Categories Berita

Konflik, HIV/AIDS, Minuman Beralkohol Ancam Keselamatan Anak Dan Perempuan Papua

MRP dan Komnas Perempuan menggelar lokakarya membahas perlindungan bagi perempuan dengan HIV/AIDS di wilayah konflik. Lokakarya itu berlangsung di Kota Jayapura, Rabu (17/11/2021). – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua, Ciska Abugau menyatakan keselamatan perempuan di Papua terancam oleh konflik, tingginya kasus HIV/AIDS, dan peredaran minuman beralkohol di Papua. Abugau mengkritik kehadiran aparat keamanan di Papua yang justru lebih sering mencelakakan ketimbang memberi rasa aman bagi perempuan Papua.

Abugau menyatakan kasus infeksi HIV/AIDS dan pengaruh buruk minuman beralkohol sudah sejak lama menjadi masalah di Papua. Akan tetapi, masalah itu tidak pernah ditangani dengan serius.

“Soal HIV dan minuman beralkohol, itu yang membuat kami juga pusing dalam penanganannya. Sampai sekarang tidak pernah habis-habis. [Kami sudah membicarakan masalah itu], baik bicara ke pemerintah, dan pejabat yang berwenang, tapi tetap sama saja,” kata Abugau.

Ketika kedua masalah itu belum lagi diselesaikan, perempuan Papua mengalami persoalan yang lebih berat karena konflik bersenjata meluas di berbagai wilayah di Papua. Sejak 2018, konflik bersenjata antara lain terjadi di Nduga, Puncak, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, dan telah menimbulkan korban dari kalangan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.

“HIV dan minuman beralkohol sudah tidak kami takuti lagi. Yang kami takuti adalah kekerasan dan penembakan kepada ibu dan anak di wilayah konflik,” jelas Abugau.

Abugau menyatakan tugas aparat keamanan untuk melindungi dan mengayomi tidak terlihat dalam praktik kerja mereka di Papua.

“Melindungi dan mengayomi itu sebenarnya melindungi siapa dan mengayomi siapa? Seperti di Intan Jaya, anak 2 tahun ditembak mati ibu ditembak, mereka ini tidak berdosa,” ujar Abugau.

Menurutnya, MRP sudah berupaya untuk turun langsung melihat kondisi orang asli Papua di wilayah konflik.

“Kami juga turun di wilayah konflik, tapi kami juga taruhan [nyawa]. Jangan sampai polisi salah-salah mereka tembak kami. Gara-gara kami turun untuk melihat anak kami ditembak mati, saudara kami ditembak mati, hanya karena kekesalan, sehingga kami bisa jadi korban juga,” ucapnya.

Abugau menegaskan perempuan dan anak di wilayah konflik berhak untuk dilindungi dan mendapatkan rasa aman. Ia menyesalkan insiden penembakan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Intan Jaya, serta sejumlah kekerasan aparat kepada warga sipil lainnya. Apalagi TNI dan Polri jarang mengusut kasus kekerasan anggotanya dengan tuntas. Ia mencontohkan kasus prajurit TNI membunuh dua warga Intan Jaya, Luther Zanambani dan Apinus Zanambani pada April 2020.

“Anak kami dibakar di dalam drum, abunya dibuang di sungai.  TNI/Polri diam. Kami tanya ke Koramil, Koramil bilang Kapolsek, jadi saling baku lepas tanggung jawab. Tapi akhirnya sekarang sudah ketahuan semua,” kata Abugau.

Kendati masalah kekerasan aparat keamanan kini lebih berbahaya dari persoalan peredaran minuman beralkohol di Papua, Abugau menyatakan peredaran minuman beralkohol tetap menjadi masalah serius di wilayah yang tidak menjadi zona konflik. Menurutnya, konsumsi minuman beralkohol menjadi salah satu penyebab tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua.

“Melindungi perempuan dan anak selain di wilayah konflik [juga penting]. Perlindungan perempuan dan anak juga perlu dilakukan karena faktor minuman beralkohol yang merusak rumah tangga,” ujarnya.

Dalam lokakarya “Mendorong Kebijakan Layanan Terintegrasi bagi Perempuan dengan HIV/AIDS di Wilayah Konflik dalam Penyelenggaraan Otonomi Khusus Papua” yang berlangsung di Kota Jayapura pada Rabu (17/11/2021), Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani pihaknya akan terus mendorong upaya meningkatkan perlindungan kepada perempuan di Papua. Upaya itu antara lain dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan di Papua.

“Komnas Perempuan bersama dengan Majelis Rakyat Papua, menggagas Peraturan Daerah Khusus Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pemulihan Hak Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Perdasus itu sebetulnya fokus kepada upaya untuk menyelenggarakan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan yang khususnya bagi pelanggaran HAM,” ujarnya. (*)

Sumber:JUBI

Read More
Categories Berita

MRP Bertemu Pihak Pemangku Kepentingan Bahas Dampak Miras dan Narkoba di Papua

Foto bersama pimpinan dan anggota MRP Pokja Agama bersama pimpinan Salpol PP Papua, Polda Papua, BNN Papua, SAMN Papua usai rapat kordinasi MRP hari ini, Jumat (26/2/2021) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Rapat Koordinasi Majelis Rakyat Papua bersama Pemerintah kota Jayapura, BNN Provinsi Papua, Satpol Pamong Praja Provinsi Papua, dan Polda Papua membahas tentang dampak miras dan narkoba bagi orang asli Papua.

Rapat koordinasi tersebut berlangsung di hotel Hom Tanah Hitam, pada Jumat (26/2/2021) tadi. Dihadiri pimpinan dan anggota lembaga MRP, SAMN Papua di mediasi oleh Pokja Agama MRP.

Timotius Murib ketua MRP mengatakan berdasarkan Perdasi nomor 15 tahun 2013 perubahan kedua 22 tahun 2016 maka MRP melalui Pokja Agama meminta beberapa narasumber hadir untuk menyampaikan kondisi terkini Miras dan Narkoba di tanah Papua terhadap generasi bangsa khususnya generasi orang asli Papua.

“Yang hadir dari tiga institusi Satpol PP, Polda Papua dan BNN Papua hadir menyampaikan materi sekaligus dengan informasi data-data menyangkut perkembangan penanganan miras dan narkoba di tanah Papua,” kata Murib.

Lanjutnya, Miras dan Narkoba adalah musuh bersama untuk diperangi berama sehingga MRP merasa penting guna menyelamatkan manusia terutama orang asli Papua.

“Tindak lanjut dari Rapat Koordinasi ini MRP melalui Pokja Agama akan melakukan diskusi-diskusi lebih lanjut dan rekomendasi yang lahir dari pertemuan hari ini pertama MRP akan meminta dan mendorong pemerintah provinsi Papua dan kabupaten/kota untuk membangun balai rehabilitasi supaya pasien-pasien dari miras dan narkoba bisa di tempatkan disitu, tidak lagi kami kirim keluar Papua terutama di Makasar dan Bandung,” katanya.

Dia menambahkan, dengan realita penyakit sosial ini, semua pihak harus bergandengan tangan termasuk MRP, meminta dan mendorong pemerintah provinsi Papua untuk segera bangun balai rehabilitasi dan akan diikuti dengan regulasi dan fasilitas untuk pencegahan.

Yoel Luiz Mulait ketua Pokja Agama menambahkan Miras dan Narkoba merupakan penyakit yang sudah kronis terus-terusan dibahas karena tidak pernah terselesaikan dari dulu, sekarang dan akan datang.

“Semua orang sudah terinfeksi dengan Miras dan Narkoba, sehingga MRP melalui Pokja Agama membuat program dengan melakukan rapat kordinasi dengan para pemangku kebijakan dengan harapan bisa melihat akar persoalan yang tidak pernah terselesaikan soal miras dan narkoba ini karena faktor apa saja,” katanya.

Majelis Rakyat Papua dalam rangka perlindungan keberpihakan dan pemberdayaan orang asli Papua melalui misi besar ini akan terus di lakukan dan berlanjut hingga proses pemberantasan miras dan narkoba ini bisa mencapai hal yang maksimal. (*)

Humas MRP

 

Read More