Categories Berita

MRP Nilai Pembentukan DOB Papua Tanpa Partisipasi Masyarakat

JAKARTA, MRP – Komite I DPD RI memandang perlu adanya kajian komprehensif terhadap sejumlah pertimbangan yang melatarbelakangi pemekaran Papua. Pemerintah bersama DPR telah bersepakat untuk melakukan pemekaran terhadap Provinsi Papua.

DPR memprakarsai usulan pemekaran 3 (tiga) provinsi di wilayah Provinsi Papua, yaitu Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

“Komite I DPD RI yang mempunyai kewenangan konstitusional untuk ikut membahas RUU tentang Pemekaran Provinsi Papua tersebut bersama DPR RI dan Pemerintah, “ujar Wakil Ketua Komite I DPD RI Ahmad Bastian saat memimpin RDP Komite I DPD RI dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua dengan agenda pembahasan RUU Pemekaran Provinsi Papua (Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pengunungan Tengah), di Gedung DPD RI Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Senin (13/6/22).

Ahmad Bastian menambahkan, beberapa pertimbangan dalam pemekaran yaitu Provinsi Papua dapat menjadi instrumen dalam mencapai tujuan pemberian otonomi khusus kepada Papua, khususnya dalam hal mempercepat dan pemerataan pembangunan, pengurangan kesenjangan antarwilayah di Papua, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, tata kelola pemerintahan dan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik kepada masyarakat di Papua.

“Apakah pemekaran secara tegas dapat melindungi dan meningkatkan harkat dan martabat orang asli Papua? Berbagai pertimbangan tersebut perlu didalami oleh DPD RI sebagai upaya memahami aspirasi dan dinamika yang terjadi di Papua,” lanjut Ahmad Bastian.

Pada forum itu, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menyatakan pembentukan DOB tidak melibatkan MRP, sesuai ketentuan Pasal 76 UU Otsus yang menyatakan bahwa pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP.

“Pemerintah harus melibatkan secara aktif rakyat Papua, harus ada rekomendasi dari MRP dan DPRP. Saya kira pemekaran ini harus ditunda karena kami masih melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” tukasnya.

Senada dengan itu, Ketua DPR Papua (DPRP) Johny Banua mengajak untuk melihat proses perubahan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua saat ini, karena ada banyak aspirasi yang berkembang. DPRP masih mengkaji RUU Pemekaran Papua ini dan hasilnya akan kami sampaikan kepada pemerintah pusat.

“RUU Pemekaran Provinsi Papua sesuatu yang top down tanpa melibatkan kami, aspirasi dari bawah harus diakomodir, oleh karena ada banyak reaksi dari rakyat Papua. Banyak ruang yang terbuka dan DPD RI bisa memperjuangkan aspirasi daerah dan harapan dari rakyat Papua,” ungkap Johny.

Sementara itu, Asisten I Bidang Pemerintahan Setda Provinsi Papua Doren Wakerkwa mengungkapkan sikap pemerintah daerah adalah sejalan dengan pusat. Dengan adanya pemekaran untuk mempersempit jangkauan pelayanan, dan meningkatkan kesejahteraan. Namun alangkah baiknya ada kesepahaman antara pemerintah pusat agar sistem ini dikaitkan dengan persetujuan MRP dan DPRP.

“Pada prinsipnya kami sepakat dengan apa yang sudah diputuskan oleh pusat, selanjutnya akan kita komunikasikan dan koordinasikan dengan lebih baik. Selain itu DPD RI juga bisa berkontribusi membuat kesepakatan bersama untuk rapat tindaklanjut terkait ini,” kata Doren.

Anggota DPD RI Kalimantan Selatan Pangeran Syarif Abdurrahman Bahasyim kembali menegaskan bahwa DPD RI berpihak kepada daerah, sehingga kebijakan pemekaran memang harus melibatkan aspirasi dari tingkat bawah.

“Dengan pemekaran seharusnya bisa menimbulkan anggaran dan untuk pembangunan yang belum tersentuh, tapi tetap harus mendengarkan aspirasi daerah,” ujarnya.*

Sumber: https://indonews.id/
Read More
Categories Berita

MRP Menilai Tanggapan Yan Mandenas Semakin Ngawur dan Gagal Paham

Ketua Panmus MRP, Benny Sweny, S.Sos dalam sebuah diskusi dengan Ketua BALEG DPR RI, Dr. Supratman Andi Agtas, SH, MH. Diskusi dengan topik tugas dan wewenang MRP dalam implementasi UU Otsus terkait dengan pemekaran wilayah di Papua. – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Menanggapi anggota Komisi I DPR RI Yan P. Mandenas yang menilai MRP keliru, Ketua Panmus MRP Benny Sweny dengan santai mengimbau semua kalangan agar tidak terpengaruh.

“Pernyataan itu (Mandenas) semakin ngawur dan gagal fokus dalam memahami tugas dan wewenang MRP dalam UU Otsus,. Biarkan saja, anjing menggonggong kafilah berlalu,” kata Benny saat ditanya media, Jumat, (29/4/2022).

Benny menjelaskan bahwa salah satu tugas pokok dan fungsi MRP jelas tertuang dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf e yaitu memperhatikan dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

“Ketentuan itu tidak membedakan jenis-jenis aspirasi, apakah aspirasi politik, aspirasi bukan politik, aspirasi sosial, aspirasi hukum, atau aspirasi lainnya. Jadi pernyataan seperti itu (Mandenas) hanya karangan yang dibuat-buat. Narasinya kabur,” kata Benny.

Selanjutnya, menurut Benny, Pasal 76 UU No. 21/2001 atau UU Otsus yang lama maupun Pasal 76 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2021 atau UU Otsus yang baru jelas telah mengamanatkan bahwa pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP. Sayangnya, ini tidak dipatuhi oleh pemerintah pusat.

Bahkan ketentuan yang sama juga memberi penegasan tentang syarat suatu pemekaran yaitu dilakukan “setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.” Amanat ini juga diabaikan.

Ketidakpatuhan dan pengabaian tersebut terlihat secara jelas ketika pemerintah justru membuat ketentuan Pasal 76 yang tunggal itu menjadi tiga ayat sehingga menimbulkan kerancuan wewenang pemekaran.

Sekadar contoh, ditambahkanlah Pasal 76 ayat (2) yang berbunyi : “Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat.

“Ini ayat tambahan yang menghilangkan aspek khusus dari pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi,” lanjut Benny.

Dengan penambahan ketentuan tersebut, maka pemekaran provinsi di wilayah otonomi khusus seperti Papua menjadi tidak ada bedanya dengan pemekaran wilayah lainnya di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

“Mengapa pemekaran Papua harus diatur dalam UU Otsus kalau tidak lagi ada yang khusus? Orang-orang seperti Yan ini justru telah membuat pasal pemekaran menjadi ambigu, sehingga itulah yang di-uji materiil-kan MRP. Ini agar karakteristik pemekaran di Papua berciri khusus yaitu atas persetujuan MRP dan DPRP.”

Benny menegaskan, MRP sebenarnya tidak dalam posisi menolak atau mendukung pemekaran. Tetapi menyuarakan aspirasi OAP yang banyak menolak pemekaran yang tanpa partisipasi, konsultasi dan persetujuan MRP dan DPRP. Kalau pun ada yang dituntut ke pemerintah pusat, maka MRP memang meminta agar kewenangan pemekaran itu dikembalikan sehingga hanya merupakan wewenang MRP dan DPRP.

”Setiap usulan Pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi atau pembentukan DOB di Tanah Papua tetaplah harus melalui MRP dan DPRP. Agar MRP juga dapat mengkaji secara komperehensif apakah Papua saat ini sudah layak dimekarkan berdasarkan empat faktor yaitu kesatuan budaya, kesiapan SDM OAP, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa datang.

“Itulah yang MRP sampaikan di Jakarta, baik kepada pimpinan partai politik, Presiden Joko Widodo maupun pimpinan DPR RI agar Pengesahan RUU Pembentukan 3 DOB itu ditunda dahulu. Kalau bisa sampai setelah Pemilu. Paling tidak, sampai ada keputusan MK” tandasnya.

Suara orang yang meminta MRP dibubarkan itu boleh-boleh saja, tapi jangan lupa bahwa MRP adalah roh jiwa Otonomi Khusus Papua, yang membedakan Papua dengan Provinsi lain di Indonesia.

“MRP dan Otsus seperti dua sisi mata uang yang integral dan tak terpisahkan, jadi kalau MRP dibubarkan maka OTSUS juga bubar. Jadi intinya, jangan komentar sembarangan sebelum membaca dan mencermati sesuatu hal secara mendalam,” tegasnya.

Ditambahkannya, Yan sebagai wakil rakyat di DPR RI tidak pernah merespon aspirasi masyarakat yang menolak DOB, bahkan tidak mau menerima kehadiran MRP di Jakarta.

“Kapan dia menerima MRP berdialog dan menindaklanjuti aspirasi MRP? Saat kami di Jakarta bersama Ketua MRP, saya telepon Yan Mandenas berkali-kali untuk ketemu tapi telpon saya tidak dijawab. Jadi kelihatan sekali dia tidak mau menerima aspirasi masyarakat akar rumput maupun MRP sebagai lembaga representasi orang asli Papua,” pungkasnya. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

MRP Lapor Jokowi Soal Penangkapan Anggota Saat RDP Bahas Otsus Papua

Pimpinan MRP saat berfoto bersama Presiden Jokowi di Istana Negara – For Humas MRP

JAKARTA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, mengadukan peristiwa penangkapan sejumlah anggota anggota MRP saat melaksanakan evaluasi otonomi khusus Papua pada November 2020 ke Presiden Joko Widodo, Senin (25/4). Timotius mengatakan, saat ditangkap anggota MRP sedang menjalankan tugas untuk mendengarkan aspirasi orang asli Papua (OAP) tentang penerapan otonomi khusus.

“MRP dan timnya itu ditangkap dan diborgol. Ini juga sudah kami sampaikan ke Bapak Presiden kemarin,” kata Timotius pada diskusi daring yang digelar Public Virtue Research Institute, Rabu (27/4).

Timotius menuturkan, polisi menangkap 54 orang peserta rapat, termasuk anggota MRP, dengan tuduhan makar. Namun, polisi membebaskan mereka karena tak punya bukti kuat.

Kepada Jokowi, dia juga menyampaikan soal kelompok masyarakat yang menolak rapat MRP.

Salah satunya, yaitu kelompok Barisan Merah Putih. Timotius mengatakan, kelompok itu membubarkan paksa rapat yang jelas-jelas digelar MRP sebagai lembaga negara.

“Menurut MRP, masyarakat ini pasti diajak dan disuruh kemudian membubarkan kegiatan MRP yang dilaksanakan di lima wilayah,” ujarnya.

Selain itu, pada pertemuan dengan Jokowi, MRP menyatakan revisi UU Otsus Papua dilakukan tanpa diskusi dan persetujuan rakyat Papua. Mereka pun meminta Jokowi mengevaluasi pembentukan undang-undang itu.

Selain itu, MRP meminta Jokowi mengkaji ulang pemekaran tiga provinsi di Papua. MRP meminta pemerintah menunda kebijakan hingga ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Diketahui, pada September 2021, MRP melayangkan permohonan uji materiil UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua ke MK. Salah satu pasal yang digugat yaitu terkait wewenang pemekaran wilayah di Papua.

Sementara itu, pada 12 April 2022, DPR menyetujui tiga RUU daerah otonom baru di Papua sebagai RUU inisiatif DPR. Ketiga RUU tersebut meliputi RUU Provinsi Papua Selatan, RUU Provinsi Papua Tengah, dan RUU Provinsi Papua Pegunungan Tengah. (*)

Sumber: CNN

Read More
Categories Berita

Temui Menteri PPN/Bappenas, MRP Minta DOB Papua Ditunda

Dari kirim ke kanan: Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Wakil Ketua MPR Arsul Sani, Ketua MRP Papua Timotius Murib, Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam pwetemuan di Bappenas, Selasa, (19/4).

JAKARTA, MRP – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa menerima pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Amnesty International Indonesia, Selasa, (19/4/2022).

Hadir dalam pertemuan tersebut ketua MRP Timotius Murib didampingi oleh Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait beserta staff, Staff Khusus MRP Onias Wenda dan Andi Andreas Goo, Joram Wambrauw, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Saat menerima delegasi pimpinan MRP, Suharso didampingi oleh Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani.

Menurut Suharso, pemerintah tengah berupaya sungguh-sungguh untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan di Papua. Pemerintah menyampaikan kepada MRP perihal peta jalan pembangunan untuk Papua, yaitu Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) 2022-2041.

“Saya menyampaikan kesungguhan upaya pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan orang asli Papua. Kesejahteraan itu salah satu kunci untuk mewujudkan perdamaian Papua. Saya sepaham dengan aspirasi MRP bahwa pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi sebaiknya dilakukan atas pertimbangan dan persetujuan MRP. Saya akan pertimbangkan usulan agar pemekaran ditunda sampai ada putusan MK,“ kata Suharso ketika menerima pimpinan MRP di Kantor Kementerian PPN/Bappenas pada Selasa, (19/4).

“MRP juga menyerahkan surat aspirasi masyarakat Papua melalui sepucuk surat yang saya terima untuk bahan pertimbangan kepada Bapak Presiden,“ tambah Suharso yang juga merupakan ketua umum Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP).

Pertemuan dan penyerahan surat disaksikan pula oleh Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Arsul Sani.

Sementara itu, Timotius mengatakan, MRP sangat menghargai pendapat Suharso dan juga rencana pembangunan yang telah dirumuskan oleh Kementerian PPN/Bappenas.

“MRP optimis bahwa aspirasi masyarakat orang asli Papua terkait penundaan DOB akan segera dipertimbangkan oleh sejumlah menteri terkait dan para pimpinan partai politik nasional,“ ujar Timotius dalam keterangan tertulis.

“Dalam pertemuan dengan pimpinan PAN, bahkan Pak Zulkifli Hasan sempat mengusulkan agar pembentukan DOB Papua ditunda sampai setelah Pemilu. Pandangan seperti ini cukup melegakan kami ketika kembali ke Tanah Papua. Masyarakat akan merasa didengarkan,“ lanjut Timotius.

Dalam kesempatan yang sama, Yoel mengonfirmasi adanya surat yang diserahkan MRP kepada Zulkifili, Airlangga, dan Suharso. “Isi surat kami merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang menegaskan wewenang MRP dalam pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi,“ kata Yoel.

Meskipun perubahan kedua dari UU Otsus tersebut menyatakan pemekaran Papua dapat dilakukan juga oleh pemerintah pusat dan DPRRI, Yoel mengimbau agar semua pihak tidak melupakan spirit atau semangat dasar dari otonomi khusus.

“Kami juga menginginkan agar ada pertemuan dengan Bapak Presiden dan Wakil Presiden. Kami mendukung kebijakan pemerintah tentang moratorium pembentukan DOB. Kami berharap kepada beliau-beliau agar mempertimbangkan aspirasi masyarakat orang asli Papua“, kata Timotius.

Pimpian MRP juga dijadwalkan akan bertemu dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada Rabu pagi ini.

“Kami sangat berharap bahwa Pak Airlangga selaku Ketua Umum Partai Golkar juga mendengar aspirasi masyarakat orang asli Papua,” tutup Timotius.

Sementara itu Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid membenarkan adanya banyak demonstrasi di Papua yang menentang pembentukan DOB Papua.

“Protes menolak DOB telah menimbulkan jatuhnya korban jiwa seperti yang terjadi dalam aksi protes di Yahukimo. Jika pemerintah menunda, maka itu akan meredakan situasi di lapangan. Situasi lapangan memperlihatkan potensi eskalasi konflik dan memburuknya situasi HAM di Papua, terutama karena terkait rencana tambang emas di Intan Jaya, Papua,“ kata Usman.

Seperti diberitakan sebelumnya, pimpinan MRP tengah berada di Jakarta untuk menyuarakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat orang asli Papua yang sebagian besar menolak pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua menjadi provinsi-provinsi. (*)

Humas MRP

Read More