Categories Berita

MRP: Kalau Ada Gesekan Akibat Pengesahan DOB, DPR RI Harus Bertanggung Jawab

JAYAPURA, MRP — Majelis Rakyat Papua melihat DPR RI Komisi II terus tergesah-gesah terus mendorong agar pemekaran tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua cepat disahkan tanpa pertimbangan MRP, DPR Papua dan akar rumput rakyat Papua.

Dengan melihat sikap pimpinan dan anggota Komisi II DPR RI, Majelis Rakyat Papua mengingatkan pemerintah harus siap hadapi reaksi-reaksi sosial di akar rumput akibat dari pengesahan RUU DOB di Papua.

Hal tersebut di tegaskan Timotius Murib, saat menyampaikan pandangan terkait RUU pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) di Provinsi Papua, pada Rapat Dengar Pendapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Rabu, 22 Juni 2022.

Baca Juga:  Tiga Poin Kesimpulan Komite I DPD RI dari RDP 13 Juni 2022

“Terkait Pemekaran di Papua terjadi pro dan kontra saat ini, namun sesuai fakta di lapangan di beberapa wilayah di Papua kita tahu sendiri mayoritas rakyat Papua tegas menolak pemekaran DOB, dibanding mereka yang dukung,” kata Murib.

MRP sebagai lembaga kultural orang asli Papua minta komisi II DPR RI harus bijak merespon positif mencari solusi yang tepat situasi pro kontra yang sedang terjadi di masyarakat akar rumput.

“Bila kesepakatan ini dijalankan (disahkan), seketika terjadi konflik di Papua antara pro dan kontra, siapa yang akan bertanggungjawab? DPR RI dan Rakyat Papua harus buat pernyataan,” tegas Murib.

Majelis Rakyat Papua juga meminta komisi II DPR RI untuk menghargai proses yang di dorong MRP di Mahkamah Konstitusi.

“Pemekaran merupakan produk buruh-buruh akibat perubahan Otsus jilid 2 yang sepihak di lakukan oleh DPR RI, tanpa kajian ilmiah terkait pembentukan DOB,” kata Murib.

Sejauh ini, kata Murib, Majelis Rakyat Papua hingga saat ini masih bertahan agar perubahan kedua UU Otsus jilid 2 dan DOB harusnya sesuai mekanisme hukum yang ada di negara ini, sehingga pemerintah pusat harus menghargai proses hukum di Mahkamah Konstitusi.

“Proses DOB ini harus di pending sampai harus ada putusan Mahkamah Konstitusi,” harap Murib.

Yang terbaru, tim dari DPR RI telah melakukan pertemuan dengan berbagai pihak yang berkepentingan di Jayapura. Mereka yang diundang hadir adalah para bupati dari Meepago (Papua Tengah), La Pago (Pegunungan Tengah) dan Anim Ha (Papua Selatan). Juga beberapa pihak yang berkepentingan.

Komisi II DPR RI telah meminta para bupati di Meepago untuk menentukan ibu kota provinsi baru yang RUU Pembentukan Provinsi Papua Tengah, Papua Selatan dan Pegunungan Tengah  dalam wacananya akan disahkan menjadi UU pada akhir bulan Juni 2022.

Sementara, di tingkat masyarakat akar rumput terus menolak dan melakukan berbagai aksi penolakan pembentukan tiga provinsi baru di Provinsi Papua. (*)

Sumber: Suara Papua

Read More
Categories Berita

MRP Apresiasi Desakan DPD RI Minta Pemerintah Jelaskan Urgensi DOB Melalui Kajian Komprehensif

JAKARTA, MRP — Majelis Rakyat Papua (MRP) apresiasi sikap Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) agar pemerintah menjelaskan urgensi pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Provinsi Papua. DPD RI juga meminta pemerintah untuk melakukan kajian Yang lebih komprehensif terkait DOB di Papua.

Hal itu dikemukakan Ketua MRP Timotius Murib ketika menyampaikan pandangan MRP terkait RUU Pemekaran DOB di provinsi Papua dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), Senin (13/6/2022) di ruang rapat Sriwijaya Gedung B DPD RI.

“Kami sangat mengapresiasi sikap DPD RI yang dituangkan secara resmi dalam kesimpulan RDP. Kami berharap kesimpulan dan rekomendasi DPD dijadikan pertimbangan oleh pemerintah dan DPR RI,” kata Ketua MRP Timotius Murib, Selasa, (14/6/2022).

Dalam kesempatan tersebut, Timotius menyerahkan surat MRP berisi aspirasi orang asli Papua tentang DOB kepada pimpinan Komite I DPD RI, disaksikan oleh sejumlah anggota DPD RI, Asisten I Pemerintah Provinsi Papua Doren Wakerkwa, SH yang mewakili Gubernur Papua, dan pimpinan DPR Papua yang diwakili Ketua DPR Papua Jhon Rouw Banua, SE
dan Wakil Ketua III DPRP Yulianus Rumboirusi.

Setelah mendengarkan pandangan MRP, Komite I DPD menyatakan dapat memahami usulan Pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi sepanjang hal itu dilakukan sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua dan selaras dengan semangat otonomi khusus Papua untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua.

Namun demikian, Komite I DPD RI meminta Pemerintah dan DPR RI agar dalam hal pemekaran Papua hendaknya menghormati kewenangan Pemerintah Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua, dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua sesuai amanat Undang- Undang Otonomi Khusus Papua.

Selanjutnya Komite I DPD RI meminta Pemerintah dapat menjelaskan urgensi pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Tanah Papua dan melakukan kajian yang lebih komprehensif terhadap usulan pemekaran di Tanah Papua.

Timotius menjelaskan bahwa RUU Pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) di Provinsi Papua harus ditangguhkan karena memicu pro dan kontra yang sangat luas. Proses pembentukan DOB juga tidak melibatkan representasi rakyat Papua jelas menyalahi ketentuan Pasal 76 UU Otsus.

“Kebijakan Pemerintah pusat dan DPR RI menggunakan Pasal 76 ayat (2) untuk memekarkan Papua dengan tiga provinsi baru tidak selaras dengan spirit Otonomi Khusus.

Sementara itu, reaksi sosial masyarakat di Papua melalui unjuk rasa penolakan terus berlangsung di berbagai kota di Tanah Papua, seperti Kota Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Yahukimo, Dogiyai, Deiyai, Paniai, Nabire, Mimika, Biak Numfor, Kepulauan Yapen, Kota Sorong, Kabupaten Kaimana, dan Kabupaten Manokwari, bahkan di Yahukimo, pertengahan Maret lalu sejumlah demonstran mengalami luka-luka dan dua diantaranya meninggal dunia. Selain di Papua, aksi demonstrasi juga digelar di Jakarta, Kupang NTT, Ambon, Makassar, Bali, Surabaya, Malang, Semarang dan Yogyakarta.

MRP sendiri telah menerima aspirasi penolakan DOB yang dilakukan oleh berbagai kelompok, diantaranya Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih dan beberapa perguruan tinggi lainnya di Jayapura, Petisi Rakyat Papua (PRP) tergabung dalam 116 organisasi sipil masyarakat di Papua, Organisasi Cipayung, anggota DPRD Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Deiyai, anggota DPRD Kabupaten Waropen, dan Kabupaten Yahukimo yang telah diserahkan langsung ke MRP.

“Bagaimana pun perlu diperlakukan secara adil dan beradab sesuai sila kedua Pancasila,” tegas Murib.

MRP meminta DPD RI selalu representasi kepentingan daerah dapat memberikan arahan kepada semua pihak supaya rencana pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi baru atau DOB dapat ditangguhkan sementara menunggu keputusan final dari judicial review di MK terkait Undang-Undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 21 tahun 2001. (*)

Read More
Categories Berita

MRP soal Kehadiran 7 Anggota di Rapat Dukung DOB Papua: Sikap Pribadi

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) I Yoel Luiz Mulait mengatakan kehadiran anggota mereka dalam rapat yang menghasilkan kesepakatan 29 daerah di Papua mendukung pemekaran atau daerah otonomi baru (DOB) bukan bersifat kelembagaan.

Yoel mengonfirmasi pihaknya mendapat informasi tujuh orang yang menghadiri rapat tersebut merupakan anggota MRP. Namun, tegasnya, kehadiran mereka tidak bisa disebut mewakili lembaga melainkan perseorangan.

“Hadirnya itu sifatnya pribadi sehingga tidak bisa mengklaim bahwa hadir atas nama lembaga,” kata Yoel saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (14/6).

Yoel mengatakan MRP tidak memberikan surat tugas kepada tujuh orang tersebut untuk mengikuti Rapat Khusus Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Sesuai dengan Wilayah Adat Papua yang berlangsung secara daring dan luring dari Suni Garden Lake Hotel & Resort Sentani, Jayapura, Papua, Jumat (10/6).

Ia mengatakan tujuh anggota yang hadir hanya sebagian kecil dari jumlah total 43 anggota aktif MRP. Yoel menegaskan sampai saat ini MRP belum memiliki sikap resmi terkait DOB Papua berikut rencana pemekaran.

“Itu minoritas, 7 itu dari 40 sekian ya, jadi hanya sebagian kecil dan itu tidak bisa menyatakan itu sikap lembaga, sifatnya pribadi,” tegas Yoel.

Yoel mengatakan hingga saat ini MRP belum menggelar Rapat Pleno karena sedang mengajukan uji materi Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pihaknya masih menunggu putusan MK atas UU Otsus baru yang memuat pemekaran tersebut.

“MRP sampai saat ini sedang menguji perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus, tidak berada pada mendukun atau menolak,” ujarnya.
Sebelumnya, Rapat Khusus Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Sesuai dengan Wilayah Adat Papua yang memutuskan 29 kabupaten/kota di Papua menyepakati pemekaran disebut hanya dihadiri 7 perwakilan Majelis Rakyat Papua (MRP).

Anggota MRP, Toni Wanggai mengatakan semua pimpinan dan anggota perwakilan masyarakat Papua itu diundang dalam rapat yang digelar secara daring dan luring dari Suni Garden Lake Hotel & Resort Sentani, Jayapura, Papua, Jumat (10/6).

Rapat tersebut dikatakan turut dihadiri para bupati/wali kota di Provinsi Papua, perwakilan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).

Meskipun hanya 7 anggota yang hadir, Toni mengklaim mereka telah mewakili lembaga dan sudah mewakili lima wilayah adat di Papua. Selain itu, ia menuding selama ini Ketua MRP memberikan klaim sepihak menolak pemekaran di Papua dengan mengatasnamakan anggota dan rakyat di wilayah Indonesia timur tersebut. (*)

Sumber: CNNIndonesia.com

Read More
Categories Berita

Terkait RUU DOB, Pemerintah Wajib Terapkan Partisipasi Bermakna, Bukan Partisipasi Manipulatif

JAYAPURA, MRP – Koalisi Kemanusiaan untuk Papua mendesak pemerintah untuk menerapkan partisipasi orang asli Papua yang bermakna terutama terkait kebijakan perubahan kedua undang-undang otonomi khusus dan rencana tiga RUU daerah otonomi baru (DOB) di Papua.

Koalisi menilai pertemuan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor pada 20 Mei 2022 justru menyiratkan partisipasi yang jauh dari bermakna, bahkan cenderung manipulatif.

Koalisi merujuk siaran pers Majelis Rakyat Papua (MRP) pada 20 Mei 2022, yang resmi membantah dukungan MRP atas UU Otsus dan RUU DOB.

MRP menegaskan sikap resmi mereka saat menemui Presiden pada 25 April lalu bahwa orang asli Papua keberatan atas UU Otsus dan DOB. MRP melayangkan gugatan terhadap revisi UU Otsus Papua kepada Mahkamah Konstitusi. MRP menghargai komitmen Presiden untuk patuh pada putusan MK dan janji tindaklanjut presiden berkunjung ke kantor MRP di Jayapura.

MRP menyesalkan pertemuan Presiden dengan sejumlah oknum anggota MRP yang diam-diam hadir tanpa memiliki mandat surat tugas MRP namun mengatasnamakan rakyat Papua untuk mmendukung revisi UU Otsus Papua serta pembentukan DOB di Papua.

Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Anum Siregar menilai pertemuan itu sebagai upaya politik pecah belah pemerintah pusat terhadap sikap rakyat Papua.

“Jakarta untuk kesekian kalinya melakukan pecah belah. Kami tidak mau terjebak apalagi memperuncing ketegangan internal anggota MRP karena itu yang diinginkan oleh pihak-pihak yang mengatur pertemuan itu. Kami menolak politik pecah belah élite-élite pusat atas Papua. Presiden justru jadi ingkar janji atas pertemuan sebelumnya, yaitu menghormati putusan MK,” kata Anum dalam pres releasenya ke Kantor Redaksi Suara Adat. Com, Sabtu, (21/05).

Aktivis Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Muhammad Azka Fahriza menilai pertemuan Istana Bogor sebagai bentuk partisipasi kebijakan yang manipulatif.

“Ini jelas manipulatif. Ketua MRP telah memberikan klarifikasi bahwa tidak benar MRP mendukung UU Otsus Jilid II maupun DOB. Delegasi MRP dalam pertemuan itu jelas illegal. Memalukan sekali mereka yang datang ini. Seperti menjual tanah dan rakyat Papua dengan harga yang murah. Publik dan media harus kritis,” kata Azka.

Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Nurina Savitri mengingatkan, rencana DOB mendapat protes luas warga Papua. Salah satunya pada 10 Mei 2022, orang Papua menggelar protes damai di berbagai wilayah di Papua dan di luar Papua.

“Atas protes ini, aparat gabungan TNI dan Polri mengerahkan kekuatan berlebihan untuk menghadapi pengunjuk rasa. Bahkan, tujuh orang aktivis yang berkumpul di kantor KontraS Papua sempat ditangkap, dijerat UU ITE. Meski dibebaskan, insiden itu menunjukkan negara tidak mau mendengar masyarakat yang menolak DOB. Tindakan tersebut melanggar hak atas kebebasan berekspresi,” tandasnya.

Koalisi kembali mendesak agar rencana DOB dikonsultasikan dengan orang asli Papua, dan MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua.

Menurut, Koalisi, konsultasi bermakna harus memenuhi enam syarat. Pertama, dimulai sejak dini pada tahap perencanaan dan persiapan proyek dan dilaksanakan secara berkesinambungan dalam seluruh siklus proyek.

Kedua, mengungkap informasi relevan dan memadai tepat pada waktunya yang dipahami dan mudah dijangkau penduduk yang terkena dampak. Ketiga, dilaksanakan dalam suasana bebas intimidasi atau pemaksaan. Keempat, beraifat inklusif dan peka gender, dan sesuai kelompok-kelompok yang rentan. Keenam, memungkinkan dimasukkannya semua sikap penduduk yang terdampak dan pemangku kepentingan lainnya dalam perancangan proyek, langkah mitigasi, pembagian hasil dan peluang pembangunan, serta masalah di tingkat pelaksanaan.

Sementara itu, Kepala Biro Papua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Ronald Tapilatu juga mempertanyakan pertemuan tersebut. Dia menyarankan agar Presiden sebaiknya bersikap bijak dalam mempertimbangkan dualisme tolak terima kebijakan DOB Papua.

“Perlu kehati-hatian karena pihak yang menolak dan menerima punya pertimbangan sendiri yang berdampak langsung terhadap kehidupan penduduk asli Papua itu sendiri. Sebaiknya perbedaan pendapat ini difasilitasi dalam dialog bersama, yang mendudukkan dua pihak untuk mendapatkan jalan tengah. Tidak sebaliknya membuka peluang konflik sesama Papua. Apalagi kita semua sedang menanti keputusan Mahkamah Konstitusi atas masalah revisi kedua UU Otsus yang diajukan oleh MRP dan MRPB.” Bebernya.

Kepala Divisi Hukum KontraS Andi Muhammad Rezaldy menunjuk Pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menyatakan setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik. “Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kovenan itu menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005, jadi harus dipatuhi. Bahkan Komentar Umum ICCPR Nomor 25 Tahun 1996 lebih lanjut menjelaskan mengenai ketentuan ini dengan memperluas urusan publik ke ranah pembuatan kebijakan dan implementasi di tingkat internasional, nasional, dan daerah,” imbuhnya.

Dalam catatan Koalisi, Pasal 19 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat juga telah menyebutkan bahwa Negara harus berkonsultasi dan bekerja sama dengan itikad baik dengan masyarakat adat yang terdampak melalui lembaga perwakilan mereka sendiri untuk mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal dan tanpa paksaan (PADIATAPA) sebelum mengadopsi dan menerapkan kebijakan yang akan berdampak pada masyarakat adat.

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya – yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 11/2005 – serta Komentar Umum No. 21 terhadap Pasal 15 Kovenan menyatakan Negara harus menghormati PADIATAPA dari masyarakat adat sehubungan dengan semua hal yang dapat mempengaruhi hak-hak mereka.

Oleh karena itu Koalisi mendesak pemerintah untuk hormati konsultasi dengan melakukan empat hal. Pertama, menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna dalam mengambil setiap kebijakan terkait Papua. Kedua, menunda pembentukan DOB sampai partisipasi bermakna dari masyarakat Papua tercapai.

Ketiga, mendengarkan aspirasi dari seluruh komponen masyarakat orang asli Papua tentang UU Otsus dan pemekaran DOB, bukan hanya mereka yang mendukung kebijakan pemerintah. Terakhir, menghormati hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi orang asli Papua.

Koalisi Kemanusiaan Papua adalah kemitraan sukarela yang terdiri dari sejumlah organisasi dan individu, yaitu Amnesty International Indonesia, Biro Papua PGI, Imparsial, ELSAM Jakarta, Kontras, Aliansi Demokrasi untuk Papua, KPKC GKI-TP, KPKC GKIP, SKPKC Keuskupan Jayapura, Public Virtue Research Institute, PBHI, dan peneliti Cahyo Pamungkas. (*)

Read More
Categories Berita

MRP: Pemekaran Papua dan Penambahan Provinsi Tidak Menjamin OAP Sejahtera

Ketua MRP, Timotius Murib ketika menyampaikan materi dalam Media Briefing “Perkembangan Pembentukan Daerah Otonomi Baru Pasca Pertemuan dengan Istana” yang diselenggarakan Public Virtue secara daring pada Rabu (27/4/2022). – Tangkapan layar Youtube Public Virtue

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua menilai pemekaran Papua untuk membentuk tiga provinsi baru tidak serta merta menjamin Orang Asli Papua akan sejahtera. Hal itu dinyatakan Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib dalam Media Briefing “Perkembangan Pembentukan Daerah Otonomi Baru Pasca Pertemuan dengan Istana” yang diselenggarakan Public Virtue secara daring pada, Rabu (27/4/2022).

Hal itu disampaikan Murib menyikapi langkah rapat paripurna DPR RI menetapkan tiga Rancangan Undang-undang (RUU) pembentukkan tiga provinsi baru di Papua sebagai RUU inisiatif DPR RI pada 12 April 2022. Sejumlah tiga provinsi baru yang dibentuk dari hasil pemekaran Papua itu adalah Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

Murib mengatakan saat ini sumber daya manusia Papua tidak cukup dan tidak siap untuk menghadapi pemekaran Papua. Menurutnya, tidak ada juga jaminan bahwa tiga provinsi yang dibentuk melalui pemekaran Papua akan membuka kesempatan bekerja bagi Orang Asli Papua.

“Tidak ada partisipasi masyarakat Papua dalam pemekaran. Buktinya masyarakat asli Papua di 29 kabupaten dan kota di Papua terus melakukan penolakan terhadap pemekaran,” ujar Murib.

Insert Content here Murib menyampaikan Orang Asli Papua sebenarnya ada evaluasi yang menyeluruh atas pelaksanaan Otonomi Khusus Papua selama 20 tahun terakhir. Evaluasi itu perlu dilakukan guna melihat sejauh mana penerapan Otonomi Khusus Papua berhasil atau gagal meningkatkan kesejahteran Orang Asli Papua. “Harus evaluasi secara total dulu,” katanya.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyampaikan pemerintah pusat setidaknya harus menjalankan tiga kewajiban kepada Orang Asli Papua. Diantaranya kewajiban untuk menyampaikan informasi, mengkonsultasikan, dan memperoleh persetujuan ketika pemerintah pusat membuat suatu kebijakan. Pasalnya, sejak 2001 pemerintah pusat sudah memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

“Ketiga kewajiban ini dimaksudkan untuk dapat memenuhi hak-hak Orang Asli Papua, atau Hak Asasi Manusia orang-orang di Papua baik sebagai manusia, warga negara yang dijamin dalam konsitusi, maupun satuan-satuan masyarakat adat yang diakui UUD RI,” kata Usman.

Usman menyampaikan pemerintah harus mendengarkan aspirasi masyarakat Papua yang disampaikan melalui  DPR Papua dan MRP. “Karena itu berhubungan dengan tiga kewajiban yang saya sampaikan di atas itu,” ujarnya.

Menurut Usman, jika hal itu tidak dipertimbangkan dengan baik oleh pemerintah, pihaknya khawatir akan terjadi eskalasi kekerasan di Papua. Amnesty mencatat setidaknya 12 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan, termasuk peningkatan kebebasan bergerak, pemukulan dan penangkapan yang kerap dialami oleh Orang Asli Papua setempat. Situasi Orang Asli Papua dikhawatirkan akan semakin memburuk jika satuan teritorial aparat kemanan semakin bertambah karena pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB). (*)

Sumber: Jubi

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Temui MRP dan MRPB, Presiden Janji Hormati Putusan MK

Anggota MRP dan MRPB berfoto bersama sebelum bertemu Presiden Jokowi di Istana Presiden – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Presiden RI Ir. Joko Widodo menerima delegasi pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua dan MRP Papua Barat (MRPB) di Istana Merdeka pada hari ini, Senin, (25/4/2022).  

Dalam pertemuan tersebut hadir pimpinan MRP Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), Benny Sweny (Ketua Panitia Musyawarah MRP), Joram Wambrauw (tenaga ahli MRP) dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Sementara itu dari MRP Papua Barat hadir Maxsi Nelson Ahoren dan sejumlah pimpinan MRPB lainnya.

Saat menerima delegasi MRP dan MRPB, Presiden didampingi oleh Menkopolhukam Mahfud MD, Mendagri Tito Karnavian, dan Deputi V Kantor Staff Presiden Jaleswari Pramodhawardani.

Kepada Presiden, Timotius menyampaikan apresiasi atas perhatian Jokowi yang telah berkunjung ke Papua selama belasan kali. “Kunjungan itu amat berharga karena mencerminkan perhatian dan kepedulian Presiden dalam membangun Papua. Namun demikian, MRP menemukan adanya dua masalah. Pertama, MRP menyesalkan proses perubahan UU yang tidak melalui usul rakyat Papua melalui MRP dan DPRP, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 77 UU Otsus. Substansinya pun banyak merugikan hak-hak orang asli Papua sehingga kami mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,“ kata Timotius.

Menurut Timotius, Pasal 77 sangat penting agar ada konsultasi dan partisipasi rakyat Papua, sesuai amanat Bapak Presiden tanggal 13 Februari 2020 yang mengajak semua pihak untuk mengevaluasi efektifitas pelaksanaan UU Otonomi Khusus selama 20 tahun.

Timotius menjelaskan, substansi UU hasil perubahan ternyata mengandung banyak pasal yang merugikan hak-hak orang asli Papua. Banyak pasal yang berubah tidak sesuai isi surat Presiden tertanggal 4 Desember 2020 yang mengamanatkan perubahan terbatas tiga pasal: ketentuan umum, keuangan daerah, dan pemekaran wilayah.

Akan tetapi, setelah dibahas DPR RI justru terdapat 19 pasal yang berubah. Menurut kajian MRP, terdapat sembilan pasal merugikan hak-hak orang asli Papua. Karena itulah, MRP Papua dan MRP Papua Barat mengajukan uji materi ke MK.

Kedua, kami juga menyesalkan pembentukan DOB yang tidak melibatkan MRP sesuai ketentuan Pasal 76 UU Otsus yang menyatakan pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP. Ini artinya tanpa persetujuan MRP dan DPRP, tidak boleh ada DOB, tegasnya.

Ketua Tim Panmus MRP Benny Sweny yang juga turut berbicara kepada presiden menambahkan, dari belasan kali kunjungan Presiden ke Papua, belum pernah satu kali pun mengunjungi MRP yang merupakan rumah rakyat Papua.

“Dalam kesempatan berikutnya, mohon Bapak Presiden agar berkunjung ke MRP, karena lembaga ini adalah rumah rakyat Papua.

Menanggapi aspirasi MRP, Jokowi mengaku heran mengapa proses perubahan UU Otsus dianggap tidak melibatkan partisipasi orang asli Papua. Begitupula materinya yang dianggap bermasalah. Pemerintah menghargai langkah MRP menempuh uji materi ke MK. Pemerintah akan menghargai dan menghormati putusan MK.

“Mengenai proses perubahan kedua UU Otsus, sejauh laporan yang saya terima, telah melibatkan DPR RI dan DPD RI, termasuk DPRP dan MRP. Tetapi jika memang ada materi yang sedang diuji materi di Mahkamah Konstitusi, kami akan menghargai, menghormati, dan patuh apa pun putusan MK,“ kata Presiden.

“Mengenai tuntutan pemekaran provinsi, ini memang sering menjadi aspirasi dari daerah. Hampir setiap saya ke daerah, selalu ada tuntutan untuk pemekaran provinsi. Dalam catatan pemerintah,m tercatat dalam data diperhitungkan kondisi fiskal keuangan negara, termasuk potensi APBD daerah. Jangan sampai membebani APBN,“ jelas Presiden.

“Saya ingin menegaskan bahwa pemekaran provinsi bukan hal yang mudah.Kalau ada yang belum baik, kita harus bicarakan lagi. Silahkan melalui menteri-menteri, dan jika masih tidak puas, saya tetap membuka diri. Mengenai undangan MRP, saya tunggu dan saya akan kunjungi MRP segera,“ kata Presiden kepada MRP.

Usai pertemuan, Usman menyampaikan secara langsung kepada Presiden tentang laporan terbaru Amnesty yang menunjukkan memanasnya situasi di Papua, khususnya Intan Jaya. “Saya utarakan juga kepada Presiden tentang meningkatnya kehadiran pasukan militer, seiring dengan terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di Intan Jaya, Papua,“ katanya.

Latar belakang

Sebelumnya ramai diberitakan tentang polemik pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi baru. Pada 12 April lalu, DPR RI mengesahkan tiga RUU usul inisiatif berupa RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU Papua Tengah, dan RUU Tentang Pegunungan Tengah.

Berbagai kalangan pemerhati Papua menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang ingin membentuk DOB di Papua. Mereka menilai, kebijakan itu menyalahi ketentuan Pasal 76 yang mengamanatkan agar pemekaran dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP.

Selain itu, pemekaran juga hanya bisa dilakukan setelah pemerintah mempertimbangkan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa datang.

Kesatuan sosial budaya penting karena Papua memiliki 250 suku yang sangat beragam. Kebijakan yang keliru dapat memicu konflik baru atau memecah belah Papua, seperti editorial The Jakarta Post pekan lalu.

MRP mengingatkan bahwa pemerintah wajib menghormati ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya….“

MRP juga meminta pemerintah memperhatikan faktor kesiapan sumber daya manusia (SDM) di Papua karena saat ini banyak kantor pemerintahan provinsi yang kekurangan SDM, terutama orang asli Papua. Belum lagi situasi keamanan.

Menurut MRP, faktor kemampuan ekonomi juga penting diperhatikan dalam pemekaran wilayah. Alasan ekonomi seperti pendapatan asli daerah (PAD) adalah salah satu alasan Pemerintah pusat memberlakukan moratorium pemekaran provinsi.

Berbagai kalangan mempertanyakan apakah pemekaran Papua telah melalui sebuah kajian ilmiah berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

MRP: Demonstrasi Tolak Otsus yang tak Konsisten, Bukan Papua Merdeka

Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait mengatakan, demonstrasi yang terjadi di beberapa wilayah di Papua merupakan aksi penolakan terhadap pelaksanaan otonomi khusus (otsus) yang tidak konsisten. Menurutnya, demonstrasi itu bukan untuk meminta Papua merdeka. 

“Demonstrasi yang terjadi di Wamena, di Mapaho, di Jayapura, itu mayoritas rakyat itu menolak, yang menolak ini bukan minta Papua merdeka, yang menolak ini adalah tidak setuju dengan pelaksanaan otsus yang tidak konsisten,” ujar Yoel dalam diskusi daring pada Kamis (25/3/2022) kemarin.

Dia menuturkan, sejauh ini tidak ada riset atau penelitian yang merekomendasikan perlu adanya pemekaran wilayah di Papua. Namun, pemerintah pusat justru akan membentuk empat daerah otonom baru (DOB) di Papua, yakni Provinsi Papua Pegunungan Tengah, Papua Tengah, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan.

Rencana pemekaran disampaikan pemerintah saat pembahasan perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Revisi itu kini sudah disahkan dalam UU Nomor 2/2021 yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 19 Juli 2021.

“Tidak ada riset, tidak ada penelitian yang merekomendasikan perlu ada pemekaran di Papua. Lalu sekarang pemekaran untuk siapa?” tanya Yoel.

Menurut Yoel, penyusunan UU Otsus yang baru itu dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Pemerintah tidak melibatkan aspirasi publik maupun masyarakat Papua, termasuk MRP. “UU ini adalah produk Jakarta, tapi dipaksakan untuk bisa diterapkan di Papua, enggak mungkin, aspirasi rakyat itu harus diakomodasi dulu,” kata dia.

Dia mengatakan, MRP membuka diri jika dilakukan dialog agar aksi kekerasan bisa dihentikan. Namun, dia menegaskan, dialog ini konteksnya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga tidak ada aksi saling curiga antara satu sama lain. (*)

Sumber: https://www.republika.co.id/

Read More