Categories Berita

MRP Kritik Pengesahan Pemekaran Karena Tak Libatkan Rakyat Papua

MRP menilai hukum lebih melindungi perusahaan dibanding pemilik hak ulayat.

JAKARTA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib mengkritisi sikap DPR dan pemerintah yang akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan menjadi undang-undang. Ia menegaskan, pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Papua bukan keinginan dari orang asli Papua.

“Tiga RUU yang saya pikir itu adalah keinginan Jakarta, bukan keinginan orang asli Papua,” ujar Timotius dalam konferensi pers secara daring yang digelar Amnesty International Indonesia, Kamis (30/6/2022).

Ketidakberpihakan pemerintah pusat terhadap masyarakat Papua sudah terlihat dalam proses revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pasalnya, seluruh substansi di dalamnya tak sesuai dengan keinginan masyarakat Bumi Cendrawasih.

Menurutnya, pemerintah pusat belum sepenuhnya melaksanakan 24 kewenangan yang diatur dalam UU Otsus Papua. Kesejahteraan orang asli Papua dikesampingkan demi kepentingan ekonomi segelintir pihak atau kelompok saja.

“Hukum yang ada lebih melindungi perusahaan dibanding pemilik hak ulayat. DOB adalah pelanggaran HAM,” ujar Timotius.

MRP juga tak lagi dimintai persetujuan oleh pemerintah dan DPR dalam proses pembahasan RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan. Pemerintah dan DPR disebutnya tengah mempertontonkan pengelolaan yang buruk kepada masyarakat, khususnya orang asli Papua.

“Artinya bahwa DOB ini konsekuensi dari pada perubahan kedua yang terburuk dan tanpa keterlibatan rakyat Papua,” ujar Timotius.

DPR mengesahkan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) daerah otonomi baru (DOB) Papua, yakni RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan. Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna ke-26 DPR Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022.

“Apakah RUU tentang pembentukan Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang pembentukan Provinsi Papua Pegunungan dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” tanya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan rapat paripurna dijawab setuju oleh anggota DPR yang hadir, Kamis (30/6/2022).

Sebelum pengesahan, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyampaikan laporan terkait pembahasan RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan. Ia menjelaskan, pemekaran merupakan bagian dari amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.

“Dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan, sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan aspirasi masyarakat Papua,” ujar Doli.

Sumber: https://www.republika.co.id/

Read More
Categories Berita

MRP: Demonstrasi Tolak Otsus yang tak Konsisten, Bukan Papua Merdeka

Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait mengatakan, demonstrasi yang terjadi di beberapa wilayah di Papua merupakan aksi penolakan terhadap pelaksanaan otonomi khusus (otsus) yang tidak konsisten. Menurutnya, demonstrasi itu bukan untuk meminta Papua merdeka. 

“Demonstrasi yang terjadi di Wamena, di Mapaho, di Jayapura, itu mayoritas rakyat itu menolak, yang menolak ini bukan minta Papua merdeka, yang menolak ini adalah tidak setuju dengan pelaksanaan otsus yang tidak konsisten,” ujar Yoel dalam diskusi daring pada Kamis (25/3/2022) kemarin.

Dia menuturkan, sejauh ini tidak ada riset atau penelitian yang merekomendasikan perlu adanya pemekaran wilayah di Papua. Namun, pemerintah pusat justru akan membentuk empat daerah otonom baru (DOB) di Papua, yakni Provinsi Papua Pegunungan Tengah, Papua Tengah, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan.

Rencana pemekaran disampaikan pemerintah saat pembahasan perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Revisi itu kini sudah disahkan dalam UU Nomor 2/2021 yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 19 Juli 2021.

“Tidak ada riset, tidak ada penelitian yang merekomendasikan perlu ada pemekaran di Papua. Lalu sekarang pemekaran untuk siapa?” tanya Yoel.

Menurut Yoel, penyusunan UU Otsus yang baru itu dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Pemerintah tidak melibatkan aspirasi publik maupun masyarakat Papua, termasuk MRP. “UU ini adalah produk Jakarta, tapi dipaksakan untuk bisa diterapkan di Papua, enggak mungkin, aspirasi rakyat itu harus diakomodasi dulu,” kata dia.

Dia mengatakan, MRP membuka diri jika dilakukan dialog agar aksi kekerasan bisa dihentikan. Namun, dia menegaskan, dialog ini konteksnya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga tidak ada aksi saling curiga antara satu sama lain. (*)

Sumber: https://www.republika.co.id/

Read More