Categories Berita

Kronologi Penangkapan Anggota MRP di Merauke saat Bahas Otsus Papua

Anggota MRP Papua ditangkap – Humas MRP

 

Polisi membubarkan diskusi otonomi khusus dan menangkap staf serta anggota Majelis Rakyat Papua berdalih ada bahasan referendum.

JAYAPURA, MRP – Kegiatan penyerapan aspirasi Majelis Rakyat Papua (MRP) tentang otonomi khusus direpresi oleh kepolisian dengan dalih akan ada pembahasan referendum.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menyebut ada penangkapan kepada anggota dan staf dalam rangkaian rapat dengar pendapat. Rapat itu termasuk program kerja MRP tahun 2020 guna mendengarkan keterangan orang asli Papua (OAP) perihal kepuasan terhadap otonomi khusus.

Rapat Dengar Pendapat Wilayah berlangsung pada 17-18 November. Lantas esoknya, jajaran MRP menuju ke Jayapura untuk melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diikuti oleh MRP Papua-Papua Barat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Papua-Papua Barat.

Tiba di Jayapura tim dari anggota, staf sekretariat, dan staf ahli MRP ditolak kedatangannya oleh beberapa kelompok masyarakat, salah satunya Barisan Merah Putih. Organisasi itu menolak MRP menggelar RDPU.

“Untuk menghindari bentrok sesama orang Papua, pimpinan menarik kembali rombongan ke Jayapura,” jelas Murib ketika dihubungi Tirto, Kamis (19/11/2020).

Sementara, tim yang berada di wilayah Sarmi dan Keerom ditolak oleh Bupati Jayapura. Sedangkan tim yang berada di Hotel Horison Express di Sentani Jayapura dibubarkan oleh kepolisian dengan alasan COVID-19. Padahal di hotel itu tidak lebih dari 30 peserta yang ikut.

Polisi merujuk Maklumat Kapolda Papua Nomor: Mak/1/Xl/2020 sebagai dasar pembubaran acara evaluasi otonomi khusus yang akan habis tahun depan setelah berlaku 20 tahun.

Evaluasi otsus oleh MRP juga digelar di Kabupaten Merauke, wilayah selatan Provinsi Papua. Anggota MRP menginap menginap di hotel.

“Laporan yang saya terima, anggota dan staf MRP diborgol dari hotel. Sementara tidak ada kesalahan yang dilakukan,” tutur Murib.

Dia belum bisa memastikan jumlah jajarannya yang ditangkap, tapi ada 2 anggota MRP dan 9 staf sekretariat diciduk. Sementara rombongannya sekira 20-an orang.

Murib bahkan tak tahu ihwal ‘buku kuning’ yang ditemukan dalam penggerebekan yang diklaim oleh polisi berisi pedoman dasar negara Republik Federal Papua Barat.

Ia menduga buku itu milik peserta rapat, bukan milik MRP. Peserta diskusi di antaranya dari organisasi masyarakat Barisan Merah Putih dan organisasi pemuda serupa, serta perwakilan adat. Total peserta 35 orang per kabupaten.

Menurut Murib, penangkapan ini berlebihan lantaran seolah mencerminkan negara melawan lembaga dan program negara.

“Berarti kepolisian menolak (bahasan) otonomi khusus secara tidak langsung, karena menolak RDP. Sesungguhnya RDP ini biarkan saja, kami buka ruang untuk rakyat menyampaikan psikologis mereka, supaya ada perbaikan yang lebih bijak,” ujar dia.

Polisi Klaim Temukan Bukti Referendum

Dalam penangkapan di Merauke, bertindak represif. Wensislaus Fatubun, tenaga ahli MRP menyebut diskusi digelar dua hari 17-18 November di gedung Vertenten Sai.

Dua hari sebelum acara, Kapolres Merauke AKBP Untung Surianata atau dikenal Untung Sangaji bertemu dengan Pastor Hengky Kariwob (Vikjen Keuskupan Agung Merauke), Pastor John Kandam (Sekretaris Uskup) dan Pastor Anselmus Amo (Direktur SKP KAMe) di Keuskupan.

Dalam pertemuan tersebut, Sangaji meminta ketiga pastor tidak memfasilitasi acara MRP di Vertenten Sai. Lalu Pastor Anselmus menelepon Canisius Mandagi (Uskup Agung Keuskupan Agung Merauke) dan Uskup menegaskan bahwa RDP dapat dilakukan di kalau itu bukan kegiatan politik.

Pada 15 November sekitar pukul 22.30, beberapa anggota polisi datang ke Hotel Grand Mandala, Hotel Pangkat dan Hotel Valentine.

“Kami tidak tahu maksud dan tujuan kedatangan polisi, tapi MRP diminta untuk ke polres malam itu juga untuk bertemu dengan Kapolres,” ucap Fatubun.

Berselang 30 menit, Fatubun bersama Koordinator Tim RDP MRP wilayah adat Anim Ha, seorang staf MRP dan dua orang anggota MRP lainnya ke Polres Merauke untuk bertemu Kapolres, tapi batal karena polisi itu sudah pulang.

Melalui ajudannya, Kapolres ingin bertemu esok pagi. Kemudian 16 November, pukul 08.46 mereka kembali menyambangi Polres. Karena Kapolres lagi-lagi tak di tempat, rombongan menyerahkan surat kepada Sespri Kapolres dan memberikan nomor telepon untuk koordinasi. Selanjutnya rombongan mengantar surat untuk Bupati, Dandim, Uskup Merauke dan Ketua DPRD.

Sekitar pukul 11.00 sekelompok warga dari marga Buti berdemonstrasi tolak RDP MRP di kantor Bupati Merauke. Massa meminta agar otsus dilanjutkan dan mekarkan Provinsi Papua Selatan.

Enam jam berikutnya, Fatubun cs memutuskan membatalkan RDP karena situasi tak kondusif dan mereka dalam pantauan kepolisian. Pukul 22.00, anggota polisi datang ke hotel dengan membawa senjata laras panjang.

Pada 17 November, pukul 08.00, seorang pria berbaju merah dan bukan penghuni hotel, duduk di depan hotel. Tim curiga orang itu ialah aparat intelijen .

Dia berdiam sekitar 30 menit dan lalu pergi. Satu jam berikutnya, ada dua orang yang diduga sebagai intelijen kepolisian, menyambangi penginapan. Mereka menanyakan ke pihak hotel mengenai jumlah kamar dan penghuninya. Lantas mereka angkat kaki.

Pukul 10.00, Fatubun sedang duduk di depan hotel, tiba-tiba Kapolres Merauke bersama anak buahnya datang. Beberapa polisi membawa senjata laras panjang. Mereka menggeledah hotel dan kamar tim. Lantas menangkap dan memborgol Fatubun.

“Sebelum menangkap saya, Kapolres bertanya asal, pekerjaan, (serta) kepentingan saya di Merauke. Mereka minta KTP saya,” jelas dia.

Kemudian Fatubun dimasukkan ke mobil Dalmas, sementara barang bawaannya dijadikan barang bukti.

“Di mobil Dalmas, saya melihat Koordinator Tim RDP MRP, dua staf MRP dan seorang peserta diborgol seperti saya,” imbuh Fatubun. Ia dan rekan-rekannya diinterogasi dan dibebaskan pada 18 November, sekira pukul 16.45.

Kapolres Merauke AKBP Untung Sangaji menduga pertemuan MRP di Merauke membahas referendum atau kemerdekaan Papua. Ia berdalih ada temuan buku berisi dasar negara-negara republik Federasi Papua Barat (west Papua).

“Itu yang saya tidak suka, sehingga belum terjadi apa-apa, saya sudah gerak duluan,” kata Sangaji, melansir Jubi, media asal Papua.

Terkait tindakan represif memborgol anggota dan staf MRP, Sangai mengklaim demi menjaga keamanan. Setelah sampai polres, borgol dilepas. “Kita juga mengantisipasi jangan sampai ada yang membawa pisau,” ujar dia.(*)

Sumber: tirto.id

 

Read More