Categories Berita

MRP Sentil Rezim soal HAM di Papua: Yang Tewas Manusia Bukan Hewan

Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib – Humas MRP

JAKARTA, MRP – Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua, Timotius Murib mengingatkan kepada pemerintah Indonesia bahwa yang tewas di Papua itu adalah manusia bukan hewan. Hal itu ia sampaikan menyusul banyaknya kasus pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan.

Timotius mengatakan, dari 34 provinsi di Indonesia, masyarakat yang tidak mendapatkan kedamaian barangkali Provinsi Papua atau masyarakat asli Papua. Kekerasan yang terjadi pada bidang sipil, politik, ekonomi dan sosial di tanah Papua belum pernah diselesaikan dengan baik.

“kalau kita berbicara soal pelanggaran HAM di Papua belum pernah diselesaikan secara konstituen oleh negara,” kata Timotius dalam acara Media Briefing yang diadakan oleh lembaga kajian demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) secara daring, Rabu (9/3).

Ia mengungkapkan, Presiden Jokowi bahkan tidak pernah menemui baik Dewan Perwakilan Rakyat Papua maupun Majelis Rakyat Papua yang menjadi representasi kultural orang asli Papua. Sehingga, tidak heran jika masalah pelanggaran HAM di Papua tak pernah selesai.

“Sudah 11 kali ke Papua, tetapi tidak pernah menemui DPR Papua dan MRP Papua. Omong kosong kesana kemari mau selesaikan apa?” ungkapnya.

Timotius menyebut pelanggaran HAM terus terjadi di Papua karena negara tidak menjalankan Otonomi Khusus (Otsus) Papua secara konsekuen. Seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komisi HAM, dan Pengadilan HAM di Papua. Ada banyak sebab kegagalan pelaksanaan Otsus.

Salah satu kegagalan UU Otsus itu terjadi karena pemerintah secara sepihak membuat kebijakan sendiri seperti dalam pemekaran wilayah. Sebab lain adalah konflik dua regulasi. UU Otonomi Khusus dan UU Otonomi Daerah.

“Sayangnya, para walikota dan bupati kebanyakan hanya melaksanakan UU Otonomi Daerah, tidak kepada UU Otsus. Pada akhirnya, MRP mendesak Pemerintah untuk melaksanakan UU Otsus Tahun 2001 dan jika hendak mengubah UU tersebut maka seharusnya UU Otsus terkait Papua harus dikonsultasikan dengan rakyat Papua,” ungkap Timotius.

Ia mengatakan bahwa rakyat Papua sempat harapan dengan hadirnya Otonomi Khusus dinilai dapat sedikit menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua.

Kendati demikian, sudah 20 tahun Otonomi Khusus diimplementasikan namun faktanya hal itu tidak menyelesaikan permasalahan HAM di Papua.

Lebih lanjut, Timotius mengingatkan pentingnya hak orang asli Papua sebagai masyarakat adat yang telah dijamin oleh UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Namun, kewenangan-kewenangan otonomi tersebut sekarang melemah dengan adanya UU No. 2/2021 Tentang Amandemen Kedua Otonomi Khusus.

Dalam hal ini pihaknya terus berupaya untuk menjaga sistem perlindungan hak-hak OAP (Orang Asli Papua) melalui pelaksanaan tugas dan wewenang UU Otsus 2001 sebagai solusi yang sejak awal reformasi diyakini dapat memperbaiki situasi HAM di Papua, termasuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. (*)

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/

Read More
Categories Berita

Saksi Fakta Pemrov Papua Sebut Perubahan Kedua UU Otsus Papua Tidak Aspiratif

Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (22/2/2022) siang. – Humas MRP

JAYAPURA, MRP – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (22/2/2022) siang. Permohonan perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli dan Saksi Pemohon.

Dr. Muhammad Ridwan Rumasukun, kapasitanya sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Papua dalam memberikan keterangan fakta pemerintah provinsi Papua mengatakan perubahan undang-undang Otonomi Khusus nomor 21 tahun 2001 haruslah bersifat aspiratif dari dan oleh masyarakat daerah yaitu orang asli Papua.

“Harus ada proses meminta pendapat masyarakat Papua, sebagaimana ketika untuk pertama kali membentuk UU Otsus nomor 21 tahun 2001,” kata Rumasukun.

Lanjutnya, tugas dan peran ini telah di atur dalam UU nomor 21 tahun 2001 yang secara konstitusional dilakukan oleh MRP dan DPRP. Gubernur Papua telah menyerahkan proses meminta pendapat rakyat Papua kepada MRP.

“MRP telah melakukan  Rapat Dengar Pendapat (RDP), tetapi kurang mendapat dukungan dan respons positif dari pemerintah, DPR dan berbagai pihak lainnya,” kata Rumasukun.

Ia menegaskan, jika proses perubahan undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua tidak melalui proses  meminta pendapat/aspirasi masyarakat daerah, maka ini adalah suatu kekeliruan, yang cenderung bertentangan dengan konstitusi.

“Sebab dalam salah satu bagian dari ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/2000 tentang rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, bagian III mengenai rekomendasi, mengamanatkan .. UU Otonomi Khusus bagi daerah istimewa Aceh dan Irian Jaya sesuai amanat ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan,” tutur Rumasukun.

Kata Rumasukun, pasal-pasal yang di ujikan yang tertuang dalam UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi provinsi Papua pasal 76 menjelaskan pemekaran provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi di lakukan atas persetujuan MRP dan DPRD setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan social-budaya, kesiapan Sumber Daya Manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa mendatang.

Pasal 77 terkait dengan pengujian norma denga frasa; usul perubahan atas undang-undang ini “dapat di ajukan oleh rakyat provinsi Papua melalui MRP dan DPRP” kepada DPR dan pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

“Kami berpendapat bahwa meskipun pemerintah dan DPR memiliki kewenangan dalam pembuatan suatu undang-undang, tetapi untuk undang-undang Otonomi Khusus Papua, proses dan prosedurnya serta subtansi dalam membuat atau merubah UU Otonomi Khsus Papua haruslah dilakukan dengan memperhatikan alasan dan latarbelakang dibentuknya UU nomor 21 tahun 2001 sebagaimana di atur dalam ketetapan MPR-RI No.IV/MPR/1999 dan ketetapan MPR-RI No.IV/MPR/2000,” kata Rumasukun.

Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) tercatat sebagai Pemohon Nomor 47/PUU-XIX/2021.

Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).  Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.

Timotius Murib mengajukan permohonan tersebut karena setelah mencermati perubahan UU Otsus Papua, terdapat klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

“Kemudian, penghapusan norma Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) tentang Penghapusan Pembentukan Partai Politik serta perubahan frasa ‘wajib’ menjadi ‘dapat’ pada norma Pasal 68 ayat (3) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2001, perubahan ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tambah Timotius.

Selain itu, Timotius menyebut dipertahankannya norma Pasal 77 UU Otsus Papua menjadikan pasal tersebut multitafsir. Pasal tersebut mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait pasal tersebut, ia mengungkapkan bahwa perubahan beberapa pasal atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah murni hasil inisiatif pihak pemerintah pusat, bukan usul dari rakyat Papua. (*)

HUMAS MRP

Read More
Categories Berita

Majelis Rakyat Papua Gugat Revisi UU Otsus Papua

Sidang Perdana diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) – HUMAS MKRI

JAYAPURA, MRP – Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) tercatat sebagai Pemohon Nomor 47/PUU-XIX/2021.

Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).  Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto, Timotius Murib mengatakan Pemohon mengajukan permohonan tersebut karena telah mencermati perubahan UU Otsus Papua karena terdapat adanya klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.

“Kemudian, penghapusan norma Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) tentang Penghapusan Pembentukan Partai Politik serta perubahan frasa ‘wajib’ menjadi ‘dapat’ pada norma Pasal 68 ayat (3) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2001, perubahan ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tambah Timotius.

Selain itu, Timotius menyebut dipertahankannya norma Pasal 77 UU Otsus Papua menjadikan pasal tersebut multitafsir. Pasal tersebut mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait pasal tersebut, ia mengungkapkan bahwa perubahan beberapa pasal atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah murni hasil inisiatif pihak pemerintah pusat, bukan usul dari rakyat Papua. “Oleh karenanya Majelis Rakyat Papua merasa tindakan pemerintah pusat tersebut telah melanggar konstitusi Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” paparnya.

Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (4), Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), dan Pasal 68A, dan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan norma Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6A ayat (4) bertentangan dengan frasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah perdasus dan perdasi Provinsi Papua’.

“Menyatakan mengembalikan pemberlakuan norma Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Berikutnya, menyatakan norma Pasal 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai usulan perubahan undang-undang ini wajib diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP,” papar Stefanus Roy Rening selaku kuasa hukum.

Nasihat Hakim

Terkait permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat sebagai Anggota Panel meminta agar Pemohon menyederhanakan dan meringkas permohonannya. Selain itu, ia meminta agar Pemohon memperjelas objek permohonannya.

“Ini objek permohonannya ada beberapa yang perlu disempurnakan atau diperbaiki. Dalam bacaan saya, dalam permohonan ini tidak konsisten menyebut dari awal sampai akhir bagian mana yang diujikan dalam permohonan ini. Apakah itu pasal, apakah itu ayat, apakah itu frasa? Coba secara konsisten supaya tadi meskipun masih susah dimengerti, tapi Mahkamah kadang-kadang masih dapat dimengerti apa yang hakikatnya diinginkan oleh Pemohon. Tapi kalau sampai tidak bisa dimengerti, kemudian (Mahkamah) berkesimpulan bahwa permohonan ini kabur,” papar Arief.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan agar Pemohon memperbaiki kedudukan hukum yang dinilainya belum dicantumkan dasar hukumnya dalam permohonan.

“Pertanyaan saya juga sama nanti untuk mempertegas, apa dasar hukumnya? Apa yang menguatkan mereka bisa mewakili keberadaan kelembagaan MRP tersebut untuk maju di depan forum pengadilan, di dalam dan luar pengadilan? Apa dasarnya yang menguatkan itu? Karena dalam undang-undang tidak ada, itu harus ada dasar yang kuat untuk menunjukkan itu,” jelas Enny.

Ketua Panel Hakim Aswanto memberi waktu selama 14 hari kerja bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan permohonan tersebut diterima Kepaniteraan MK selambatnya pada 5 Oktober 2021. (*)

Sumber: https://www.mkri.id/

Read More