Categories Berita

Dalam 2 tahun, 53 orang di Kota Jayapura tewas karena minuman beralkohol

Pokja Agama MRP pada Jumat (6/3/2020) menggelar rapat evaluasi pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat tentang bahaya peredaran minuman beralkhol dan narkoba. – Jubi/Benny Mawel

Jayapura, MRR – Sepanjang tahun 2018 dan tahun 2019 ada 53 orang di Kota Jayapura yang tewas karena mengonsumsi minuman beralkohol. Hal itu disampaikan Ketua Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua atau Pokja Agama MRP, Yoel Mulait di Jayapura pada Jumat (6/3/2020), seusai memimpin rapat evaluasi pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat tentang bahaya peredaran minuman beralkhol dan narkoba.

Yoel Mulait menyatakan data yang diperoleh MRP dari polisi menunjukkan jumlah orang di Kota Jayapura yang tewas karena mengonsumsi minuman beralkohol bertambah. “Dari data polisi, jumlah korban meninggal akibat minuman beralkohol pada  2018 adalah 21 orang. Pada 2019, jumlah korban meninggal akibat minuman beralkohol bukannya menurun, tetapi malah naik menjadi 32 orang. Sebagian besar [korban] itu orang asli Papua,” kata Mulait.

Pada Jumat, Mulait memimpin rapat evaluasi pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) tentang bahaya peredaran minuman beralkhol dan narkoba yang telah diselenggarakan di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Keerom pada Februari 2020. Rapat itu juga membahas kemungkinan untuk menindaklanjuti hasil RDP dengan Rekomendasi MRP.

Mulait menyatakan MRP sangat mengkhawatirkan peredaran minuman beralkohol yang semakin marak di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, maupun Kabupaten Keerom. Ia menyatakan perayaan ulang tahun Kota Jayapura ke 110 pada 7 Maret besok harus menjadi momentum untuk membuat langkah konkret mewujudkan moto Kota Jayapura, yaitu “Satu Hati Membangun Kota Untuk Kemuliaan Tuhan (Hen Tecahi Yo Onomi T’Mar Ni Hanased).

Mulait menyatakan penanganan peredaran minuman beralkohol di Kota Jayapura merupakan salah satu langkah nyata untuk mewujudkan moto Kota Jayapura itu. “Penanganan minuman keras dan alkohol perlu ada perhatian khusus. Lucu kan, hari Minggu kita ketemu orang mabuk, atau terjadi penjambretan. Hari ini, dari Waena sampai Dok 9 kelihatannya kota ini tempat minum. Itu kan tontotan yang tidak terpuji,” kata Mulait.

Ia berharap pemerintah daerah setidaknya melokalisir tempat penjualan minuman beralkohol, dan mengawasi semua toko yang menjual minuman beralkohol. Mulait juga berharap pemerintah daerah memberlakukan pembatasan jam penjualan minuman beralkohol.

“Apa lagi ini jelang Pekan Olahraga Nasional atau PON XX Papua 2020. Pemandangan yang ada, terkesan orang minum dan jual [minuman beralkohol] di mana-mana. Ini harus dikendalikan dari sekarang. Kalau tidak, bagaimana kemudian [jika] orang datang ikut PON [dan] rasa tidak nyaman?” ujar Mulait.

Sebelumnya, anggota Pokja Agama MRP, Pdt Nikolaus Degey menyatakan pembiaran Negara dalam persoalan sosial yang ditimbulkan kecanduan minuman beralkohol di Papua bisa mengarah kepada pelanggaran hak asasi manusia. Menurutnya, polemik berkepanjangan tentang perlunya penghentian perdagangan minuman beralkohol di Papua telah dipersepsi negatif oleh publik di Papua. “Rakyat Papua mulai bicara, [menganggap] peredaran minuman beralkohol, ganja, dan narkotika adalah satu proses genosida terhadap orang Papua,” kata Degey pada Rabu (4/3/2020).

Menurutnya, persepsi itu berkembang karena rakyat menilai berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Degey menyayangkan minuman beralkohol diperdagangkan di Papua tanpa ada sosialisasi tentang dampak baik-buruk mengonsumsinya. Akibatnya, perdagangan minuman beralkohol di Papua menimbulkan kecanduan alkohol yang tidak terkendali, dan memicu berbagai macam persoalan sosial.

Degey membandingkan pola konsumsi minuman beralkohol di Papua dengan konsumsi minuman beralkohol di negara lain. Di negara lain, minuman beralkohol bukan dikonsumsi untuk mabuk-mabukan, melainkan dikonsumsi dalam takaran tertentu sesuai dengan kondisi tubuh, kondisi cuaca, dengan waktu yang tertentu.

“Kita dengar di negara lain orang konsumsi [minuman beralkohol] untuk daerah yang [musim] dinginnya [bersuhu] ekstrem. [Minuman beralkohol yang dikonsumsi dengan takaran tertentu juga] menetralisir lemak. Akan tetapi, di Papua [minuman beralkohol dikonsumsi tanpa takaran], tidak jelas tujuannya. Generasi masa depan [seperti] dibatasi [untuk mampu] berfikir sehat. Tubuh yang nomal dirusak dengan minuman beralkohol dan zat adiktif seperti narkoba dan ganja,” kata Degey.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More
Categories Berita

Pemkot Jayapura diminta hentikan seluruh perdagangan minuman beralkohol

Rapat Dengan Pendapat Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua atau Pokja Agama MRP bersama Pemerintah Kota Jayapura dan Pemerintah Kabupaten Keerom di Aula Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, pada Kamis (20/2/2020) membahas peredaran minuman beralkohol dan narkoba. – Jubi/Benny Mawel

Jayapura, MRP – Pemerintah Kota Jayapura diminta menghentikan perdagangan minuman beralkohol di seluruh wilayahnya, dan ikut mencegah peredaran narkotika. Permintaan itu disampaikan para peserta Rapat Dengan Pendapat Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua atau Pokja Agama MRP bersama Pemerintah Kota Jayapura dan Pemerintah Kabupaten Keerom pada Kamis (20/2/2020).

Ketua Pokja Agama MRP, Yoel Mulait menyatakan para tokoh agama, tokoh perempuan, warga, pemuda, maupun mahasiswa yang mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) itu meminta Pemeritah Kota Jayapura menghentikan seluruh perdagangan minuman beralkohol di wilayahnya. “Masyarakat menghendaki [perdagangan] minuman keras ditutup saja,” ujar Mulait sesuai RDP itu.

Menurutnya, RDP itu juga meminta Pemerintah Kota Jayapura aktif mencegah peredaran narkotika di Jayapura. Mulait menyatakan pihaknya akan menyampaikan aspirasi masyarakat itu kepada Wali Kota Jayapura, Benhur Tomi Mano, agar Pemerintah Kota Jayapura bisa merumuskan solusinya. “Minuman keras dan narkoba ini masalah kronis, kita tidak bisa membiarkannya [beredar],” kata Mulait.

Menurutnya, RDP itu juga menerima informasi keberadaan ladang ganja di Kabupaten Keerom. Mulait menyatakan keberadaan ladang ganja di Keerom itu menunjukkan situasi peredaran narkotika di Papua berbahaya.

Salah satu tokoh perempuan yang menghadiri RDP itu, Agustina Apaseray menyatakan perempuan kerap menjadi korban dalam berbagai kasus kekerasan yang dipicu konsumsi minuman beralkohol. Ia menyatakan lelaki yang kecanduan minuman beralkohol kerap melakukan kekerasan terhadap perempuan, bahkan juga melakukan kekerasan terhadap perempuan hamil.

Apaseray menyatakan setiap kepala daerah di Papua seharusnya dampak konsumsi minuman beralkohol itu, dan menghentikan seluruh perdagangan minuman beralkohol di Papua. Ia meminta pemerintah daerah di Papua berhenti menggunakan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai alasan untuk melanjutkan perdagangan minuman beralkohol.

“[Lelaki yang mabuk karena minuman beralkohol] pukul tidak pakai aturan.  Siapapun perempuan Papua merasakan itu. Kalau bisa ditiadakan mengapa tidak. Kalau [soal] Pendapat Asli Daerah, bisa ada dari sumber lain. Sumber yang bunuh manusia itu, [seperti perdagangan minuman beralkohol], ditiadakan saja, karena menjadi sumber penderitaan bagi perempuan,”ujarnya.

Tokoh muslim Papua, Ismail Asso menyatakan perdagangan minuman beralkohol tidak membawa keuntungan bagi siapapun di Papua. Ia meminta Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2014 dijalankan dengan konsisten. “Minuman keras ini pembunuh terbesar anak Papua.Gubernur sudah buat aturannya, sekarang, penegakannya bagaimana?” ujar Asso mempertanyakan.

Asso juga mendesak pemerintah daerah berhenti menggunakan alasan potensi PAD untuk melegalkan perdagangan minuman beralkohol. “Yang mendapat untung itu hanya beberapa orang, tidak semua orang,”ungkapnya.(*)

 

Sumber: Jubi.co.id

 

Read More