Categories Berita

MRP Minta 20 Ribu Lowongan Kerja di Smelter Freeport Diperioritaskan Bagi Orang Papua

Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) akan bersurat kepada pemerintah pusat untuk meminta jaminan adanya kebijakan khusus untuk memprioritaskan orang asli Papua bekerja di smelter yang sedang dibangun PT Freeport Indonesia di Jawa Timur.

Hal itu dinyatakan Ketua I MRP, Yoel Luiz Mulait pada Selasa (26/10/2021). Mulait menyatakan pihaknya menerima informasi bahwa smelter yang sedang dibangun PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik, Jawa Timur, nantinya akan mempekerjakan 40 ribu karyawan.

Menurut Mulait, orang asli Papua sebagai kelompok yang paling terdampak aktivitas tambang PTFI di Kabupaten Mimika, Papua, harus mendapatkan alokasi kesempatan bekerja hingga 50 persen dari total pekerja yang akan dipekerjakan smelter itu.

“Kami akan sampaikan, dari 40 ribu tenaga kerja itu, dibagi rata 20 [ribu untuk orang asli Papua], 20 [ribu lainnya untuk orang non Papua]. [Usulan itu] akan melalui proses mekanisme di lembaga, [disepakati] melalui [rapat] pleno [MRP], supaya tidak ada lagi kutu-kutu kecil yang bilang kalau [usulan itu] keputusan tidak sah,” kata Mulait.

Mulait menyatakan hasil rapat pleno itu nantinya akan disampaikan melalui surat resmi MRP kepada pemerintah pusat. Muliat juga ingin pemerintah dan PTFI membangun mekanisme untuk melibatkan MRP dalam pengisian alokasi 20 ribu lowongan kerja bagi orang asli Papua itu.

“Kami akan menyurat secara resmi ke pemerintah, [agar] 20 ribu [pekerja smelter PTFI] diterima [berdasar] rekomendasi dari MRP, dan semua yang diterima itu harus hitam kulit keriting rambut, harus orang asli Papua. Kami tidak mau orang [lain] keluar-masuk kerja, [sementara] MRP tidak tahu,” kata Mulait.

Mulait menegaskan langkah itu akan ditempuh oleh MRP, karena pemerintah pusat mengabaikan permintaan Pemerintah Provinsi Papua agar PTFI membangun smelter di Papua. Mulait mengingatkan bahwa aktivitas tambang PTFI dilakukan di Papua, dan orang asli Papua menjadi kelompok yang paling terdampak dari aktivitas pertambangan PTFI itu.

“MRP tidak akan diam membiarkan hak kami, sumber daya alam kami orang Papua, yang semestinya kami orang asli Papua diutamakan [untuk bekerja di smelter PTFI], tapi kemudian [smelter itu] akan di bagun di Jawa Timur. Kami tidak boleh kehilangan hak orang asli Papua sebagai pemilik ulayat dan juga pemilik tambang,” ucap Mulait.

Mulait mengingatkan, jika pemerintah pusat ingin membuktikan bahwa Indonesia bukan hanya mengeruk sumber daya alam Papua, maka orang asli Papua harus diutamakan dalam perekrutan pekerja smelter PTFI.

“Kalau betul-betul mau bangun [Papua], bukan hanya sekadar mau ambil sumber daya alam di sana, tapi juga membangun sumber daya manusia, tidak boleh [semua] tenaga pekerja itu dari Jawa Timur. Harus ada porsi [lowongan kerja] bagi pemilik hak ulayat,” tegas Mulait.

Ketua Kelompok Kerja Agama MRP, Helena Hubi mengatakan kebijakan pemerintah pusat mengizinkan PTFI membangun smelter di luar Papua membuktikan pemerintah tidak serius memperhatikan nasib orang Papua.

“Pemerintah lebih mementingkan kekayaan alam di Papua, emas dan hutan. Apakah besok orang asli Papua akan sejahtera? Jangan karena Otonomi Khusus Papua Jilid 2 turun, kami orang asli Papua habis,” kata Hubi.

Hubi menyatakan lebih pintu investasi di Papua ditutup, karena investasi di Papua hanya bertujuan mengambil sumber daya alam Papua, dan mengabaikan nasib orang asli Papua. “Buktinya smelter dibangun di Jawa Timur, terus Papua mau dapat apa? Jadi lebih baik tidak usah berikan izin untuk perusahaan-perusahaan baru,” jelas Hubi. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

MRP: Pembangunan Smelter di Gresik, Bentuk Ketidakseriusan Pemerintah Pusat Bangun Papua

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Pembangunan Smelter PT Freeport Indonesia di Gresik di kecam oleh seluruh masyarakat Papua, tak hanya itu Lembaga culture orang asli Papua Majelis Rakyat Papua (MRP) juga mengatakan pembagunan Smelter di luar Papua sebagai bentuk tidak adanya niat baik pemerintah pusat untuk membangun Papua.

Hal tersebut di tegaskan Timotius Murib, ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) kepada wartawan, Selasa, (19/10/2021), di ruang rapat kantor MRP.

Gubernur Papua, DPR Papua dan MRP sudah berjuang untuk mau bangun Smelter di Papua yang berlokasi di Pomoka, Timika namun pemerintah pusat tidak berkeinginan untuk di bangun dengan alasan belum ada infrastruktur yang di bangun.

“Masalah utama pemerintah bilang listrik kita tidak ada, dan waktu itu pusat listrik mau di bangun tenaga air dari muara Paniai yang di buang ke Kokonao dan itu sudah di survei dua kali oleh gubernur Papua dengan pihak pemerintah pusat, pihak perusahaan namun tidak di tindaklanjuti,” kata Murib.

Lanjutnya, bila di tindaklanjuti oleh pusat dan pusat listrik di bangun, pasti tahun ini Smelter di bangun di Papua tapi tidak ada niat baik dari pemerintah pusat untuk membangun Papua karena itu Smelter di bangun di luar dari tanah Papua.

Murib menjelaskan, Gubernur Papua Lukas Enembe sudah berjuang sejak tahun 2013 agar Smelter di bangun di Papua, dan salah satu mantan pimpinan MRP Jimmy Mabel dan dirinya juga menjadi saksi hidup perjuangan mereka untuk menyediakan tempat agar di lakukan pembagunan Smelter di Timika.

“Perjuangan Lukas Enembe dalam rangka memperjuangkan membangun Smelter di Papua di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjalan baik ketika transisi kepemimpinan ke Jokowi tidak di lanjutkan, malahan Smelter di bangun di luar Papua,” kata Murib.

Majelis Rakyat Papua (MRP) berprinsip dan berharap perusahaan Smelter Freeport ini di bangun di Papua karena Papua adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Bila tambang Freeport ada di Papua, pabrik pemurniannya di bawah ke Jawa, kami pikir kebijakan yang di ambil pusat atas keragu-raguan Papua dengan minimnya infrastruktur namun MRP berharap orang asli Papua di perioritaskan untuk masuk sebagai tenaga kerja,” tegasnya. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

MRP Akan Fasilitasi Eks Karyawan Freeport Bertemu Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua

Foto bersama MRP dan Perwakilan Eks Karyawan PT Freeport Indonesia – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) melakukan rapat kordinasi bersama tim kerja perlindungan HAM orang asli Papua (OAP) bersama Eks karyawan PT Freeport Indonesia yang di PHK sepihak oleh perusahaan.

Debora Motte, wakil ketua II Majelis Rakyat Papua usai rapat kordinasi bersama perwakilan Eks karyawan PT Freeport mengatakan melalui pertemuan hari ini bersama MRP telah memutuskan upaya-upaya yang akan diambil untuk menyelamatkan nasib dari para eks karyawan ini. Kamis, (3/9/2020).

“Banyak upaya sudah dilakukan melalui kerja-kerja tim eks karyawan namun belum juga ada jawaban pasti sesuai harapan mereka sehingga MRP telah menerima aspirasi berupa pengaduan oleh 8.300 karyawan yang tidak menerima hak mereka selama 3 tahun terhitung tahun 2017 silam,” tururnya.

MRP melalui tim kerja perlindungan HAM orang asli Papua (OAP) menghadirkan perwakilan eks karyawan guna mencari akar persoalan sehingga bisa menolong para karyawan yang ditelantarkan selama ini.

“hasil diskusi kami hari ini MRP akan memanggil kepala Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Papua guna meminta penjelasan terkait penerbitan nota I oleh Gubernur Papua yang belum ditindaklanjuti oleh mereka,” tuturnya.

MRP juga sudah menyepakati untuk memfasilitasi beberapa elemen guna menyelesaikan persoalan ini baik pemerintah provinsi Papua, Dinas Ketenagakerjaan provinsi Papua untuk melihat persoalan hak ini secara serius dengan memberikan satu jaminan yang pasti kepada eks karyawan.

Sementara itu Aser Gobai, ketua Pengurus Cabang Serikat Pekerja Kimia, Ekosop, Tambang Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPKET SPSI) kabupaten Mimika mengapresiasi upaya yang dilakukan MRP dalam melindungi hak para pekerja dimana MRP melihat persoalan ini secara serius yang harus di selesaikan oleh negara dan PT Freeport Indonesia.

“Ini masalah serius, masalah kemanusiaan karena masalah ketenagakerjaan ini demi perbaikan orang Papua sehingga perlu di tertipkan,” katanya.

Kepala Dinas Ketenagakerjaan provinsi Papua segera menindaklanjuti nota ke-II supaya ketertiban tenaga kerja berdasarkan surat gubernur, berdasarkan peraturan pemerintah provinsi Papua nomor 4 tahun 2003 harus ada penegakan.

 “Kami Harap dengan adanya pertemuan ini MRP sebagai lembaga Culture harus menertibkan hal ini, karena Freeport ini lahan nasional dan internasional, sehingga disitulah orang Papua melalui lembaga ini dipersatukan dan memperjuangkan nasib ini supaya betul-betul merasakan hasil oleh para pekerja,” tuturnya.

Humas MRP

  

Read More
Categories Berita

Pemerintah diminta putus mata rantai pembunuhan warga sipil Papua

Korban penembakan di Timika – Jubi/Dok/IST

JAYAPURA, MRP – Anggota Mejelis Rakyat Papua (MRP) Pdt Nikolaus Degey minta pemerintah pusat hingga Provinsi Papua harus bekerja sama mencari solusi memutus mata rantai pembunuhan warga sipil Papua yang terjadi di area Freeport hingga ke sejumlah wilayah kabupaten di Tanah Papua.

Degey menyampaikan itu menyusul pembunuhan dua pemuda warga sipil di area tambang Freeport, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, pekan lalu. Dua warga, Eden Armando Debari (19) dan Ronny Wandik (23), meninggal dunia, Senin (13/4/2020). Keduanya tertembak peluru tajam milik anggota TNI yang melakukan patroli di area Freeport.“Pembunuhan ini berulang, pembunuhan ini bukan yang pertama di Kabupaten Mimika, area Freeport terutama,”ungkapnya kepada jurnalis Jubi, Jumat (17/04/2020) pagi.

“Pembunuhan ini berulang, pembunuhan ini bukan yang pertama di Kabupaten Mimika, area Freeport terutama,”ungkapnya kepada jurnalis Jubi, Jumat (17/04/2020) pagi.

Kata dia, ini pembunuhan terkini dari pembunuhan-pembunuhan sebelumnya atas nama mengamankan Freeport. Pembunuhan selalu menimpa warga sipil, pemilik hak ulayat yang berdomisili di area Freeport, terutama dari Grasberg hingga Portsite dengan berbagai alasan klasik.

Pembunuhan demi Freeport

Kata dia, penggusuran, pengusiran, dan pembunuhan terhadap warga sipil, pemilik hak ulayat secara terang-terangan terjadi sejak 1967, setelah Freeport mengantongi kontrak karya. Sejak itu, perusahaan tambang asal Amerika mulai menggusur tanaman rakyat. Mereka membangun helipad dan basecamp di Lembah Waa dan Banti, Jila, Bela, Alama, kawasan Gunung Nemangkawi.

Penduduk yang tinggal di lembah-lembah itu melakukan melakukan protes tidak menerima kehadiran Freeport. Tuarek Nartkime, seorang tokoh adat suku Amungme memimpin protes. Korban jiwa dalam protes pertama ini tidak dicatat hingga protes terus berlanjut.

Lima tahun kemudian, 1972, Nartkime kembali memimpin protes di Lembah Tsinga. Freeport dan Pemerintah Indonesia menghadapi ini dengan mengerakan TNI angkatan darat ke Tsinga. TNI melakukan pengamanan aktivitas eksploitasi.

Dalam protes kedua ini, Markus Haluk dalam bukunya “Mengugat Freeport” menyebut 60 orang suku Amungme menjadi korban tewas. Protes terus berlanjut hingga warga melepaskan hak ulayat dibawa tekanan, yang menjadi dasar Perjanjian Januari 1974.

Atas nama perjanjian itu, Freeport terus memperluas wilayah operasi atas nama pembangunan perumahan karyawan, yang kini dikenal kota Timika Indah dan Tembagapura. Dua wilayah ini dibangun dengan todongan senjata dan pemaksaan.

Protes berlanjut pada 1994 dan 1995. Dalam protes-protes yang terjadi dalam dua tahun ini, sejumlah orang menjadi korban. Media https://tirto.id/ mencatat sejumlah kematian selama 1994 di bawah judul “Catatan Pembunuhan Demi Freeport”.

Tirto.id mencatat sepanjang Juni-Juli, lima warga lembah Tsinga tewas. Oktober 1994, Gorden Rumaropen, suku Biak tewas. November 1994, lima saudara Kelly Kwalik, ditahan, disiksa, dan dibunuh. Desember 1994, 11 warga Papua tewas.

Markus Haluk mencatat juga terjadi penembakan brutal terjadi pada 1995. Satu regu TNI yang melakukan penembakan itu menembak lima warga sipil. Satu pendeta yang saat itu memimpin doa tewas dan empat generasi muda, dua orang anak berusia lima dan enam tahun, dua orang remaja 14 dan 15 tahun.

Solusi memutus mata rantai pembunuhan

Lanjut Pdt Degey, area Freeport bukan hutan belantara tanpa penghuni. Sebelum Freeport masuk, wilayah ini sudah ada penghuni. Karena itu, dia menduga pembunhan akan terus berlanjut demi emas, tembaga, atau kandungan mineral lainya.

“Ini lokasi warga mencari makan. Pembunuhan ini tidak akan pernah berhenti. Karena itu, pemerintah harus bertanggung jawab, hentikan pembunuan warga sipil, pemilik emas,”ungkap anggota Pokja Agama MRP, utusan Gereja Kigmi Papua ini.

Kata dia, bentuk pertanggungjawabannya, pemerintah harus memberikan jaminan keamanan dan kehidupan bagi warga. Salah satu solusi memutus mata rantai itu, pelaku pembunuhan terhadap dua pemuda di Kwamki Lama pekan lalu harus dihukum setimpal dengan perbuatan.

“Kasih hukuman 20 tahun penjara. Pecat dari dinas secara tidak terhormat untuk menciptakan efek jera. Kalau tidak ada efek jera, pembunuhan kita akan dengar lagi,”ungkapnya serius.

Ketua Dewan Adat Papua hasil Konferensi Luar Biasa di Baliem, Domminikus Surabut, mengatakan solusinya bukan hukum menghukum melainkan perundingan kembali dengan melihat sejarah Papua masuk ke Republik Indonesia.

“Pembunuhan di area Freport ini bukan masalah ekonomi toh. Freeport ini titik tolak keputusan politik Papua masuk ke Indonesia,” ungkapnya kepada jurnalis Jubi, Jumat (17/04/2020).

Kata dia, untuk itu, pelurusan sejarah dan duduk di meja perundingan dengan masyarakat adat menjadi solusi mengakhiri pembunuhan warga sipil di Papua.

“Kita duduk di meja perundingan itu solusinya. Itu bisa membantu mencari soliusi. Selain itu, sudah terbukti tidak berhasil,”ungkapnya. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Anggota MRP dukung Bupati Mimika tolak klaim area Freeport

Nikolaus Degey, anggota Pokja Agama MRP – Jubi/Mawel

Jayapura, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP dari Pokja Agama, Nikolaus Degei, mendukung perjuangan Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, menolak klaim atau upaya konsesi ulang  kepemilikan area pertambangan PT. Freeport Indonesia.

“Kami mendukung perjuangan Bupati Omaleng. Freeport itu milik wilayah Kabupaten Mimika,” ungkap Nikolaus Degey, kepada Jubi, di Jayapura, Rabu (12/2/2020).

Kata dia, kelompok suku atau kabupaten manapun tidak bisa klaim wilayah itu miliknya karena secara fakta geografis, wilayah tambang Freeport itu adalah milik orang Amungme.

“Freeport ini secara geografisnya wilayah orang Amungme. Ada beberapa suku sekitar tetapi pemilik hak itu orang Amungme,” ungkapnya.

Karena itu, kata dia, pihak manapun tidak boleh intervensi atau klaim wilayah adat orang Amungme.

“Ini tidak bisa ini wilayah saya, wilayah dia, dan apa yang dikatakan Bupati Omaleng itu benar,” ungkapnya.

Pekan lalu, Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, menolak klaim tiga kabupaten -Kabupaten Intan Jaya, Paniai, dan Puncak- yang mengklaim area PT Freeport juga wilayah mereka.

“Kita tidak bisa gugat menggugat karena ada UU pembentukan kabupaten,” ungkapnya sebagaimana yang dilansir Antara Papua.com.

Kata dia, tiga kabupaten itu tidak punya alasan untuk menggugat karena tiga kabupaten itu bukan pemekaran dari Mimika tetapi Intan Jaya pemekaran dari Paniai, Kabupaten Paniai dari Nabire, dan Puncak dari Jayawijaya.

Ketua Dewan Adat Papua, hasil konferensi luar biasa di Baliem, Dominikus Surabut, mengatakan salain klaim itu tidak akan berdampak pada pembangunan Papua.

“Itu hanya klaim dan konflik elit mengejar ambisinya. Masyarakat pemilik hak akan begitu saja,” ungkapnya.

Kata dia, klaim atau konflik itu hanya memperluas konflik atas nama pengamanan objek vital negara. (*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More