Amnesty International: Pemerintah Jangan Remehkan Kasus HAM di Papua
JAYAPURA, MRP – Amnesty International Indonesia meminta pemerintah Indonesia tidak menganggap remeh kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM di Papua. Pemerintah Indonesia jangan hanya mengurus kasus HAM di Papua saat ditanyai Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun harus menunjukkan upaya nyata untuk memenuhi rasa keadilan korban pelanggaran HAM dan masyarakat Papua.
Hal itu dinyatakan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Kamis (10/3/2022). Usman menyatakan Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti dengan serius tiga isu besar pelanggaran HAM di Papua, yaitu perlindungan hak masyarakat adat, pengungsi internal yang dipicu konflik bersenjata di Papua, serta kasus pembunuhan kilat, pembunuhan di luar hukum, dan pembunuhan sewenang-wenang di Papua.
Usman menyatakan sorotan itu datang karena ada berbagai kasus pembunuhan yang terjadi di Papua, termasuk pembunuhan anak di Sugapa. Selain itu, konflik bersenjata yang terjadi di berbagai wilayah di Tanah Papua telah menyebabkan ribuan warga sipil mengungsi, dan PBB mencatat ada 60 ribu – 100 ribu warga sipil mengungsi.
Situasi itulah yang membuat Komisi Tinggi HAM PBB meminta pemerintah Indonesia memberikan klarifikasi tentang upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut. Usman menyatakan pihaknya mendukung langkah Komisi Tinggi HAM PBB meminta klarifikasi dan penjelasan pemerintah Indonesia.
“Apa saja upaya-upaya pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, pengungsian, dan juga hak masyarakat adat, [penjelasan itu] yang diminta oleh PBB. Kami, Amnesty International sepakat dengan PBB untuk meminta pemerintah Indonesia membentuk dan menginvestigasi kasus pelanggaran HAM di Papua,” kata Usman.
Usman menyatakan pihaknya juga sepakat dengan langkah Pemerintah Provinsi Papua dan Majelis Rakyat Papua untuk membentuk tim guna menyelidiki kasus pelanggaran HAM di Papua. Usman mencontohkan, Pemerintah Provinsi Papua membentuk tim independen untuk mengungkap kasus pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya.
Usman mengingat awalnya pemerintah selalu membantah keterlibatan aparat keamanan dalam pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani.
“Pemerintah membantah kasus pembunuhan Pendeta Yeremia, dan polisi menyatakan pembunuhan itu dilakukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Faktanya, setelah diselidiki Komnas HAM, tim pencari fakta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, dan tim investigasi Gubernur Papua juga Majelis Rakyat Papua, juga tim Lembaga Perlindungan Saksi Korban, semua menyimpulkan bahwa kasus pembunuhan itu dilakukan oleh aparat keamanan atau TNI,” kata Usman.
Usman menyatakan berbagai dugaan pelanggaran HAM di Papua tidak bisa dianggap remeh, atau dinilai sebagai dramatisasi masalah Papua. Usman menegaskan semua dugaan pelanggaran HAM di Papua seharusnya dianggap dan direspon secara serius.
“Karena yang tewas di Papua itu manusia, membutuhkan pertanggungjawaban negara untuk mengadili siapa pelakunya. Seharusnya pemerintah melakukan investigasi dugaan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, [termasuk untuk menjawab pertanyaan] yang diajukan oleh PBB,” kata Usman.
Usman juga menyoroti pemberlakuan Otonomi Khusus Papua sejak 2001 gagal mencegah pelanggaran HAM baru di Papua. Jumlah kasus pelanggaran HAM di Papua justru semakin meningkat. Hal itu menunjukkan pemberlakuan Otonomi Khusus Papua justru dibarengi kemunduran perlindungan HAM di Papua.
Usman menegaskan pemerintah Indonesia harus mendengar nasihat semua pihak. Ia menyatakan pemerintah Indonesia seharusnya juga berhenti meremehkan atau menyangkal kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
“Tidak perlu meremehkan atau membantah. [Jelaskan saja] apa yang dilakukan pemerintah terkait penembakan anak-anak di Intan Jaya, dan apa yang dilakukan pemerintah untuk istri dan anak-anak dari Pendeta Yeremia Zanambani. Apa yang dilakukan pemerintah untuk pengungsi yang ada di beberapa daerah. Seharusnya hal itu yang dijawab. Sebagai negara Pancasila dan negara demokrasi, seharusnya pemerintah Indonesia menegaskan bahwa hukum berlaku adil di Papua, dan keadilan bisa dirasakan oleh orang Papua,” kata Usman.
Sebelumnya, Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib mengapresiasi laporan ahli Komisi Tinggi HAM PBB tentang situasi HAM di Papua. Murib menyatakan negara Indonesia tidak bisa lagi menyembunyikan fakta yang terjadi di Papua, dan meminta berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua segera diproses hukum.
Hal itu disampaikan Murib melalui keterangan pers tertulisnya pada Rabu (9/3/2022). Pernyataan itu disampaikan menanggapi polemik yang terjadi di Indonesia setelah para ahli Komisi Tinggi HAM PBB menyampaikan laporan tentang situasi HAM di Papua.
“Terima kasih kepada para ahli PBB yang menyurati pemerintah Indonesia terkait situasi pelanggaran HAM di Papua. Negara wajib menjawabnya, tidak boleh menyembunyikan apa yang terjadi di Papua. Pemerintah perlu memenuhi janji mengundang Komisioner Tinggi HAM PBB untuk berkunjung ke Papua. Jika tidak ingin Komisioner Tinggi HAM PBB berkunjung ke Papua, maka muncul pertanyaan di masyarakat, ada apa?” kata Murib. (*)
Sumber: JUBI
Read More