Categories Berita

MRP Serahkan 12 Keputusan Kultural OAP Kepada Menkopolhukam

JAKARTA, MRP – Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud MD menyambut baik langkah Majelis Rakyat Papua (MRP) yang menerbitkan sejumlah keputusan kultural terkait perlindungan orang asli Papua.

Sebanyak 12 keputusan tersebut di antaranya mengatur larangan pemberian gelar adat, larangan jual beli tanah ulayat Papua, moratorium izin pengelolaan sumber daya alam, penghentian kekerasan dan diskriminasi oleh aparat, hingga perlindungan perempuan dan anak asli Papua di wilayah konflik bersenjata, khususnya di Kabupaten Nduga, Kabupaten Puncak, dan Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua.

“Secara umum, semua keputusan kultural MRP bisa diolah sebagai bahan pertimbangan Pemerintah dalam membuat kebijakan terkait perlindungan orang asli Papua. Usul tim penanganan pengungsi juga saya akan pertimbangkan. Saya minta Deputi I agendakan di rapat kerja kami berikut,” kata Mahfud saat menerima MRP, di Aula Nakula, Kantor Kemenkopolhukam, Jum’at, (5/8/2022).

Mahfud didampingi oleh para pejabat teras Kemenkopohukam. Di antaranya, Sekretaris Kementerian Koordinator Polhukam Letnan Jenderal (TNI) Mulyo Aji, Deputi I Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri dan Deputi II Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri Rina Prihtyasmiarsi Sumarno.

Sebelumnya Ketua MRP Timotius Murib menyampaikan, masyarakat asli Papua terus mengalami praktik diskriminasi dan kekerasan aparat dalam proses penegakan hukum maupun pemeliharaan keamanan. Sebagian masyarakat asli Papua masih berada di lokasi-lokasi pengungsian.

Oleh karena itu MRP mengharapkan Pemerintah dapat membentuk tim perlindungan pengungsi Papua dan mengakselerasikan proses perundingan damai Papua.

Dalam pertemuan itu Timotius didampingi Wakil Ketua MRP Yoel Mulait, Koordinator Tim Kerja Otsus MRP Benny Sweny, dan sejumlah staff.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menjelaskan alasan perlunya tim penanganan pengungsi di Papua. “Tim ini bertugas seperti misi pencari fakta. Tetapi bukan untuk mencari tahu siapa yang salah. Melainkan untuk mengidentifikasi apa saja kebutuhan pengungsi agar mereka bisa pulang dengan aman,” kata Usman.

Usman juga mendukung inisiatif Komnas HAM dan Pemerintah pusat yang tengah aktif menjajaki proses perundingan damai sebagai penyelesaian konflik Papua.

Selain Usman, hadir pula delegasi Amnesty International Indonesia, antara lain Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena dan Media Officer Amnesty International Indonesia Karina Tehusijarana.

MRP dan Amnesty mendukung peran Menkopolhukam dalam penjajakan perundingan damai yang juga tengah diupayakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Penjajakan perundingan damai diharapkan terus berjalan untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi keamanan dan perlindungan HAM warga sipil di Papua.

Menkopolhukam mengatakan menerima dengan baik masukan dari MRP dan Amnesty dan akan menindaklanjutinya. Khusus penanganan pengungsi, Mahfud mengharapkan adanya masukan berupa data-data keberadaan pengungsi yang ada di Papua.

Merujuk Prinsip-Prinsip tentang Pengungsi Internal dari Kantor Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan kepada semua pengungsi internal yang berada dalam wilayahnya. Pengungsi internal yang tidak atau sudah berhenti berpartisipasi dalam pertempuran juga tidak boleh diserang dalam situasi apa pun. (*)

Humas MRP 

Read More
Categories Berita

Amnesty International: Pemerintah Jangan Remehkan Kasus HAM di Papua

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid saat memberikan keterangan pers – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Amnesty International Indonesia meminta pemerintah Indonesia tidak menganggap remeh kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM di Papua. Pemerintah Indonesia jangan hanya mengurus kasus HAM di Papua saat ditanyai Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun harus menunjukkan upaya nyata untuk memenuhi rasa keadilan korban pelanggaran HAM dan masyarakat Papua.

Hal itu dinyatakan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Kamis (10/3/2022). Usman menyatakan Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti dengan serius tiga isu besar pelanggaran HAM di Papua, yaitu perlindungan hak masyarakat adat, pengungsi internal yang dipicu konflik bersenjata di Papua, serta kasus pembunuhan kilat, pembunuhan di luar hukum, dan pembunuhan sewenang-wenang di Papua.

Usman menyatakan sorotan itu datang karena ada berbagai kasus pembunuhan yang terjadi di Papua, termasuk pembunuhan anak di Sugapa. Selain itu, konflik bersenjata yang terjadi di berbagai wilayah di Tanah Papua telah menyebabkan ribuan warga sipil mengungsi, dan PBB mencatat ada 60 ribu – 100 ribu warga sipil mengungsi.

Situasi itulah yang membuat Komisi Tinggi HAM PBB meminta pemerintah Indonesia memberikan klarifikasi tentang upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut. Usman menyatakan pihaknya mendukung langkah Komisi Tinggi HAM PBB meminta klarifikasi dan penjelasan pemerintah Indonesia.

“Apa saja upaya-upaya pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, pengungsian, dan juga hak masyarakat adat, [penjelasan itu] yang diminta oleh PBB. Kami, Amnesty International sepakat dengan PBB untuk meminta pemerintah Indonesia membentuk dan menginvestigasi kasus pelanggaran HAM di Papua,” kata Usman.

Usman menyatakan pihaknya juga sepakat dengan langkah Pemerintah Provinsi Papua dan Majelis Rakyat Papua untuk membentuk tim guna menyelidiki kasus pelanggaran HAM di Papua. Usman mencontohkan, Pemerintah Provinsi Papua membentuk tim independen untuk mengungkap kasus pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya.

Usman mengingat awalnya pemerintah selalu membantah keterlibatan aparat keamanan dalam pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani.

“Pemerintah membantah kasus pembunuhan Pendeta Yeremia, dan polisi menyatakan pembunuhan itu dilakukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.  Faktanya, setelah diselidiki Komnas HAM, tim pencari fakta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, dan tim investigasi Gubernur Papua juga Majelis Rakyat Papua, juga tim Lembaga Perlindungan Saksi Korban, semua menyimpulkan bahwa kasus pembunuhan itu dilakukan oleh aparat keamanan atau TNI,” kata Usman.

Usman menyatakan berbagai dugaan pelanggaran HAM di Papua tidak bisa dianggap remeh, atau dinilai sebagai dramatisasi masalah Papua. Usman menegaskan semua dugaan pelanggaran HAM di Papua seharusnya dianggap dan direspon secara serius.

“Karena yang tewas di Papua itu manusia, membutuhkan pertanggungjawaban negara untuk mengadili siapa pelakunya. Seharusnya pemerintah melakukan investigasi dugaan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, [termasuk untuk menjawab pertanyaan] yang diajukan oleh PBB,” kata Usman.

Usman juga menyoroti pemberlakuan Otonomi Khusus Papua sejak 2001 gagal mencegah pelanggaran HAM baru di Papua. Jumlah kasus pelanggaran HAM di Papua justru semakin meningkat. Hal itu menunjukkan pemberlakuan Otonomi Khusus Papua justru dibarengi kemunduran perlindungan HAM di Papua.

Usman menegaskan pemerintah Indonesia harus mendengar nasihat semua pihak. Ia menyatakan pemerintah Indonesia seharusnya juga berhenti meremehkan atau menyangkal kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

“Tidak perlu meremehkan atau membantah. [Jelaskan saja] apa yang dilakukan pemerintah terkait penembakan anak-anak di Intan Jaya, dan apa yang dilakukan pemerintah untuk istri dan anak-anak dari Pendeta Yeremia Zanambani. Apa yang dilakukan pemerintah untuk pengungsi yang ada di beberapa daerah. Seharusnya hal itu yang dijawab. Sebagai negara Pancasila dan negara demokrasi, seharusnya pemerintah Indonesia menegaskan bahwa hukum berlaku adil di Papua, dan keadilan bisa dirasakan oleh orang Papua,” kata Usman.

Sebelumnya, Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib mengapresiasi laporan ahli Komisi Tinggi HAM PBB tentang situasi HAM di Papua. Murib menyatakan negara Indonesia tidak bisa lagi menyembunyikan fakta yang terjadi di Papua, dan meminta berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua segera diproses hukum.

Hal itu disampaikan Murib melalui keterangan pers tertulisnya pada Rabu (9/3/2022). Pernyataan itu disampaikan menanggapi polemik yang terjadi di Indonesia setelah para ahli Komisi Tinggi HAM PBB menyampaikan laporan tentang situasi HAM di Papua.

“Terima kasih kepada para ahli PBB yang menyurati pemerintah Indonesia terkait situasi pelanggaran HAM di Papua. Negara wajib menjawabnya, tidak boleh menyembunyikan apa yang terjadi di Papua. Pemerintah perlu memenuhi janji mengundang Komisioner Tinggi HAM PBB untuk berkunjung ke Papua. Jika tidak ingin Komisioner Tinggi HAM PBB berkunjung ke Papua, maka muncul pertanyaan di masyarakat, ada apa?” kata Murib. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

Komnas HAM Akan Beri Pendapat UU Otsus Bagi Provinsi Papua Kepada MK  

Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua hari ini mengunjungi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk membahas pelanggaran HAM di Papua dan kebijakan pusat yang mengabaikan partisipasi orang asli Papua – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua hari ini mengunjungi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk membahas pelanggaran HAM di Papua dan kebijakan pusat yang mengabaikan partisipasi orang asli Papua. Salah satunya adalah pemekaran provinsi Papua sehingga menuai protes penolakan yang meluas.

“Saat ini kami mengajukan uji materi terhadap UU No. 2/2021 Tentang Perubahan Kedua UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU ini dibuat tanpa pertimbangan MRP, tanpa konsultasi dan partisipasi orang asli Papua. Bahkan materi UU ini melemahkan hakhak orang asli Papua. Kami meminta Komnas HAM memberi pendapat di MK,” kata Wakil Ketua I MRP Yoel Luis Mulait.

Selain Yoel, MRP juga diwakili oleh Ketua Tim Kerja Otsus MRP Benny Sweny, yang didampingi oleh perwakilan DPN Peradi RBA Saor Siagian, Rita Kalibongso, dan Muniar Sitanggang. Selain itu, pertemuan juga dihadiri Amnesty International Indonesia yang diwakili oleh Usman Hamid, Nurina Savitri, dan Wirya Adiwena, dan Muhammad Haikal dari Public Virtue Research Institute.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menjelaskan, dalam waktu dekat, Komnas HAM berencana memberi pendapat hukum kepada Mahkamah Konstitusi soal hak-hak orang asli Papua yang terlanggar akibat proses pengesahan UU No. 2/2021 Tentang Perubahan Kedua UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

“Senin, 15 Maret, kami akan bahas dengan tim khusus perihal revisi kedua UU Otsus tersebut. Kami akan menimbang perlunya surat keterangan dari Komnas HAM selaku lembaga negara yang independen untuk memberikan pendapat ahli dalam perspektif HAM kepada MK terkait tidak dilibatkannya partisipasi orang asli Papua dalam pembuatan UU tersebut, dan materi yang melanggar hak-hak orang asli Papua dalam kerangka Otonomi Khusus,” kata Ahmad.

Lanjutnya, Komnas HAM juga akan  memberikan pendapat UU Otsus Bagi Provinsi Papua kepada MK Jakarta, 11 Maret 2022.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia mendampingi MRP ke Komnas HAM membahas pelanggaran hak orang asli Papua dalam keterlibatnya merevisi UU Otsus nomor 2 tahun 2021.

“Jadi kami mendukung kunjungan MRP ke Komnas HAM. Kami meminta Komnas HAM agar ikut mengkaji kebijakan pemerintah pusat yang menjadi akar penyebab terlanggarnya hak orang asli Papua, termasuk revisi kedua UU Otsus yang menegasikan peran MRP, menghapuskan hak atas partisipasi politik lewat partai lokal, dan masih mementingkan kepastian hukum bagi pengusaha daripada orang asli Papua. Itu diskriminatif, inkonstitusional, dan melanggar kesepakatan politik yang tertuang di mukadimah UU Otsus,” kata Usman.

Komnas HAM diminta bukan cuma menyelidiki pelanggaran HAM secara konvensional, tapi juga mencari akar masalah dari berulangnya kekerasan. Salah satunya adalah inkonsistensi Otonomi Khusus. Banyak yang belum ditepati. Komisi HAM, KKR dan Pengadilan HAM di Papua tidak pernah dibentuk. Sekarang pasal-pasal penting dalam UU Otsus itu diubah. (*)

Humas MRP

Read More