Categories Berita

RDP Otsus murni hak dan ruang Rakyat Papua (bagian 1)

Tim Rapat Dengar Pendapat Otsus Papua tiba di Bandara Wamena, Kabupaten Jayawijaya, dan diadang sekelompok orang yang mengatasnamakan Lembaga Masyarakat Adat. – Jubi/Yuliana Lantipo

 

Oleh: Welis Doga

Pro-kontra antara pemerintah dengan orang Papua terhadap sejarah status politik Papua dalam Indonesia, hingga kini menjadi akar beribu problem tanpa jalan penyelesaian. Beragam kebijakan tanpa melibatkan orang asli Papua (OAP) yang jelas-jelas membahas tentang tanah dan manusia Papua itu seperti semakin subur.

Mulai dari Perjanjian New York 1962 yang dibicarakan antara Belanda dan Indonesia difasilitasi oleh Amerika Serikat di bawah kontrol PBB, yang intinya membuat sebuah perjanjian tentang status politik Papua – awal OAP jadi objek, lalu diikuti dengan aneksasi Papua ke dalam NKRI pada 1963.

Menurut pemerintah Indonesia peristiwa itu terjadi karena adanya niat penggabungan ke dalam NKRI, tetapi OAP menyebutnya sebagai pemaksaan kehendak (aneksasi). Kemudian MoU tentang PT Freeport Indonesia yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat pada 1967 sebelum Pepera 1969, juga tidak melibatkan OAP (orang Papua tetap menjadi objek) yang punya hak kesulungan atas tanah dan areal operasi pertambangan milik perusahaan raksasa Amerika itu, walaupun keduanya paham bahwa status politik Papua belum tuntas saat itu.

Gagasan pentingnya Pepera 1969 juga bukan atas kesepakatan bersama antara OAP dengan pemerintah Indonesia, melainkan gagasan tentang perlunya Pepera, tata cara pelaksanaan Pepera, kesemua tentang Pepera disiapkan secara sepihak antara pemerintah Indonesia dan UNTEA/PBB tanpa melibatkan OAP. Dalam proses itu OAP tetap menjadi objek. Buktinya adalah pelaksanaan Pepera 1969 penuh intimidatif, hasilnya tidak demokratis. Namun PBB masih mengakui hasil Pepera yang inkonstitusional menurut hukum internasional itu.

Di era reformasi, pola-pola itu masih diterapkan lagi oleh pemerintah Indonesia. Lahirnya UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua juga tetap sama. OAP tetap jadi objek. Naskah UU Otsus sendiri dibahas di Jayapura. Walaupun begitu, dalam pembahasan rancangan UU Otsus itu, pemerintah tetap saja tidak melibatkan rakyat Papua dan aspirasinya. Tidak ada satu pun aspirasi OAP yang dapat diakomodasi dari 79 pasal dalam UU Otsus, hanya versi pemerintah yang dititipkan kepada kelompok tertentu di Papua untuk dirumuskan.

Dengan demikian, di era pascareformasi, apalagi Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, kini waktunya membuka ruang sebesar-besarnya kepada OAP untuk memberikan pandangan/pikiran tentang berhasil atau tidaknya otsus selama 20 tahun di Papua, lalu berikan juga ruang kepada rakyat, apa yang sebenarnya rakyat Papua inginkan. Ini seharusnya terbuka/transparan dalam negara demokrasi seperti ini.

Rapat Dengar Pendapat (RDP) merupakan ruang yang tepat untuk berbagai pihak yang berbeda pandangan untuk menyalurkan aspirasinya, terutama OAP dan pihak pendukung “Papua merdeka harga mati” dengan “NKRI harga mati”. Kedua kelompok adalah OAP yang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapat dan RDP-lah ruangnya.

Oleh sebab itu, para bupati atau wali kota dan TNI/Polri mesti bertangung jawab dan memastikan dengan benar, bahwa OAP, apapun ideologinya, harus terlibat penuh dalam evaluasi otsus melalui RDP. Jika pemerintah—para bupati atau wali kota, apalagi aparat penegak hukum atas nama Maklumat Kapolda Papua harus menghalangi RDP, maka kesannya adalah OAP terus menjadi objek, padahal dengan kehadiran otsus, OAP justru harus menjadi subjek.

Jika pemerintah hanya mengutamakan sikap satu kelompok saja, misalnya, Barisan Merah Putih (BMP) dan Lembaga Musyawarah Adat (LMA) atau apapun namanya yang mendukung otsus, apakah itu akan dijamin keabsahannya? Atau apakah hanya dengan satu kelompok, apalagi hanya beberapa orang itu, disebut telah mewakili jutaan OAP? Apakah pola-pola lama itu dianggap masih relevan di era pascareformasi ini? Apakah dengan pola itu kemudian beribu problem di tanah ini dijamin akan selesai? Ataukah dengan pola itu juga niat rakyat Papua untuk merdeka akan redup? Kita mesti berpikir logis dalam menjawab beribu problem di tanah ini.

Sekarang tidak relevan lagi jika harus memaksakan pola-pola lama. Itu sangat memalukan, justru menentang dan mencederai nilai-nilai HAM sebagaimana dirangkum secara sempurna dalam konstitusi NKRI, yakni pasal 28 UUD 1945 atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia/DUHAM (Universal Declaration of Human Rights).

RDP yang didorong MRP mestinya dilihat sebagai sebuah ruang rakyat untuk berpendapat secara demokratis, yang sama halnya dengan asas musyawarah dan mufakat, asas kepastian hukum dan keadilan, asas proporsionalitas dan asas manfaat sebagaimana juga diatur dalam UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Apalagi kemerdekaan mengemukakan pendapat dijamin penuh UUD 1945.

Oleh sebab itu, pemerintah dan aparat keamanan di dua provinsi di Tanah Papua mesti berperan aktif, bertangung jawab dan melibatkan berbagai pihak yang belakangan pro dan kontra terhadap UU Otsus Papua, untuk berpendapat secara demokratis dalam forum RDP yang difasilitasi oleh Majelis Rakyat Papua (MRP).

Para kelompok penentang RDP juga harus diberi pemahaman tentang hak rakyat mengemukakan pendapat di muka umum, sebagaimana dijamin konstitusi Indonesia. Pemerintah kabupaten/kota memiliki tangung jawab untuk mendidik rakyat pada jalan yang benar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di republik ini, sebab apa yang dijalankan oleh MRP itu sesuai amanat undang-undang NKRI.

RDP adalah amanat konstitusi Indonesia

RDP yang kini menjadi perdebatan berbagai pihak di Papua mestinya tidak menjadi sebuah problem. Ini sebenarnya bukan hal yang harus diperdebatkan, sebab yang dilakukan MRP sesuai pasal 77 UU Nomor 21 tahun 2002 tentang Otonomi Khusus Papua, yang berbunyi “Usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat di provinsi paling timur Indonesia ini melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Pelaksanaan RDP juga merupakan kewenangan yang melekat pada MRP sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2004 Tentang Majelis Rakyat Papua (MRP). Pasal 51 dalam PP No. 54 secara sempurna telah mengatur tentang rapat-rapat yang wajib dilakukan MRP, di antaranya, rapat pleno, rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat kelompok kerja, dan rapat gabungan kelompok kerja.

Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang sedang didorong oleh MRP merupakan rapat yang menjadi wewenang lembaga kultural OAP ini, sebagaimana diamanatkan pada pasal 52 ayat (3) PP No.54 Tahun 2004, “Rapat Dengar Pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c merupakan rapat yang dilakukan oleh alat kelengkapan MRP dengan badan dan lembaga-lembaga sosial masyarakat dalam rangka mendengar dan menampung aspirasi sesuai dengan kewenangan MRP”.

Dengan demikian penolakan terhadap RDP merupakan sebuah kekeliruan besar. Pernyataan-pernyataan tolak RDP oleh berbagai pihak menentang atau melanggar amanat UU Otsus Papua, Peraturan Pemerintah Nomor 54/2004 sebagaimana diubah dengan PP No.64/2008.

Tidak ada dasar hukum bagi kelompok Barisan Merah Putih (BMP) atau para bupati/wali kota untuk menolak RDP. Apalagi BMP hanyalah organisasi sosial yang kewenangannya tidak diatur dalam UU Otsus maupun PP No. 54/2004. Juga tidak ada kewenangan para bupati/wali kota untuk menolak atau melarang pelaksanaan RDP yang didorong oleh MRP.

Dengan demikian, jika kelompok BMP hendak menyampaikan pendapat tentang lanjut atau tidaknya status otsus di Papua, mestinya mereka menyampaikan pendapat itu dalam RDP. Ini akan jauh lebih baik dan bermartabat sebagai sesama rakyat Papua, yang juga punya hak berpendapat dalam negara demokrasi seperti Indonesia, jika niatnya adalah dalam rangka membangun Papua.

Dalam situasi pro-kontra ini, mestinya pemerintah daerah, terutama para bupati dan wali kota di kedua provinsi di Tanah Papua, punya kewajiban untuk mendidik rakyat dalam hal berdemokrasi—menyampaikan pendapat sesuai aturan hukum yang berlaku, sehingga tidak salah tafsir karena ketidaktahuannya kemudian memunculkan beda pendapat, yang bisa saja berujung pada pro-kontra yang berdampak luas. Bukan seenaknya mempolitisir dan mengadu domba rakyat yang mengarah pada perpecahan. Janganlah menjadi otak intelektual perpecahan rakyat sendiri. Itu akan dinilai publik sebagi tindakan premanisme, dan menambah kesan buruk dalam negara demokrasi sebesar Indonesia.

Penyelenggaraan RDP mutlak kewenangan MRP

Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah lembaga negara di daerah dalam rangka pelaksanaan otsus Papua. Keberadaan MRP berdasarkan amanat UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Ada 7 pasal dalam UU Otsus Papua yang secara sempurnan mengatur tentang MRP, yaitu, pasal 19, 20, 21, 22, 23, 24, dan pasal 25.

Tindak lanjut dari tujuh pasal dalam UU Otsus tersebut lahirlah Perarturan Pemerintah No.54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua. Dalam PP No.54/2004 sebagaimana diubah dengan PP No. 64/2008 telah mengatur dengan jelas tentang tugas pokok dan fungsi kerja, wewenang dan kewajiban MRP. Dengan demikian RDP yang diagendakan MRP adalah mutlak wewenang MRP sebagai tindak lanjut dari amanat UU Otsus dan PP No.64/2008 tentang perubahan atas PP No.54/2004, sehingga penolakan atas agenda RDP adalah sebuah kekeliruan besar dan menentang amanat peraturan perundang-undangan.

Pro dan kontra terhadap agenda MRP tentang RDP di penghujung pemberlakuan UU Otsus Papua, sepertinya menjadi sebuah problem yang boleh dikatakan cukup lucu dan memalukan. Yang memalukan adalah pihak-pihak yang justru paham tentang peraturan perundang-undang negara, tetapi menolak RDP.

Mungkin kelompok yang mengatasnamakan BMP boleh dikatakan agak maklum, karena sikap penolakan terhadap RDP oleh BMP atau apapun namanya, bisa jadi karena keterbatasan pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terutama UU Otsus Papua atau bisa juga karena dipaksakan oleh pihak-pihak tertentu.

Yang perlu diketahui dan paham oleh pihak-pihak yang menolak RDP, bahwa dari 79 pasal dalam UU Otsus Papua maupun 76 pasal dalam PP No.54/2004 sebagaimana diubah dengan PP No.64/2008 tentang MRP. Tidak ada satu pun pasal yang mengatur tentang kewenangan penolakan terhadap pelaksanaan RDP oleh siapapun, termasuk para bupati dan pihak-pihak lain. Justru ruang untuk menyatakan sikap, apakah otsus harus lanjut atau tidak, adalah RDP yang diberi wewenang oleh UU Otsus maupun PP.No.64/2008 tentang perubahan PP No.54/2004 kepada MRP. Untuk memfasilitasi ruang yang dimaksud adalah RDP.

Persoalannya, para pihak yang menolak RDP justru melanggar amanat undang-undang negara, UU Otsus dan PP No.54/64. Itu adalah peraturan perundang-undangan negara, bukan peraturan yang dibuat-buat oleh MRP. Maka penegak hukum mesti menindak tegas setiap pelanggar. Sesuai tugas dan fungsinya, aparat negara, terutama kepolisian memberikan kenyamanan dalam pelaksanaan amanat undang-undang.

Apapun ideologinya, RDP ruang rakyat Papua untuk berpendapat

Rapat Dengar Pendapat (RDP) bukan agenda rapat yang dikarang-karang oleh MRP dengan kepentingan tertentu. MRP juga tidak mengubah forum RDP itu menjadi Rapat Dengar Pendapat Papua Merdeka (RDPM), tetapi RDP sesuai amanat undang-undang, sebagaimana diatur dalam pasal 51 dan 52 PP Nomor 54/2004 sebagaimana diubah dengan PP No.64/2008 tentang Majelis Rakyat Papua. Dengan demikian, RDP yang didorong MRP dilakukan dalam rangka membicarakan keberlanjutan atau tidaknya otsus di Tanah Papua.

Dalam hal RDP, OAP harus dijadikan sebagai subjek utama atau sasaran utama, sehingga OAP mempunyai hak untuk memberikan pendapat, sebab, tujuan UU Otsus Papua adalah untuk meningkatkan taraf hidup OAP, sehingga dalam RDP, OAP dapat menilai bagian apa saja dari triliunan anggaran negara itu yang dapat meningkatkan taraf hidupnya atau apa masalahnya otsus tidak maksimal, bahkan dianggap gagal menyejahterakan OAP selama hampir 20 tahun.

Penilaian berhasil atau tidaknya terhadap UU Otsus Papua selama hampir 20 tahun berlabuh di Bumi Cenderawasih itu seharusnya datang dari rakyat akar rumput, sebab sasaran atau subjek utama dari UU Otsus adalah OAP, bukan pemerintah, baik pusat, maupun pemerintah daerah atau aparat keamanan. Bersambung. (*)

Penulis adalah masyarakat pegunungan tengah Papua

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *