah, dan RUU Provinsi Papua Pegunungan Tengah. (*)

Sumber: CNN

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Wakil Ketua DPR RI Setuju Tunda DOB Sampai Putusan MK

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Sufmi Dasco Ahmad menerima delegasi pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Timotius Murib di Gedung Nusantara III DPR RI, Selasa, (26/4/2022). -for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Sufmi Dasco Ahmad menerima delegasi pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Timotius Murib di Gedung Nusantara III DPR RI, Selasa, (26/4/2022).

Hadir pada pertemuan tersebut Ketua MRP Timotius Murib, Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait, Ketua Panitia Musyawarah MRP Benny Sweny, tenaga ahli Joram Wambrauw, staff khusus MRP Andi Andreas Goo, staff khusus Onias Wenda, maupun Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Menurut Dasco, penduduk asli Papua harus diberi kesempatan untuk menyampaikan masukan atas kebijakan perubahan UU Otonomi Khusus dan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB).

“Tentu wajar jika kemudian MRP berusaha menyalurkan aspirasi orang asli Papua. Ini bagus, dan perlu dicarikan jalan keluar yang terbaik agar tidak menimbulkan eskalasi konflik yang tinggi,“ kata Dasco.

“Saya sudah mendengarkan. Dua poin yang saya catat. Pertama, tentang evaluasi UU Otsus Papua yang diminta oleh MRP supaya transparan dan terbuka bagi MRP untuk melaksanakan tugas sesuai UU. Kedua, terkait dengan aspirai menunda DOB,“ lanjutnya.

“Memang pada 12 April lalu, rapat paripurna DPR RI sudah mengesahkan tiga RUU DOB sebagai RUU Usul Inisiatif DPR RI. Tapi dengan masukan MRP saya akan sampaikan pada pimpinan DPR lainnya, termasuk rekan-rekan di Komisi II, agar mempertimbangkan penundaan RUU DOB sampai ada putusan MK,“ katanya.

Aspirasi yang disampaikan tersebut, menurut Dasco, sangat masuk akal. “Sebagai penduduk asli Papua yang merasakan dampak dan manfaat UU Otsus, tentu apabila diberikan kesempatan untuk memberikan masukan, tentu sangat wajar. Apalagi MRP telah meminta masukan dari penduduk di 28 kabupaten,“ kata Dasco yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.

Dasco menjelaskan, DPR RI telah mengirimkan kepada Presiden dan DPR menunggu adanya surat presiden. “Tanpa ada surpres maka RUU ini tidak akan bisa dibahas. Saya akan sampaikan kepada DPR untuk menunda terlebih dahulu pembahasan keitga RUU DOB sampai ada putusan MK,“ pungkasnya.

Sebelumnya Timotius menjelaskan, MRP meminta DPR RI menangguhkan rencana pembentukan DOB. Pertama, pemerintah sedang memberlakukan moratorium kebijakan pemekaran wilayah dan pembentukan DOB. Kedua, karena rencana kebijakan DOB tidak didukung oleh kajian ilmiah. Ketiga, pengalaman dalam pembentukan DOB selama ini tidak memiliki PAD yang tinggi, bahkan rendah sehingga membebani APBN. Keempat, DOB tidak dilakukan dengan aspirasi dari bawah.

“Perubahan UU yang menambahkan ayat 1 dan ayat 2 membuat otonomi khusus tidak lagi menjadi pendekatan dari bawah ke atas, melainkan pendekatan dari atas ke bawah yang sentralistik,“ tutup Timotius.

Dalam kesempatan yang sama, Usman menambahkan bahwa kebijakan yang sepihak dalam hal perubahan UU Otsus maupun pemekaran provinsi jelas merugikan hak-hak orang asli Papua. “Orang asli Papua berhak untuk memperoleh informasi tentang rencana-rencana kebijakan yang berdampak pada mereka. Mereka juga berhak untuk diajak konsultasi, termasuk memberikan pendapat. Dan mereka juga berhak untuk dimintai persetujuan terkait perubahan UU, pemekaran provinsi, atau rencana penambangan emas seperti di Intan Jaya, jelas Usman.

“Jika pemerintah dan DPR RI mau menangguhkan rencana pembentukan DOB, maka hal itu bisa mengurangi peningkatan eskalasi konflik, kekerasan, dan pelanggaran HAM di Papua. Sudah ada 12 kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Intan Jaya. Dan sudah ada tua orang asli Papua tewas ketika menyampaikan pendapat menolak DOB,“ tutupnya. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

Pokja Agama MRP Gelar Rakor Dengan Kemenag Dan Kesbangpol Provinsi Papua

Pokja Agama MRP menggelar rapat koordinasi dengan Kementrian Agama Republik Indonesia Wilayah Provinsi Papua dan Kesbangpol Provinsi Papua, Senin 25 April 2022 lalu – for Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Maraknya organisasi baru yang berkedok keagamaan, khususnya pada bidang Kristen yang saat ini membangun gedung ibadahnya disana-sini membuat Kelompok Kerja Agama (Pokja) Majelis Rakyat Papua (MRP) mengambil langkah – langkah tegas untuk menyikapi persoalan tersebut dengan serius.

Hal itu terlihat dalam sikap Pokja Agama MRP menggelar rapat koordinasi dengan Kementrian Agama Republik Indonesia Wilayah Provinsi Papua dan Kesbangpol Provinsi Papua, Senin 25 April 2022 lalu.

Ketua Pokja Agama MRP, Helena Huby, S.Pd, mengatakan, saat ini pihaknya melihat adanya ada organisasi baru yang membangun gedung gereja baru dimana-mana di Tanah Papua ini, yang mana timbul akibat dari kesalahpaham yang terjadi didalam gereja sebelumnya atau ada kepentingan pribadi, yang menyebabkan yang bersangkutan keluar lalu mendirikan organisasi baru dan gereja baru.

“Nah sekarang di Papua ada organisasi – organisasi gereja yang membangun gereja dimana-mana sehingga Kami Pokja Agama MRP menyikap ini untuk lakukan rapat koordinasi dengan Kemenag dan Kesbangpol untuk tidak memberikan rekomendasi bagi organisasi baru yang mendirikan gereja baru,” ungkapnya kepada wartawan usai Rapat Koordinasi di Hotel Horizon Jayapura, Senin, (25/04/22).

Disampaikannya, hal ini perlu disikapi serius agar ada upaya langkah – langkah yang dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi jangan sampai dikemudian hari terjadi konflik akibat dari pembangunan gedung gereja baru yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Jangan kita bangun gereja baru disana – sini hanya dengan segelincir orang berkumpul – kumpul menjadi satu gereja itu, itu nanti bisa terjadi konflik – konflik diantara kami di atas tanah Papua,” tegasnya.

Diharapkannya dengan adanya rapat koordinasi tersebut adanya komitmen bersama yang dibangun dengan Kemenag dan Kesbangpol untuk membatasi pemberian rekomendasi pendirian gereja bagi mereka – mereka yang mendirikan gereja dan organisasi gereja baru diatas Tanah Papua dengan tetap berpatokan pada aturan yang ada.

Ditambahkannya, kedepannya pihaknya akan mendorong hasil rapat koordinasi tersebut ke Pemerintah Provinsi Papua untuk dioterbitkan peraturan daerah atau peraturan gubernur. (*)

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Temui MRP dan MRPB, Presiden Janji Hormati Putusan MK

Anggota MRP dan MRPB berfoto bersama sebelum bertemu Presiden Jokowi di Istana Presiden – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Presiden RI Ir. Joko Widodo menerima delegasi pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua dan MRP Papua Barat (MRPB) di Istana Merdeka pada hari ini, Senin, (25/4/2022).  

Dalam pertemuan tersebut hadir pimpinan MRP Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), Benny Sweny (Ketua Panitia Musyawarah MRP), Joram Wambrauw (tenaga ahli MRP) dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Sementara itu dari MRP Papua Barat hadir Maxsi Nelson Ahoren dan sejumlah pimpinan MRPB lainnya.

Saat menerima delegasi MRP dan MRPB, Presiden didampingi oleh Menkopolhukam Mahfud MD, Mendagri Tito Karnavian, dan Deputi V Kantor Staff Presiden Jaleswari Pramodhawardani.

Kepada Presiden, Timotius menyampaikan apresiasi atas perhatian Jokowi yang telah berkunjung ke Papua selama belasan kali. “Kunjungan itu amat berharga karena mencerminkan perhatian dan kepedulian Presiden dalam membangun Papua. Namun demikian, MRP menemukan adanya dua masalah. Pertama, MRP menyesalkan proses perubahan UU yang tidak melalui usul rakyat Papua melalui MRP dan DPRP, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 77 UU Otsus. Substansinya pun banyak merugikan hak-hak orang asli Papua sehingga kami mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,“ kata Timotius.

Menurut Timotius, Pasal 77 sangat penting agar ada konsultasi dan partisipasi rakyat Papua, sesuai amanat Bapak Presiden tanggal 13 Februari 2020 yang mengajak semua pihak untuk mengevaluasi efektifitas pelaksanaan UU Otonomi Khusus selama 20 tahun.

Timotius menjelaskan, substansi UU hasil perubahan ternyata mengandung banyak pasal yang merugikan hak-hak orang asli Papua. Banyak pasal yang berubah tidak sesuai isi surat Presiden tertanggal 4 Desember 2020 yang mengamanatkan perubahan terbatas tiga pasal: ketentuan umum, keuangan daerah, dan pemekaran wilayah.

Akan tetapi, setelah dibahas DPR RI justru terdapat 19 pasal yang berubah. Menurut kajian MRP, terdapat sembilan pasal merugikan hak-hak orang asli Papua. Karena itulah, MRP Papua dan MRP Papua Barat mengajukan uji materi ke MK.

Kedua, kami juga menyesalkan pembentukan DOB yang tidak melibatkan MRP sesuai ketentuan Pasal 76 UU Otsus yang menyatakan pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP. Ini artinya tanpa persetujuan MRP dan DPRP, tidak boleh ada DOB, tegasnya.

Ketua Tim Panmus MRP Benny Sweny yang juga turut berbicara kepada presiden menambahkan, dari belasan kali kunjungan Presiden ke Papua, belum pernah satu kali pun mengunjungi MRP yang merupakan rumah rakyat Papua.

“Dalam kesempatan berikutnya, mohon Bapak Presiden agar berkunjung ke MRP, karena lembaga ini adalah rumah rakyat Papua.

Menanggapi aspirasi MRP, Jokowi mengaku heran mengapa proses perubahan UU Otsus dianggap tidak melibatkan partisipasi orang asli Papua. Begitupula materinya yang dianggap bermasalah. Pemerintah menghargai langkah MRP menempuh uji materi ke MK. Pemerintah akan menghargai dan menghormati putusan MK.

“Mengenai proses perubahan kedua UU Otsus, sejauh laporan yang saya terima, telah melibatkan DPR RI dan DPD RI, termasuk DPRP dan MRP. Tetapi jika memang ada materi yang sedang diuji materi di Mahkamah Konstitusi, kami akan menghargai, menghormati, dan patuh apa pun putusan MK,“ kata Presiden.

“Mengenai tuntutan pemekaran provinsi, ini memang sering menjadi aspirasi dari daerah. Hampir setiap saya ke daerah, selalu ada tuntutan untuk pemekaran provinsi. Dalam catatan pemerintah,m tercatat dalam data diperhitungkan kondisi fiskal keuangan negara, termasuk potensi APBD daerah. Jangan sampai membebani APBN,“ jelas Presiden.

“Saya ingin menegaskan bahwa pemekaran provinsi bukan hal yang mudah.Kalau ada yang belum baik, kita harus bicarakan lagi. Silahkan melalui menteri-menteri, dan jika masih tidak puas, saya tetap membuka diri. Mengenai undangan MRP, saya tunggu dan saya akan kunjungi MRP segera,“ kata Presiden kepada MRP.

Usai pertemuan, Usman menyampaikan secara langsung kepada Presiden tentang laporan terbaru Amnesty yang menunjukkan memanasnya situasi di Papua, khususnya Intan Jaya. “Saya utarakan juga kepada Presiden tentang meningkatnya kehadiran pasukan militer, seiring dengan terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di Intan Jaya, Papua,“ katanya.

Latar belakang

Sebelumnya ramai diberitakan tentang polemik pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi baru. Pada 12 April lalu, DPR RI mengesahkan tiga RUU usul inisiatif berupa RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU Papua Tengah, dan RUU Tentang Pegunungan Tengah.

Berbagai kalangan pemerhati Papua menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang ingin membentuk DOB di Papua. Mereka menilai, kebijakan itu menyalahi ketentuan Pasal 76 yang mengamanatkan agar pemekaran dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP.

Selain itu, pemekaran juga hanya bisa dilakukan setelah pemerintah mempertimbangkan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa datang.

Kesatuan sosial budaya penting karena Papua memiliki 250 suku yang sangat beragam. Kebijakan yang keliru dapat memicu konflik baru atau memecah belah Papua, seperti editorial The Jakarta Post pekan lalu.

MRP mengingatkan bahwa pemerintah wajib menghormati ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya….“

MRP juga meminta pemerintah memperhatikan faktor kesiapan sumber daya manusia (SDM) di Papua karena saat ini banyak kantor pemerintahan provinsi yang kekurangan SDM, terutama orang asli Papua. Belum lagi situasi keamanan.

Menurut MRP, faktor kemampuan ekonomi juga penting diperhatikan dalam pemekaran wilayah. Alasan ekonomi seperti pendapatan asli daerah (PAD) adalah salah satu alasan Pemerintah pusat memberlakukan moratorium pemekaran provinsi.

Berbagai kalangan mempertanyakan apakah pemekaran Papua telah melalui sebuah kajian ilmiah berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut. (*)

Humas MRP

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Presiden PKS Akan Perjuangkan Usul MRP Tunda DOB

Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua melanjutkan road show menemui pimpinan partai politik nasional. Akhir pekan ini MRP menemui Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu di Kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS, Jakarta, Sabtu siang (23/4/2022). – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua melanjutkan road show menemui pimpinan partai politik nasional. Akhir pekan ini MRP menemui Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu di Kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS, Jakarta, Sabtu siang (23/4/2022).

Ahmad menyambut positif kunjungan MRP dan berkomitmen untuk memperjuangkan aspirasi MRP melalui Fraksi PKS di DPR RI, khususnya Komisi II yang bermitra dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI.

“Aspirasi MRP terkait amandemen kedua UU Otonomi Khusus sudah kami tangkap baik. Kami juga mencermati, seringkali proses perundang-undangan berjalan terlalu cepat. Sehingga banyak hal terlewati, termasuk RUU DOB yang menimbulkan polemik,” kata Ahmad yang mengenakan batik bercorak Papua.

“Kami menerima aspirasi MRP dan meminta Fraksi PKS untuk memperjuangkan aspirasi MRP di DPR RI. Saya akan meminta fraksi PKS di DPR RI khususnya di Komisi II agar mengawasi undang-undang’ini, termasuk memperjuangkan aspirasi MRP. Untuk Papua, perlu kearifan lokal,” katanya.

Menurut Timotius, MRP berharap sekali agar pemerintah pusat dan DPR RI mendengar aspirasi masyarakat orang asli Papua.

“Proses pengesahan perubahan kedua UU Otonomi Khusus pada Juli 2021 lalu tidak melibatkan representasi orang asli Papua. Sekarang ada Daerah Otonomi Baru, juga tanpa melibatkan representasi orang asli Papua. Ini sangat disayangkan,” katanya kepada segenap pengurus pusat PKS.

Ahmad didampingi oleh anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera menambahkan dan Wakil Sekretaris Jenderal PKS Soegeng Susilo

“Sudah diketuk oleh paripurna. Tapi RUU ini masih menunggu surat presiden. Selama itu belum ada, maka RUU ini belum bisa berjalan ke tingkat Panitia Kerja. Apa pun, kami akan selalu merujuk pertimbangan dari MRP. Saya sampaikan ke pimpinan Komisi II yang memang belum bertemu banyak pihak,” kata Mardani.

Selain Timotius, pimpinan MRP yang hadir antara lain Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait, dan Ketua Panitia Musyawarah MRP Benny Sweny. Hadir pula sejumlah staff ahli dan staff khusus MRP Onias Wenda, Andreas Goo, mantan anggota Tim Perumus UU Otsus 21/2001 Joram Wambrauw.

Benny menyesalkan pembentukan DOB yang terburu-buru dan tanpa diikutin oleh kajian.

“UU Otsus setidaknya memberi empat syarat yaitu kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, potensi pendapatan daerah, dan perkembangan sosial di masyarakat,” katanya.

Sementara itu Yoel menambahkan bahwa pemekaran sebagai solusi untuk meredam Papua Merdeka itu keliru. Malah bisa jadi boomerang bagi pemerintah pusat. “Kami mohon pimpinan partai politik memberikan rasa keadilan untuk Papua,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, akademisi senior Joram Wambrauw mengatakan jika RUU ini dipaksakan, maka orang Papua akan semakin merasa dihinakan. “Saya dulu tinggal 10 bulan di Jakarta untuk ikut serta dalam proses perumusan UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus. Pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi itu bukan seperti sekarang ini caranya, tapi wajib mendapat persetujuan MRP,” katanya.

Seperti diberitakan, MRP melalukan road show menemui pimpinan partai politik di Jakarta. Selain PKS, mereka juga menemui pimpinan Partai Gerindra, PPP, Golkar, PAN, dan lainnya. Mereka juga tengah berupaya untuk bertemu dengan pimpinan PDIP, Partai Demokrat, dan Partai Nasional Demokrat. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Dikunjungi MRP, Ketum PKB Janji Sampaikan Harapan Penundaan DOB

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menerima Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib di komplek Widya Chandra, Jakarta, Jum‘at, (22/4/2022). – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar menerima Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib di komplek Widya Chandra, Jakarta, Jum‘at, (22/4/2022).

Dalam permasalahan Papua, menurut Muhaimin, yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah sikap kesediaan untuk mendengar apa yang menjadi kemauan dari masyarakat orang asli Papua, serta sikap saling percaya antara pemerintah pusat dan pemerintah Papua. Dengan demikian, aspirasi untuk menunda pemekaran wilayah atau pembentukan DOB Papua akan mudah diterima.

“Yang harus dijadikan pegangan adalah apa yang menjadi kemauan masyarakat orang asli Papua. Itulah yang harus kita ikuti. Mengenai RUU Pembentukan Daerah Otonomi Baru DOB, prosesnya masih panjang. Karena (RUU) ini baru sebatas inisiatif. Di luar urusan DOB, yang penting adalah adanya rasa saling percaya antara pemerintah pusat dan pemerintah Papua,“ kata Muhaimin.

Timotius menyampaikan pentingnya MRP dilibatkan. “Bahkan Otonomi Khusus Papua memberi amanat penting agar pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan dengan melibatkan MRP. Bukan hanya dimintai pertimbangan. Tetapi juga dimintai persetujuannya. Sayang, proses pembentukan DOB saat ini sangat tergesa-gesa,“ kata Timotius.

Saat menerima kunjungan MRP, Muhaimin didampingi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Jazilul Fawaid, Ketua Komisi VI DPR RI Faisol Reza, dan Ketua Fraksi PKB Cucun Ahmad Syamsurijal.

Jazulil mengatakan, seharusnya ini bukan RUU inisiatif DPR RI. Melainkan pemerintah. “Karena ini mengenai otonomi daerah. Ternyata dicantolkan ke DPR RI. Di Senayan sendiri, sosialisasinya pasti tak merata. Sekarang, MRP perlu mengawal Komisi II DPR. Tanpa rekomendasi MRP akan berat. DPR harus meyakinkan MRP. Tidak mungkin tanpa dibantu oleh pemerintah“, kata Jazulil.

Selain Timotius, hadir pula Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait, Ketua Panitia Musyawarah MRP Benny Sweny, staff khusus Ketua MRP Onias Wenda, staff khusus MRP Andreas Goo, staff MRP Joram Wambrauw dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Sementara itu Benny menjelaskan, seharusnya proses pengajuan RUU DOB tersebut dimulai dari MRP selaku lembaga representasi kultural orang asli Papua yang diberi wewenang untuk memberi persetujuan atas pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi.

“Setelah dari MRP, barulah kemudian RUU tersebut diajukan kepada Mendagri untuk selanjutnya diajukan kepada DPR RI. Dalam pembahasannya pun, berbagai komponen masyarakat yang telah memperhatikan situasi Papua selama ini dimintakan pendapatnya,“ kata Benny.

“PKB pada prinsipnya tidak masalah. Kepercayaan sudah terbangun. Hampir semua aspirasi Papua senantiasa kami ikuti melalui wakil-wakil PKB. Kalau rasa saling percaya yang menyeluruh antara pemerintah harus terbangun, maka ketika nanti membatalkan inisiasi pemekaran itu benar-benar mudah. Mengenai harapan pimpinan MRP, pasti kami sampaikan ke Presiden,” lanjut Muhaimin.

Sementara itu, Timotius mengatakan, MRP sangat menghargai pendapat Muhaimin sebagai salah satu pimpinan DPR RI dan juga ketua umum dari salah satu partai yang besar di Papua.

“MRP optimis. Sebagai pimpinan partai besar, Pak Muhaimin pasti bersedia mempertimbangkan aspirasi masyarakat orang asli Papua terkait penundaan DOB untuk disampaikan kepada pimpinan partai politik nasional lainnya,“ ujar Timotius.

Dalam kesempatan yang sama, Yoel mengonfirmasi adanya surat MRP meminta penundaan DOB yang telah diserahkan MRP kepada sejumlah pimpinan partai politik.

“Kami menyampaikan surat sekaligus menemui Pak Zulkifili Hasan, Pak Airlangga Hartanto dan Pak Suharso Monoarfa. Kami juga tengah berupaya menemui Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),“ tambahnya.

Baru-baru ini, Megawati juga menyindir Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang dinilai mendorong pemekaran provinsi tanpa didasarkan pada kajian ilmiah. Megawati lantas meminta Mendagri agar melakukan riset dahulu melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Putri proklamator Soekarno ini juga sempat mengeluhkan rendahnya Pendapatan Asli Daerah dari DOB selama ini.

Sementara itu Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyampaikan, pemekaran provinsi belum tentu dapat menurunkan eskalasi konflik bersenjata di Tanah Papua, khususnya di Intan Jaya.

“Riset terbaru Amnesty Internasional menunjukkan kuatnya kepentingan perebutan sumber daya alam di Papua Tengah dan Pegunungan Tengah. Ini adalah dua wilayah yang menjadi target DOB,“ kata Usman.

“Protes menolak DOB telah menimbulkan jatuhnya korban jiwa seperti yang terjadi dalam aksi protes di Yahukimo. Jika pemerintah menunda, maka itu akan meredakan situasi di lapangan. Situasi lapangan memperlihatkan potensi eskalasi konflik dan memburuknya situasi HAM di Papua, terutama karena terkait rencana tambang emas di Intan Jaya, Papua,“ kata Usman.

Seperti diberitakan sebelumnya, pimpinan MRP tengah berada di Jakarta untuk menyuarakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat orang asli Papua yang sebagian besar menolak pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua menjadi provinsi-provinsi.

MRP menemui sejumlah Menteri dan pimpinan partai-partai politik. Di antaranya adalah Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mohammad Mahfud MD, Menteri Kordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang juga merupakan ketua umum Partai Golongan Karya (Golkar), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa yang juga merupakan ketua umum Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP) dan ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. MRP masih berupaya menemui Ketua Umum PDIP, Partai Demokrat dan Partai Demokrat.

MRP juga dijadwalkan akan menemui Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu pada akhir pekan ini di kantor DPP PKS, Jakarta Selatan. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Pusat Menegakkan Hak Konstitusional Orang Asli Papua (OAP)

Public Virtue Research Institute (PVRI), Majelis Rakyat Papua (MRP), serta akademisi dan aktivis perempuan papua – for MRP

JAKARTA, MRP – Public Virtue Research Institute (PVRI), Majelis Rakyat Papua (MRP), serta akademisi dan aktivis perempuan papua mendesak Pemerintah Pusat untuk menunda pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) dan berharap Mahkamah Konstitusi (MK) Kabulkan Gugatan MRP.

Hal ini disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Public Virtue Research Institute bertajuk “Judicial Review untuk Otonomi Khusus yang Aspiratif” (21/04/22), yang dimoderatori jurnalis Kompas Josie Susilo. Dalam acara tersebut, peneliti PVRI Fanya Tarissa mengungkapkan bahwa judicial review yang dilakukan oleh MRP merupakan wujud dari lahirnya kebijakan yang tidak demokratis dan mengabaikan hak konstitusional OAP.

“Gugatan MRP ke MK atas revisi UU Otsus yang terjadi hari ini merupakan perjuangan untuk meraih afirmasi dan rekognisi OAP. Minimnya ruang dialog dan rancangan pembangunan berbasis aspirasi OAP menjadi sebab mengapa pemerintah Indonesia mengalami krisis legitimasi sosial di Papua. Menjadi penting untuk menunda pemekaran,” ujar Fanya.

Timotius Murib selaku Ketua MRP membenarkan pernyataan tersebut. Menurutnya, UU Otsus yang baru secara substansial dan material cacat, secara prosedural dan formal juga cacat. Perubahan UU Otsus Papua terdapat adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional rakyat Papua.

“Pengambilan kebijakan yang berdampak pada OAP sudah semestinya dijalankan secara demokratis dengan mengedepankan dialog dan hak-hak konstitusional OAP. Pemerintah belum serius dalam memenuhi tiga kewajiban: menginformasikan, melakukan konsultasi dan mendapatkan persetujuan dari masyarakat asli Papua,” ungkap Timotius.

Timotius juga mengingatkan bahwa keberadaan Otsus sudah semestinya dianggap sebagai capaian OAP dalam menempatkan diri sebagai bagian dari Indonesia. “Latar belakang lahirnya UU Otsus Papua itu bukan sebuah hadiah, tetapi pencapaian orang Papua dalam rangka menempatkan dirinya sebagai bagian dari negara Indonesia,” tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, aktivis perempuan asal Papua Javier Rosa menyayangkan 20 tahun keberadaan Otsus masih ditemui sentralisasi pembangunan dan minim upaya meningkatkan kesejahteraan dan penghargaan terhadap OAP. Menurutnya, situasi ini membutuhkan evaluasi berbasis aspirasi masyarakat.

“Orang Papua tidak merasa menjadi aktor utama dalam proses pemerintahan Papua sendiri. Pejabat-pejabat orang Papua memang sudah dilaksanakan kewenangannya, tapi bagaimana dengan kewenangan lainnya seperti yang disampaikan Pak Murib? Jakarta menjalankan kontrol yang sentralistik,” ungkapnya.

Pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar yang merupakan Ahli Pemohon pengujian UU Otsus Papua menguatkan argumen narasumber yang lainnya. Menurut dia, kepastian hukum dalam konteks pemberian peraturan yang lebih kuat haruslah berbasis aspirasi OAP.

“Kalau kita bicara soal otonomi khusus, pemberian peraturan yang lebih tepat harus berasal dari aspirasi daerah. Salah satunya adalah memberi porsi kewenangan terhadap lembaga representasi kultural OAP,” ujarnya.

Zainal juga menegaskan bahwa minimnya ruang aspirasi OAP akan berdampak pada ancaman otoritarianisme di Papua.

“Poin yang saya mau bilang adalah salah satu problem Papua muncul karena kepentingan elite nasional yang terlalu banyak bermain di sana. Karenanya, kalau kita biarkan lagi, misalnya proses-proses pemekaran dan lain‑lain sebagainya, tanpa melalui tahapan persiapan, saya mengatakan norma ini bisa menjadi sentralistik dan di ujungnya bisa jadi menjadi sangat otoritarian Bisa jadi menjadi kepentingan pemerintah pusat saja,” tegasnya. (*)

HUMAS MRP

Read More