Categories Berita

Singgung 3 Provinsi Baru di Papua, MRP Nilai Istana Lakukan Politik Pecah Belah

JAYAPURA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menilai bahwa Istana melakukan “politik pecah belah” untuk meloloskan agenda pembentukan daerah otonom baru (DOB)/pemekaran wilayah di Papua.

Sebagai informasi, pemerintah sebetulnya sedang moratorium pembentukan DOB, tetapi DPR mendadak mengesahkan rancangan undang-undang pembentukan tiga provinsi baru di Papua, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Pegunungan Tengah sebagai RUU inisiatif DPR.

Kemudian, Menko Polhukam Mahfud MD mengonfirmasi kemarin bahwa Presiden RI Joko Widodo telah mengirim surat presiden ke DPR terkait RUU tiga provinsi baru itu.

“Memang perilaku Istana, perbuatan mereka, membuat pecah belah rakyat Papua, terutama di mana mereka mengundang beberapa anggota tidak sesuai mekanisme, dan mereka hadir mengatasnamakan MRP,” kata Timotius kepada Kompas.com, Selasa (24/5/2022) pagi.

Undangan yang dimaksud terjadi pada Jumat (20/5/2022). Jokowi disebut mengundang diam-diam sejumlah anggota MRP yang memiliki sikap berbeda dengan sikap resmi kelembagaan yang menolak Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan pemekaran wilayah Papua.

Tanpa izin resmi lembaga, para anggota MRP itu hadir ke Istana Bogor lalu menyetujui UU Otsus dan pemekaran wilayah, dua isu yang selama ini kontra dengan sikap MRP.

“Ini adalah satu perbuatan pemalsuan yang dilakukan negara. Kita klarifikasi dengan internal teman-teman yang ke Istana, mereka begitu balik, mereka katakan itu atas undangan Presiden,” kata Timotius.

“Pelaku pecah belah ini pemerintah pusat dalam hal ini kementerian terkait dan Bapak Presiden. Jadi, seharusnya pemerintah pusat introspeksi diri, kenapa kita ini (orang asli Papua) terus di bawah kekerasan,” ucap dia.

Masuknya agenda pemekaran wilayah di Papua tak terlepas dari konteks politik. Ketika Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua berakhir pada 2021, DPR menerbitkan revisi kedua atas UU itu, melenyapkan roh “kekhususan” otonomi Papua.

Dalam hal pemekaran, revisi kedua UU Otsus membuat pembentukan DOB tak lagi harus atas pertimbangan MRP selaku lembaga negara resmi representasi orang asli Papua, tetapi dapat dilakukan sepihak oleh pemerintah. Karena bermasalah, revisi kedua UU Otsus itu pun sejak tahun lalu digugat MRP ke Mahkamah Konstitusi dan sidangnya masih bergulir sampai hari ini. (*)

Sumber: Kompas.com

Read More
Categories Berita

Hanya 7 Anggota MRP Hadiri Rapat 29 Kabupaten/Kota Dukung DOB Papua

JAYAPURA, MRP – Rapat Khusus Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Sesuai dengan Wilayah Adat Papua yang memutuskan 29 kabupaten/kota di Papua menyepakati pemekaran disebut hanya dihadiri 7 perwakilan Majelis Rakyat Papua (MRP).

Anggota MRP, Toni Wanggai mengatakan semua pimpinan dan anggota perwakilan masyarakat Papua itu diundang dalam rapat yang  digelar secara daring dan luring dari Suni Garden Lake Hotel & Resort Sentani, Jayapura, Papua, Jumat (10/6).

Rapat tersebut dikatakan turut dihadiri para bupati/wali kota di Provinsi Papua, perwakilan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).

“Pimpinan dan semua anggota MRP diundang, tapi yang hadir cuma 7 anggota MRP yang hadir,” kata Toni saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, Minggu (13/6) malam.

Meskipun hanya 7 anggota yang hadir, Toni mengklaim mereka telah mewakili lembaga dan sudah mewakili lima wilayah adat di Papua. Selain itu, ia menuding selama ini Ketua MRP memberikan klaim sepihak menolak pemekaran di Papua dengan mengatasnamakan anggota dan rakyat di wilayah Indonesia timur tersebut.

Saat dikonfirmasi kembali, apakah 7 anggota MRP yang hadir itu artinya membawa sikap resmi secara kelembagaan, dia menjawab belum. Toni menegaskan kehadiran 7 anggota tersebut bukan sikap resmi MRP sebagai lembaga, karena belum ada rapat pleno keputusan.

“Belum ada Rapat Pleno MRP, sebagai keputusan tertinggi,” ujarnya.

Meskipun demikian kata Toni, anggota MRP lain pun memiliki hak yang sama mewakili lembaga yang mengutus mereka dan wilayah adat untuk menyatakan setuju terhadap pemekaran di Papua.

Toni lantas menyalahkan anggota yang tidak datang sementara semua pihak-pihak dalam rapat tersebut menyatakan sepakat pemekaran daerah otonom baru di Papua.

“Salah sendiri anggota tidak hadir, kesepakatan semua pihak mendukung, kami 7 anggota MRP sudah mewakili MRP,” klaimnya.

CNNIndonesia.com sejauh ini belum berhasil mendapatkan pernyataan klarifikasi terkait hal tersebut dari Ketua MRP Timotius Murib. (*)

Sumber: CNNIndonesia.com 

Read More
Categories Berita

Timotius Murib: Penyampaian Aspirasi Penolakan DOB Berdasarkan Suara Mayoritas

Timotius Murib Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) saat memberikan keterangan pers – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Menanggapi pernyataan bupati Kabupaten Jayapura yang menuding majelis rakyat Papua (MRP) tidak mengakomodir aspirasi dukungan pemekaran daerah otonomi baru (DOB), Ketua MRP Timotius Murib mengungkapkan bahwa pihaknya menyampaikan aspirasi penolakan pemekaran berdasarkan suara mayoritas masyarakat Papua dan bukan kepentingan segelintir elit politik di Papua.

Murib menjelaskan sebagai lembaga representasi kultur adat Papua MRP berharap kepada orang Papua yang berada di level birokrasi menengah dan akar rumput memahami bahwa undang-undang 21 tahun 2001 itu diberikan bukan hadiah tetapi merupakan perjuangan panjang dengan darah dan air mata masyarakat Papua

“Maka dengan berakhirnya otonomi khusus tahun 2001 di tahun 2021 orang Papua menunggu momentum Bagaimana mengevaluasi Otsus, tetapi yang terjadi Otsus di evaluasi sepihak oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan orang asli Papua secara utuh,” katanya kepada wartawan, di Jayapura, Selasa, (10/5/2022)

Maka kata Murib hasil dari perubahan itu di pasal 76 ada penambahan pada ayat 2 dan 3 lebih mengindahkan dan tanpa ada persetujuan MRP dan DPR Papua DOB itu bisa dilakukan oleh Jakarta sesuai kehendak mereka ini terjadi pada tanggal 12 April 2022 DPR RI telah menetapkan RUU DOB padahal hal ini tidak sesuai dengan UU Otsus 21 Tahun 2021 di mana pemekaran harus melalui persetujuan DPR Provinsi Papua dan MRP.

Untuk itu kata Murib sebenarnya para elit politik di Papua dan khususnya Bupati Jayapura harus paham bahwa Otonomi Khusus ini dihadirkan, bukan merupakan hadiah tetapi ini merupakan perjuangan panjang sebagai perekat sebagai win-win Solution karena orang Papua minta Merdeka.

“Untuk itu MRP mengharapkan kepada parah kepala daerah yang ada di birokrasi untuk memahami dan mengerti bahwa otonomi khusus ini beda dengan undang-undang lain, karena ini lahir karena adanya tahap MPR,” kata Murib.

Sementara terkait DOB ia secara tegas ketua MPR mengatakan bahwa MRP tidak berdiri pada posisi memihak atau menolak tapi berfokus ke mayoritas aspirasi masyarakat.

“Yang harus dipahami oleh para bupati dan kepala daerah di Papua bahwa MRP tidak berada pada posisi menolak atau menerima daerah otonomi baru, tapi MRP menyampaikan aspirasi mayoritas penolakan yang disampaikan oleh orang asli Papua yang disampaikan oleh masyarakat Papua di beberapa kabupaten kota. sehingga penolakan ini yang disampaikan ke pemerintah pusat termasuk presiden, Jadi bukan berdasarkan kemauan segelintir pejabat daerah, jadi Bupati Jayapura harus Paham, sementara pernyataan Bupati bahwa mengapa MR P hanya menyampaikan aspirasi menolak sementara yang mendukung DOB tidak disampaikan ini sangat keliru, Karena MRP berpihak kepada aspirasi mayoritas yang ada di di Papua,” ujar Murib.

Dan jika MRP serta merta mendukung pemekaran, lanjut Murib bahwa jaminan hukumnya apa?

” ini yang saya mau tanya Kepada Bupati Jayapura, 19 pasal yang dilakukan perubahan kemarin semua itu membias dan marwah atau roh dari Otsus itu telah hilang coba pak Bupati Jayapura baca Pasal UU Perubahan. Maka kami minta para bupati dan wali kota harus baca perubahan undang-undang karena tidak ada hak orang Papua yang diakomodir. jadi jika di anggap kepastian dalam undang-undang ini bahwa ketika dimekarkan orang Papua itu akan mendapat kesejahteraan ini tipu dan omong kosong,” katanya.

Ia menegaskan Otsus itu tidak ada apa-apanya maka ia menyarankan agar DPR Papua jangan menjalankan otonomi khusus tapi seperti biasa saja.

“Saya sarankan DPR Provinsi Papua lebih bagus ditiadakan otonomi khusus Biarkan saja jalankan peraturan seperti biasa mungkin ini yang bisa. karena ciri khusus hak orang Papua yang dipikirkan ada di otonomi khusus itu sudah tidak ada lagi karena perubahan kedua otonomi khusus sudah tidak ada lagi undang-undang khusus bagi orang Papua sama saja dengan peraturan umum lainnya jadi kelapa daerah harus tau itu,” paparnya. (*)

Read More