Categories Berita

Amnesty Internasional Dorong MRP Ajukan Permohonan Uji Formil Atas Amandemen UU Otsus Papua

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di dampinggi ketua MRP Timotius Murib saat memberikan keterangan pers – Humas MRP

SENTANI, MRP – Majelis Rakyat Papua didorong segera mengajukan permohonan uji formil Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua di Mahkamah Konstitusi. Uji formil itu akan menguji apakah proses penyusunan dan pengesahan Undang-undang Otonomi Khusus Papua yang baru itu memenuhi prosedur dan dirumuskan dengan partisipasi masyarakat.

Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid selaku pembicara dalam Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diselenggarakan di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, 2 – 4 Februari 2022.

Usman menyatakan  Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua) mengubah atau menghapuskan pengaturan sejumlah wewenang khusus yang diberikan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua).

“Kalau uji materil, itu memeriksa pasal per pasal mana yang bertentangan dengan UUD 1945. Kalau uji formil, dia memeriksa apakah proses perumusan pembahasan dan pengesahan dari hasil amandemen kedua ini dilakukan dengan partisipasi masyarakat yang bermakna,” jelas Usman.

Usman Hamid mencontohkan kasus Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional oleh MK, dan salah satu alasannya karena UU itu dirumuskan tanpa partisipasi masyarakat.

“[UU Cipta Kerja] dibahas tanpa partisipasi masyarakat yang bermakna, diputuskan dan disahkan tanpa partisipasi masyarakat yang bermakna. Karena itu, Mahkamah Konsitusi berpendapat UU itu inkonstitusional. Alasan inilah yang bisa digunakan sebagai pembelajaran bagi Majelis Rakyat Papua untuk menambahkan langkah hukum yang baru, dengan melakukan permohonan uji formil kepada Mahkamah Konstitusi,” kata Usman.

Usman menyatakan jika Mahkamah Konstitusi berpendapat UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua tidak lolos uji formil, bisa saja seluruh naskah UU itu dibatalkan. “Jadi, itu yang saya kira perlu dilakukan oleh MRP selain tentu saja mengambil langkah-langkah lain yang sesuai dengan tugas wewenang dari MRP,” kata Usman.

Menurutnya, langkah itu layak dilakukan, karena UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua itu sarat masalah. “Pertama, mengapa partai lokal, yang sebenarnya sudah dijamin dalam UU Otonomi Khusus itu dihapuskan? Yang kedua, mengapa UU yang baru diberikan ini memberikan semacam badan khusus yang baru di bawah Wakil Presiden? Padahal sifat Otonomi Khusus itu adalah desentralisasi kekuasaan,” kata Usman.

Ia menjelaskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom, supaya dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak terjadi penumpukan kekuasaan pada salah satu pihak saja. Akan tetapi, UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua justru mengurangi sejumlah kewenangan khusus yang sebelumnya telah diberikan kepada Papua melalui UU Otsus Papua.

“Yang sekarang terjadi, dengan pembentukan badan khusus Papua, itu seperti resentralisasi atau mengambil kembali kekuasaan pemerintahan dari pemerintah Papua ke pemerintah Jakarta. Misalnya melalui [badan khusus yang baru di bawah] Wakil Presiden [itu],” kata Usman.

Masalah lainnya, UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua juga mengubah pengaturan wewenang MRP untuk menyetujui atau menolak rencana pemekaran. “Dengan kata lain, pemekaran wilayah bisa dilakukan tanpa ada persetujuan dari MRP. Ini masalah yang sangat-sangat serius,” pungkas Usman.

“Jadi, saya meminta kepada pemerintah di Jakarta, Presiden, Wakil Presiden, dan Mendagri untuk menunda pelaksanaan UU hasil amandemen ini sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi, setidaknya dalam dua-tiga bulan ke depan. Itu penting untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran normatif lebih jauh dari pelaksanaan UU Otsus Papua,” kata Usman.

Untung-rugi UU baru Ketua MRP, Timotius Murib berharap Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota MRP itu memberi pengetahuan dan pemahaman  soal “untung-rugi” pelaksanaan UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua. Murib menyatakan pihaknya kecewa, karena revisi UU Otsus Papua yang awalnya dikehendaki rakyat Papua sebagai jalan untuk memperkuat Otsus Papua justru menghasilkan UU yang memperlemah Otsus Papua.

“Saya pikir perubahan kedua itu memang dikehendaki oleh rakyat Papua. Tetapi kemudian proses perubahan itu tidak sesuai dengan mekanisme yang diatur. Rakyat Papua merasa tertipu karena awalnya hanya dua atau tiga pasal saja yang ingin diubah, tetapi kemudian dalam mekanisme perubahan itu menjadi 19 pasal. [Ada] pengabaian terhadap partisipasi masyarakat terhadap perubahan UU itu,” kata Murib.

Hal itulah yang membuat MRP mengundang para ahli untuk menyampaikan pandangan mereka tentang untung-rugi pelaksanaan UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua. “Ada sejumlah pasal yang berpotensi merugikan rakyat. Melalui pembekalan ini, pimpinan dan anggota MRP mendapatkan peningkatan kapasitas dan pengetahuan untuk kami akan sosialisasikan ke lima wilayah adat,” kata Murib. (*)

Sumber: nirmeke.com 

Read More
Categories Berita

Belum 2 Bulan Disahkan, UU Otsus Papua Digugat ke MK

 

Konferensi Pers Setelah Melakukan Pendaftaran ke MK – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) mengajukan judicial review UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) ke Mahkamah Konstitusi (MK), padahal UU itu baru disahkan pada Juli 2021. Berkas judicial review itu didaftarkan ke MK secara online dan masih diperiksa oleh kepaniteraan MK.

“Menyatakan bahwa pasal-pasal: Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59, Pasal 68A, dan Pasal 76 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” demikian bunyi permohonan MRP yang dilansir website MK, Rabu (1/9/2021).

MRP memberikan kuasa kepada Saor Siagian, Imam Hidayat, Esther D Ruru, Roy Rening, Rita Serena Kalibonso, Lamria Siagian, Ecoline Situmorang, Alvon Kurnia Palma, Haris Azhar, dan Muniar Sitanggang. Salah satu alasan melakukan judicial review adalah revisi UU itu dinilai tidak melibatkan rakyat Papua melalui MRP. Revisi ini tanpa adanya masukan, usulan, dan partisipasi dari Pemerintah Provinsi Papua, MRP, dan DPRP, yang dalam hal ini merupakan representasi kultural orang asli Papua dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua. Sehingga dalam hal ini menunjukkan tidak adanya iktikad baik dan tanggung jawab Presiden RI dalam pelaksanaan kewenangan pengajuan rancangan undang-undang.

“Menyatakan Pasal 77 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘usulan perubahan UU ini wajib diajukan rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPR Papua’,” ujarnya.

Pemohon menyatakan Otonomi Khusus Papua lebih jauh harus dipahami sebagai sebuah proses konsensus/kompromi politik antara masyarakat Papua dan pemerintah pusat atas refleksi perjalanan sejarah sejak 1962 berhadapan dengan dinamika perkembangan global dan regional yang terus bereskalasi. Lahirnya UU 21/2001 bertujuan menyelesaikan konflik multidimensional yang berkepanjangan di Papua.

“Setelah 20 tahun UU Otonomi Khusus Papua diberlakukan, perlu dilakukan pembahasan dan evaluasi secara menyeluruh yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ini. Pada esensinya politik hukum Undang-Undang Otsus bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat; mewujudkan keadilan, penegakan hak asasi manusia, supremasi hukum dan demokrasi; serta pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli dalam perspektif pelaksanaan HAM sebelum dan sesudah lahirnya UU Otonomi Khusus tahun 2001 bagi Papua,” papar pemohon.

“Pemberian Otonomi Khusus Papua dimaksudkan untuk mengatasi konflik yang berlangsung lama dan menelan korban (pelanggaran HAM) karena adanya tuntutan untuk memisahkan diri dari negara Republik Indonesia. Pendekatan kebijakan pemerintah dalam bidang kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan (security approach) selama ini belum dirasakan manfaatnya bagi rakyat Provinsi Papua,” sambung pemohon.

Oleh sebab itu, kata MRP lagi, perlunya melibatkan orang asli Papua (OAP), yang merupakan representasi kultural dan/atau politis dari MRP dan DPRP dalam hal pengusulan RUU Perubahan Kedua UU 21/2001 merupakan suatu keniscayaan. Atau dengan kata lain, dapat dikatakan tanpa menyerap aspirasi rakyat Papua melalui MRP/DPRP dalam usulan perubahan kedua UU Otsus adalah tindakan menegasikan dan melawan amanat Ketetapan MPR dalam hal ini melanggar UU Otsus yang pada gilirannya akan dapat menciptakan ketidakpercayaan rakyat Papua kepada pemerintah pusat.

“Karena yang terpenting dari semua itu diharapkan melalui perubahan kedua Undang-Undang Otsus ini dapat menghargai hak-hak dasar OAP, dengan mewujudkan peningkatan taraf hidup masyarakat, terwujudnya keadilan, penegakan HAM, supremasi hukum, dan demokrasi yang bermartabat bagi rakyat Provinsi Papua dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” katanya.

Merujuk pasal yang di-judicial review MRP, salah satunya Pasal 76 yang diubah sehingga pemekaran wilayah di Papua bisa menjadi lebih mudah. Dalam UU Otsus Papua Tahun 2001, pasal ini hanya terdiri satu ayat saja. Berikut ini bunyi pasalnya:

Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.

Dalam revisi UU Perubahan, Pasal 76 terdiri atas lima ayat. Ayat 3 Pasal 76 menyatakan bahwa pemekaran dilakukan tanpa melalui tahapan daerah persiapan. Kendati demikian, dalam ayat 4 ditegaskan bahwa pemekaran harus memberi ruang untuk orang asli Papua (OAP). Berikut ini bunyi pasalnya:

Pasal 76
(1) Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang.
(2) Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.
(3) Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah.
(4) Pemekaran harus menjamin dan memberikan ruang kepada Orang Asli Papua dalam aktivitas politik, pemerintahan, perekonomian, dan sosial-budaya.
(5) Pembentukan daerah otonom dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ditetapkan dengan Undang-Undang.

Sumber: DETIK NEWS

Read More
Categories Berita

Bertemu Mahfud MD, Majelis Rakyat Papua Bahas Pendekatan Kesejahteraan 

Majelis Rakyat Papua (MRP) Saat Bertemu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md Bahas Perubahan kedua UU Otsus Papua – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Pimpinan dan Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) bertemu dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, di Gedung Kemenko Polhukam, Jumat (11/6/2021).

Majelis Rakyat Papua merupakan wadah yang disediakan undang-undang untuk orang asli Papua menyuarakan persoalan-persoalan terkait Papua. Mereka melakukan dialog seputar persoalan-persoalan di tanah asalnya dan menyampaikan aspirasi rakyat Papua.

“Kami saling menjelaskan dan bertukar pikiran, dan saya menjelaskan kebijakan pemerintah pusat di Papua,” kata Mahfud dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/6/2021).

“Mereka memahami bahwa apa yang sudah dan akan dilakukan, semua sesuai dalam koridor konstitusi dan dengan pendekatan kesejahteraan,” ucap dia.

Prinsipnya, kata Mahfud, sesuai arahan presiden, menyelesaikan persoalan di Papua jangan dengan senjata dan letusan, tapi dengan dialog demi kesejahteraan.

Ia mengatakan, penegakan hukum kepada kelompok-kelompok bersenjata adalah sebagai bagian untuk memperlancar dialog dengan rakyat Papua, yang jauh lebih banyak di luar kelompok bersenjata itu.

Sementara itu, Ketua MRP Timotius Murib menjelaskan bahwa kedatangan MRP menemui Menko Polhukam yakni untuk mengkomunikasikan berbagai hal di tanah Papua.

Dalam hal, MRP menyikapi proses perubahan kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang sedang bergulir di DPR.

“Bapak Menko merespons sangat luar biasa aspirasi kami dan diakomodasi dengan baik, melalui Dirjen Otonomi Daerah, yang hadir dalam pertemuan, supaya dapat disampaikan ke DPR, untuk jadi bahan pertimbangan, sekaligus masukan dan saran dari rakyat Papua.” ucap Murib.

Sumber: https://nasional.kompas.com/

Read More

Categories Berita

Revisi UU Otsus Papua Tanpa Kewenangan, Dana, dan Pemekaran Tak Berguna

Suasana pertemuan, Majelis Rakyat Papua (MRP), Pansus Otsus DPR Papua dengan Forum Aspirasi dan Komunikasi Masyarakat Papua dan Papua Barat (for Papua) di DPR RI di Jakarta, Kamis (10/6/2021) - Humas MRP
Suasana pertemuan, Majelis Rakyat Papua (MRP), Pansus Otsus DPR Papua dengan Forum Aspirasi dan Komunikasi Masyarakat Papua dan Papua Barat (for Papua) di DPR RI di Jakarta, Kamis (10/6/2021) – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Ketua Panitia Khusus (Pansus) Otsus DPR Papua, Thomas Sondegau, mengatakan tahapan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus atau Otsus Papua, yang kini dilakukan pemerintah dan DPR RI terkesan dipaksakan sebab hanya fokus pada dua pasal, yakni Pasal 34 tentang dana penerimaan khusus dan Pasal 76 tentang pemekaran.

Menurutnya, apa gunanya penambahan dana Otsus Papua dua persen menjadi 2,25 dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, dan mempermudah mekanisme pemekaran, jika tak dimbangi dengan kewenangan.

“Kalau hanya merevisi pasal mengenai penerimaan dana Otsus dan mekanisme pemekaran, itu sama saja menciptakan masalah baru. Apa guna revisi itu kalau tidak pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam berbagai sektor,” kata Thomas Sondegau kepada Jubi, Minggu (13/6/2021).

Menurutnya, yang diinginkan Pemprov Papua, Pansus Otsus DPR Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah pemberian kewenangan lebih luas kepada daerah, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam dan penentuan kebijakan pembangunan.

Katanya, dengan adanya pemberian kewenangan lebih luas, pemerintah daerah dapat leluasa mengelola sumber daya alamnya untuk mendapat menghasilkan pendapat bagi daerah.

Dengan begitu, ke depan pemerintah daerah tidak akan terus bergantung pada anggaran dari pusat. Pemda juga dapat menentukan kebijakan pembangunan yang tepat bagi warga Papua, sesuai kondisi di setiap wilayah.

“Kalau perlu evaluasi semua pasal dalam Undang-Undang Otsus. Mulai Pasal 1 hingga Pasal 79. Jangan hanya dua pasal saja, sebab selama ini amanat pasal lain juga tidak dilaksanakan maksimal,” ujarnya.

Katanya, pemerintah pusat tidak perlu merasa kewenangannya akan dikebiri pemerintah daerah.

Ia mengatakan dengan pemberian kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah, pemerintah pusat tetap memegang urusan pemerintahan absolut. Ini sesuai Pasal 9 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Urusan pemerintah absolut dalam Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 2014 itu, yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.

“Kami telah menyampaikan ini ketika rapat dengan Forum Aspirasi dan Komunikasi Masyarakat Papua dan Papua Barat (For Papua) yang ada di DPR RI di Jakarta, Kamis (10/6/2021),” ucapnya.

Ia meminta pemerintah diminta tidak memaksakan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, tanpa mendengar keinginan para pihak di provinsi tertimur Indonesia itu.

Thomas Sondegau menambahkan hingga kini hasil kerja Pansus Otsus DPR Papua, belum diserahkan kepada pemerintah pusat dan DPR RI, sebab terlebih dahulu akan diparipurnakan bersama Pemprov Papua dan MRP, agar menjadi keputusan bersama.

MRP juga ingin dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap Pasal 1 hingga Pasal 79 dalam UU Otsus Papua. Sebab, selama 20 tahun pelaksanaannya dianggap belum maksimal dan berdampak kepada orang asli Papua.

Ketua MRP, Timotius Murib, mengatakan tahapam revisi UU Otsus kini merupakan langkah sepihak Jakarta, dan tak sesuai dengan aspirasi rakyat Papua.

“MRP menganggap tidak ada niat baik pemerintah pusat membangun Papua sebagai satu kesatuan dalam NKRI,” kata Timotius Murib, belum lama ini.

Menurutnya, pemerintah pusat dan masyarakat Papua mestinya duduk bersama melihat kembali setiap pasal dalam UU Otsus.

“Ini untuk melihat kelemahan dan kelebihan pelaksanaan Undang-Undang Otsus selama ini. Ini bukan hanya tentang dana dan pemekaran,” ujarnya.

Murib mengatakan empat bidang prioritas dalam UU Otsus Papua yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur, selama ini tidak terlaksana maksimal.

Sementara itu, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas mengatakan UU Otsus Papua tidak hanya sekedar pembagian uang.

Katanya, untuk apa ada Otsus kalau ada kekerasan. Ini merupakan kegagalan menciptakan perdamaian di tanah Papua.

“Undang-Undang Otsus Papua inikan dibentuk sebagai jalan tengah, antara tuntutan orang Papua yang ingin merdeka dengan pemerintah yang ingin Papua bertahan dalam NKRI,” kata Cahyo. (*)

Sumber: JUBI

Read More

Categories Berita

MRP Berharap Perubahan Kedua UU Otsus Mengikuti Proses yang Legal

Rapat koordinasi Majelis Rakyat Papua bersama forum komunikasi pimpinan daerah provinsi Papua dan bupati/wali kota se – Provinsi Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Pemerintah Provinsi Papua mendukung penuh terkait usulan Majelis Rakyat Papua untuk membuka ruang dialog antara pemerintah dengan orang asli Papua sesuai dengan rekomendasi bersama MRP dan MRPB nomor 01/MRP-MRPB/2020, tanggal 28 Februari 2020.

Dukungan tersebut berkaitan dengan mendengar usulan perubahan undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dari masyarakat Papua.

Sekda provinsi Papua, Dance Yulian Flassy usai Rapat koordinasi Majelis Rakyat Papua bersama forum komunikasi pimpinan daerah provinsi Papua dan bupati/walikota se – Provinsi Papua mengatakan pertemuan hari bahas tentang revisi UU nomor 21 tahun 2001. Pemerintah provinsi Papua juga mendukung masukan-masukan yang disampaikan masyarakat Papua kepada MRP terkait Otsus ini. Jumat, (16/4/2021).

“Kami dukung hasil revisi yang nanti dilakukan oleh MRP, lalu dibahas bersama dengan DPR Papua dan pemerintah pusat karena revisi berarti ada yang perlu di sempurnakan, bila ada yang kurang kita tambahkan,” katanya.

Flassy juga menegaskan selama UU Otsus Papua belum dicabut dan perubahan kedua belum sepenuhnya diusulkan masyarakat Papua melalui MRP maka tidak ada istilah jilid I jilid II.

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua usai rapat koordinasi Majelis Rakyat Papua bersama forum komunikasi pimpinan daerah provinsi Papua dan bupati/walikota se – Provinsi Papua memberikan apresiasi kepada gubernur Papua yang diwakili Sekda Papua memfasilitasi MRP melakukan rapat koordinasi terkait dengan perusahaan kedua undang-undang Otsus nomor 21 tahun 2001.

“Kami MRP menginginkan supaya perusahaan kedua ini harus mengikuti proses yang legal, jadi tidak sepotong-sepotong kita bicara tentang masalah Otsus,” kata Murib.

Sehingga kata Murib, MRP mempertanyakan proses yang sementara sedang berlangsung di DPR Papua terkait perubahan kedua UU Otsus.

“Bolanya sekarang ada di DPR Papua sehingga ini yang kami tanyakan karena MRP merasa bahwa semua komponen masyarakat dan Forkopimda provinsi Papua serta bupati kabupaten/kota belum duduk bersama kita satukan persepsi dalam rangka perubahan kedua ini,” katanya.

Lanjut dia, MRP punya bahan identifikasi yang telah dipaparkan dalam rapat k0ordinasi dan akan dikembangkan lagi oleh MRP dalam rapat-rapat berikut terutama dengan DPR Papua sesuai amanat pasal 77 UU nomor 21 tahun 2001.

“Kita harus sesuaikan dengan amanat itu sehingga semua mekanisme kita lalui ini legal kemudian dapat menjawab aspirasi rakyat,” harap Murib. (*)

Sumber: Suara Papua

 

Read More
Categories Berita

Timotius Murib: Revisi UU Otsus Harus Secara ‘Legal’

Rapat kordinasi Majelis Rakyat Papua bersama forum komunikasi pimpinan daerah provinsi Papua dan bupati/walikota se – Provinsi Papua  – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Rencana pembahasan dan penetapan usulan perubahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua diharapkan mengikuti proses yang legal yaitu melibatkan Masyarakat Papua, MRP dan DPRP.

Tak Tanya itu, pemerintah pusat juga diminta melibatkan semua unsur terkait, Diantaranya, komponen masyarakat adat, Forkopimda serta para kepala daerah, yang kemudian duduk bersama dengan pemerintah pusat, menyatukan persepsi terkait rencana revisi UU ini.

Selain itu, perubahan UU Otsus, mestinya dilakukan atas dasar usul dari rakyat Papua melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) setempat. Sehingga prosesnya dianggap legal dan berpihak kepada pemerintah dan masyarakat di Papua.

“Perubahan Otsus ini harus mengikuti proses yang legal. Karena itu kami mempertanyakan proses yang sedang berlangsung saat ini di pusat,” ucap Ketua MRP Timotius Murib kepada pers, usai Rapat Koordinasi bersama Forkopimda Papua di Gedung Negara, Jumat (16/4/2021).

Murib juga mendorong DPR RI untuk membuka ruang diskusi antara pemerintah di Papua bersama dengan pusat. Sehingga produk hukum yang ditetapkan, didasarkan pada aspirasi masyarakat Papua.

Sementara itu, Sekda Papua Dance Yulian Flassy memastikan, Pemerintah Provinsi Papua mendukung hasil identifikasi dan usulan MRP terkait perubahan kedua UU Otsus.

Dengan demikian, setelah ada hasil penyempurnaan evaluasi Otsus dari MRP, maka Pemerintah Provinsi segera meneruskan berkas tersebut kepada pemerintah pusat.

“Namun yang perlu saya tegaskan bahwa sampai saat ini tidak ada UU Otsus jilid I atau II. Undang-Undang ini belum dicabut sehingga yang dilakukan saat ini adalah proses revisi untuk setiap hal yang kurang, sebagaimana yang disampaikan MRP,” pungkasnya. (*)

 

Sumber: nusantarapost.id

Read More