Categories Berita

Gugatan Ditolak, MRP Masih Melihat UU Otsus Berpeluang Merugikan Rakyat Papua

JAYAPURA, MRP – Setelah menunggu satu tahun satu hari, Majelis Rakyat Papua (MRP) akhirnya mendengarkan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perkara nomor 47/PUU/XIX/2021.

MK menolak permohonan gugatan uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) yang diajukan Majelis Rakyat Papua (MRP). Pasalnya, MK menilai permohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review.

Sidang yang dipimpin ketua MK Anwar Usman dilakukan secara terbuka dan MRP sendiri mengikuti proses sidang tersebut secara virtual di Hotel Horison Ultima, Rabu, (31/8/2022).

“Menolak permohonan pemohon selain dan selebihnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta.

MK berpendapat bahwa pemohon MRP tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya seperti isi gugatan baik yang bersifat faktual, spesifik, atau paling tidak ada hubungan sebab akibat.

Timotius Murib ketua Majelis Rakyat Papua menjelaskan hasil putusan menolak permohonan pemohon di MK, meski demikian MRP masih melihat UU Otsus berpeluang merugikan rakyat Papua.

“MRP menguji 8 pasal diantaranya pasal 6 ayat 2, Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat 3, Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua, dimana pasal-pasal ini berpotensi merugikan orang asli Papua,” kata Murib.

Murib menjelaskan dengan pembacaan putusan MK terkait judicial review, ada tiga keputusan diantaranya pertama semua pasal tidak dibacakan keputusan yang berpihak kepada versi MK maupun versi MRP.

“Kedua, menurut ketua MK bahwa di internal 9 hakim MK ada pro dan kontra dengan hasil putusan judicial review dan ketiga UU nomor 2 tahun 2021 sudah sah untuk daerah khusus seperti di Papua,” ujar Murib.

MRP melihat keputusan MK hari ini tidak terlalu memihak ke orang asli Papua dan juga tidak memihak kepada pembuat UU di Jakarta jadi kelihatannya masih tidak memberikan kepastian hukum terlihat dengan pro kontra di dalam internal 9 hakim Mahkamah Konstitusi di Jakarta.

“Pada prinsipnya putusan ini sudah sah, sehingga dalam pelaksanaan sudah tidak ada lagi masalah pro dan kontra. Keputusan mana yang sudah mengikat, harus dilaksanakan oleh seluruh masyarakat orang asli Papua,” tuturnya. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Wakil Ketua DPR RI Setuju Tunda DOB Sampai Putusan MK

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Sufmi Dasco Ahmad menerima delegasi pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Timotius Murib di Gedung Nusantara III DPR RI, Selasa, (26/4/2022). -for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Sufmi Dasco Ahmad menerima delegasi pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Timotius Murib di Gedung Nusantara III DPR RI, Selasa, (26/4/2022).

Hadir pada pertemuan tersebut Ketua MRP Timotius Murib, Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait, Ketua Panitia Musyawarah MRP Benny Sweny, tenaga ahli Joram Wambrauw, staff khusus MRP Andi Andreas Goo, staff khusus Onias Wenda, maupun Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Menurut Dasco, penduduk asli Papua harus diberi kesempatan untuk menyampaikan masukan atas kebijakan perubahan UU Otonomi Khusus dan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB).

“Tentu wajar jika kemudian MRP berusaha menyalurkan aspirasi orang asli Papua. Ini bagus, dan perlu dicarikan jalan keluar yang terbaik agar tidak menimbulkan eskalasi konflik yang tinggi,“ kata Dasco.

“Saya sudah mendengarkan. Dua poin yang saya catat. Pertama, tentang evaluasi UU Otsus Papua yang diminta oleh MRP supaya transparan dan terbuka bagi MRP untuk melaksanakan tugas sesuai UU. Kedua, terkait dengan aspirai menunda DOB,“ lanjutnya.

“Memang pada 12 April lalu, rapat paripurna DPR RI sudah mengesahkan tiga RUU DOB sebagai RUU Usul Inisiatif DPR RI. Tapi dengan masukan MRP saya akan sampaikan pada pimpinan DPR lainnya, termasuk rekan-rekan di Komisi II, agar mempertimbangkan penundaan RUU DOB sampai ada putusan MK,“ katanya.

Aspirasi yang disampaikan tersebut, menurut Dasco, sangat masuk akal. “Sebagai penduduk asli Papua yang merasakan dampak dan manfaat UU Otsus, tentu apabila diberikan kesempatan untuk memberikan masukan, tentu sangat wajar. Apalagi MRP telah meminta masukan dari penduduk di 28 kabupaten,“ kata Dasco yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.

Dasco menjelaskan, DPR RI telah mengirimkan kepada Presiden dan DPR menunggu adanya surat presiden. “Tanpa ada surpres maka RUU ini tidak akan bisa dibahas. Saya akan sampaikan kepada DPR untuk menunda terlebih dahulu pembahasan keitga RUU DOB sampai ada putusan MK,“ pungkasnya.

Sebelumnya Timotius menjelaskan, MRP meminta DPR RI menangguhkan rencana pembentukan DOB. Pertama, pemerintah sedang memberlakukan moratorium kebijakan pemekaran wilayah dan pembentukan DOB. Kedua, karena rencana kebijakan DOB tidak didukung oleh kajian ilmiah. Ketiga, pengalaman dalam pembentukan DOB selama ini tidak memiliki PAD yang tinggi, bahkan rendah sehingga membebani APBN. Keempat, DOB tidak dilakukan dengan aspirasi dari bawah.

“Perubahan UU yang menambahkan ayat 1 dan ayat 2 membuat otonomi khusus tidak lagi menjadi pendekatan dari bawah ke atas, melainkan pendekatan dari atas ke bawah yang sentralistik,“ tutup Timotius.

Dalam kesempatan yang sama, Usman menambahkan bahwa kebijakan yang sepihak dalam hal perubahan UU Otsus maupun pemekaran provinsi jelas merugikan hak-hak orang asli Papua. “Orang asli Papua berhak untuk memperoleh informasi tentang rencana-rencana kebijakan yang berdampak pada mereka. Mereka juga berhak untuk diajak konsultasi, termasuk memberikan pendapat. Dan mereka juga berhak untuk dimintai persetujuan terkait perubahan UU, pemekaran provinsi, atau rencana penambangan emas seperti di Intan Jaya, jelas Usman.

“Jika pemerintah dan DPR RI mau menangguhkan rencana pembentukan DOB, maka hal itu bisa mengurangi peningkatan eskalasi konflik, kekerasan, dan pelanggaran HAM di Papua. Sudah ada 12 kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Intan Jaya. Dan sudah ada tua orang asli Papua tewas ketika menyampaikan pendapat menolak DOB,“ tutupnya. (*)

Humas MRP

Read More
Categories BeritaSiaran Pers

Presiden PKS Akan Perjuangkan Usul MRP Tunda DOB

Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua melanjutkan road show menemui pimpinan partai politik nasional. Akhir pekan ini MRP menemui Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu di Kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS, Jakarta, Sabtu siang (23/4/2022). – for Humas MRP

JAKARTA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua melanjutkan road show menemui pimpinan partai politik nasional. Akhir pekan ini MRP menemui Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu di Kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS, Jakarta, Sabtu siang (23/4/2022).

Ahmad menyambut positif kunjungan MRP dan berkomitmen untuk memperjuangkan aspirasi MRP melalui Fraksi PKS di DPR RI, khususnya Komisi II yang bermitra dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI.

“Aspirasi MRP terkait amandemen kedua UU Otonomi Khusus sudah kami tangkap baik. Kami juga mencermati, seringkali proses perundang-undangan berjalan terlalu cepat. Sehingga banyak hal terlewati, termasuk RUU DOB yang menimbulkan polemik,” kata Ahmad yang mengenakan batik bercorak Papua.

“Kami menerima aspirasi MRP dan meminta Fraksi PKS untuk memperjuangkan aspirasi MRP di DPR RI. Saya akan meminta fraksi PKS di DPR RI khususnya di Komisi II agar mengawasi undang-undang’ini, termasuk memperjuangkan aspirasi MRP. Untuk Papua, perlu kearifan lokal,” katanya.

Menurut Timotius, MRP berharap sekali agar pemerintah pusat dan DPR RI mendengar aspirasi masyarakat orang asli Papua.

“Proses pengesahan perubahan kedua UU Otonomi Khusus pada Juli 2021 lalu tidak melibatkan representasi orang asli Papua. Sekarang ada Daerah Otonomi Baru, juga tanpa melibatkan representasi orang asli Papua. Ini sangat disayangkan,” katanya kepada segenap pengurus pusat PKS.

Ahmad didampingi oleh anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera menambahkan dan Wakil Sekretaris Jenderal PKS Soegeng Susilo

“Sudah diketuk oleh paripurna. Tapi RUU ini masih menunggu surat presiden. Selama itu belum ada, maka RUU ini belum bisa berjalan ke tingkat Panitia Kerja. Apa pun, kami akan selalu merujuk pertimbangan dari MRP. Saya sampaikan ke pimpinan Komisi II yang memang belum bertemu banyak pihak,” kata Mardani.

Selain Timotius, pimpinan MRP yang hadir antara lain Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait, dan Ketua Panitia Musyawarah MRP Benny Sweny. Hadir pula sejumlah staff ahli dan staff khusus MRP Onias Wenda, Andreas Goo, mantan anggota Tim Perumus UU Otsus 21/2001 Joram Wambrauw.

Benny menyesalkan pembentukan DOB yang terburu-buru dan tanpa diikutin oleh kajian.

“UU Otsus setidaknya memberi empat syarat yaitu kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, potensi pendapatan daerah, dan perkembangan sosial di masyarakat,” katanya.

Sementara itu Yoel menambahkan bahwa pemekaran sebagai solusi untuk meredam Papua Merdeka itu keliru. Malah bisa jadi boomerang bagi pemerintah pusat. “Kami mohon pimpinan partai politik memberikan rasa keadilan untuk Papua,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, akademisi senior Joram Wambrauw mengatakan jika RUU ini dipaksakan, maka orang Papua akan semakin merasa dihinakan. “Saya dulu tinggal 10 bulan di Jakarta untuk ikut serta dalam proses perumusan UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus. Pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi itu bukan seperti sekarang ini caranya, tapi wajib mendapat persetujuan MRP,” katanya.

Seperti diberitakan, MRP melalukan road show menemui pimpinan partai politik di Jakarta. Selain PKS, mereka juga menemui pimpinan Partai Gerindra, PPP, Golkar, PAN, dan lainnya. Mereka juga tengah berupaya untuk bertemu dengan pimpinan PDIP, Partai Demokrat, dan Partai Nasional Demokrat. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories Berita

Ketua MRP: Elit Politik Papua Jangan Bernafsu Minta Pemekaran 

Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib meminta elit politik di Papua tidak bernafsu untuk memaksakan pemekaran Papua. Ia menegaskan Majelis Rakyat Papua atau MRP tetap berpandangan bahwa rencana pemekaran Papua harus ditunda. Hal itu dinyatakan Timotius Murib di Kota Jayapura, Selasa (12/4/2022).

Ia mengingatkan elit politik di Papua jangan bernafsu memaksakan pemekaran Papua.

“Elit-elit Papua, jangan terlalu nafsu minta pemekaran. Lihat, rakyat mati karena menolakan pemekaran. Jadi, para elit Papua harus sadar, lihat situasi di Papua,” tegasnya.

Murib menilai pemerintah pusat mungkin punya niat baik untuk memberikan kewenangan bagi elit politik di Papua, dengan membentuk Daerah Otonom Baru (DOB).

“Namun kami secara kelembagaan, Majelis Rakyat Papua [menilai rencana pemekaran harus] dipending,” kata Murib.

Murib menyatakan MRP memiliki sejumlah pertimbangan yang menjadi dasar sikap lembaga representasi kultural Orang Asli Papua itu untuk menolak rencana pemekaran Papua. Salah satunya, kegagalan implentasi wewenang khusus yang diberikan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama) .

“Perbaiki dulu regulasi [dan] implementasi Otonomi Khusus Papua. Selama 20 tahun ini, menurut MRP [pelaksanaan Otonomi Khusus] sangat buruk, karena [kewenangan khusus] tumpang tindih [dengan aturan sektoral yang berlaku secara nasional],” ujarnya.

Murib menjelaskan berbagai kewenangan khusus Pemerintah Provinsi Papua tidak bisa dijalankan karena berbenturan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah) yang mengatur tentang otonomi daerah secara nasional.

“[Selama ini], Papua menggunakan dua undang-undang. UU Otsus Papua Lama yang berlaku secara khusus, tetapi juga ada otonomi daerah yang diatur UU Pemerintahan Daerah. Itu yang perlu diperbaiki. Itu yang diharapkan rakyat Papua melalui revisi UU Otsus Papua Lama. Akan tetapi, revisi UU itu dilakukan secara sepihak [dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,” kata Murib.

Murib menyatakan pihaknya berharap pemerintah pusat tidak mendengar secara sepihak elit politik yang menginginkan pemekaran Papua. Ia menegaskan pemerintah pusat juga harus mendengarkan apa yang disampaikan rakyat Papua.

Ia juga mengingatkan bahwa MRP tengah mengajukan permohonan uji materiil atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru). Hingga kini, Mahkamah Konstitusi masih menyidangkan permohonan uji materiil atas UU Otsus Papua Baru itu.

“Kami harap, [kalau] pemerintah pusat mau melakukan apa saja, mereka harus tunggu putusan Mahkamah Konstitusi dulu atas gugatan MRP. Kalau sudah ada putusan pasti, baru bicara pemekaran dan yang lainnya. Kalau pemekaran Papua itu dipaksakan, saya pikir pemerintah pusat tidak mengerti hukum. Itu harus dipahami pemerintah pusat,” kata Murib.

Murib menyatakan seharusnya pemerintah pusat tidak terburu-buru memutuskan segala hal yang berkaitan dengan Otonomi Khusus Papua.

“Pemerintah pusat jangan terlalu terburu-buru. Revisi UU, [lalu] terburu-buru bicara pemekaran wilayah atau DOB. Sementara, realita di lapangan, banyak masyarakat Papua yang menolak pemekaran Papua, sampai ada korban nyawa. Itu perlu diperhatikan,” ujar Murib. (*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

MRP Geram Pemerintah-DPR Bentuk 3 Provinsi Baru di Papua

 

Timotius Murib (Ketua), saat memberikan keterangan pers di didampingi Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua (MRP) geram dengan keputusan pemerintah dan DPR bakal membentuk tiga provinsi baru, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah.

Ketua MRP Papua Timotius Murib mengatakan DPR dan pemerintah telah mencederai semangat otonomi khusus untuk Papua. Timotius pun mendesak rencana itu dibatalkan atau setidaknya ditunda sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi UU Otsus.

“Tidak ada dengar pendapat yang memadai, tiba-tiba DPR menyetujui tiga buah RUU. Ini mencederai semangat otonomi khusus,” kata Timotius dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/4).

Timotius menyebut pemerintah maupun DPR seharusnya cermat dan tak buru-buru memutuskan pemekaran Papua. Menurutnya, dampak kebijakan ini bakal melepas sebagian besar wilayah kultural MRP dan wilayah pemerintahan provinsi Papua.

Timotius mengatakan pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyejahterakan Papua dan mengevaluasi otonomi khusus salah diterjemahkan oleh segelintir menteri dengan cara membentuk provinsi baru berdasarkan UU Otsus baru yang bermasalah.

Menurutnya, RUU pembentukan tiga provinsi baru itu mengabaikan aturan yang tertuang dalam Pasal 77 Undang-undang 21/2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua yang mewajibkan konsultasi dengan rakyat Papua. Dalam otsus, pemekaran wilayah wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP.

“Dulu pada 2003 Papua dimekarkan menjadi dua tanpa didahului dengan pembentukan MRP. Sekarang Papua menjadi lima provinsi. Ini kebijakan model apa? Sementara jika rakyat bersikap kritis, dituduh separatis, dilabel teroris. Pemekaran wilayah harus dibatalkan,” ujarnya.

Wakil Ketua I MRP, Yoel Luiz Mulait juga mengkritik keputusan tersebut. Menurutnya, pembentukan tiga provinsi baru tersebut jelas tidak cermat, cacat proses, tanpa partisipasi orang asli Papua (OAP) dan juga tanpa konsultasi dengan MRP yang merupakan lembaga representasi kultural OAP.

“Ini betul-betul mencederai semangat otonomi khusus. Pembuatan kebijakan sepihak sama sekali tidak mendidik publik,” kata Yoel.

Yoel mengatakan kebijakan ini justru mempertontonkan pengebirian otonomi dan hak asasi orang asli Papua, terutama untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang berdampak pada hidup mereka. Di sisi lain, RUU itu didasari pada UU 2/2021 yang materinya cacat substansial dan sedang diuji di MK.

“Pemekaran seharusnya ditunda sampai MK memutuskan,” ujarnya.

Rencana penambahan provinsi itu diatur dalam RUU tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah yang disahkan oleh Baleg DPR dalam rapat pleno pada Rabu (6/4). Nantinya sejumlah kabupaten bakal masuk ke dalam tiga provinsi baru tersebut.

Provinsi Papua Selatan akan diberi nama Anim Ha dengan ibu kota Merauke dan lingkup wilayah Kabupaten Merauke, Kabupaten Mappi, Kabupaten Asmat, serta Kabupaten Boven Digoel

Kemudian, Provinsi Papua Tengah bakal dinamakan Meepago dengan ibu kota Timika dan lingkup wilayah Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Deyiai, Kabupaten Intan Jaya, serta Kabupaten Puncak.

Sementara itu, Provinsi Papua Pegunungan Tengah akan diberi nama Lapago dengan ibu kota Wamena dan lingkup wilayah Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Lanny Jaya, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Nduga, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Yahukimo, serta Kabupaten Yalimo. (*)

Sumber: CNN

Read More
Categories Berita

Lakukan Reses Bersama Tokoh Agama, Wanggai Jelaskan Kebijakan MRP di Bidang Afirmasi, Proteksi, dan Pemberdayaan OAP

Reses ke I Tahun 2022 Dr. H. TOni Wanggai, anggota MRP Pokja Agama bertama tokoh agama, pimpinan lembaga keagamaan di tanah Papua – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Anggota Majelis Rakyat Papua Pokja Agama Dr. H. Toni V.M Wanggai, S.Ag, MM melakukan reses I tahun 2022 di Kota Jayapura, Kelurahan Gurabesi Distrik Jayapura Utara, dihadiri tokoh agama, pemimpin lembaga keagamaan. Rabu, (31/3/2022).

Agenda kegiatan dengan agenda reses Aktualisasi Penyelamatan Tanah dan Manusia Papua melalui Kebijakan Majelis Rakyat Papua dalam bidang afirmasi, proteksi, dan pemberdayaan Orang Asli Papua.

Dr. H. Toni V.M Wanggai, mengatakan dalam bidang Afirmasi, MRP telah melakukan berbagai kebijakan seperti Maklumat dan Rekomendasi untuk prioritaskan OAP dlm penerimaan calon siswa sekolah kedinasan, calon anggota TNI/Polri, ASN.

Dalam bidang proteksi, Wanggai menjelaskan MRP telah melakukan berbagai kebijakan seperti Maklumat untuk perlindungan tanah, hutan, lingkungan hidup, perempuan dan, anak di daerah konflik, dan lainya.

“MRP juga telah melakukan advokasi terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Intan Jaya, Puncak, Nduga, dan daerah lainnya,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan Majelis Rakyat Papua juga telah melakukan advokasi regulasi Otsus melalu uji materiil sementara dilaksanakan di Mahkamah Konstitusi.

“MRP menilai Perubahan kedua UU Otsus dilakukan sepihak oleh Jakarta sehingga UU sedang uji materiil di Jakarta dan sidang-sidang sudah berlangsung,” ujarnya.

Lanjutnya, Dalam bidang pemberdayaan, MRP mengeluarkan maklumat untuk komoditi lokal dan promosi kerajinan khas Papua dari 5 Wilayah Adat saat hari budaya.

“Saya keterwakilan Kelompok Kerja Agama tentu berharap  dari elemen keagamaan, pimpinan agama, bahkan umat, tentu turut berperan untuk turut berpartisipasi dan membrikan dukungan tentunya dengan cara menghimbau dan bisa mewartakan kepada semua umat yang kita pimpin, sehingga apa yang tersampaikan melalui upaya-upaya yang telah dilakukan oleh MRP dapat di pahami oleh umat beragama yang juga adalah sebagai masyarakat di lingkungan atau domisili wilayah pemerintahan,” harapnya. (*)

Humas MRP

Read More
Categories Berita

MRP Sebut Pelaksanaan Otsus di Papua Tidak Beri Perubahan

pengelolaan dana Otsus Papua meski menuai sorotan tetap dilanjutkan – Ist

JAYAPURA, MRP – Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait menyatakan, pelaksanaan otonomi khusus (Otsus) di Papua tidak memberikan banyak perubahan bagi masyarakat lokal. Menurut Yoel, selama ini, tidak ada kekhususan yang dirasakan di Papua.

“Kami berharap melalui pelaksanaan otsus ada suatu perubahan baik bagi rakyat Papua, tapi kenyataan yang terjadi dalam pelaksanaannya tidak ada hal yang baru. Tidak ada kekhususan di tanah Papua,” ujar Yoel dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, Rabu (23/2/2022).

Yoel mengungkapkan, selama 20 tahun, pemerintah hanya menjanlankan empat dari 24 kewenangan yang diatur dalam UU Otsus Papua Nomor 21 Tahun 2001. Empat kewenangan itu adalah adanya ketentuan gubernur orang asli Papua, MRP, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan dana otsus.

“Yang lainnya tidak jalan, termasuk Pasal 49 tentang pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Banyak masalah belum selesai,” ucapnya.

Sementara itu, pemerintah dan DPR memutuskan merevisi UU Otsus Papua dan kemudian mengesahkannya pada Juli 2021.

Menurut Yoel, revisi UU Otsus Papua dilakukan secara terburu-buru tanpa melihat akar masalah yang sebenarnya terjadi di Papua. Ia pun menyatakan, rakyat Papua sama sekali tidak dilibatkan dalam pembahasan revisi undang-undang tersebut.

“Kami melihat pemerintah menggampangkan persoalan Papua. Tidak melihat persoalan yang mengakar, misal ada kajian LIPI, mestinya bisa jadi rujukan bagi pemerintah dlm menyelesaikan masalah dengan baik. Kami merasa proses yang berjalan sangat melukai hati dan perasaan orang Papua,” tuturnya.

Karena itu, MRP mengajukan gugatan terhadap UU Otsus Papua Nomor 2 Tahun 2021 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun gugatan tercatat sebagai perkara nomor 47/PUU-XIX/2021. Yoel menegaskan, gugatan ke MK merupakan upaya konstitusional yang ditempuh MRP demi meraih keadilan.

“Kami ingin secara bermartabat menguji konstitusi. Kami tahu sembilan hakim MK adalah negarawan, bagaimana (menjaga) keutuhan NKRI. Kami berharap melalui majelis hakim MK bisa memberikan putusan yang berkeadilan bagi rakyat Papua,” ucapnya. (*)

Sumber: https://nasional.kompas.com/

Read More
Categories Berita

Bertemu MRP, BEM Uncen Serahkan Pernyataan Sikap Tolak Pemekaran Papua

BEM Uncen menyerahkan pernyataan sikap mereka untuk menolak rencana pemekaran Provinsi Papua kepada Ketua MRP, TImotius Murib di Kota Jayapura, Kamis (24/3/2022). – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM Universitas Cenderawasih menemui pimpinan Majelis Rakyat Papua di Kota Jayapura, Kamis (24/3/2022). Dalam pertemuan itu, BEM Universitas Cenderawasih menyerahkan pernyataan sikap resmi mereka untuk menolak rencana pemekaran Provinsi Papua.

Rombongan BEM Universitas Cenderawasih (Uncen) yang mendatangi Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) itu dipimpin Ketua BEM Uncen, Salmon Wantik. Mereka diterima oleh Ketua MRP, Timotius Murib. Wantik menyatakan rakyat Papua tidak pernah meminta pemekaran Provinsi Papua.

Menurutnya, wacana pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk sejumlah provinsi baru itu justru dipaksakan pemerintah pusat di Jakarta, dengan meminjam tangan elit politik Papua.

“Para Bupati dan pejabat elit politik lain, stop minta pemekaran. Rakyat tidak pernah berikan mandat kepada mereka untuk meminta pemekaran Provinsi Papua. Kami mengutuk mereka yang jalan minta pemekaran itu [dengan] mengatasnamakan Orang Asli Papua yang telah mati dan atas nama Tanah Papua ini,” kata Wantik saat beraudiensi dengan MRP.

Wantik menyatakan berbagai pemekaran wilayah yang pernah dilakukan di Tanah Papua tidak membawa kesejaheraan bagi Orang Asli Papua. Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Tanah Papua justru dinilai Wantik berdampak negatif bagi Orang Asli Papua. Hal itulah yang menyebabkan berbagai pihak bersuara untuk menolak rencana pemekaran Provinsi Papua.

“Lapisan masyarakat Papua bersama mahasiswa masih konsisten melakukan kampanye menolak DOB. Karena pemekaran merupakan peluang bagi trasmigrasi, peluang bagi investasi asing. [Itu] realita objektif yang telah berlangsung lama, bahkan menjadi pengetahuan umum bagi rakyat Papua. Kebijakan Jakarta yang sedang mengupayakan pemekaran [bertemu] siasat elit Papua [yang] mencari kuasa. Pembahasan usulan DOB oleh DPR RI mengabaikan kritik publik [terhadap rencana pemekaran Papua,” kata Wantik.

Wantik menyatakan ada banyak data yang menunjukkan bahwa Orang Asli Papua telah menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri, antara lain karena pemekaran wilayah yang semakin mendorong migrasi orang dari luar Papua. Bahkan, Otonomi Khusus (Otsus) Papua gagal mencegah migrasi besar-besaran itu.

“Banyak data yang mununjukkan bahwa Orang Asli Papua menjadi minoritas di atas tanah sendiri, sekalipun ada Otonomi Khusus Papua. Oleh karena itu, kami menilai Otonomi Khusus Papua telah gagal. Otonomi Khusus dan pemekaran adalah satu paket kebijakan politik pembangunan yang tidak pro rakyat Papua. Tanah dan hutan Papua diambil alih atas nama pembangunan, pertanian, hingga perkebunan kelapa sawit. Hasilnya memicu transmigrasi spontan tak terkendali di Tanah Pарua,” kata Wantik.

Ia juga mengkritik pemekaran wilayah yang selalu diikuti dengan penambahan satuan teritorial TNI dan Polri di Tanah Papua. Pos TNI dan Polri terus bertambah banyak dan meluas, yang pada akhirnya justru memperluas wilayah konflik di Papua.

“Apa untungnya pemekaran bagi orang Papua, jika pemekaran mengabaikan hak orang asli Papua? Maka dari itu, kami bersama rakyat Papua menolak segala paket [kebijakan pemekaran] yang ditawarkan,” kata Wantik.

Wantik menyerahkan pernyataan resmi BEM Uncen itu kepada Ketua MRP, Timotius Murib. Pernyataan itu juga memuat tuntutan BEM Uncen kepada pemerintah untuk menarik pasukan organik dan non organik dari sejumlah kabupaten yang dilanda konflik bersenjata, yaitu Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Puncak Jaya, Puncak, serta Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat.

BEM Uncen juga menolak paket kebijakan Otsus Papua Jilid 2. BEM Uncen mendorong pemerintah pusat untuk melihat akar persoalan Papua dari perspektif Orang Asli Papua, dan bukan memaksakan cara pandang Jakarta untuk melihat akar masalah Papua.

BEM Uncen menyatakan pemerintah harus berhenti mengeluarkan berbagai perizinan yang mengeksploitasi sumber daya alam di Papua, dan meminta pemerintah Indonesia memberi akses kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengunjungi Papua.

Selain itu, BEM Uncen juga meminta Jakarta menggelar referendum sebagai solusi demokratis untuk menyelesaikan konflik Papua.

Dalam audiensi bersama BEM Uncen itu, Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan pihaknya telah melakukan banyak hal untuk menyelamatkan tanah dan Orang Asli Papua. Akan tetapi, berbagai upaya MRP itu dihambat banyak pihak.

“Kita mau lakukan Rapat Dengar Pendapat [Evaluasi Otsus Papua] dihadang, sampai ada anggota kami yang diborgol [polisi]. Ada pejabat yang tidak terima MRP melakukan Rapat Dengar Pendapat itu,” kata Murib.

Murib menyatakan wacana pemekaran Provinsi Papua terus muncul karena ada kepentingan sejumlah Bupati yang telah dua kali menjabat dan tidak bisa mencalonkan diri lagi. “Soal pemekaran, itu kepentingan para elit Papua, para Bupati yang sudah berkahir masa jabatan mereka,” ucap Murib.

Murib menyatakan MRP juga telah bersikap tegas atas langkah pemerintah pusat dan DPR RI yang secara sepihak membahas dan mengundangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru).

Murib menyatakan banyak perubahan kewenangan dalam UU Otsus Papua Baru yang justru memperlemah upaya penyelamatan tanah dan orang Papua.

“Masalah hari ini bukan saja soal Orang Asli Papua yang ditembak mati, tapi [juga] soal tanah. Banyak masalah tanah di Papua ini. Besok-besok, tidak lagi para ondoafi yang [mengatur masalah tanah], [yang] berkuasa nanti, semua negara yang atur,” ucap Murib.(*)

Sumber: JUBI

Read More
Categories Berita

MRP Minta Jakarta Tunda Pemekaran Provinsi Papua

Timotius Murib, Ketua MRP (tenggah) di dampingi Yoel Luiz Muliat Waket I MRP dan Debora Mote Waket II MRP saat memberikan keterangan pers, Rabu (9/3/2022) – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat Papua atau MRP meminta pemerintah pusat dan DPR RI tidak memaksakan kehendak untuk memekarkan Provinsi Papua. Pemerintah dan DPR RI semestinya mendengar aspirasi masyarakat, dan bukan mengikuti kemauan elit politik yang punya kepentingan tertentu. Pemerintah seharusnya juga lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan di daerah yang memiliki Otonomi Khusus seperti Papua, termasuk dalam hal pemekaran dan pembentukan Daerah Otonom Baru.

Hal itu disampaikan Ketua MRP, Timotius Murib untuk menanggapi rencana pemerintah pusat dan DPR RI untuk memekarkan Provinsi Papua dan membentuk sejumlah provinsi baru di Papua. Murib menegaskan Papua dan Nangroe Aceh Darussalam adalah dua provinsi yang diberi Otonomi Khusus (Otsus) karena rakyatnya pernah menyatakan ingin merdeka dari Indonesia.

Seharusnya, pemerintah berhati-hati dalam merumuskan kebijakan—termasuk rencana pemekaran dan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB)—di daerah yang memiliki Otsus. “Papua dan Aceh itu daerah khusus, presiden seharusnya merawat daerah khusus. Papua dan Aceh berstatus khusus, karena ada perjuangan rakyat itu sendiri,” kata Murib saat menjawab pertanyaan Jubi pada Kamis (10/3/2022).

Sayangnya, menurut Murib Jakarta melakukan evaluasi implementasi Otsus Papua dan revisi atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama) secara sepihak. Pengundangan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) juga dinilai bermasalah, karena dibahas secara sepihak, dan mengurangi substansi kewenangan Otsus Papua dalam UU Otsus Papua yang lama.

Murib menyatakan UU Otsus Papua Baru itu adalah menghapuskan kewenangan MRP dan DPR Papua untuk menolak atau menyetujui rencana pemekaran provinsi. Pasal 76 UU Otsus Papua Lama menyatakan “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.”

Dengan UU Otsus Papua Baru, pemerintah pusat dan DPR RI bisa memekarkan Provinsi Papua tanpa membutuhkan persetujuan MRP atau DPR Papua.

Murib menyatakan UU Otsus Papua yang baru membuat pemerintah pusat dan DPR RI bisa melaksanakan kehendaknya tanpa persetujuan lembaga resmi di Papua. Hal itu membuat Otsus Papua “kehilangan rohnya”, karena MRP dan DPR Papua tidak lagi berwenang menyampaikan dan meneruskan aspirasi rakyat Papua.

Saat ini pun DPR RI telah menyusun Naskah Akademik untuk membuat undang-undang pemekaran Provinsi Papua. Murib mengingatkan rencana pembentukan provinsi baru di Wilayah Adat Lapago dan Meepago telah mendapatkan penolakan keras dari ribuan warga yang berunjuk rasa di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, dan Nabire, ibu kota Kabupaten Nabire beberapa hari yang lalu.

Murib menyebut unjuk rasa rakyat Papua untuk menolak pemekaran Provinsi Papua telah terjadi di berbagai wilayah Papua dan luar Papua. Menurutnya, Orang Asli Papua menilai rencana pemekaran Provinsi Papua itu ganjil, karena pemerintah sendiri sedang memoratorium pemekaran wilayah dan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB).

“Negara masih melakukan moratorium [pemekaran wilayah]. Negara sendiri melakukan moratorium. Akan tetapi, [kenapa rencana pemekaran] untuk Papua dipaksanakan? Dasarnya apa? Latar belakangnya apa?” Murib bertanya.

Meskipun UU Otsus Papua Baru telah membuat MRP tidak lagi berwenang untuk menolak atau menyetujui pemekaran provinsi, Murib menyatakan MRP akan tetap menyampaikan dan meneruskan aspirasi rakyat Papua.

Murib menyatakan MRP meminta pemerintah tidak melanjutkan rencana pemekaran Provinsi Papua, karena rencana itu telah menimbulkan banyak protes. Murib menyatakan pemerintah pusat dan DPR RI harus mempertimbangkan masalah waktu dan kesiapan rakyat Papua atas rencana pemekaran provinsi itu. Ia menyatakan saat ini bukanlah saat yang tepat untuk memekarkan Provinsi Papua.

“Apakah Jakarta bisa menerima atau tidak [penyampaikan MRP], karena kewenangan MRP dipangkas habis. Akan tetapi,  rakyat yang berdemonstrasi berhadap-hadapan dengan kekuatan besar, sehingga MRP wajib menyampaikan pendapat kepada pemerintah. Niat Jakarta untuk pemekaran itu perlu dipertibangkan dan ditolak. Pemekaran itu baik, tetapi belum saatnya, belum saatnya. [Kami minta] niat pemerintah pusat diurungkan dan di-pending,” kata Murib.

Sebelumnya, pada Kamis (10/3/2022), ribuan warga Wilayah Adat Lapago berunjuk rasa di Wamena untuk menolak rencana pembentukan provinsi baru di wilayah adat mereka. Mereka menyatakan rakyat Papua tidak membutuhkan pemekaran. Mereka menyatakan rakyat Papua lebih membutuhkan penyelesaian atas berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi sejak 1963, ketika Indonesia menduduki Papua.

“Kami membutuhkan penyelesaian [kasus pelanggaran] HAM bukan pemekaran. Pemekaran membawa orang Papua ke genosida. [Kami melihat dari pengalaman] pemekaran kabupaten [di Papua], [itu] saja telah [menimbulkan] banyak konflik,” kata Dano Tabuni saat membacakan pernyataan sikap dalam demonstrasi menolak DOB di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jayawijaya, Wamena. (*)

Sumber: Jubi

Read More
Categories Berita

MRP Sebut Agenda Pemekaran DOB di Papua Bukan Kehendak Masyarakat OAP

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Majelis Rakyat  Papua (MRP) sebagai lembaga culture orang asli Papua menyatakan,  rencana pemekaran Daerah Otonomo Baru (DOB) pada beberapa wilayah di Papua baik Provinsi maupun Kabupaten bukan kehendak dan aspirasi rakyat Papua tapi merupakan program paksaan elite jakarta dan beberapa elite lokal di Papua.

Pernyataan itu disampaikan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib kepada KBRN di Sentani, Kabupaten Jayapura, jumat (04/02/2022).

Murib menegaskan MRP maupun pemerintah provinsi Papua di bawa kepemimpinan guberenur Lukas Enembe dan DPR Papua sama sekali tidak menghendaki untuk adanya pemekaran provinsi maupun Kabupaten di Papua.

“Saya selaku ketua MRP jujur mau mengatakan bahwa tidak ada dokumen dari pemerintah provinsi (Papua) dan DPR Papua serta dokumen kajian ilmiah kelayakan pemekaran dari MRP yang  memberikan persetujuan pemekaran itu” Kata Timotius Murib.

Dengan demikian MRP menurut Timotius, sebagai lembaga culture orang asli Papua (OAP) dengan tegas menolak rencana pemekaran tersebut karena merasa belum siap terima pemekaran itu dan bukan kehendak Rakyat Papua.

“Alasannya hari ini kami tidak butuh pemekaran tapi perbaikan-perbaikan dulu regulasi kita, contoh undang-undang nomor 21 tentang otsus regulasinya diatur dulu, kami orang Papua belum siap pemekaran banyak-banyak itu” Tegas Murib.

Oleh karena itu, rencana pemekaran daerah otonom baru (DOB) yang hendak disiapkan pemerintah Pusat, Timotius Murib menyebut merupakan kebijakan sepihak pemerintah Pusat dan beberapa elit lokal Papua.

“Pemekaran Provinsi itu melalui rekomendasi Gubernur, DPR,  persetujuan dan pertimbangan dari Majelis Rakyat Papua, ini daerah otonomi khusus tidak bisa pakai hanya dengan  UU Otonomi Daerah” Tegas Murib

Yuliten Anouw, anggota MRP lainnya mengatakan dalam setiap kali kunjungannya kepada masyarakat di Papua tidak perna ada aspirasi tentang pemekaran yang disampaikan. Justru masyarakat  asli Papua, kata Anouw menolak pemekaran.

“Setiap kali kunjungan itu Orang asli Papua tidak perna minta pemekaran justeru menolak. Tapi ini diambil alih oleh jakarta dengan beberapa elite (Papua) yang rakus itu dengan jabatan. Sikap lembaga juga kami sudah tolak” Kata Yuliten Anouw, ketua dewan kehormatan MRP.

Anouw lebih menyarankan, pemerintah daerah di Papua  dan para pihak lainnya bersama-sama membenahi kebijakan-kebijakan tentang proteksi orang Asli Papu pada dua provinsi yang suda ada di Tanah Papua ini (Papua dan Papua Barat).

“Cukup saja dua (Provinsi) yang ada ini, sesuai dengan realita dua yang ada ini saja orang Papua  posisinya masih minim jumlah penduduk juga, justru pemekaran ini bukan diperuntukan orang Papua juga. Kita benahi dulu yang ada sekarang” Ujar anggota MRP dari wilayah Mepago itu. (*)

Sumber: RRI

Read More