Categories BeritaSiaran Pers

Presiden PKS Akan Perjuangkan Usul MRP Tunda DOB

Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua melanjutkan road show menemui pimpinan partai politik nasional. Akhir pekan ini MRP menemui Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu di Kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS, Jakarta, Sabtu siang (23/4/2022). – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua melanjutkan road show menemui pimpinan partai politik nasional. Akhir pekan ini MRP menemui Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu di Kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS, Jakarta, Sabtu siang (23/4/2022).

Ahmad menyambut positif kunjungan MRP dan berkomitmen untuk memperjuangkan aspirasi MRP melalui Fraksi PKS di DPR RI, khususnya Komisi II yang bermitra dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI.

“Aspirasi MRP terkait amandemen kedua UU Otonomi Khusus sudah kami tangkap baik. Kami juga mencermati, seringkali proses perundang-undangan berjalan terlalu cepat. Sehingga banyak hal terlewati, termasuk RUU DOB yang menimbulkan polemik,” kata Ahmad yang mengenakan batik bercorak Papua.

“Kami menerima aspirasi MRP dan meminta Fraksi PKS untuk memperjuangkan aspirasi MRP di DPR RI. Saya akan meminta fraksi PKS di DPR RI khususnya di Komisi II agar mengawasi undang-undang’ini, termasuk memperjuangkan aspirasi MRP. Untuk Papua, perlu kearifan lokal,” katanya.

Menurut Timotius, MRP berharap sekali agar pemerintah pusat dan DPR RI mendengar aspirasi masyarakat orang asli Papua.

“Proses pengesahan perubahan kedua UU Otonomi Khusus pada Juli 2021 lalu tidak melibatkan representasi orang asli Papua. Sekarang ada Daerah Otonomi Baru, juga tanpa melibatkan representasi orang asli Papua. Ini sangat disayangkan,” katanya kepada segenap pengurus pusat PKS.

Ahmad didampingi oleh anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera menambahkan dan Wakil Sekretaris Jenderal PKS Soegeng Susilo

“Sudah diketuk oleh paripurna. Tapi RUU ini masih menunggu surat presiden. Selama itu belum ada, maka RUU ini belum bisa berjalan ke tingkat Panitia Kerja. Apa pun, kami akan selalu merujuk pertimbangan dari MRP. Saya sampaikan ke pimpinan Komisi II yang memang belum bertemu banyak pihak,” kata Mardani.

Selain Timotius, pimpinan MRP yang hadir antara lain Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait, dan Ketua Panitia Musyawarah MRP Benny Sweny. Hadir pula sejumlah staff ahli dan staff khusus MRP Onias Wenda, Andreas Goo, mantan anggota Tim Perumus UU Otsus 21/2001 Joram Wambrauw.

Benny menyesalkan pembentukan DOB yang terburu-buru dan tanpa diikutin oleh kajian.

“UU Otsus setidaknya memberi empat syarat yaitu kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, potensi pendapatan daerah, dan perkembangan sosial di masyarakat,” katanya.

Sementara itu Yoel menambahkan bahwa pemekaran sebagai solusi untuk meredam Papua Merdeka itu keliru. Malah bisa jadi boomerang bagi pemerintah pusat. “Kami mohon pimpinan partai politik memberikan rasa keadilan untuk Papua,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, akademisi senior Joram Wambrauw mengatakan jika RUU ini dipaksakan, maka orang Papua akan semakin merasa dihinakan. “Saya dulu tinggal 10 bulan di Jakarta untuk ikut serta dalam proses perumusan UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus. Pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi itu bukan seperti sekarang ini caranya, tapi wajib mendapat persetujuan MRP,” katanya.

Seperti diberitakan, MRP melalukan road show menemui pimpinan partai politik di Jakarta. Selain PKS, mereka juga menemui pimpinan Partai Gerindra, PPP, Golkar, PAN, dan lainnya. Mereka juga tengah berupaya untuk bertemu dengan pimpinan PDIP, Partai Demokrat, dan Partai Nasional Demokrat. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories Berita

MRP: Masyarakat Asli Papua Tetap Menolak Pemekaran di Papua

Ketua MRP, Timotius Murib saat berbicara dalam Media Briefing Rencana Pemekaran Wilayah, “Langkah Mundur Demokrasi di Tanah Papua” yang diselenggarakan Public Virtue Institute secara daring pada Kamis (14/04/2022). – Tangkapan Layar Youtube/Public Virtue Institute

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP menyatakan hingga kini mayoritas masyarakat asli Papua di 29 kabupaten/kota Provinsi Papua tetap menolak rencana pemekaran Papua. Hal itu terlihat dari gencarnya demonstrasi menolak pemekaran yang terus dilakukan masyarakat asli Papua di berbagai daerah.

Hal itu disampaikan Ketua MRP, Timotius Murib dalam acara Media Briefing Rencana Pemekaran Wilayah, “Langkah Mundur Demokrasi di Tanah Papua” yang diselenggarakan Public Virtue Institute secara daring pada Kamis (14/04/2022).

Murib menyatakan rencana pemekaran Papua itu ditolak banyak pihak, karena dibuat tanpa usulan dan pertimbangan MRP, DPR Papua, maupun Gubernur Papua.

Menurut Murib, pemekaran Papua yang diwacanakan pemerintah pusat sejak lama, namun pemerintah pusat tidak pernah berupaya memenuhi ketentuan Pasal 76 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama).

“Mekanisme ini tidak dilalui maupun ditempuh,” ujarnya.

Pemerintah pusat bersama DPR RI kemudian membuat Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) yang memberi wewenang bagi pemerintah dan DPR RI memekarkan Provinsi Papua.

Pada 12 April 2022, rapat paripurna DPR RI menyetujui tiga Rancangan Undang-undang terkait pemekaran Papua sebagai inisiatif DPR. Ketiga RUU inisiatif DPR itu RUU tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tenga,h dan Provinsi Pegunungan Tengah. Apabila nantinya RUU ini disahkan DPR menjadi UU maka akan ada 5 provinsi di Tanah Papua.

Murib menyatakan selama 20 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus Papua, MRP tidak pernah mengeluarkan rekomendasi pemekaran Papua. Ia meminta pemerintah pusat menunda rencana pemekaran Papua, karena daerah yang masuk dalam rencana pemekaran belum layak dijadikan Daerah Otonom Baru.

Menurut Murib, berbagai daerah itu tidak layak dimekarkan karena memiliki masalah yang kompleks, seperti masalah fasilitas yang tidak memadai, konflik antar suku, dan konflik bersenjata.

Ia menyatakan pemerintah pusat seharusnya terlebih dahulu menyelesaikan berbagai masalah tersebut sebelum memekarkan Papua.

“Jadi pemekaran di pending dulu. Mayoritas masyarakat akar rumput menolak pemekaran,” katanya.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan rencana pemekaran Papua yang dipaksakan Jakarta menegaskan adanya upaya pemusatan kembali kendali pemerintahan kepada pemerintahan pusat.

Menurut Usman, upaya itu sudah terlihat dari sejumlah undang-undang yang baru disahkan, misalnya dalam UU Cipta Kerja.

“Secara umum dalam izin usaha, banyak sekali perizinan usaha yang tidak bisa melalui daerah tetapi harus melalui pusat. Padahal dulu dimaksud untuk meredistribusi kesejahteraan maupun meredistribusi pendapatan daerah,” ujarnya. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

MRP Geram Pemerintah-DPR Bentuk 3 Provinsi Baru di Papua

 

Timotius Murib (Ketua), saat memberikan keterangan pers di didampingi Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) geram dengan keputusan pemerintah dan DPR bakal membentuk tiga provinsi baru, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah.

Ketua MRP Papua Timotius Murib mengatakan DPR dan pemerintah telah mencederai semangat otonomi khusus untuk Papua. Timotius pun mendesak rencana itu dibatalkan atau setidaknya ditunda sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi UU Otsus.

“Tidak ada dengar pendapat yang memadai, tiba-tiba DPR menyetujui tiga buah RUU. Ini mencederai semangat otonomi khusus,” kata Timotius dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/4).

Timotius menyebut pemerintah maupun DPR seharusnya cermat dan tak buru-buru memutuskan pemekaran Papua. Menurutnya, dampak kebijakan ini bakal melepas sebagian besar wilayah kultural MRP dan wilayah pemerintahan provinsi Papua.

Timotius mengatakan pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyejahterakan Papua dan mengevaluasi otonomi khusus salah diterjemahkan oleh segelintir menteri dengan cara membentuk provinsi baru berdasarkan UU Otsus baru yang bermasalah.

Menurutnya, RUU pembentukan tiga provinsi baru itu mengabaikan aturan yang tertuang dalam Pasal 77 Undang-undang 21/2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua yang mewajibkan konsultasi dengan rakyat Papua. Dalam otsus, pemekaran wilayah wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP.

“Dulu pada 2003 Papua dimekarkan menjadi dua tanpa didahului dengan pembentukan MRP. Sekarang Papua menjadi lima provinsi. Ini kebijakan model apa? Sementara jika rakyat bersikap kritis, dituduh separatis, dilabel teroris. Pemekaran wilayah harus dibatalkan,” ujarnya.

Wakil Ketua I MRP, Yoel Luiz Mulait juga mengkritik keputusan tersebut. Menurutnya, pembentukan tiga provinsi baru tersebut jelas tidak cermat, cacat proses, tanpa partisipasi orang asli Papua (OAP) dan juga tanpa konsultasi dengan MRP yang merupakan lembaga representasi kultural OAP.

“Ini betul-betul mencederai semangat otonomi khusus. Pembuatan kebijakan sepihak sama sekali tidak mendidik publik,” kata Yoel.

Yoel mengatakan kebijakan ini justru mempertontonkan pengebirian otonomi dan hak asasi orang asli Papua, terutama untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang berdampak pada hidup mereka. Di sisi lain, RUU itu didasari pada UU 2/2021 yang materinya cacat substansial dan sedang diuji di MK.

“Pemekaran seharusnya ditunda sampai MK memutuskan,” ujarnya.

Rencana penambahan provinsi itu diatur dalam RUU tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah yang disahkan oleh Baleg DPR dalam rapat pleno pada Rabu (6/4). Nantinya sejumlah kabupaten bakal masuk ke dalam tiga provinsi baru tersebut.

Provinsi Papua Selatan akan diberi nama Anim Ha dengan ibu kota Merauke dan lingkup wilayah Kabupaten Merauke, Kabupaten Mappi, Kabupaten Asmat, serta Kabupaten Boven Digoel

Kemudian, Provinsi Papua Tengah bakal dinamakan Meepago dengan ibu kota Timika dan lingkup wilayah Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Deyiai, Kabupaten Intan Jaya, serta Kabupaten Puncak.

Sementara itu, Provinsi Papua Pegunungan Tengah akan diberi nama Lapago dengan ibu kota Wamena dan lingkup wilayah Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Nduga, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Yahukimo, serta Kabupaten Yalimo. (*)

Sumber: CNN

Read More
Categories Berita

Baleg DPR Setujui 3 Provinsi Baru di Papua, MRP: Menciderai Otsus!

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Dok

JAYAPURA, MRP – Pemerintah pusat dan DPR RI kembali dinilai menciderai semangat otonomi khusus untuk Papua karena menyetujui pembuatan tiga provinsi baru di Papua.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib mengatakan keputusan itu tidak tepat karena uji materi atau judicial review terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus masih disidangkan di Mahkamah Konstitusi.

“Persetujuan pembentukan tiga provinsi baru Papua itu bagaikan petir di siang bolong. Tidak ada dengar pendapat yang memadai, tiba-tiba DPR menyetujui tiga buah RUU. Ini menciderai semangat otonomi khusus,” kata Timotius, Jumat (8/4/2022).

Dia menilai, seharusnya Badan Legislasi DPR cermat dan tidak terburu-buru dalam memutuskan pemekaran Papua.

Menurutnya dampak kebijakan ini telah melepaskan sebagian besar wilayah kultural MRP dan wilayah pemerintahan provinsi Papua yang dipangkas besar-besaran.

Timotius melanjutkan, pesan presiden untuk menyejahterakan Papua dan mengevaluasi otonomi khusus sayangnya diterjemahkan oleh segelintir menteri dengan cara membentuk provinsi baru berdasarkan UU Otsus baru yang bermasalah.

UU ini mengabaikan aturan yang ditetapkan oleh Pasal 77 UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua yang mewajibkan adanya konsultasi dengan rakyat Papua.

“Dalam Otonomi Khusus, pemekaran wilayah wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP. Dulu pada 2003 Papua dimekarkan menjadi dua tanpa didahului dengan pembentukan MRP. Sekarang Papua menjadi lima provinsi. Ini kebijakan model apa? Sementara jika rakyat bersikap kritis, dituduh separatis, dilabel teroris. Pemekaran wilayah harus dibatalkan,” tutup Timotius.

Diketahui, Indonesia akan memiliki tiga provinsi baru yang berada di ujung timur. Oleh karena itu, nantinya akan ada sebanyak 37 provinsi di tanah air.

Regulasi rencana penambahan provinsi telah dimuat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

RUU ini sudah disahkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada rapat pleno yang dilaksanakan hari Rabu (6/4/2022). Seluruh fraksi dalam rapat pleno itu sepakat dengan RUU tentang tiga provinsi tersebut. (*)

Sumber: Suara.com

Read More
Categories Berita

MRP: Belum Ada Kajian Akademis Papua Butuh Pemekaran

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Thimotius Murib mengungkapkan bahwa pemerintah Republik Indonesia,  DPR RI untuk tidak melakukan pemekaran wilayah Provinsi Papua secara sepihak. Sebab, menurutnya, sampai saat ini  belum ada kajian akademik yang mengatakan bahwa Papua membutuhkan pemekaran atau pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB).

Murib mengatakan, melihat aksi penolakan dari masyarakat akar rumput di beberapa kabupaten terkait revisi undang-undang otonomi khusus tahun 2001 dan penolakan daerah otonomi baru sehingga pada prinsipnya MRP menolak pemekaran.

MRP menilai untuk melakukan pemekaran kampung distrik kabupaten dan provinsi itu baik, namun menurutnya di era Presiden Jokowi ini ada moratorium, maka soal Pemekaran harus di tahan dulu.

“Untuk wilayah Papua saat ini di era Joko Widodo diketahui bahwa masih moratorium,  sementara untuk indikator yang menjadi acuan dilakukannya pemekaran provinsi belum ada sama sekali, baik dari kajian akademis maupun dampak positif di masyarakat, maka kami MRP menolak pemekaran saat ini,” katanya, Selasa (29/3).

Dikatakan, dengan adanya Provinsi Papua Barat dan Papua saat ini, MRP lebih menyarankan untuk bagaimana melakukan penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan secara baik dan benar lebih dulu, ketimbang memikirkan pemekaran. “Menurut kami, pemekaran ini akan membawa beban baru dengan posisi masyarakat Papua yang jumlah penduduknya sedikit,” katanya. “Pemekaran provinsi kapanpun dilakukan bisa sja, tapi untuk saat ini belum, maka kami MRP menolak,”tandasnya.

Sementara itu terkait reaksi beberapa masyarakat yang mengatakan bahwa perlu adanya pemekaran untuk meningkatkan  kesejahteraan masyarakat Papua, Ketua MRP Thimotius Murib ini menilai hal itu keliru. Sebab, pemekaran  belum dibutuhkan masyarakat saat ini. Hal ini  terbukti daerah menolak dengan jumlah penduduk yang masih sedikit,  jumlah SDM yang menurut pemerintah pusat dan rendah seluruh Indonesia dan juga tingkat kemiskinan tertinggi di  seluruh Indonesia.

“Prinsipnya baik, tapi untuk Papua dan Papua Barat yang terjadi di Pemerintah kabupaten/kota aturannya dibenahi dulu terkait aturan,  seperti diberlakukannya undang-undang otonomi khusus dan undang-undang otonomi daerah ini yang perlu di bahas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah karena konsekuen. Dua  UU ini tidak terlalu nampak di masyarakat dan orang Papua kehidupannya belum lebih baik.”tuturnya.

“Jadi  lebih baik kita memperbaiki pola kerja tata kelola pemerintahan yang baik komitmen kepala daerah untuk membangun daerahnya dan peningkatan ekonomi kreatif, sumber daya alam yang dikelola secara mandiri dan juga pengembangan sumber daya manusia yang lebih baik barulah  selanjutnya kita berbicara terkait pemekaran,” pungkasnya. (*)

Sumber: Cepos

Read More
Categories Berita

MRP Minta Jakarta Tunda Pemekaran Provinsi Papua

Timotius Murib, Ketua MRP (tenggah) di dampingi Yoel Luiz Muliat Waket I MRP dan Debora Mote Waket II MRP saat memberikan keterangan pers, Rabu (9/3/2022) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP meminta pemerintah pusat dan DPR RI tidak memaksakan kehendak untuk memekarkan Provinsi Papua. Pemerintah dan DPR RI semestinya mendengar aspirasi masyarakat, dan bukan mengikuti kemauan elit politik yang punya kepentingan tertentu. Pemerintah seharusnya juga lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan di daerah yang memiliki Otonomi Khusus seperti Papua, termasuk dalam hal pemekaran dan pembentukan Daerah Otonom Baru.

Hal itu disampaikan Ketua MRP, Timotius Murib untuk menanggapi rencana pemerintah pusat dan DPR RI untuk memekarkan Provinsi Papua dan membentuk sejumlah provinsi baru di Papua. Murib menegaskan Papua dan Nangroe Aceh Darussalam adalah dua provinsi yang diberi Otonomi Khusus (Otsus) karena rakyatnya pernah menyatakan ingin merdeka dari Indonesia.

Seharusnya, pemerintah berhati-hati dalam merumuskan kebijakan—termasuk rencana pemekaran dan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB)—di daerah yang memiliki Otsus. “Papua dan Aceh itu daerah khusus, presiden seharusnya merawat daerah khusus. Papua dan Aceh berstatus khusus, karena ada perjuangan rakyat itu sendiri,” kata Murib saat menjawab pertanyaan Jubi pada Kamis (10/3/2022).

Sayangnya, menurut Murib Jakarta melakukan evaluasi implementasi Otsus Papua dan revisi atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama) secara sepihak. Pengundangan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) juga dinilai bermasalah, karena dibahas secara sepihak, dan mengurangi substansi kewenangan Otsus Papua dalam UU Otsus Papua yang lama.

Murib menyatakan UU Otsus Papua Baru itu adalah menghapuskan kewenangan MRP dan DPR Papua untuk menolak atau menyetujui rencana pemekaran provinsi. Pasal 76 UU Otsus Papua Lama menyatakan “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.”

Dengan UU Otsus Papua Baru, pemerintah pusat dan DPR RI bisa memekarkan Provinsi Papua tanpa membutuhkan persetujuan MRP atau DPR Papua.

Murib menyatakan UU Otsus Papua yang baru membuat pemerintah pusat dan DPR RI bisa melaksanakan kehendaknya tanpa persetujuan lembaga resmi di Papua. Hal itu membuat Otsus Papua “kehilangan rohnya”, karena MRP dan DPR Papua tidak lagi berwenang menyampaikan dan meneruskan aspirasi rakyat Papua.

Saat ini pun DPR RI telah menyusun Naskah Akademik untuk membuat undang-undang pemekaran Provinsi Papua. Murib mengingatkan rencana pembentukan provinsi baru di Wilayah Adat Lapago dan Meepago telah mendapatkan penolakan keras dari ribuan warga yang berunjuk rasa di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, dan Nabire, ibu kota Kabupaten Nabire beberapa hari yang lalu.

Murib menyebut unjuk rasa rakyat Papua untuk menolak pemekaran Provinsi Papua telah terjadi di berbagai wilayah Papua dan luar Papua. Menurutnya, Orang Asli Papua menilai rencana pemekaran Provinsi Papua itu ganjil, karena pemerintah sendiri sedang memoratorium pemekaran wilayah dan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB).

“Negara masih melakukan moratorium [pemekaran wilayah]. Negara sendiri melakukan moratorium. Akan tetapi, [kenapa rencana pemekaran] untuk Papua dipaksanakan? Dasarnya apa? Latar belakangnya apa?” Murib bertanya.

Meskipun UU Otsus Papua Baru telah membuat MRP tidak lagi berwenang untuk menolak atau menyetujui pemekaran provinsi, Murib menyatakan MRP akan tetap menyampaikan dan meneruskan aspirasi rakyat Papua.

Murib menyatakan MRP meminta pemerintah tidak melanjutkan rencana pemekaran Provinsi Papua, karena rencana itu telah menimbulkan banyak protes. Murib menyatakan pemerintah pusat dan DPR RI harus mempertimbangkan masalah waktu dan kesiapan rakyat Papua atas rencana pemekaran provinsi itu. Ia menyatakan saat ini bukanlah saat yang tepat untuk memekarkan Provinsi Papua.

“Apakah Jakarta bisa menerima atau tidak [penyampaikan MRP], karena kewenangan MRP dipangkas habis. Akan tetapi,  rakyat yang berdemonstrasi berhadap-hadapan dengan kekuatan besar, sehingga MRP wajib menyampaikan pendapat kepada pemerintah. Niat Jakarta untuk pemekaran itu perlu dipertibangkan dan ditolak. Pemekaran itu baik, tetapi belum saatnya, belum saatnya. [Kami minta] niat pemerintah pusat diurungkan dan di-pending,” kata Murib.

Sebelumnya, pada Kamis (10/3/2022), ribuan warga Wilayah Adat Lapago berunjuk rasa di Wamena untuk menolak rencana pembentukan provinsi baru di wilayah adat mereka. Mereka menyatakan rakyat Papua tidak membutuhkan pemekaran. Mereka menyatakan rakyat Papua lebih membutuhkan penyelesaian atas berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi sejak 1963, ketika Indonesia menduduki Papua.

“Kami membutuhkan penyelesaian [kasus pelanggaran] HAM bukan pemekaran. Pemekaran membawa orang Papua ke genosida. [Kami melihat dari pengalaman] pemekaran kabupaten [di Papua], [itu] saja telah [menimbulkan] banyak konflik,” kata Dano Tabuni saat membacakan pernyataan sikap dalam demonstrasi menolak DOB di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jayawijaya, Wamena. (*)

Sumber: Jubi

Read More
Categories Berita

MRP Sebut Agenda Pemekaran DOB di Papua Bukan Kehendak Masyarakat OAP

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat  Papua (MRP) sebagai lembaga culture orang asli Papua menyatakan,  rencana pemekaran Daerah Otonomo Baru (DOB) pada beberapa wilayah di Papua baik Provinsi maupun Kabupaten bukan kehendak dan aspirasi rakyat Papua tapi merupakan program paksaan elite jakarta dan beberapa elite lokal di Papua.

Pernyataan itu disampaikan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib kepada KBRN di Sentani, Kabupaten Jayapura, jumat (04/02/2022).

Murib menegaskan MRP maupun pemerintah provinsi Papua di bawa kepemimpinan guberenur Lukas Enembe dan DPR Papua sama sekali tidak menghendaki untuk adanya pemekaran provinsi maupun Kabupaten di Papua.

“Saya selaku ketua MRP jujur mau mengatakan bahwa tidak ada dokumen dari pemerintah provinsi (Papua) dan DPR Papua serta dokumen kajian ilmiah kelayakan pemekaran dari MRP yang  memberikan persetujuan pemekaran itu” Kata Timotius Murib.

Dengan demikian MRP menurut Timotius, sebagai lembaga culture orang asli Papua (OAP) dengan tegas menolak rencana pemekaran tersebut karena merasa belum siap terima pemekaran itu dan bukan kehendak Rakyat Papua.

“Alasannya hari ini kami tidak butuh pemekaran tapi perbaikan-perbaikan dulu regulasi kita, contoh undang-undang nomor 21 tentang otsus regulasinya diatur dulu, kami orang Papua belum siap pemekaran banyak-banyak itu” Tegas Murib.

Oleh karena itu, rencana pemekaran daerah otonom baru (DOB) yang hendak disiapkan pemerintah Pusat, Timotius Murib menyebut merupakan kebijakan sepihak pemerintah Pusat dan beberapa elit lokal Papua.

“Pemekaran Provinsi itu melalui rekomendasi Gubernur, DPR,  persetujuan dan pertimbangan dari Majelis Rakyat Papua, ini daerah otonomi khusus tidak bisa pakai hanya dengan  UU Otonomi Daerah” Tegas Murib

Yuliten Anouw, anggota MRP lainnya mengatakan dalam setiap kali kunjungannya kepada masyarakat di Papua tidak perna ada aspirasi tentang pemekaran yang disampaikan. Justru masyarakat  asli Papua, kata Anouw menolak pemekaran.

“Setiap kali kunjungan itu Orang asli Papua tidak perna minta pemekaran justeru menolak. Tapi ini diambil alih oleh jakarta dengan beberapa elite (Papua) yang rakus itu dengan jabatan. Sikap lembaga juga kami sudah tolak” Kata Yuliten Anouw, ketua dewan kehormatan MRP.

Anouw lebih menyarankan, pemerintah daerah di Papua  dan para pihak lainnya bersama-sama membenahi kebijakan-kebijakan tentang proteksi orang Asli Papu pada dua provinsi yang suda ada di Tanah Papua ini (Papua dan Papua Barat).

“Cukup saja dua (Provinsi) yang ada ini, sesuai dengan realita dua yang ada ini saja orang Papua  posisinya masih minim jumlah penduduk juga, justru pemekaran ini bukan diperuntukan orang Papua juga. Kita benahi dulu yang ada sekarang” Ujar anggota MRP dari wilayah Mepago itu. (*)

Sumber: RRI

Read More
Categories Berita

Elit Politik Papua Bertanggung Jawab Atas Rencana Jakarta Mekarkan Papua

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib menyatakan elit politik Orang Asli Papua turut bertanggung jawab atas rencana Jakarta memaksakan pemekaran Provinsi Papua. Hal itu dinyatakan Timotius Murib di Kota Jayapura, Selasa (15/3/2022).

“Hal itu harus dicatat oleh pemerintah pusat dan para elit di Papua. Pemekaran yang didesak itu kesalahannya ada di para elit politik Orang Asli Papua. Kalau orang Jakarta itu pihak kedua [saja]. Menurut pandangan MRP, itu [kesalahan] para elit politik, para Bupati,” kata Murib.

Murib menyatakan MRP sebagai lembaga representasi kultural Orang Asli Papua (OAP) tetap bersikap bahwa rencana pemekaran Provinsi Papua harus ditunda. Murib menyesalkan para elit politik di Papua yang terus datang ke Jakarta untuk meminta Provinsi Papua dimekarkan, karena mereka juga paham kalau Provinsi Papua belum layak dimekarkan.

“Pemekaran itu kunci-kuncinya seperti apa terhadap orang Papua, itu sebenarnya [mereka] pernah tahu. Tapi mereka paksa untuk minta pemekaran. MRP minta agar DOB ditunda, bukan dibatalkan, tapi ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan,” kata Murib.

Murib menyatakan pihaknya memiliki sejumlah alasan untuk terus meminta pemerintah pusat menunda rencana pemekaran Provinsi Papua.

“Penundaan itu maksudnya kita benahi dulu semua regulasi Otonomi Khusus yang ada. Kemudian [membenani] regulasi lain yang berbenturan dengan [kewenangan] Otonomi Khusus. Itu yang harus diperbaiki, dan semua pihak harus terlibat. Kalau sudah bagus, baru bicara pemekaran di kemudian hari, setelah kelayakan DOB dilakukan,” kata Murib.

Murib juga menanggapi pernyataan Forum Kepala Daerah Wilayah Tabi, yang meliputi Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, dan Kabupaten Mamberamo Raya.

Ia mengajak para bupati wilayah itu bersama-sama mengevaluasi mengapa pembentukan kabupaten hasil pemekaran terdahulu tidak membawa kesejahteraan bagi OAP.

“Saya pikir apa yang disampaikan oleh Bupati ini adalah aspirasi terdahulu [yang sempat] disampaikan masyarakat pro pemekaran. Sebagai bupati, dia harus tahu bahwa di kabupaten pemekaran yang [sudah] ada saja tidak memberikan manfaat yang baik kepada OAP. Kita bicara dulu regulasi Undang-undang Pemerintahan Daerah, baru kita bicara baik-baik [tentang] pemekaran,” kata Murib.

Murib menegaskan permintaan MRP kepada pemerintah pusat untuk menunda rencana pemekaran Provinsi Papua justru sejalan dengan moratorium pemekaran wilayah yang diberlakukan Presiden Joko Widodo di seluruh Indonesia. Jika ingin konsisten dengan kebijakan itu, demikian menurut Murib, seharusnya pemerintah pusat tidak memaksakan pemekaran Provinsi Papua.

Salah satu warga Kota Jayapura, Mama Erika menilai rencana pemekaran Provinsi Papua adalah kepentingan para elit. Erika menyatakan orang Papua memiliki pengalaman terhadap pemekaran wilayah terdahulu yang tidak terbukti berhasil menyejahterakan OAP.

Ia khawatir pemekaran provinsi hanya akan memperderas arus migrasi orang dari luar Papua.

“Kita punya anak-anak yang honorer saja belum diangkat, sampai sempat honorer ada demo. Jangan buka pemekaran, nanti orang dari Jakarta, Surabaya, Yogyakarta dan daerah lain yang datang kerja, dan kita hanya jadi penonton,” ujar Mama Erika. (*)

Sumber: Jubi

Read More