Categories Berita

Temui Menkopolhukam, MRP Minta DOB Papua Ditunda

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menerima pimpinan Majelis Rakyat Papua dan Amnesty Internasional Indonesia di kantor Kemenko Polhukam, Jumat (15/4/2022) – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menerima pimpinan Majelis Rakyat Papua dan Amnesty Internasional Indonesia di kantor Kemenko Polhukam, Jumat (15/4/2022).

Hadir pada pertemuan Ketua MRP Timotius Murib, Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait, Staf Khusus Ketua MRP Onias Wenda, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Menurut Mahfud, pemerintah mendengarkan aspirasi yang disampaikan oleh MRP. MRP menyampaikan banyak hal, antara lain persoalan penambangan baru di Wabu pasca perpanjangan kontrak Freeport.

“Saya menyampaikan bahwa penambangan baru dilakukan oleh BUMD dan BUMN dengan tetap memperhatikan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat luas dan masyarakat adat. Hingga saat ini belum ada Ijin Usaha Pertambangan (IUP),” tulis Mahfud seperti dikutip dari akun Instagram resminya @mohmahfudmd.

“MRP pada kesempatan ini juga menyerahkan surat aspirasi kepada Presiden RI, yang saya terima untuk disampaikan.”

Timotius mengonfirmasi ada surat yang diserahkan MRP kepada Mahfud untuk diteruskan kepada Presiden Joko Widodo. Isi surat mengacu kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Timotius mengatakan, MRP menyampaikan sejumlah hal kepada Jokowi melalui Mahfud.

Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf e UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otsus Papua, MRP mempunyai tugas dan wewenang untuk memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut perlindungan hak-hak Orang Asli Papua serta memfasiliitasi tindak lanjut penyelesaiannya.

Kemudian, lanjut Timotius, sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU tersebut, MRP memiliki peran terkait dengan pembentukan daerah otonomi baru, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Peran tersebut ditegaskan dalam ketentuan tersebut, yaitu bahwa pembentukan atau pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP dan setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang.

Dalam kesempatan yang sama, Yoel menambahkan, MRP telah menerima aspirasi masyarakat Orang Asli Papua. “Sebagian besar menolak pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru (DOB) karena dilakukan dengan pendekatan sentralistik yang mengacu pada ketentuan yang baru, yaitu Pasal 76 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Otsus Papua,” katanya.

“MRP menyayangkan langkah Komisi II yang terburu-buru mendorong pemekaran wilayah Papua. Badan Legislasi DPR RI secara cepat menyetujui tiga RUU DOB pada 6 April 2022. Lalu kurang dari sepekan kemudian, pada 12 April 2022, RUU tersebut disetujui oleh Rapat Paripurna DPR RI menjadi RUU Usul Inisiatif DPR, yaitu RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan Tengah. Ini sangat tidak terburu-buru dan tidak partisipatif,” jelas Yoel.

“Untuk itu, MRP meminta agar seluruh pelaksanaan revisi kedua UU Otsus, terutama rencana pemekaran dan pembentukan DOB di Tanah Papua ditunda sampai ada keputusan final dari MK,” kata Yoel.

Lebih lanjut, dia mengatakan, MRP berharap kebijaksaan dari Jokowi terkait hal tersebut. Untuk saat ini, MRP meminta pembentukan DOB ditunda sampai ada putusan final dari Mahkamah Konstitusi yang sedang memeriksa uji materiil UU Otsus Papua hasil amandemen kedua.

Sementara itu, Usman mengapresiasi penjelasan Mahfud yang mengatakan pemerintah akan memperhatikan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat adat sebelum benar-benar melakukan penambangan emas.

“Pak Mahfud juga mengatakan pemerintah akan memperhatikan rekomendasi-rekomendasi hasil penelitian Amnesty terkait rencana tambang emas di Blok Wabu, Intan Jaya. Temuan dari penelitian kami juga telah dibahas dalam pertemuan Menkopolhukam dengan Menteri BUMN, Menteri Investasi, bahkan Presiden,” jelas Usman.

“Banyak orang Papua yang khawatir jika pembentukan DOB akan diikuti oleh penambahan gelar pasukan dan satuan-satuan territorial maupun pembentukan Polda-polda di provinsi-provinsi baru tersebut.

Seperti diberitakan, pada 21 Maret lalu, Amnesty meluncurkan sebuah laporan berjudul “Perburuan Emas: Rencana Penambangan Blok Wabu Berisiko Memperparah Pelanggaran HAM di Papua.” Dalam laporan ini, Amnesty International mendokumentasikan penambahan aparat keamanan dalam jumlah yang mengkhawatirkan di daerah tersebut sejak 2019, dari yang semula hanya dua pos militer meningkat menjadi 17 pos militer.

Amnesty juga mencatat setidaknya terjadi 12 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan, termasuk peningkatan pembatasan kebebasan bergerak, pemukulan dan penangkapan yang kerap dialami oleh OAP setempat.

Warga Intan Jaya mengatakan kepada Amnesty International bahwa mereka menggunakan area penambangan yang diusulkan untuk membudidayakan tanaman, berburu binatang, dan mengumpulkan kayu.

“Dengan mengabaikan kebutuhan, keinginan, dan tradisi penduduk asli Papua, pengembangan Blok Wabu berisiko memperparah situasi hak asasi manusia yang juga sudah memburuk,” kata Usman.

Oleh karena itulah, Usman berharap, rencana pembentukan DOB dapat memperhatikan implikasi politik, hukum, keamanan, dan juga situasi HAM di Papua. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories Berita

Amnesty International: Pemerintah Jangan Remehkan Kasus HAM di Papua

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid saat memberikan keterangan pers – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Amnesty International Indonesia meminta pemerintah Indonesia tidak menganggap remeh kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM di Papua. Pemerintah Indonesia jangan hanya mengurus kasus HAM di Papua saat ditanyai Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun harus menunjukkan upaya nyata untuk memenuhi rasa keadilan korban pelanggaran HAM dan masyarakat Papua.

Hal itu dinyatakan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Kamis (10/3/2022). Usman menyatakan Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti dengan serius tiga isu besar pelanggaran HAM di Papua, yaitu perlindungan hak masyarakat adat, pengungsi internal yang dipicu konflik bersenjata di Papua, serta kasus pembunuhan kilat, pembunuhan di luar hukum, dan pembunuhan sewenang-wenang di Papua.

Usman menyatakan sorotan itu datang karena ada berbagai kasus pembunuhan yang terjadi di Papua, termasuk pembunuhan anak di Sugapa. Selain itu, konflik bersenjata yang terjadi di berbagai wilayah di Tanah Papua telah menyebabkan ribuan warga sipil mengungsi, dan PBB mencatat ada 60 ribu – 100 ribu warga sipil mengungsi.

Situasi itulah yang membuat Komisi Tinggi HAM PBB meminta pemerintah Indonesia memberikan klarifikasi tentang upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut. Usman menyatakan pihaknya mendukung langkah Komisi Tinggi HAM PBB meminta klarifikasi dan penjelasan pemerintah Indonesia.

“Apa saja upaya-upaya pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, pengungsian, dan juga hak masyarakat adat, [penjelasan itu] yang diminta oleh PBB. Kami, Amnesty International sepakat dengan PBB untuk meminta pemerintah Indonesia membentuk dan menginvestigasi kasus pelanggaran HAM di Papua,” kata Usman.

Usman menyatakan pihaknya juga sepakat dengan langkah Pemerintah Provinsi Papua dan Majelis Rakyat Papua untuk membentuk tim guna menyelidiki kasus pelanggaran HAM di Papua. Usman mencontohkan, Pemerintah Provinsi Papua membentuk tim independen untuk mengungkap kasus pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya.

Usman mengingat awalnya pemerintah selalu membantah keterlibatan aparat keamanan dalam pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani.

“Pemerintah membantah kasus pembunuhan Pendeta Yeremia, dan polisi menyatakan pembunuhan itu dilakukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.  Faktanya, setelah diselidiki Komnas HAM, tim pencari fakta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, dan tim investigasi Gubernur Papua juga Majelis Rakyat Papua, juga tim Lembaga Perlindungan Saksi Korban, semua menyimpulkan bahwa kasus pembunuhan itu dilakukan oleh aparat keamanan atau TNI,” kata Usman.

Usman menyatakan berbagai dugaan pelanggaran HAM di Papua tidak bisa dianggap remeh, atau dinilai sebagai dramatisasi masalah Papua. Usman menegaskan semua dugaan pelanggaran HAM di Papua seharusnya dianggap dan direspon secara serius.

“Karena yang tewas di Papua itu manusia, membutuhkan pertanggungjawaban negara untuk mengadili siapa pelakunya. Seharusnya pemerintah melakukan investigasi dugaan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, [termasuk untuk menjawab pertanyaan] yang diajukan oleh PBB,” kata Usman.

Usman juga menyoroti pemberlakuan Otonomi Khusus Papua sejak 2001 gagal mencegah pelanggaran HAM baru di Papua. Jumlah kasus pelanggaran HAM di Papua justru semakin meningkat. Hal itu menunjukkan pemberlakuan Otonomi Khusus Papua justru dibarengi kemunduran perlindungan HAM di Papua.

Usman menegaskan pemerintah Indonesia harus mendengar nasihat semua pihak. Ia menyatakan pemerintah Indonesia seharusnya juga berhenti meremehkan atau menyangkal kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

“Tidak perlu meremehkan atau membantah. [Jelaskan saja] apa yang dilakukan pemerintah terkait penembakan anak-anak di Intan Jaya, dan apa yang dilakukan pemerintah untuk istri dan anak-anak dari Pendeta Yeremia Zanambani. Apa yang dilakukan pemerintah untuk pengungsi yang ada di beberapa daerah. Seharusnya hal itu yang dijawab. Sebagai negara Pancasila dan negara demokrasi, seharusnya pemerintah Indonesia menegaskan bahwa hukum berlaku adil di Papua, dan keadilan bisa dirasakan oleh orang Papua,” kata Usman.

Sebelumnya, Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib mengapresiasi laporan ahli Komisi Tinggi HAM PBB tentang situasi HAM di Papua. Murib menyatakan negara Indonesia tidak bisa lagi menyembunyikan fakta yang terjadi di Papua, dan meminta berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua segera diproses hukum.

Hal itu disampaikan Murib melalui keterangan pers tertulisnya pada Rabu (9/3/2022). Pernyataan itu disampaikan menanggapi polemik yang terjadi di Indonesia setelah para ahli Komisi Tinggi HAM PBB menyampaikan laporan tentang situasi HAM di Papua.

“Terima kasih kepada para ahli PBB yang menyurati pemerintah Indonesia terkait situasi pelanggaran HAM di Papua. Negara wajib menjawabnya, tidak boleh menyembunyikan apa yang terjadi di Papua. Pemerintah perlu memenuhi janji mengundang Komisioner Tinggi HAM PBB untuk berkunjung ke Papua. Jika tidak ingin Komisioner Tinggi HAM PBB berkunjung ke Papua, maka muncul pertanyaan di masyarakat, ada apa?” kata Murib. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

Negara Diminta Hormati Proses Gugatan Perubahan Kedua UU Otsus di MK

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di dampinggi ketua MRP Timotius Murib saat memberikan keterangan pers – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Amensty Internasional Indonesia menilai negara (Jakarta) terus mengambil kewenangan-kewenangan yang sudah sebelumnya di berikan  kepada rakyat Papua hingga berdampak pada kerenggangan hubungan antara pemerintahan di daerah dan pusat.

Hal tersebut di sampaikan Usman Hamid, Direktur eksekutif Amnesty Internasional Indonesia kepada wartawan, Senin, (21/2/2022).

Kata Usman, kewengan-kewenangan yang di ambil pusat seperti perubahan kedua UU Otsus Papua, pemekaran (DOB) serta kebijakan pembangunan lainnya di tanah Papua.

“Dengan mengambil kewenangan-kewenangan yang sudah sebelumnya di berikan itu sebaliknya justru makin merengangkan hubungan antara pusat dan daerah sehingga menimbulkan keteggangan politik antara Jakarta dan Papua dan pada akhirnya membuat kita semua anti negara, ngak ada menghormati dan melindungi hak-hak orang asli Papua sebagaimana yang diwajibkan oleh konstitusi atau di wajibkan oleh undang-undang,” kata Usman.

Sehingga, Amnesty Internasional Indonesia berharap rapat-rapat sekarang yang intensif di gelar oleh wakil Presiden harus mempertimbangkan proses persidangan yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan menunda sementara terbitnya keputusan-keputusan baru seperti pemekaran wilayah dan lainnya.

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib juga mengkritik banyaknya mantan bupati yang pergi ke Jakarta untuk meminta pemerintah pusat membentuk Daerah Otonom Baru di Papua.

Ia mengingatkan setiap pemekaran dan pembentukan Daerah Otonom Baru seharusnya dipertimbangkan baik dan matang oleh Gubernur Papua, DPR Papua, dan MRP.

“Bupati, setelah (menjabat selama) dua periode, dia akan turun dan kembali jadi rakyat biasa. Di saat menganggur, dia pergi ke Jakarta, minta pemekaran. Pemekaran itu (seharusnya) melalui mekanisme rekomendasi Gubernur, DPR Papua, dan pertimbangan dari MRP. Ketiga mekanisme itu tidak dilalui, serta merta minta pemekaran,” kata Murib.

Murib mempertanyakan mengapa pemerintah pusat malah merespon permintaan pemekaran yang diajukan mantan bupati.

“Yang konyol itu,” jelasnya. 

Sumber: Suara Papua

Read More
Categories Berita

Amnesty Internasional Dorong MRP Ajukan Permohonan Uji Formil Atas Amandemen UU Otsus Papua

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di dampinggi ketua MRP Timotius Murib saat memberikan keterangan pers – Humas MRP

SENTANI, MRP – Majelis Rakyat Papua didorong segera mengajukan permohonan uji formil Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua di Mahkamah Konstitusi. Uji formil itu akan menguji apakah proses penyusunan dan pengesahan Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang baru itu memenuhi prosedur dan dirumuskan dengan partisipasi masyarakat.

Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid selaku pembicara dalam Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diselenggarakan di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, 2 – 4 Februari 2022.

Usman menyatakan  Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua) mengubah atau menghapuskan pengaturan sejumlah wewenang khusus yang diberikan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

“Kalau uji materil, itu memeriksa pasal per pasal mana yang bertentangan dengan UUD 1945. Kalau uji formil, dia memeriksa apakah proses perumusan pembahasan dan pengesahan dari hasil amandemen kedua ini dilakukan dengan partisipasi masyarakat yang bermakna,” jelas Usman.

Usman Hamid mencontohkan kasus Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional oleh MK, dan salah satu alasannya karena UU itu dirumuskan tanpa partisipasi masyarakat.

“[UU Cipta Kerja] dibahas tanpa partisipasi masyarakat yang bermakna, diputuskan dan disahkan tanpa partisipasi masyarakat yang bermakna. Karena itu, Mahkamah Konsitusi berpendapat UU itu inkonstitusional. Alasan inilah yang bisa digunakan sebagai pembelajaran bagi Majelis Rakyat Papua untuk menambahkan langkah hukum yang baru, dengan melakukan permohonan uji formil kepada Mahkamah Konstitusi,” kata Usman.

Usman menyatakan jika Mahkamah Konstitusi berpendapat UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua tidak lolos uji formil, bisa saja seluruh naskah UU itu dibatalkan. “Jadi, itu yang saya kira perlu dilakukan oleh MRP selain tentu saja mengambil langkah-langkah lain yang sesuai dengan tugas wewenang dari MRP,” kata Usman.

Menurutnya, langkah itu layak dilakukan, karena UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua itu sarat masalah. “Pertama, mengapa partai lokal, yang sebenarnya sudah dijamin dalam UU Otonomi Khusus itu dihapuskan? Yang kedua, mengapa UU yang baru diberikan ini memberikan semacam badan khusus yang baru di bawah Wakil Presiden? Padahal sifat Otonomi Khusus itu adalah desentralisasi kekuasaan,” kata Usman.

Ia menjelaskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom, supaya dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak terjadi penumpukan kekuasaan pada salah satu pihak saja. Akan tetapi, UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua justru mengurangi sejumlah kewenangan khusus yang sebelumnya telah diberikan kepada Papua melalui UU Otsus Papua.

“Yang sekarang terjadi, dengan pembentukan badan khusus Papua, itu seperti resentralisasi atau mengambil kembali kekuasaan pemerintahan dari pemerintah Papua ke pemerintah Jakarta. Misalnya melalui [badan khusus yang baru di bawah] Wakil Presiden [itu],” kata Usman.

Masalah lainnya, UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua juga mengubah pengaturan wewenang MRP untuk menyetujui atau menolak rencana pemekaran. “Dengan kata lain, pemekaran wilayah bisa dilakukan tanpa ada persetujuan dari MRP. Ini masalah yang sangat-sangat serius,” pungkas Usman.

“Jadi, saya meminta kepada pemerintah di Jakarta, Presiden, Wakil Presiden, dan Mendagri untuk menunda pelaksanaan UU hasil amandemen ini sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi, setidaknya dalam dua-tiga bulan ke depan. Itu penting untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran normatif lebih jauh dari pelaksanaan UU Otsus Papua,” kata Usman.

Untung-rugi UU baru Ketua MRP, Timotius Murib berharap Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota MRP itu memberi pengetahuan dan pemahaman  soal “untung-rugi” pelaksanaan UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua. Murib menyatakan pihaknya kecewa, karena revisi UU Otsus Papua yang awalnya dikehendaki rakyat Papua sebagai jalan untuk memperkuat Otsus Papua justru menghasilkan UU yang memperlemah Otsus Papua.

“Saya pikir perubahan kedua itu memang dikehendaki oleh rakyat Papua. Tetapi kemudian proses perubahan itu tidak sesuai dengan mekanisme yang diatur. Rakyat Papua merasa tertipu karena awalnya hanya dua atau tiga pasal saja yang ingin diubah, tetapi kemudian dalam mekanisme perubahan itu menjadi 19 pasal. [Ada] pengabaian terhadap partisipasi masyarakat terhadap perubahan UU itu,” kata Murib.

Hal itulah yang membuat MRP mengundang para ahli untuk menyampaikan pandangan mereka tentang untung-rugi pelaksanaan UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua. “Ada sejumlah pasal yang berpotensi merugikan rakyat. Melalui pembekalan ini, pimpinan dan anggota MRP mendapatkan peningkatan kapasitas dan pengetahuan untuk kami akan sosialisasikan ke lima wilayah adat,” kata Murib. (*)

Sumber: nirmeke.com 

Read More