Categories Berita

Terkait penolakan RDP: LMA, kelompok Pepera, dan para bupati di Papua menampar wajah Indonesia

Aksi pemalangan dengan orasi di depan pintu keluar bandara Wamena oleh massa Tokoh Pepera dan pejuang veteran Jayawijaya terhadap anggota MRP / ist

JAYAPURA, MRP – Legislator Papua, Natan Pahabol menyatakan kepala daerah di Papua yang menolak pelaksanaan rapat dengar pendapat atau RDP pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan pamanfaatan dana Otsus, sama saja ikut menguatkan isu referendum.

Ia mengatakan, Majelis Rakyat Papua atau MRP sebagai representasi lembaga kultur orang asli Papua mengagendakan menggelar RDP evaluasi Otsus, dengan perwakilan berbagai kalangan masyarakat adat Papua di lima wilayah adat, 17-18 November 2020 silam.

Akan tetapi, di beberapa daerah muncul penolakan pelaksanaan RDP dari kelompok tertentu. Bahkan ada kepala daerah juga menyatakan menolak.

“Penolakan itu justru menguatkan isu Papua merdeka (referendum) di mata berbagai kalangan termasuk dunia internasional,” kata Natan Pahabol melalui panggilan teleponnya, Selasa (24/11/2020).

Menurutnya, penolakan evaluasi Otsus itu mungkin saja akan dipertanyakan berbagai pihak yang selama ini mengikuti isu Papua.

Tidak menutup kemungkinan para pihak ini akan menyimpulkan kalau pelaksanaan Otsus Papua selama ini memang gagal, sehingga ada pihak tak diingin dilakukan evaluasi, termasuk beberapa bupati yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah.

“Bupati yang menolak RDP, sama saja menyampaikan Otsus gagal. Ini justru menguatkan isu Papua merdeka. Berbagai pihak, termasuk dunia internasional selalu mengikuti perkembangan Papua. Penolakan ini tidak hanya bagian dari pembungkaman ruang demokrasi, juga pintu masuk berbagai pihak berkepentingan memperbesar isu Papua,” ujarnya.

Mantan anggota MRP periode 2009-2014 itu berharap Menteri dalam Negeri menegur para kepala daerah yang ikut-ikutan menolak RDP evaluasi Otsus.

Katanya, pelaksanaan evaluasi Otsus merupakan amanat pasal 77 Undang-Undang Otsus Papua. Pasal itu memberi kewenangan kepada MRP melakukan evaluasi. Hasilnya diserahkan ke DPR Papua untuk diparipurnakan, kemudian dilanjutkan kepada pemerintah pusat.

“Pemerintah daerah hanya memfasilitasi pelaksanaan RDP. Apapun hasil RDP nantinya, tidak perlu khawatir berlebihan. Misalnya saja mereka yang hadir menyatakan Otsus gagal, Otsus berhasil atau meminta referendum, tidak langsung terjadi. Ada proses dan mekanismenya,” ucapnya.

Kata Sekretaris Fraksi Gerindra DPR Papua itu, sikap bupati yang menolak RDP evaluasi Otsus patut dipertanyakan. Mereka selama ini menggunakan dana Otsus, namun menolak dilakukan evaluasi.

Katanya, jika para kepala daerah menyatakan Otsus sudah berjalan semestisnya, tak perlu khawatir atau menolak saat akan dilakukan evaluasi oleh masyarakat. Cukup memfasilitasi pelaksanaan RDP.

“Kalau menolak, memunculkan kecurigaan dan tanda tanya. Mereka ini sama saja melecehkan Undang-Undang Otsus dan negara yang telah membuat undang-undang itu,” katanya.

Ia menambahkan, para kepala lain di Papua mesti mencontoh Bupati Biak Numfor. Ia memfasilitasi pelaksanaan RDP wilayah adat Saireri di daerahnya sehingga bisa terlaksana.

“Itu artinya Bupati Biak paham tugas dan tanggungjawabnya sebagai pemerintah daerah. Ikut melaksanakan amanat Undang-Undang Otsus,” ucap Pahabol.

Ketua MRP, Timotius Murib kepada awak media awal pekan lalu mengatakan adanya penolakan sejumlah pihak terhadap pelaksanaan RDP, disebabkan kecurigaan berlebihan. Mereka menduga RDP itu akan membawa aspirasi Papua merdeka.
Katanya, penolakan RDP justru merupakan pembungkaman hak demokrasi warga asli Papua.

“Kami hanya ingin ada perbaikan pelaksanaan Otsus secara menyeluruh,” kata Murib, 16 November 2020 silam.

MRP kata Murib, jika tidak memahami sikap sejumlah kepala daerah yang menolak pelaksanaan RDP. Sebelum pelaksanaan, lembaga itu telah menyurati kepala daerah di lima wilayah adat di Papua.

“Penolakan RDP evaluasi Otsus telah menciderai hak warga Papua menyampaikan pendapatnya, demi mencapai solusi bersama,” ujarnya. (*)

Sumber: Jubi

Read More

Categories Berita

Banyak pihak kecewa, Asosiasi Bupati Meepago tolak RDP

Rakyat Meepago yang melakukan aksi di Dogiyai karena RDP MRP tak dilaksanakan, Selasa (17/11/2020) – Egedy untuk Jubi

JAYAPURA, MRP– Majelis Rakyat Papua (MRP) mengungkapkan kekecewaannya ketika ditolak Asosiasi Bupati Meepago (ABM) padahal mereka sudah di Nabire dan Dogiyai untuk melaksanakan rapat dengar pendapat (RDP) tentang evaluasi implementasi pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua.

“Kami menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Meepago karena batal menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Wilayah (RDPW) karena tidak didukung oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) Asosiasi Bupati Meepago,” kata Ketua I MRP, Debora Mote, melalui keterangan tertulis yang diterima Jubi, Selasa (17/11/2020).

Pembatalan kegiatan RDPW di wilayah adat Meepago yang dipusatkan di Kabupaten Dogiyai tersebut ditolak oleh para bupati di wilayah Meepago Meepago yakni Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, dan Intan Jaya, yang tergabung dalam Asosiasi Bupati Meepago, melalui surat yang dikirim langsung ke MRP.

Atas pelarangan ini Debora Mote menyayangkan sikap pimpinan bupati di wilayah Meepago yang menolak kegiatan RDPW.

“Secara pribadi dan lembaga MRP kami menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Meepago, yang mana antusias dalam beberapa hari terakhir ini ingin menyukseskan kegiatan RDPW, namun menjelang hari pelaksanaan secara tiba-tiba tidak didukung oleh bupati setempat,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa pelaksanaan RDP tersebut sesuai dengan aturan UU pasal 77 nomor 21 tahun 2001 sehingga wajib Aparatur Sipil Negara untuk mendukung pelaksanaan RDP tersebut, bukan malah menolaknya.

Anggota Komisi I DPR Papua dari daerah pemilihan Meepago, Laurenzus Kadepa, mempertanyakan ada apa dengan para bupati di wilayah Meepago yang menolak MRP yang menjalankan amanah Undang-undang Otonomi Khusus (UU Otsus) yakni rapat dengar pendapat (RDP) di wilayah Meepago, yang hendak dipusatkan di Kabupaten Dogiyai pada Selasa (17/11/2020) dan Rabu (18/11/2020).

Kadepa menyayangkan sikap Bupati Nabire yang mengatasnamakan Asosiasi Bupati Meepago. Padahal menurut dia, RDP sangat penting sekali untuk tiga komponen yakni adat, agama, dan perempuan duduk bersama dan berbicara.

“Kami kecewa Bupati Meepago melalui Ketua, Bupati Nabire Isaias Douw, menolak tim MRP untuk tiadakan RDP. Ini ruang mereka (tiga komponen) bicara tentang manfaat yang dirasakan dari otsus selama ini. Bukan bicara NKRI harga mati atau Papua merdeka. Negara harusnya dewasa dalam menyikapi situasi ini,” ungkap Laurenzus Kadepa kepada Jubi, Selasa (17/11/2020).

Jika menolak, politisi Partai NasDem ini minta pihak berwajib segera melakukan evaluasi dan memeriksa penggunaan dana otsus oleh para bupati selama 20 tahun berjalan.

Di masa pandemi Covid-19 ini, kata dia, semua pihak wajib mematuhi dan menjalankan anjuran pemerintah soal protokol kesehatan. Pelaksanaan RDP pun akan mematuhi protokol kesehatan.

Sekretaris II Dewan Adat Papua (DAP), John NR Gobai, mengakui seluruh masyarakat Meepago telah menunggu MRP di Dogiyai untuk menyaksikan, mendengarkan, dan menyampaikan aspirasi pelaksanaan otsus di Papua selama 20 tahun berjalan.

“Apa sesungguhnya pertimbangan MRP, surat Bupati Nabire sebenarnya mesti dilihat sebagai bagian dari perhatian untuk menjaga keamanan bukan larangan. MRP mengapa harus mengecewakan masyarakat Meepago yang telah siap menyampaikan aspirasi mereka. Di Meepago tidak ada aksi maupun demo penolakan RDP seperti wilayah adat lain,” kata Gobai.

Ia mempertanyakan mengapa harus takut dengan dugaan dinamika yang akan berkembang, sebab itu merupakan dinamika karena RDP bukan sarana pengambilan keputusan.

“RDP hanyalah sarana mendengar pendapat rakyat bukan pendapat bupati yang merupakan kuasa pengguna anggaran termasuk dana otsus di kabupaten dan kota,” ujarnya.

“Apa yang ditakutkan MRP sebenarnya di Meepago, dugaan saya ada silent operation di Papua menjelang RDP MRP, tentu dengan garansi akan ada pemekaran atau jabatan yang penting jangan ada RDP MRP, seperti yang bisa kita lihat di Merauke,” katanya.

Ketua Fraksi PKB DPRD Deiyai, Naftali Magai, menegaskan MRP telah menjadi boneka eksekutif, dan takut menemui rakyatnya yang memberikan amanat melindungi orang dan Tanah Papua.

“Mental MRP ini diragukan, apakah mereka benar lindungi orang dan tanah Papua atau jalankan misi lainnya,” ujarnya.

“Seharian penuh ini kami (DPRD Deiyai dan Paniai tanpa DPRD Dogiyai) di Dogiyai, tunggu tim MRP. Tapi tak kunjung datang. Masyarakat antusias sambut mereka, tapi karena mereka (MRP) tidak datang maka mereka bacakan pernyataan tolak otsus dan minta kemerdekaan Papua,” katanya. (*)

Read More