Revisi UU Otsus Papua Tanpa Kewenangan, Dana, dan Pemekaran Tak Berguna
JAKARTA, MRP – Ketua Panitia Khusus (Pansus) Otsus DPR Papua, Thomas Sondegau, mengatakan tahapan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus atau Otsus Papua, yang kini dilakukan pemerintah dan DPR RI terkesan dipaksakan sebab hanya fokus pada dua pasal, yakni Pasal 34 tentang dana penerimaan khusus dan Pasal 76 tentang pemekaran.
Menurutnya, apa gunanya penambahan dana Otsus Papua dua persen menjadi 2,25 dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, dan mempermudah mekanisme pemekaran, jika tak dimbangi dengan kewenangan.
“Kalau hanya merevisi pasal mengenai penerimaan dana Otsus dan mekanisme pemekaran, itu sama saja menciptakan masalah baru. Apa guna revisi itu kalau tidak pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam berbagai sektor,” kata Thomas Sondegau kepada Jubi, Minggu (13/6/2021).
Menurutnya, yang diinginkan Pemprov Papua, Pansus Otsus DPR Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah pemberian kewenangan lebih luas kepada daerah, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam dan penentuan kebijakan pembangunan.
Katanya, dengan adanya pemberian kewenangan lebih luas, pemerintah daerah dapat leluasa mengelola sumber daya alamnya untuk mendapat menghasilkan pendapat bagi daerah.
Dengan begitu, ke depan pemerintah daerah tidak akan terus bergantung pada anggaran dari pusat. Pemda juga dapat menentukan kebijakan pembangunan yang tepat bagi warga Papua, sesuai kondisi di setiap wilayah.
“Kalau perlu evaluasi semua pasal dalam Undang-Undang Otsus. Mulai Pasal 1 hingga Pasal 79. Jangan hanya dua pasal saja, sebab selama ini amanat pasal lain juga tidak dilaksanakan maksimal,” ujarnya.
Katanya, pemerintah pusat tidak perlu merasa kewenangannya akan dikebiri pemerintah daerah.
Ia mengatakan dengan pemberian kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah, pemerintah pusat tetap memegang urusan pemerintahan absolut. Ini sesuai Pasal 9 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Urusan pemerintah absolut dalam Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 2014 itu, yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
“Kami telah menyampaikan ini ketika rapat dengan Forum Aspirasi dan Komunikasi Masyarakat Papua dan Papua Barat (For Papua) yang ada di DPR RI di Jakarta, Kamis (10/6/2021),” ucapnya.
Ia meminta pemerintah diminta tidak memaksakan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, tanpa mendengar keinginan para pihak di provinsi tertimur Indonesia itu.
Thomas Sondegau menambahkan hingga kini hasil kerja Pansus Otsus DPR Papua, belum diserahkan kepada pemerintah pusat dan DPR RI, sebab terlebih dahulu akan diparipurnakan bersama Pemprov Papua dan MRP, agar menjadi keputusan bersama.
MRP juga ingin dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap Pasal 1 hingga Pasal 79 dalam UU Otsus Papua. Sebab, selama 20 tahun pelaksanaannya dianggap belum maksimal dan berdampak kepada orang asli Papua.
Ketua MRP, Timotius Murib, mengatakan tahapam revisi UU Otsus kini merupakan langkah sepihak Jakarta, dan tak sesuai dengan aspirasi rakyat Papua.
“MRP menganggap tidak ada niat baik pemerintah pusat membangun Papua sebagai satu kesatuan dalam NKRI,” kata Timotius Murib, belum lama ini.
Menurutnya, pemerintah pusat dan masyarakat Papua mestinya duduk bersama melihat kembali setiap pasal dalam UU Otsus.
“Ini untuk melihat kelemahan dan kelebihan pelaksanaan Undang-Undang Otsus selama ini. Ini bukan hanya tentang dana dan pemekaran,” ujarnya.
Murib mengatakan empat bidang prioritas dalam UU Otsus Papua yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur, selama ini tidak terlaksana maksimal.
Sementara itu, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas mengatakan UU Otsus Papua tidak hanya sekedar pembagian uang.
Katanya, untuk apa ada Otsus kalau ada kekerasan. Ini merupakan kegagalan menciptakan perdamaian di tanah Papua.
“Undang-Undang Otsus Papua inikan dibentuk sebagai jalan tengah, antara tuntutan orang Papua yang ingin merdeka dengan pemerintah yang ingin Papua bertahan dalam NKRI,” kata Cahyo. (*)
Sumber: JUBI