Categories Berita

Wakil Ketua I MRP: Revisi UU Otsus Papua Melukai Hati Rakyat Papua

Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua Yoel Luiz Mulait – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP), Yoel Luiz Mulait mengatakan, revisi UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua Nomor 2 Tahun 2021 melukai hati rakyat Papua.

Menurut Yoel, rakyat Papua sama sekali tidak dilibatkan dalam pembahasan revisi undang-undang tersebut.

“Kami melihat pemerintah menggampangkan persoalan Papua. Tidak melihat persoalan yang mengakar, misal ada kajian LIPI, mestinya bisa jadi rujukan bagi pemerintah dalam menyelesaikan masalah dengan baik. Kami merasa proses yang berjalan sangat melukai hati dan perasaan orang Papua,” kata Yoel dalam konferensi pers secara daring, Rabu (23/2/2022).

Padahal, Pasal 77 UU Otsus Papua Nomor 21 Tahun 2001 menyatakan, perubahan atas undang-undang dapat diajukan rakyat Papua melalui MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) kepada DPR atau pemerintah.

Karena itu, MRP pun mengajukan gugatan terhadap UU Otsus Papua Nomor 2 Tahun 2021 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu tercatat sebagai perkara nomor 47/PUU-XIX/2021.

Yoel menegaskan, gugatan ke MK merupakan upaya konstitusional yang ditempuh MRP demi meraih keadilan.

“Kami ingin secara bermartabat menguji konstitusi. Kami tahu sembilan hakim MK adalah negarawan, bagaimana (menjaga) keutuhan NKRI. Kami berharap melalui majelis hakim MK bisa memberikan putusan yang berkeadilan bagi rakyat Papua,” ucapnya.

Yoel berpendapat, revisi UU Otsus Papua dilakukan secara terburu-buru tanpa melihat akar masalah yang sebenarnya terjadi di Papua.

Ia mengatakan, Otsus Papua tidak memberikan banyak perubahan bagi masyarakat lokal. Menurut Yoel, selama ini tidak ada kekhususan yang dirasakan di Papua.

“Kami berharap melalui pelaksanaan otsus ada suatu perubahan baik bagi rakyat Papua, tapi kenyataan yang terjadi dalam pelaksanaannya tidak ada hal yang baru. Tidak ada kekhususan di tanah Papua,” ujar dia.(*)

Sumber: https://nasional.kompas.com/

Read More
Categories Berita

Mentransformasi Konflik Politik Bersenjata menjadi Gerakan Politik Berpartai di Papua

Sidang Perdana diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) – HUMAS MKRI

JAYAPURA, MRP – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (22/2/2022) siang. Permohonan perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi Pemohon.

Otto Nur Abdullah dalam kapasitasnya sebagai Ahli yang dihadirkan MRP (Pemohon) berpandangan bahwa Papua adalah daerah konflik vertikal pasca penentuan pendapat rakyat pada 1969. Ada juga yang mengatakan konflik vertikal ini sejak 1962.

“Namun demikian, yang pasti rentang waktu konflik di Papua ini sudah sangat panjang. Bahkan jauh lebih panjang dari konflik Aceh. Sekarang Papua bisa kita katakan sudah masuk generasi ketiga,” jelas Otto kepada Pleno Hakim MK yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.

Partai Politik Lokal

Dalam situasi konflik vertikal yang berkelanjutan, lanjut Otto, secara teoritis sulit dihentikan dengan segera dan seketika. Konflik vertikal itu harus ditransformasi dulu karena sudah terlampau lama, untuk dieskalasi konflik bersenjata yang sekaligus berkenaan dengan peningkatan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, UUD NRI Tahun 1945 dan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam Pancasila.

“Pendekatan transformasi konflik ini dilakukan di Aceh. Namun sebelum tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menempuh jalur informal dengan mengirim utusan Mensesneg saat itu, untuk bertemu dengan Panglima GAM,” jelas Otto.

Sedangkan di Papua, kata Otto, kesadaran transformasi konflik muncul sejak diberikan status Otonomi Khusus Papua. Salah satu bentuk kesadaran transformasi konflik adalah dengan pemberian payung hukum bagi partai lokal dalam UU No. 21 Tahun 2001. Hal ini bertujuan untuk mentransformasi dari konflik politik bersenjata menjadi gerakan politik berpartai. Selain itu, partai lokal dalam perspektif teori resolusi konflik, dapat menjadi wadah untuk membentuk kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan bernegosiasi, kompromi serta mengedepankan rasa keadilan.

Hal positif lainnya, sambung Otto, sebagaimana terjadi di Aceh, partai politik lokal merupakan media yang lebih mudah diakses oleh warga Aceh dalam menyalurkan aspirasi politiknya dan dengan tanpa rasa curiga sebagai politik pusat. Di samping itu, parlemen lokal di satu pihak menjadi arena kontestasi dan di lain pihak menjadi arena kolaborasi antara partai nasional dan partai lokal dalam memperjuangkan aspirasi daerah ke tingkat nasional.

Sejarah Pembentukan Provinsi Papua

Pada kesempatan kali ini, MRP juga menghadirkan saksi M. Musa’ad yang menjelaskan pembentukan Provinsi Papua berdasarkan UU No. 1 PNPS/1962 tentang Pembentukan Provinsi Irian Barat Bentuk Baru, UU No. 12/2009 tentang Pembentukan Provinsi Otonomi Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonomi di Provinsi Irian Barat. Selanjutnya nama Irian Barat diganti dengan Irian Jaya berdasarkan PP No. 5 Tahun 1973.

“Kemudian berdasarkan aspirasi masyarakat Papua, nama Irian Jaya diganti menjadi Papua yang dituangkan dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya No. 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya menjadi Papua dan secara resmi nama Papua dipakai sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua,” urai Musa’ad.

Dalam kurun waktu yang panjang, penyelenggaraan pemerintahan di daerah Otonomi Provinsi Irian Barat hingga Provinsi Irian Jaya tidak dapat berjalan sebagaimana suatu daerah otonom yang diberikan kebebasan dan keleluasaan untuk mengatur dan mengurus rumahtangga sendiri untuk mengembangkan aspirasi dan prakarsa daerah, tidak ada kebebasan dan kemandirian menjalankan kewenangan. Kebijakan sentralistik telah lama dipraktikkan di Provinsi Irian Barat sampai Provinsi Irian Jaya. Hal ini telah menimbulkan konflik yang mengarah pada terjadinya disintegrasi bangsa.

Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) tercatat sebagai Pemohon Nomor 47/PUU-XIX/2021.

Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).  Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.

Timotius Murib mengajukan permohonan tersebut karena setelah mencermati perubahan UU Otsus Papua, terdapat klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

“Kemudian, penghapusan norma Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) tentang Penghapusan Pembentukan Partai Politik serta perubahan frasa ‘wajib’ menjadi ‘dapat’ pada norma Pasal 68 ayat (3) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2001, perubahan ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tambah Timotius.

Selain itu, Timotius menyebut dipertahankannya norma Pasal 77 UU Otsus Papua menjadikan pasal tersebut multitafsir. Pasal tersebut mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait pasal tersebut, ia mengungkapkan bahwa perubahan beberapa pasal atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah murni hasil inisiatif pihak pemerintah pusat, bukan usul dari rakyat Papua. (*)

Read More

Categories Berita

MRP Sebut Pemekaran wilayah tidak bermanfaat bagi Orang Asli Papua

Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) di Kotaraja Luar, Abepura – Ist

SENTANI, MRP – Anggota Kelompok Kerja Perempuan, Majelis Rakyat Papua, Sarah Ita Wahla menyatakan pemekaran wilayah di Papua tidak bermanfaat bagi Orang Asli Papua.

Wahla menyatakan berbagai pemekaran wilayah di Papua tidak memberi dampak positif bagi Orang Asli Papua, sehingga ia menolak rencana pemekaran Provinsi Papua. Hal itu dinyatakan Wahla di Sentani, Kamis (3/2/2021).

Wahla menuturkan, dirinya berasal dari Kabupaten Yahukimo, sebuah kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya. Kini, Kabupaten Yahukimo telah terbagi dalam 51 distrik dan 518 kampung, namun Wahla menyatakan Orang Asli Papua tidak merasakan manfaat pemekaran.

“Saya punya kabupaten di Yahukimo, itu ada 51 distrik. Orang Yahukimo bilang, ‘kami tidak perlu pemekaran’,” kata Wahla dalam sesi tanya jawab Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota MRP yang berlangsung di Sentani, Kamis.

Wahla mempertanyakan rencana pemerintah pusat memekarkan Provinsi Papua.

“Pemekaran untuk siapa? Masyarakat [asli Papua] lari di gunung, di lereng. Otonomi Khusus yang khusus untuk perempuan saja kami tidak tahu [seperti apa]. Jadi, stop sudah dengan bicara pemekaran Papua. Saya ini mewakili perempuan Papua yang bicara,” jelasnya.

Wahla berharap rencana pemerintah pusat memekarkan Provinsi Papua menjadi beberapa provinsi baru tidak akan menimbulkan konflik baru di Papua. Ia juga mengkhawatirkan dampak pemekaran terhadap Orang Asli Papua, karena berbagai kabupaten hasil pemekaran saat ini justru memanas akibat konflik bersenjata di sana.

“Tidak usah ada pemekaran di daerah pegunungan [Papua], karena nanti ujung-ujungnya merusak orang-orang yang ada di sana saja. Tidak akan ada kesejahteraan pada pemekaran itu nanti,” ucap Wahla.

Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib juga mengkritik banyaknya mantan bupati yang pergi ke Jakarta untuk meminta pemerintah pusat membentuk Daerah Otonom Baru di Papua.

Ia mengingatkan setiap pemekaran dan pembentukan Daerah Otonom Baru seharusnya dipertimbangkan masak-masak oleh Gubernur Papua, DPR Papua, dan MRP.

“Bupati, setelah [menjabat selama] dua periode, dia akan turun [dan] kembali jadi rakyat biasa. Di saat menganggur, [dia] pergi ke Jakarta, minta pemekaran. Pemekaran itu [seharusnya] melalui mekanisme rekomendasi Gubernur, DPR Papua, dan pertimbangan dari MRP. Ketiga mekanisme itu tidak dilalui, serta merta minta pemekaran,” kata Murib. Murib mempertanyakan mengapa pemerintah pusat malah merespon permintaan pemekaran yang diajukan mantan bupati. “Yang konyo itu,” jelasnya. (*)

Sumber: Jubi.co.id

Read More
Categories Berita

MRP Tolak Wacana Pemekaran Provinsi

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA,MRP – Wacana pemekaran tiga provinsi di Provinsi Papua yaitu Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah, menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Banyak yang merespon mendukung pemekaran tersebut, namun tak sedikit pula yang menyatakan menolak. Salah satunya datang dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan tegas menyatakan tidak menginginkan adanya pemekaran sebelum ada aspirasi dari warga orang asli Papua.

Ketua MRP Timotius Murib mengatakan, mengacu pada Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dimana syarat sebuah pemekaran adanya rekomendasi dari gubernur, MRP dan DPRP. Namun setelah dilakukan perubahan hingga akhirnya ditetapkan Undang-Undang RI nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dalam perubahan  ini, kewenangan tersebut disederhanakan, kemudian menjadi tanpa rekomendasi MRP.

“Sesuai dengan kewenangan pemerintah pusat, dapat dimekarkan menjadi satu landasan hukum untuk mulai melakukan pemekaran beberapa provinsi. Namun, kami menolak itu. Mekanisme yang digunakan untuk pemekaran tidak memberikan pertolongan atau manfaat bagi OAP. Karena seharusnya pemerintah pusat membicarakan terlebih dahulu regulasi aturan atau UU yang berpihak kepada OAP selaku warga  yang ada di Papua,” ungkapnya, Senin (17/1).

Seharusnya menurut Timotius Murib, pemerintah pusat sebaiknya menunggu uji materil yang dilakukan oleh MRP. Dimana setelah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi, barulah berbicara Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

“Pemekaran itu baik tetapi dalam situasi perubahan UU yang tidak menentu, kemudian  perubahan yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat OAP, sehingga wacana tentang pemekaran Provinsi Papua ditolak oleh MRP,” tegasnya.

Timotius Murib menegaskan, kalaupun nanti pemekaran itu dipaksakan, justru merugikan warga Papua itu sendiri. “Jika dipaksakan kerugian akan sangat besar dirasakan warga Papua,” tegasnya.

Kerugian yang dimaksudkan Timotius Murib yaitu banyaknya kewenangan yang tidak dilaksanakan. Dirinya mencontohkan, ada 26 kewenangan yang diberikan dalam Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2001. Namun hingga saat ini menurutnya, baru 4 kewenangan yang dilaksanakan.

“Di sisi lain orang Papua menginginkan merdeka bukan Otsus. Pemerintah pusat justru menawarkan Otsus supaya membangun warga Papua sesuai dengan apa yang dikehendaki. Tetapi kemudian 20 tahun implementasi Otsus, hanya ada 4 kewenangan yang dilaksanakan ini akan membuat aspirasai  yang disampaikan rakyat Papua untuk lepas dari NKRI itu akan ada terus,” tuturnya.

Lanjutnya, pemerintah pusat harus berpikir supaya 26 kewenangan dalam Otsus harus dilaksanakan dan harus dituangkan dalam perubahan UU yang baru. Sehingga 26 kewenangan itu ada kepastian hukum untuk dilaksanakan barulah pemekaran itu bisa jalan.

“Pemekaran itu tetap dilaksanakan tapi kalau regulasi tidak memihak ke rakyat papua itu mengakibatkan kerugian yang timbul  daripada pemaksaan kehendak Jakarta,” ucapnya. (*)

Sumber: Cepos

Read More