Categories Berita

Masa Sidang Pertama 2022 Ditutup, Anggota MRP Akan Kunjungi 5 Wilayah Adat di Papua

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP pada Selasa (29/3/2022) mengelar rapat pleno di Kota Jayapura, dalam rangka penutupan masa sidang pertama tahun 2022. Rapat pleno pada Selasa itu dipimpin Ketua MRP, Timotius Murib.

Timotius Murib menyatakan setelah MRP menutup masa sidang pertama 2022, para anggota MRP akan menjalani masa reses dan mengunjungi lima wilayah adat di Papua.

“Pimpinan dan anggota MRP akan melakukan perjalanan atau reses ke lima wilayah adat,” kata Murib, Selasa.

Menurutnya, Kelompoik Kerja (Pokja) Adat, Pokja Perempuan, dan Pokja Agama MRP telah merumuskan program kerja masing-masing untuk tahun 2022.

“Ketiga Pokja itu telah melaksanakan program kerja tahunan [mereka], ini kami pleno penutupan masa sidang pertama,” ucapnya.

Murib menjelaskan masa reses dan perjalanan para anggota MRP di lima wilayah adat itu dilakukan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat.

“Nanti anggota MRP akan melihat dan mendengar langsung aspirasi dari masyakarat kami di lima wilayah adat. Pimpinan dan anggota akan melakukan perjalanan itu selama tujuh hari,” kata Murib.

Ia menyebut ada sejumlah rekomendasi dari hasil evaluasi kinerja MRP pada triwulan pertama 2022. Salah satu rekomendasi itu adalah advokasi kewenangan Otonomi Khusus Papua pasca Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) yang dinilai banyak mengurangi kewenangan khusus Pemerintah Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua, dan DPR Papua.

“Rekomendasi triwulan pertama itu advokasi terhadap [perubahan pengaturan kewenangan khusus dalam] UU Otsus Papua Baru. Menurut MRP, [UU Otsus Papua Baru] berisiko merugikan hak Orang Asli Papua,” ujar Murib.

MRP sendiri telah mengajukan permohonan uji materiil atas UU Otsus Papua Baru di Mahkamah Konstitusi, dan perkara itu tengah disidangkan.

“Tanggal 28 Maret 2022, Hakim Konstitusi mendengar saksi ahli dari pemerintah dan DPR RI. Kemudian ada sidang ke tujuh,  nanti pada 10 April 2022, di mana hakim juga akan mendengar saksi ahli dari pemerintah dan DPR RI,” kata Murib. (*)

Read More
Categories Adat

MRP menilai Jakarta sedang berusaha menekan psikologi rakyat Papua

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib – Jubi/Agus Pabika.

Jayapura, MRP – Para anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP merasa heran dengan kebijakan Jakarta dalam menangani persoalan Papua. Sejak terjadinya kasus rasisme terhadap para mahasiswa Papua, Jakarta tak mengambil langkah serius untuk menyelesaikan persoalan rasisme Papua. Jakarta justru terus mengirimkan aparat keamanan tambahan, dengan jumlah yang banyak.

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib menyatakan sulit memahami kebijakan yang diambil Jakarta dalam menangani persoalan Papua. “Jumlah pasukan yang Jakarta kirim sangat luar biasa. [Mereka dikirim] hanya untuk menghadapi kelompok rakyat Papua dengan persenjataan yang terbatas,” kata Murib di Jayapura, Rabu (29/1/2020).

Anggota Kelompok Kerja (Pokja) Agama MRP, Nikolaus Degey mengatakan kebijakan Jakarta untuk terus menambah jumlah aparat keamanan di Papua membuat rakyat Papua tertekan. “Mengapa pasukan makin hari makin tambah di Papua? Jumlah militer yang terus bertambah ini membuat warga sipil tetekan,” ujar Degey di Jayapura, Rabu.

Degey mengingatkan cara Jakarta menangani persoalan Papua justru membuat rakyat Papua semakin bertanya-tanya, apakah benar rakyat Papua dianggap warga negara Indonesia yang setara. “Kalau Papua bagian dari Indonesia, mengapa pemerintah menekan rakyat dengan terus menambah jumlah [aparat] keamanan?” Degey bertanya.

Sejak kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua terjadi di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019, pemerintah pusat terus menambah aparat keamanan di Kabupaten Nduga, Lanny Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Intan Jaya, Paniai, Deiyai dan Dogiai. Degey menyatakan penambahan pasukan itu menunjukkan pemerintah di Jakarta mengabaikan nasib ribuan warga sipil Kabupaten Nduga yang mengungsi gara-gara konflik bersenjata di Nduga.

Menurut Degey, pendekatan keamanan yang digunakan Jakarta dalam menyelesaikan kasus rasisme Papua justru memunculkan spekulasi yang beragam. Spekulasi itu muncul karena pemerintah di Jakarta justru tidak kunjung menyelesaikan masalah rasisme Papua.

“Penambahan pasukan, terutama di Nduga dan Intan Jaya, menyebabkan rakyat sipil mengungsi. Pengungsi makin bertambah. Banyak masalah [baru] yang akan muncul. Kelaparan, sakit, dan masalah lainnya. Apakah ini bagian dari mengamankan Freeport dan merebut kekayaan alam yang ada di sekitarnya atas nama kerja kelompok bersenjata Papua merdeka?” Degey bertanya.

Kata dia, lebih bijak dan sangat manusiawi, kalau mau rebut, pemerintah mestinya hargai hak milik dan bicara sesuai aturan hukum. “Jangan pakai alasan menjaga objek vital, tetapi dampaknya memusnahkan orang Papua,” kata Degey serius.

Dominikus Surabut, Ketua Dewan Adat Papua (DAP) versi Konferensi Luar Biasa menilai kondisi Papua saat ini sudah seperti Daerah Operasional Militer, namun pemerintah tidak pernah menyatakan status DOM itu. Akibatnya, penambahan dan pergerakan pasukan di Papua itu tanpa mekanisme resmi dalam menggelar DOM.

“Kita tidak pernah DPR sidang dan mendukung pengiriman pasukan ke Papua. Akan tetapi, jumlah militer yang dikirimkan ke Papua sudah menyerupai daerah operasi militer,” kata Surabut.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More