Categories Berita

Abugau: Negara Harus Jujur Atas Konflik Berkepanjangan di Intan Jaya

Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua atau Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau – For Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua atau Pokja Perempuan MRP, Ciska Abugau menyatakan pihaknya sangat berduka dengan kasus penembakan dua anak di Kabupaten Intan Jaya.

Abugau menyatakan kasus penembakan itu menjadi insiden terbaru dari kasus kekerasan yang terus berlanjut di Papua, dan berbagai pemangku kepentingan di Papua, termasuk MRP, tidak bisa berbuat apa-apa.

Abugau menyatakan para Mama di Papua selaku menjadi pihak yang paling menderita dari konflik di Papua. Mereka kehilangan anak, suami, dan kerabat yang meninggal karena konflik dan kekerasan yang terus terjadi di Papua. Sebagai anggota MRP, Ciska Abugau merasa dirinya tak berdaya, karena semua upaya dan kerja MRP seperti sia-sia.

“Kemarin anak saya dibunuh itu karena persoalan orang besar, [persoalan orang dewasa], tapi yang korban anak yang tidak berdosa. Begitu mamanya berteriak kepada saya, saya tidak punya daya lagi untuk berbicara. Hanya kepada Tuhan saja kami serahkan persoalan ini. Satu [anak] sudah meninggal, dan satu [anak] masih dalam perawatan medis di Timika. Perintah seperti apa yang Kepala Kepolisian Daerah Papua sampikan kepada anggotanya di Intan Jaya? Kepala Kepolisian Resor [Intan Jaya], Kepala Kepolisian Sektor di sana, seperti apa?” Abugau bertanya.

Ia menilai aparat TNI dan Polri di Intan Jaya seakan-akan melepas tanggung jawab atas penembakan terhadap kedua dua anak kecil itu.

“[Jarak Markas] Koramil ke pemukiman masyarakat itu tidak jauh, sangat dekat. Setelah [kedua anak itu] kena tembak, [kerabat] mereka mau membawa [kedua korban] ke puskesmas, tapi trauma karena kejadian sebelumnya ada yang disiksa dan dibunuh di puskesmas. [Kalau] mau bawa ke puskesmas itu harus lewat [Markas] Koramil. Kalau seperti itu terus, kepada siapa kami harus mengadu kalau bukan ke Bapak Kapolda,” ujar Abugau.

Mewakili perempuan Papua di setiap daerah konflik, Abugau menyatakan sangat bersedih, namun merasa tak berberdaya karena hanya bisa mengeluarkan air mata setelah sanak saudaranya ditembak, disiksa, dan di bunuh.

Abugau menyatakan jika konflik bersenjata di Intan Jaya memang disebabkan kepentingan Indonesia menambang emas di Blok Wabu, maka seharusnya rencana penambangan itu dibicarakan bersama semua pihak.

“Harus jelas itu masalahnya apa. Kalau soal Blok Wabu, mari duduk bersama rakyat dan bicara tentang Blok Wabu. Karena [konflik] itu, masyakat [di Intan Jaya] menjadi korban. Hari ini, tidak ada pelayanan pendidikan dan kesehatan di Intan Jaya, semua [warga sipil] lari ke hutan. Terima kasih Bapak Kapolda yang sudah menangani masalah di Intan Jaya, [namun] bukan berarti dengan menangani itu sudah mengurangi [masalah], malah bertambah. Nanti masyakat Intan Jaya yang tersisa bisa habis. Kapolda dan Pangdam pasti sudah tahu persoalannya,” kata Abugau.

Ia menyatakan pimpinan MRP dan ketiga Kelompok Kerja MRP sudah membicarakan konflik dan kekerasan yang terjadi di Intan Jaya, Nduga, Puncak, Pegunungan Bintang, Yahukimo, maupun Yalimo.

“Untuk Yahukimo dan Yalimo, [konflik itu dilatarbelakangi] persolan politik [lokal]. Tetapi, untuk Nduga, Intan Jaya, Puncak, itu masalahnya tidak bisa di selesaikan kah? Selain Bapak Kapolda, tidak ada lagi pejabat di Provinisi Papua ini [yang bisa selesaikan masalah itu?]” tanya Abugau.

Dalam Rapat Kerja bersama MRP di Kota Jayapura pada Kamis (28/10/2021), Kepala Kepolisian Dearah Papua, Irjen Mathius D Fakhiri menyampaikan permohona maaf atas kontak tembak antara TNI/Polri dan pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Intan Jaya. Kontak tembak itu berujung dengan tertembaknya dua anak pada 26 Oktober 2021, dan seorang diantaranya meninggal dunia.

“Saya minta maaf atas kesalahan dari prajurit kami. Itu benar, sampai tiga hari ini kami diganggu terus, itu dampak dari perbuatan kami. Kami evaluasi, kita mau pengelolaan pengamanan di Papua harus mendengar masukan dari semua pihak,” ujar Fakhiri.

Fakhiri menjelaskan pihaknya telah meminta para bupati sebagai kepala daerah dapat menagani persoalan dan dampak konflik di daerahnya masing-masing. Ia meminta para kepala daerah tidak menghabiskan anggaran publik untuk bepergian ke luar daerah.

“Saya sampaikan kemarin kepada Bupati Intan Jaya, Puncak, Nduga, Yahukimo, [mereka harus] balik dan urus daerah masing-masing, urus masyarakat di kampung. Jangan gunakan uang rakyat [untuk bepergian] ke Jayapura, Jakarta, dan Makassar. Jika kedapatan [bepergian tanpa urusan yang jelas], ujung-ujungnya akan dijerat hukum,” kata Fakhiri.

Fakhiri menegaskan peran para bupati untuk menangani konflik di daerahnya masing-masing sangat dibutuhkan.

“Persoalan di daerah masing-masing itu diselesaikan di honai masing-masing. Tidak semua masalah bisa menyalahkan anggota TNI/Polri. Kami sudah berusaha untuk membatasi perbuatan anggota kami. Tapi kalau mereka datang ke pos-pos kami dan menembak, pasti kami kejar. Itu yang terjadi di beberapa tahun ini, saya mengakui masih ada kekurangan,” ujar Fakhiri. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

Pemerintah diminta putus mata rantai pembunuhan warga sipil Papua

Korban penembakan di Timika – Jubi/Dok/IST

JAYAPURA, MRP – Anggota Mejelis Rakyat Papua (MRP) Pdt Nikolaus Degey minta pemerintah pusat hingga Provinsi Papua harus bekerja sama mencari solusi memutus mata rantai pembunuhan warga sipil Papua yang terjadi di area Freeport hingga ke sejumlah wilayah kabupaten di Tanah Papua.

Degey menyampaikan itu menyusul pembunuhan dua pemuda warga sipil di area tambang Freeport, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, pekan lalu. Dua warga, Eden Armando Debari (19) dan Ronny Wandik (23), meninggal dunia, Senin (13/4/2020). Keduanya tertembak peluru tajam milik anggota TNI yang melakukan patroli di area Freeport.“Pembunuhan ini berulang, pembunuhan ini bukan yang pertama di Kabupaten Mimika, area Freeport terutama,”ungkapnya kepada jurnalis Jubi, Jumat (17/04/2020) pagi.

“Pembunuhan ini berulang, pembunuhan ini bukan yang pertama di Kabupaten Mimika, area Freeport terutama,”ungkapnya kepada jurnalis Jubi, Jumat (17/04/2020) pagi.

Kata dia, ini pembunuhan terkini dari pembunuhan-pembunuhan sebelumnya atas nama mengamankan Freeport. Pembunuhan selalu menimpa warga sipil, pemilik hak ulayat yang berdomisili di area Freeport, terutama dari Grasberg hingga Portsite dengan berbagai alasan klasik.

Pembunuhan demi Freeport

Kata dia, penggusuran, pengusiran, dan pembunuhan terhadap warga sipil, pemilik hak ulayat secara terang-terangan terjadi sejak 1967, setelah Freeport mengantongi kontrak karya. Sejak itu, perusahaan tambang asal Amerika mulai menggusur tanaman rakyat. Mereka membangun helipad dan basecamp di Lembah Waa dan Banti, Jila, Bela, Alama, kawasan Gunung Nemangkawi.

Penduduk yang tinggal di lembah-lembah itu melakukan melakukan protes tidak menerima kehadiran Freeport. Tuarek Nartkime, seorang tokoh adat suku Amungme memimpin protes. Korban jiwa dalam protes pertama ini tidak dicatat hingga protes terus berlanjut.

Lima tahun kemudian, 1972, Nartkime kembali memimpin protes di Lembah Tsinga. Freeport dan Pemerintah Indonesia menghadapi ini dengan mengerakan TNI angkatan darat ke Tsinga. TNI melakukan pengamanan aktivitas eksploitasi.

Dalam protes kedua ini, Markus Haluk dalam bukunya “Mengugat Freeport” menyebut 60 orang suku Amungme menjadi korban tewas. Protes terus berlanjut hingga warga melepaskan hak ulayat dibawa tekanan, yang menjadi dasar Perjanjian Januari 1974.

Atas nama perjanjian itu, Freeport terus memperluas wilayah operasi atas nama pembangunan perumahan karyawan, yang kini dikenal kota Timika Indah dan Tembagapura. Dua wilayah ini dibangun dengan todongan senjata dan pemaksaan.

Protes berlanjut pada 1994 dan 1995. Dalam protes-protes yang terjadi dalam dua tahun ini, sejumlah orang menjadi korban. Media https://tirto.id/ mencatat sejumlah kematian selama 1994 di bawah judul “Catatan Pembunuhan Demi Freeport”.

Tirto.id mencatat sepanjang Juni-Juli, lima warga lembah Tsinga tewas. Oktober 1994, Gorden Rumaropen, suku Biak tewas. November 1994, lima saudara Kelly Kwalik, ditahan, disiksa, dan dibunuh. Desember 1994, 11 warga Papua tewas.

Markus Haluk mencatat juga terjadi penembakan brutal terjadi pada 1995. Satu regu TNI yang melakukan penembakan itu menembak lima warga sipil. Satu pendeta yang saat itu memimpin doa tewas dan empat generasi muda, dua orang anak berusia lima dan enam tahun, dua orang remaja 14 dan 15 tahun.

Solusi memutus mata rantai pembunuhan

Lanjut Pdt Degey, area Freeport bukan hutan belantara tanpa penghuni. Sebelum Freeport masuk, wilayah ini sudah ada penghuni. Karena itu, dia menduga pembunhan akan terus berlanjut demi emas, tembaga, atau kandungan mineral lainya.

“Ini lokasi warga mencari makan. Pembunuhan ini tidak akan pernah berhenti. Karena itu, pemerintah harus bertanggung jawab, hentikan pembunuan warga sipil, pemilik emas,”ungkap anggota Pokja Agama MRP, utusan Gereja Kigmi Papua ini.

Kata dia, bentuk pertanggungjawabannya, pemerintah harus memberikan jaminan keamanan dan kehidupan bagi warga. Salah satu solusi memutus mata rantai itu, pelaku pembunuhan terhadap dua pemuda di Kwamki Lama pekan lalu harus dihukum setimpal dengan perbuatan.

“Kasih hukuman 20 tahun penjara. Pecat dari dinas secara tidak terhormat untuk menciptakan efek jera. Kalau tidak ada efek jera, pembunuhan kita akan dengar lagi,”ungkapnya serius.

Ketua Dewan Adat Papua hasil Konferensi Luar Biasa di Baliem, Domminikus Surabut, mengatakan solusinya bukan hukum menghukum melainkan perundingan kembali dengan melihat sejarah Papua masuk ke Republik Indonesia.

“Pembunuhan di area Freport ini bukan masalah ekonomi toh. Freeport ini titik tolak keputusan politik Papua masuk ke Indonesia,” ungkapnya kepada jurnalis Jubi, Jumat (17/04/2020).

Kata dia, untuk itu, pelurusan sejarah dan duduk di meja perundingan dengan masyarakat adat menjadi solusi mengakhiri pembunuhan warga sipil di Papua.

“Kita duduk di meja perundingan itu solusinya. Itu bisa membantu mencari soliusi. Selain itu, sudah terbukti tidak berhasil,”ungkapnya. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

DPRP-MRP didesak minta Jokowi bentuk Pengadilan HAM di Papua

Rakyat Papua terus menagih janji pemerintah pusat selesaikan pelanggaran HAM besar di Paniai 2014 silam – Doc

Jayapura, MRP – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy memberi apresiasi dan penghormatan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah menetapkan peristiwa Lapangan Karel Gobay, Enarotali-Kabupaten Paniai, Provinsi Papua 7-8 Desember 2014 sebagai Pelanggaran HAM yang Berat.

Hal ini sesuai amanat Pasal 7 huruf b dab Pasal 9 UU RI No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Meskipun harus menunggu sekitar 5 tahun.

Akan tetapi paling tidak rasa keadilan dan kesempatan bagi keluarga korban untuk memperoleh kepastian hukum sedikit terbuka di Negara Hukum ini.

“Oleh sebab itu, sesuai amanat Pasal 45 UU RI No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, saya mendesak DPR Papua dan MRP Papua serta DPT Papua Barat dan MRP Papua Barat untuk mengajukan permintaan resmi kepada Presiden Republik Indonesia agar segera mengeluarkan Peraturan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan HAM di Jayapura-Provinsi Papua,” ujarnya lewat rilis kepada Jubi, 17 Februari 2020.

Menurutnya, berdirinya Pengadilan HAM di Jayapura-Papua nantinya diharapkan dapat segera mendesak dibawanya perkara-perkara berkategori Pelanggaran HAM Berat lainnya. Misalkan kasus Wasior 2001, Wamena 2003 dan Enarotali-Paniai 2014 guna diadili sesuai mekanisme hukum yang berlaku.

Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menetapkan kasus Paniai pada 7-8 Desember 2014 sebagai pelanggaran HAM berat. Militer dan kepolisian diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab.

“Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7 – 8 desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggran berat HAM,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulis, Sabtu, 15 Februari 2020, sebagaimana dikutip Tempo.co.

Peristiwa Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014. Kala itu terjadi peristiwa kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal akibat luka tembak dan luka tusuk sedangkan 21 orang lain mengalami luka penganiayaan. Peristiwa ini tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut.

Keputusan paripurna khusus tersebut berdasarkan hasil penyelidikan oleh TIM Ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai yang bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tim bekerja selama lima tahun, dari Tahun 2015 hingga 2020.

“Peristiwa Paniai tanggal 7-8 Desember 2014 memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan, dengan element of crimes adanya tindakan pembunuhan dan tindakan penganiayaan. Sistematis atau meluas dan ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama terpenuhi,” kata Ketua Tim ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai M. Choirul Anam.

Atas peristiwa tersebut, Komnas HAM menyebut Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab. Tim Penyelidik juga menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Kepolisian, namun bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat.

“Oleh karenanya, direkomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait perbantuan TNI-Polri,” kata Choirul.

Tim yang dipimpin Choirul telah melakukan kerja penyelidikan dengan melakukan pemeriksaan para saksi sebanyak 26 orang, meninjau dan memeriksa TKP di Enarotali Kabupaten Paniai, pemeriksaan berbagai dokumen, diskusi ahli dan berbagai informasi yang menunjang pengungkapan peristiwa pada tanggal 7-8 Desember 2014 tersebut. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More