Categories Berita

Majelis Rakyat Papua Minta Pemekaran DOB Harus Ditangguhkan

JAKARTA, MRP — Majelis Rakyat Papua (MRP) kembali menegaskan kepada pimpinan Komite I DPD RI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), Senin (13/6/2022) di ruang rapat Sriwijaya Gedung B DPD RI, terkait RUU Pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) di Provinsi Papua harus ditangguhkan.

Hal itu dikemukakan Timotius Murib ketika menyampaikan pandangan MRP terkait RUU Pemekaran DOB di provinsi Papua karena proses pembentukan DOB yang tidak melibatkan representasi rakyat Papua sesuai ketentuan Pasal 76 UU Otsus.

Murib mengapresiasi DPD RI, karena MRP dapat hadir dalam RDP ini secara langsung dengan pimpinan dan anggota Komite I DPD RI dalam rangka mendengarkan aspirasi rakyat Papua.

“Ada dua permasalahan dan aspirasi yang ingin kami sampaikan dalam pertemuan ini, yang sebelumnya telah kami sampaikan juga kepada pemerintah dan juga kepada para pimpinan partai politik. Pertama, permasalahan yang terkait Undang-Undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua. Kedua, permasalahan yang terkait dengan rencana pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi atau daerah otonom baru,” kata Murib.

Baca Juga: Tak Pedulikan Darah yang Mengalir di Wajahnya, Degei Orasi Tolak Produk Jakarta
Untuk yang pertama, kata Murib, MRP menyesalkan proses perubahan Undan-Undang yang tidak melalui usul dari rakyat Papua melalui MRP dan DPRP, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 77 Undang-Undang Otsus. Substansinya pun banyak merugikan hak-hak orang asli Papua, sehingga MRP provinsi Papua dan Papua Barat telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan saat ini tinggal menunggu keputusannya.

“Implementasi kebijakan oleh pemerintah pusat menggunakan Pasal 76 ayat (2) untuk menetapkan Papua menjadi tiga provinsi baru. Hal ini telah menimbulkan reaksi sosial yang sangat tinggi dengan aksi demonstrasi penolakan terus berlangsung di berbagai kota di Tanah Papua, seperti Kota Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Yahukimo, Dogiyai, Deiyai, Paniai, Nabire, Mimika, Biak Numfor, Kepulauan Yapen, Kota Sorong, Kabupaten Kaimana, dan Kabupaten Manokwari, bahkan di Yahukimo, pertengahan Maret lalu sejumlah demonstran mengalami luka-luka dan dua diantaranya meninggal dunia. Selain di Papua, aksi demonstrasi juga digelar di Jakarta, Kupang NTT, Ambon, Makassar, Bali, Surabaya, Malang, Semarang dan Yogyakarta,” beber Murib.

MRP sendiri juga telah menerima aspirasi penolakan DOB yang dilakukan oleh berbagai kelompok, diantaranya Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih dan beberapa perguruan tinggi lainnya di Jayapura, Petisi Rakyat Papua (PRP) tergabung dalam 116 organisasi sipil masyarakat di Papua, Organisasi Cipayung, anggota DPRD Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Deiyai, anggota DPRD Kabupaten Waropen, dan Kabupaten Yahukimo yang telah diserahkan langsung ke MRP.

“Sebagian besar rakyat menolak cara-cara pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi yang dilakukan tanpa persetujuan MRP dan DPRP. Bagaimana pun, orang Papua adalah saudara-saudara kita yang perlu diperlakukan secara adil dan beradab sesuai sila kedua Pancasila,” tegas Murib.

Karena itu, MRP berharap adanya kebijaksanaan dari pimpinan dan anggota Komite I DPD RI serta seluruh anggota DPD RI untuk memberikan arahan kepada semua pihak supaya rencana pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi baru atau DOB dapat ditangguhkan sementara menunggu keputusan final dari judicial review di MK terkait Undang-Undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 21 tahun 2001.

Aspirasi OAP tentang DOB tersebut diserahkan langsung oleh ketua MRP Timotius Murib dan diterima kepada wakil ketua Komite I DPD RI dalam RDP apat Komite I DPD RI bersama Pemerintah Provinsi Papua yang dihadiri Asisten I, ketua MRP, ketua DPR Papua, dengan harapan ditindaklanjuti ke DPR RI.(*)

Sumber: Suara Papua

Read More
Categories Berita

Baleg DPR Setujui 3 Provinsi Baru di Papua, MRP: Menciderai Otsus!

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Dok

JAYAPURA, MRP – Pemerintah pusat dan DPR RI kembali dinilai menciderai semangat otonomi khusus untuk Papua karena menyetujui pembuatan tiga provinsi baru di Papua.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib mengatakan keputusan itu tidak tepat karena uji materi atau judicial review terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus masih disidangkan di Mahkamah Konstitusi.

“Persetujuan pembentukan tiga provinsi baru Papua itu bagaikan petir di siang bolong. Tidak ada dengar pendapat yang memadai, tiba-tiba DPR menyetujui tiga buah RUU. Ini menciderai semangat otonomi khusus,” kata Timotius, Jumat (8/4/2022).

Dia menilai, seharusnya Badan Legislasi DPR cermat dan tidak terburu-buru dalam memutuskan pemekaran Papua.

Menurutnya dampak kebijakan ini telah melepaskan sebagian besar wilayah kultural MRP dan wilayah pemerintahan provinsi Papua yang dipangkas besar-besaran.

Timotius melanjutkan, pesan presiden untuk menyejahterakan Papua dan mengevaluasi otonomi khusus sayangnya diterjemahkan oleh segelintir menteri dengan cara membentuk provinsi baru berdasarkan UU Otsus baru yang bermasalah.

UU ini mengabaikan aturan yang ditetapkan oleh Pasal 77 UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua yang mewajibkan adanya konsultasi dengan rakyat Papua.

“Dalam Otonomi Khusus, pemekaran wilayah wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP. Dulu pada 2003 Papua dimekarkan menjadi dua tanpa didahului dengan pembentukan MRP. Sekarang Papua menjadi lima provinsi. Ini kebijakan model apa? Sementara jika rakyat bersikap kritis, dituduh separatis, dilabel teroris. Pemekaran wilayah harus dibatalkan,” tutup Timotius.

Diketahui, Indonesia akan memiliki tiga provinsi baru yang berada di ujung timur. Oleh karena itu, nantinya akan ada sebanyak 37 provinsi di tanah air.

Regulasi rencana penambahan provinsi telah dimuat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.

RUU ini sudah disahkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada rapat pleno yang dilaksanakan hari Rabu (6/4/2022). Seluruh fraksi dalam rapat pleno itu sepakat dengan RUU tentang tiga provinsi tersebut. (*)

Sumber: Suara.com

Read More
Categories Berita

MRP: Belum Ada Kajian Akademis Papua Butuh Pemekaran

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Thimotius Murib mengungkapkan bahwa pemerintah Republik Indonesia,  DPR RI untuk tidak melakukan pemekaran wilayah Provinsi Papua secara sepihak. Sebab, menurutnya, sampai saat ini  belum ada kajian akademik yang mengatakan bahwa Papua membutuhkan pemekaran atau pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB).

Murib mengatakan, melihat aksi penolakan dari masyarakat akar rumput di beberapa kabupaten terkait revisi undang-undang otonomi khusus tahun 2001 dan penolakan daerah otonomi baru sehingga pada prinsipnya MRP menolak pemekaran.

MRP menilai untuk melakukan pemekaran kampung distrik kabupaten dan provinsi itu baik, namun menurutnya di era Presiden Jokowi ini ada moratorium, maka soal Pemekaran harus di tahan dulu.

“Untuk wilayah Papua saat ini di era Joko Widodo diketahui bahwa masih moratorium,  sementara untuk indikator yang menjadi acuan dilakukannya pemekaran provinsi belum ada sama sekali, baik dari kajian akademis maupun dampak positif di masyarakat, maka kami MRP menolak pemekaran saat ini,” katanya, Selasa (29/3).

Dikatakan, dengan adanya Provinsi Papua Barat dan Papua saat ini, MRP lebih menyarankan untuk bagaimana melakukan penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan secara baik dan benar lebih dulu, ketimbang memikirkan pemekaran. “Menurut kami, pemekaran ini akan membawa beban baru dengan posisi masyarakat Papua yang jumlah penduduknya sedikit,” katanya. “Pemekaran provinsi kapanpun dilakukan bisa sja, tapi untuk saat ini belum, maka kami MRP menolak,”tandasnya.

Sementara itu terkait reaksi beberapa masyarakat yang mengatakan bahwa perlu adanya pemekaran untuk meningkatkan  kesejahteraan masyarakat Papua, Ketua MRP Thimotius Murib ini menilai hal itu keliru. Sebab, pemekaran  belum dibutuhkan masyarakat saat ini. Hal ini  terbukti daerah menolak dengan jumlah penduduk yang masih sedikit,  jumlah SDM yang menurut pemerintah pusat dan rendah seluruh Indonesia dan juga tingkat kemiskinan tertinggi di  seluruh Indonesia.

“Prinsipnya baik, tapi untuk Papua dan Papua Barat yang terjadi di Pemerintah kabupaten/kota aturannya dibenahi dulu terkait aturan,  seperti diberlakukannya undang-undang otonomi khusus dan undang-undang otonomi daerah ini yang perlu di bahas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah karena konsekuen. Dua  UU ini tidak terlalu nampak di masyarakat dan orang Papua kehidupannya belum lebih baik.”tuturnya.

“Jadi  lebih baik kita memperbaiki pola kerja tata kelola pemerintahan yang baik komitmen kepala daerah untuk membangun daerahnya dan peningkatan ekonomi kreatif, sumber daya alam yang dikelola secara mandiri dan juga pengembangan sumber daya manusia yang lebih baik barulah  selanjutnya kita berbicara terkait pemekaran,” pungkasnya. (*)

Sumber: Cepos

Read More
Categories Berita

MRP: Demonstrasi Tolak Otsus yang tak Konsisten, Bukan Papua Merdeka

Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait mengatakan, demonstrasi yang terjadi di beberapa wilayah di Papua merupakan aksi penolakan terhadap pelaksanaan otonomi khusus (otsus) yang tidak konsisten. Menurutnya, demonstrasi itu bukan untuk meminta Papua merdeka. 

“Demonstrasi yang terjadi di Wamena, di Mapaho, di Jayapura, itu mayoritas rakyat itu menolak, yang menolak ini bukan minta Papua merdeka, yang menolak ini adalah tidak setuju dengan pelaksanaan otsus yang tidak konsisten,” ujar Yoel dalam diskusi daring pada Kamis (25/3/2022) kemarin.

Dia menuturkan, sejauh ini tidak ada riset atau penelitian yang merekomendasikan perlu adanya pemekaran wilayah di Papua. Namun, pemerintah pusat justru akan membentuk empat daerah otonom baru (DOB) di Papua, yakni Provinsi Papua Pegunungan Tengah, Papua Tengah, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan.

Rencana pemekaran disampaikan pemerintah saat pembahasan perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Revisi itu kini sudah disahkan dalam UU Nomor 2/2021 yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 19 Juli 2021.

“Tidak ada riset, tidak ada penelitian yang merekomendasikan perlu ada pemekaran di Papua. Lalu sekarang pemekaran untuk siapa?” tanya Yoel.

Menurut Yoel, penyusunan UU Otsus yang baru itu dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Pemerintah tidak melibatkan aspirasi publik maupun masyarakat Papua, termasuk MRP. “UU ini adalah produk Jakarta, tapi dipaksakan untuk bisa diterapkan di Papua, enggak mungkin, aspirasi rakyat itu harus diakomodasi dulu,” kata dia.

Dia mengatakan, MRP membuka diri jika dilakukan dialog agar aksi kekerasan bisa dihentikan. Namun, dia menegaskan, dialog ini konteksnya adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga tidak ada aksi saling curiga antara satu sama lain. (*)

Sumber: https://www.republika.co.id/

Read More
Categories Berita

DPRD dan FOPERA Paniai Serahkan Aspirasi Penolakan DOB Kepada MRP

Tim Pansus DPRD Paniai-Meepago resmi menyerahkan aspirasi rakyat Paniai tolak DOB Papua ke MRP – for Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) menerima aspirasi masyarakat Kabupaten Paniai yang menolak rencana pembentukan Daerah Otonom Baru di Provinsi Papua pada Senin (21/03/2022).

Anggota Pokja Agama Majelis Rakyat Papua, Pdt. Nicolas Degey, yang menerima aspirasi tersebut mengatakan, dirinya akan melaporkan kepada pimpinan lembaga terkait aspirasi Orang Asli Papua tersebut dan mendorong agar pemerintah pusat menunda rencana pembentukan Daerah Otonom Baru di Tanah Papua.

Pasalnya, pembentukan daerah otonom baru tidak serta merta menyelesaikan berbagai persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, khususnya orang asli Papua, namun dipandang akan menambah masalah.

Pdt. Nicolas Degey mencontohkan sejumlah persoalan yang tidak kunjung selesai dengan kehadiran dua provinsi di tanah Papua saat ini seperti perbedaan jumlah serapan tenaga kerja antara orang asli Papua dan non Papua, pelanggaran HAM yang melibatkan institusi militer dan kepolisian di berbagai daerah, hingga persoalan pendidikan dan kesehatan serta pengungsian.

Aspirasi penolakan DOB Provinsi Papua Tengah itu, diserahkan langsung oleh Ketua DPRK Paniai, Sem Nawipa didampingi Ketua Pansus DPRK Paniai, Marthen Tenouye, Ketua Legislasi DPRK Paniai, Melianus Yatipai, serta didampingi Koordinator Front Pembela Rakyat (FOPERA) Paniai, Abeth Gobai bersama sejumlah anggota lainnya.

Koordinator FOPERA Paniai, Abeth Gobai membacakan pernyataan sikap atau aspirasi yang menolak dengan tegas produk Jakarta tentang Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di atas Tanah Papua.

“Kami Rakyat Papua di Paniai menolak dengan tegas DOB Provinsi Papua Tengah,” tegas Abeth Gobai.

Selain itu, FOPERA Paniai juga menolak dan meminta para bupati di Meepago yang saling bertikai merebutkan ibu kota provinsi, sebab rakyat Papua di Meepago menolak pemekaran.

Bahkan, mereka juga meminta Bupati Paniai segera menghentikan upaya dalam memperjuangkan pemekaran Provinsi Papua Tengah.

Selain itu, mereka juga menolak Otsus Jilid II, menolak dengan tegas atas Perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 2 Tahun 2021 atas Pemaksaan Jakarta menerapkan di Papua.

“Buka ruang demokrasi seluas – luasnya di Tanah Papua. FOPERA Paniai mengutuk tindakan pembungkaman ruang demokrasi pasca aksi tolak DOB,” tekannya.

Mereka juga meminta agar Jubir PRP Victor Yeimo dan 8 tapol agar segera dibebaskan tanpa syarat dan meminta segera menarik militer organic dan non organik dari beberapa daerah konflik yakni Nduga, Intan Jaya, Oksibil, Maybrat, Yahukimo, Puncak Jaya dan seluruh Papua. (*)

 

Read More
Categories Berita

Komnas HAM Akan Beri Pendapat UU Otsus Bagi Provinsi Papua Kepada MK  

Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua hari ini mengunjungi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk membahas pelanggaran HAM di Papua dan kebijakan pusat yang mengabaikan partisipasi orang asli Papua – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua hari ini mengunjungi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk membahas pelanggaran HAM di Papua dan kebijakan pusat yang mengabaikan partisipasi orang asli Papua. Salah satunya adalah pemekaran provinsi Papua sehingga menuai protes penolakan yang meluas.

“Saat ini kami mengajukan uji materi terhadap UU No. 2/2021 Tentang Perubahan Kedua UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU ini dibuat tanpa pertimbangan MRP, tanpa konsultasi dan partisipasi orang asli Papua. Bahkan materi UU ini melemahkan hakhak orang asli Papua. Kami meminta Komnas HAM memberi pendapat di MK,” kata Wakil Ketua I MRP Yoel Luis Mulait.

Selain Yoel, MRP juga diwakili oleh Ketua Tim Kerja Otsus MRP Benny Sweny, yang didampingi oleh perwakilan DPN Peradi RBA Saor Siagian, Rita Kalibongso, dan Muniar Sitanggang. Selain itu, pertemuan juga dihadiri Amnesty International Indonesia yang diwakili oleh Usman Hamid, Nurina Savitri, dan Wirya Adiwena, dan Muhammad Haikal dari Public Virtue Research Institute.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menjelaskan, dalam waktu dekat, Komnas HAM berencana memberi pendapat hukum kepada Mahkamah Konstitusi soal hak-hak orang asli Papua yang terlanggar akibat proses pengesahan UU No. 2/2021 Tentang Perubahan Kedua UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

“Senin, 15 Maret, kami akan bahas dengan tim khusus perihal revisi kedua UU Otsus tersebut. Kami akan menimbang perlunya surat keterangan dari Komnas HAM selaku lembaga negara yang independen untuk memberikan pendapat ahli dalam perspektif HAM kepada MK terkait tidak dilibatkannya partisipasi orang asli Papua dalam pembuatan UU tersebut, dan materi yang melanggar hak-hak orang asli Papua dalam kerangka Otonomi Khusus,” kata Ahmad.

Lanjutnya, Komnas HAM juga akan  memberikan pendapat UU Otsus Bagi Provinsi Papua kepada MK Jakarta, 11 Maret 2022.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia mendampingi MRP ke Komnas HAM membahas pelanggaran hak orang asli Papua dalam keterlibatnya merevisi UU Otsus nomor 2 tahun 2021.

“Jadi kami mendukung kunjungan MRP ke Komnas HAM. Kami meminta Komnas HAM agar ikut mengkaji kebijakan pemerintah pusat yang menjadi akar penyebab terlanggarnya hak orang asli Papua, termasuk revisi kedua UU Otsus yang menegasikan peran MRP, menghapuskan hak atas partisipasi politik lewat partai lokal, dan masih mementingkan kepastian hukum bagi pengusaha daripada orang asli Papua. Itu diskriminatif, inkonstitusional, dan melanggar kesepakatan politik yang tertuang di mukadimah UU Otsus,” kata Usman.

Komnas HAM diminta bukan cuma menyelidiki pelanggaran HAM secara konvensional, tapi juga mencari akar masalah dari berulangnya kekerasan. Salah satunya adalah inkonsistensi Otonomi Khusus. Banyak yang belum ditepati. Komisi HAM, KKR dan Pengadilan HAM di Papua tidak pernah dibentuk. Sekarang pasal-pasal penting dalam UU Otsus itu diubah. (*)

Humas MRP

Read More